Bab 177) Dunia Terbalik"Sebenarnya aku juga tidak tega membiarkan Mila tinggal bersama bibinya Kak Husna, tetapi kita sudah tidak punya pilihan, Sayang," imbuh Fahri."Kita tinggal di kampung. Orang-orang di kampung ini pasti akan mengingat tanggal pernikahan Ilham dengan Mila dan tanggal berapa anak itu lahir nantinya. Jika tidak sampai 9 bulan, bukankah itu patut dipertanyakan?" Lelaki itu menghela nafas menatap istrinya yang tengah mengambilkan mobil-mobilan untuk putra mereka. Adzkar bersorak riang ketika sang ibunda menyerahkan mobil-mobilan kesayangannya. "Justru karena itu. Apa Kakak tidak mendengar teriakan Mila dari rumah Mama? Kak, yang dibutuhkan oleh Mila saat ini bukan pengasingan. Dia butuh dirangkul....""Tetapi apa yang harus kita lakukan? Kakak malu sekali. Kelakuan Mila seperti melempar kotoran ke keluarga ini. Dia pantas untuk di asingkan." Lelaki itu lantas duduk di sisi istrinya."Biarkan saja dia tinggal di sini dan kita tunggu reaksi keluarga Ilham. Memangnya
Bab 178) Kemarahan Hayati"Sial! Kenapa juga aku bisa seceroboh itu." Mila memijat pelipisnya mengingat insiden saat ibu mertua merampas ponselnya kembali setelah ia menemukannya di dalam lemari pakaian di kamar Ilham."Untuk membuka layanan itu, aku memerlukan ponsel. Semua nomor kontak pelangganku bahkan ada di dalam ponsel itu, termasuk aplikasi yang kugunakan untuk mencari pelanggan. Tidak mungkin aku menjajakan diri di pinggir-pinggir jalan, sama sekali tidak berkelas.""Apa aku menjual perhiasanku untuk membeli ponsel baru saja ya? Rasanya tidak bisa hidup tanpa ponsel," gumam Mila kembali menatap lemari pakaiannya yang sudah tertutup rapat."Tetapi sayang, ah. Perhiasan itu penuh kenangan bagiku itu pemberian seorang lelaki yang menjadi lelaki pertamaku." Ingatannya kembali melayang mengingat seorang lelaki setengah baya yang menjadi lelaki pertama untuknya, lelaki yang membayarnya hanya demi mendapatkan sensasi bisa merobek selaput keperawanan seorang wanita."Apa aku harus me
Bab 179) Janji TemuHayati kembali terdiam. Kata-kata suaminya memang ada benarnya. Buat apa ia mengurusi menantu yang sebenarnya tak ia inginkan itu? Mereka terpaksa menerima Mila, karena keluarganya sudah mengantar Mila ke rumah ini. Dari awal niatnya sengaja menyiksa wanita itu agar tidak betah di rumah dan sekarang jika ia memang meninggalkan rumah ini, ya sudah. Berarti rencananya sudah berhasil, bukan? Tidak seharusnya ia marah-marah. Hanya saja yang sedikit mengganjal di hati, bagaimana caranya ia membereskan semua urusan di rumah ini?"Mama tidak perlu khawatir soal urusan rumah. Kita bisa memanggil pembantu kita yang lama. Soal gaji, itu tidak perlu kita pusingkan. Kita minta saja Ilham untuk membayar gajinya, lagi pula Dinda pasti akan mengabulkan semua permintaan Ilham. Bukankah itu yang menjadi perjanjian kita dengan orang tua Dinda?" Lelaki tua itu kembali mengingatkan. Kehamilan Dinda membuat keluarga Ilham di atas angin, sehingga bisa menekan besannya untuk memenuhi se
Bab 180) Bertemu Dengan Sandi Mila hanya ber oh ria, menatap kerumunan orang sekali lagi. Dia merasa tidak mengenal mobil itu, jadi akhirnya memutuskan untuk keluar dari kerumunan. Urusannya jauh lebih penting. Jangan sampai lelaki itu marah karena dia telat datang. Setelah memarkir motornya di halaman Cafe, wanita muda itu bergegas masuk ke dalam. Pandangannya langsung tertuju kepada seorang lelaki setengah baya yang melambaikan tangan ke arahnya. Mila menghembuskan nafas. Akhirnya setelah beberapa lama, dia bisa bertemu lagi dengan om Sandi, lelaki pertama yang membeli keperawanannya. Lelaki yang paling royal kepadanya dan sering juga memberi tips apabila pelayanan ranjangnya dianggap memuaskan. Mila bergegas menghampiri dan begitu sampai, wanita muda itu melayangkan kecupan sekilas di pipi lelaki setengah baya itu. "Kamu masih saja tidak berubah, Mila. Cantik dan terlihat sangat menggairahkan." Lelaki itu dengan nakalnya menatap tubuh Mila, walaupun wanita itu masih mengenakan p
Bab 181) Belanja Di Minimarket"Ada apa, Kak?" tanya Mila setelah menempelkan benda pipih itu ke telinganya. Dia melirik Sandi yang tampak fokus menyetir. Mila menghela nafas. Semoga saja Sandi tidak kepo dengan urusan pribadinya."Mila." Suara Hanum mulai terdengar. "Kamu di mana?""Aku sedang dalam perjalanan pulang, Kak. Kenapa? Apakah ada masalah di rumah?" Keningnya berkerut, karena ia tahu Hanum tengah berada di rumahnya sendiri, di kampung asalnya."Mila, Ilham mengalami kecelakaan dan dia dirawat di rumah sakit....""Apa?!" Mila buru-buru menutup mulut supaya teriakannya tertahan."Iya, Mila. Saat ini kondisinya kritis," sambung Hanum. Matanya kembali melirik Sandi. Mila menghela nafas. Ingin rasanya ia memaki-maki Hanum, tetapi tidak enak dengan Sandi. Jangan sampai Sandi tahu sifat aslinya. Selama ini dia memasang tampang polos dihadapan lelaki setengah baya itu. Sandi mengenalnya sebagai wanita yang baik, terlepas dari kenyataan bahwa dia adalah seorang wanita penjaja sel
Bab 182) Bela SungkawaDemi menghormati keluarga sang suami yang sebenarnya tidak pantas untuk dihormati, akhirnya Mila bersedia kembali ke rumah keluarga itu. Pagi ini dia berangkat bersama dengan Faiz, Husna, Zainab dan Ismah. Sesampainya di sana, orang-orang sudah banyak berkumpul, terdiri dari kaum kerabat Ilham dan para tetangga. Suaminya Inayah menyambut kedatangan mereka, lalu mempersilahkan masuk ke dalam. Keempat wanita itu melenggang masuk ke dapur, sementara Faiz diajak suami Inayah untuk berkumpul dengan para tamu laki-laki di ruang tamu."Bagus ya. Suami sudah meninggal dunia, baru kamu datang. Kemarin ke mana saja? Enak banget kabur begitu saja dari rumah ini, melupakan tanggung jawabmu sebagai seorang istri dan menantu!" cecar Hayati tak memperdulikan tatapan orang-orang yang tertuju kepada mereka. Suaranya bergetar. Meskipun wajahnya merah padam melihat kedatangan menantu dan keluarganya, tetapi itu tak bisa menyembunyikan wajahnya yang sembab habis menangis. Wanita
Bab 183) Mengundurkan Diri"Kamu berani mengancam saya?!" pekik wanita tua itu.Husna tersenyum miring. "Saya hanya meminta agar keluarga di sini bisa memperlakukan keluarga kami dengan baik hari ini. Keinginan kami tidak muluk-muluk.""Kamu pikir saya takut dengan ancaman kamu? Memangnya kalian tidak takut jika seandainya saya menyebarkan kelakuan adik bungsu kalian....""Bukankah Bu Hajjah sendiri yang bilang jika kelakuan adik bungsu kami sudah banyak yang mengetahui? Ibu tidak perlu repot-repot menyebarkannya. Kami pun sudah kebal dan siap mental dengan semua omongan orang. Itu sudah biasa, Bu." Masih dengan senyumnya yang miring, Husna melambaikan tangan saat menyadari kehadiran Mila sudah berada di area dapur."Sedangkan keluarga di sini terkenal harmonis, kaya dan terhormat. tentunya akan sangat memalukan jika semua orang tahu jika salah seorang putra mereka menghamili dua orang wanita sekaligus, sehingga terpaksa menikahinya." Suara Husna pelan. Namun memberikan penekanan terh
Bab 184) Hari Yang TerburukSebenarnya Hanum tak sepakat dengan keputusan Fahri untuk pulang kampung, jikalau masalahnya hanya karena Mila. Hanum cenderung lebih menyetujui usul ibunya, agar Mila tinggal di rumah ibunya saja. Mila bisa menjalani kehamilannya dengan tenang, di samping itu fasilitas kesehatan di daerah sini juga lebih dekat dan mudah dijangkau.Setidaknya Mila pun akan mendapatkan gambaran bahwa menjadi orang kaya itu tidak semudah seperti yang ia duga selama ini. Memang, menjadi orang kaya itu berlimpah dengan harta, tapi bukan berarti kehidupan akan menjadi sangat mudah. Mila itu butuh dibimbing supaya ia tahu setiap sisi kehidupan. Menjadi orang kaya ataupun miskin, semua memiliki kesulitan masing-masing. Ada kelebihan dan ada juga kekurangannya.Memaksa Mila tinggal di tempat bibinya Husna juga bukan ide yang baik. Tidak mungkin Mila dipaksa untuk hidup lebih sederhana lagi. Menurut pengalaman yang sudah-sudah Mila justru menghalalkan segala cara agar ia bisa setar
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny