Bab 150) Salah Langkah"Kenapa, hmmm...? Kamu terlihat kaget. Memangnya ada yang salah dengan kedatanganku?" selidik Andi. Wajah adik tirinya itu terlihat tegang."Tidak apa-apa, Bang." Zidan tergagap. Dia mempersilahkan Andi masuk ke dalam. Zidan menutup pintu, sementara Andi langsung ngeloyor menuju sofa di sudut ruangan.Ruangan bercat abu-abu ini minim hiasan, hanya ada meja dan kursi kerja untuk Zidan, satu set sofa dan sebuah lemari. Sepintas terlihat begitu sederhana untuk ukuran ruang kerja CEO seperti Zidan."Ada masalah apa?" selidik lelaki itu."Tidak ada masalah apapun di pabrik. Baik dari sistem produksi maupun quality control, semuanya terkendali," sahut Zidan. Dia berpikir, Andi menanyakan soal kinerjanya."Bukan itu maksud Abang. Zidan, sepertinya kamu memiliki masalah dalam hidupmu...."Zidan menggeleng cepat. "Aku akan menyelesaikannya sendiri. Abang tidak perlu turut campur.""Bukan begitu maksud Abang, Zidan. Abang hanya tidak ingin kamu salah langkah!""Salah lang
Bab 151) Di Pesta Perkawinan Mila"Paman.....""Masih belum cukup kamu mempermalukan kami di hadapan semua orang? Semua orang di kampung ini sudah tahu jika kamu hamil di luar nikah. Dan sekarang...?" Haji Alwi tertawa sumbang penuh kekecewaan."Kamu dengan percaya dirinya membawa anak harammu ini kemari. Tidak punya rasa malu kamu?" ketusnya."Paman, aku datang kemari untuk menghadiri pesta perkawinan Mila, bukan apa-apa. Aku tidak berniat membuat keonaran di sini." Yasmin mendongakkan wajah, menatap lelaki yang dulu begitu menyayanginya. "Aku merindukan Paman dan Bibi, karena itu aku datang kemari dan membawa Tania.""Rindu? Buang saja kerinduanmu terhadap kami. Aku tidak sudi punya keponakan seperti kamu. Dari kecil kamu aku urus, tapi apa balasanmu?!"Meskipun hatinya mendongkol, haji Alwi tetap memberi jalan Yasmin untuk masuk ke dalam rumah. Dia tidak tega melihat wanita muda itu kerepotan membawa tas besar dengan tetap menggendong putrinya.Dia melirik sekilas balita itu, kemud
Bab 152) Tania Rindu Papa?"Papa?" tanya Yasmin kebingungan.Tania kini bukan hanya menunjuk-nunjuk, tetapi tubuhnya melonjak-lonjak. Nyaris kuah soto yang ia pegang tumpah."Ada apa sih?" gumam Yasmin sembari berjalan ke arah yang di tunjuk oleh putrinya. Kebetulan ada bangku yang masih kosong di sisi seorang pria yang tengah asyik makan."Pa Pa...!" ucap Tania saat Yasmin meletakkan sotonya di atas meja dekat pria itu.Lelaki itu mendongak pandangan mata keduanya beradu, membuat Yasmin seketika memekik. Yasmin mengusap matanya seolah tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Bagaimana mungkin lelaki itu ada di sini?"Zidan!""Pa Pa!" imbuh Tania. Zidan tersenyum lantas berdiri. Dia meraih Tania yang berada dalam gendongan Yasmin. Tania melonjak-lonjak. Sepasang tangan kecilnya direntangkan memeluk lelaki muda itu. "Pa pa!" Wajah kecilnya dibenamkan di dada Zidan. "Pa, du!""Tania rindu Papa?" tanya Zidan seraya menciumi wajah menggemaskan itu penuh kerinduan.Tania mengangguk. Y
Bab 153) Tawaran Zidan"Apa? Istri bayaran?!" jerit Yasmin. Tiba-tiba keringat dingin muncul begitu saja dari pelipisnya. Entah kenapa, Yasmin merasa seperti tidak mengenal Zidan lagi. Zidan yang sekarang bukan cuma gaya dan penampilannya yang berubah, tapi sikapnya juga. Entah apa penyebabnya.Yasmin menatap mata itu dengan sedikit takut."Iya, biar kita impas. Dulu kamu yang membayarku untuk menjadi suami bayaranmu. Sekarang giliran aku yang membayarmu untuk menjadi istri bayaranku. Bahkan aku berani membayarmu berkali-kali lipat dibanding bayaran yang dulu pernah kuterima. Ya, mungkin nominalnya cukup untuk membangun kembali usahamu yang hancur itu." Tawaran Zidan begitu menggiurkan.Lelaki itu terlihat tenang duduk di balik kemudi. Dia balas menatap intens Yasmin. Tatapannya setajam elang yang penuh dengan aura intimidasi.Tak ada cara lain. Langkah pertamanya harus berhasil. Zidane harus mampu menundukkan kesombongan wanita itu. Yasmin harus tahu kelasnya sekarang. Jika dulu Yasm
Bab 154) Membuka Amplop "Cemburu dari Hongkong?! Aku cuma penasaran, kok mereka bisa nongol ke sini ya? Padahal kita nggak ngundang mereka, bahkan Mama aja masih marah sama Yasmin setelah kejadian yang itu." Fahri mengingatkan soal Yasmin yang membatalkan bantuan uang sebesar 25 juta yang sempat dijanjikannya. "Iya juga ya? Nggak mungkin Mama mengundang Yasmin. Mila juga nggak mungkin mengundang Yasmin. Kamu kayak nggak tahu tabiat adikmu saja. Apa mungkin Kak Zainab?" Lagi-lagi Hanum menggeleng. "Tapi ya sudahlah, bukan urusan kita. Lagi pula suka-suka mereka, mau datang apa nggak...." Fahri tak menanggapi. Dia malah mengamati gerak-gerik Yasmin dan Zidan. Setelah menyalami Mila dan Ilham, keduanya bergerak turun dari panggung pelaminan dan menuju ke tempat Ismah duduk. Wanita tua itu tampak cemberut melihat kedatangan Yasmin bersama dengan seorang laki-laki. Dia menyambut uluran tangan Yasmin dan Zidan, menatap mereka berdua sekilas, kemudian melengos, memasang ekspresi wajah dat
Bab 155) Hutang Sisa Pesta Pemandangan yang sangat miris sebenarnya. Pesta belum sepenuhnya usai, tenda dan dekorasi pelaminan belum selesai di bongkar, bahkan kerabat yang berasal dari tempat jauh masih banyak yang belum pulang, tapi sudah ribut isi amplop para tamu undangan, apalagi sampai menyebut-nyebut soal hutang. Sungguh berbeda jauh dengan saat ia menikah dulu. Pernikahan dengan pesta sederhana. Alih-alih ribut soal amplop, ia dan Mama Filza baru ingat untuk membongkar kotak berisi amplop pemberian para tamu setelah beberapa hari kemudian. Bahkan uang isi amplop tersebut di serahkan mama Filza kepadanya secara utuh, walaupun ia sempat menolak. Ya, itu bisa terjadi karena mereka tak punya hutang sisa pesta perkawinan sepeserpun. Diam-diam ia menyesalkan semua ini. Namun apa dayanya? Keputusan mutlak ada pada ibu mertuanya. Hanum berharap, semoga ibu mertuanya tidak melibatkan dirinya lagi untuk bayar hutang. "Ada apa, Hanum?" tegur Ismah. "Maaf, Ma. Sebaiknya Mama dan Mila
Bab 156) Tanggung Jawab "Aku harus melunasi semua hutang ini?!" Aziz menepuk dadanya sembari menggeleng keras, tak percaya dengan pendengarannya sendiri. Ismah menatap menantunya dengan penuh harap, meski hati kecilnya merasa tak yakin. "Bukankah kamu adalah menantu laki-laki? Bukankah uang adalah urusan laki-laki, seperti katamu barusan?" Ismah tersenyum lantaran merasa menang. Aziz menoleh kepada Diana. Wanita itu hanya mengangkat bahu. "Masalahnya, apakah aku pernah diajak rembuk saat Mama mau mengadakan acara sebesar ini? Lalu kenapa tiba-tiba saat punya hutang, aku yang di suruh melunasinya?" sahut Aziz setelah beberapa saat berpikir. "Bagaimana mungkin kami bisa mengajakmu rembukan, sementara kamu tinggal jauh dari kami?" kilah Zainab yang diamini ibunya. "Tapi bukankah sekarang zaman sudah canggih? Jangankan rembukan keluarga, orang rapat atau meeting aja bisa memanfaatkan teknologi. Disini semuanya sudah punya ponsel, kan? Kalian bisa melakukan video call dan aku bisa me
Bab 157) Barang BekasHanum yang lebih dulu sampai di kamar mandi segera menangkap tubuh Mila yang limbung, lalu membimbingnya keluar. "Kenapa dengan Mila, Hanum?" tegur Ismah. Rupanya wanita tua itupun menyusul ke belakang."Aku tidak tahu, Ma. Aku menemukan Mila muntah-muntah di kamar mandi....""Mungkin aku pusing dan kelelahan, Ma. Maklum, dari pagi harus berdiri dan bersalaman dengan para tamu," tukas gadis itu lemah. Susah payah ia menyeret kakinya. Tubuhnya terasa sangat lemas, meski sudah ditopang oleh Hanum. Kini mereka sudah tiba di kamar Mila. Kamar yang masih dihias indah selayaknya kamar pengantin.Hanum terbeliak mendapati Ilham yang tengah duduk di kamar itu malah asyik memainkan ponselnya."Ilham, tolong ambilkan minyak angin. Sepertinya Mila masuk angin," perintah Hanum."Tuh, ada di atas meja rias itu, Kak," tunjuk Ilham tanpa menoleh kepada Hanum. Dia tak mau kehilangan fokus pada ponsel di tangannya."Ya." Terpaksa Hanum mengambil sendiri setelah membantu Mila ber
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny