Bab 1) Ikan Goreng Setengah Matang
"Ya ampun, Hanum! Menggoreng ikan baru setengah matang kayak gitu sudah kamu angkat dari penggorengan? Kamu bisa menggoreng ikan nggak sih?" teriak Ismah, ibu mertua Hanum. Perempuan tua itu terbelalak melihat potongan ikan berwarna kuning keemasan sudah berada piring saji berukuran besar.
"Setengah matang?" Hanum mengerutkan kening. "Ini sudah matang, Ma. Lihatlah warnanya yang kuning keemasan."
"Ini baru setengah matang, Hanum...." Suara Ismah masih tinggi. "Kalau ikan yang sudah matang itu berwarna coklat. Di sini kami terbiasa makan ikan yang digoreng kering sehingga bisa dimakan seperti kerupuk kriuk-kriuk gitu."
Mata tajam Ismah seolah menguliti Hanum hidup-hidup, membuat nyalinya langsung menciut.
"Oh, maaf, Ma. Ya sudah, kalau begitu aku goreng ulang saja ikannya," lirihnya. Hanum bermaksud mengambil kembali ikan-ikan yang sudah berada di atas piring saji. Namun secepat kilat, Ismah merebut piring itu dan membawanya menjauh dari hadapan Hanum.
"Tidak usah. Kamu cuci piring saja sana. Awas ya, kalau ada yang pecah. Heran benar, punya menantu tidak bisa mengerjakan segala sesuatunya di dapur. Lalu apa gunanya?!" Sembari terus menggerutu, Ismah menaruh ikan goreng hasil karya Hanum ke lemari makanan.
"Nanti biar kamu saja yang makan ikan goreng ini. Orang-orang sini mana suka dengan ikan goreng setengah matang," sembur Ismah lagi.
Setelah menutup pintu lemari, perempuan tua itu memberi isyarat kepada Husna, seorang menantunya yang lain, istri Faiz untuk melanjutkan menggoreng ikan.
Hanum bergerak menuju tempat pencucian piring. Hatinya nelangsa. Dia merasa sangat malu telah ditegur dengan keras di hadapan beberapa orang wanita tetangga mereka yang ikut membantu memasak di dapur saat ini.
Hari menjelang siang. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Hanum menyabuni piring, gelas dan peralatan makan bekas pakai satu persatu. Dia melakukannya dengan sangat berhati-hati, takut memecahkan barang pecah belah itu. Hanum tak mau ibu mertuanya akan kembali berteriak dan menegurnya.
Nanti malam akan ada acara peringatan setahun meninggalnya ayah mertuanya, haji Muhammad Yahya Mansyur. Itulah kenapa sejak pagi-pagi sekali, semua anggota keluarga yang perempuan berkumpul. Zainab, Husna, Hanum bahkan Mila, adik bungsu suaminya pun sampai bolos sekolah lantaran merasa sangat antusias dengan acara di rumahnya. Itupun masih dibantu oleh beberapa orang tetangga. Mereka dengan cekatan menyiangi ikan dan ayam lalu membersihkannya, merebus telur, memotong sayuran dan membuat bumbu.
Hanum hanya kebagian tugas mencuci piring atau memotong sayuran. Itu pun sesekali masih ditegur dengan keras oleh ibu mertuanya. Perempuan tua itu sama sekali tidak peduli dengan perasaan Hanum yang sangat malu, lantaran ia memang tidak terbiasa melakukan pekerjaan di dapur.
Hanum dan Fahri baru menikah sebulan yang lalu. Hanum adalah anak tunggal yang sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya, meskipun dalam beberapa hal, orang tuanya menerapkan disiplin ketat, sehingga hasilnya jadilah Hanum seperti yang sekarang.
"Kacang panjangnya dipotong kecil-kecil, Hanum, karena kita akan membuat urap. Kalau yang di potong panjang-panjang itu buat sayur bayam. Ngerti nggak sih?!" Mata Ismah kembali melotot.
"Ngerti, Ma." Hanum mengangguk. Dia segera memotong ulang kacang panjang dengan ukuran yang lebih kecil.
Rencananya mereka akan membuat nasi tumpeng untuk acara nanti malam. Isi tumpeng adalah nasi kuning, sambal goreng hati, urap, mie goreng dan telur balado. Itu baru untuk tumpeng. Sedangkan untuk jamaah yang akan diundang, mereka akan memasak ayam sambal habang khas Banjar.
"Nah, begitu dong! Kamu harus banyak belajar, Hanum. Memangnya kamu tidak pernah diajari Mama kamu masak?" usik Zainab, kakak sulung Fahri.
"Tidak, Kak." Hanum menggeleng.
"Kok bisa begitu? Mau jadi apa anak perempuan kalau tidak diajari masak?" celetuk bu Ida, tetangga dekat rumah mereka.
"Iya nih, aneh benar orang tua yang seperti itu. Seperti ini nih hasilnya. Pas di rumah mertua, malah tidak bisa apa-apa. Bikin malu saja," sahut Zainab.
"Mereka juga punya alasan, kenapa tidak mementingkan mengajariku memasak. Mungkin keluarga disini belum bisa memahami," sahut Hanum mencoba membela diri.
"Tidak bisa seperti itu, Hanum. Kakak cuma menyayangkan saja. Andaikan Kakak punya anak perempuan, pasti Kakak akan mengajarkan anak perempuan kakak untuk memasak sedari kecil. Tidak apa-apa dia tidak berpendidikan tinggi, yang penting tidak bikin malu nanti kalau sudah berumah tangga dan tinggal sama mertuanya. Amit-amit! Mertua tidak akan tanya kamu tamat sekolah apa, tapi akan tanya, kamu bisa masak apa nggak?" Cerocos Zainab seperti air bah yang memukul ulu hati Hanum.
Hanum tertunduk, berusaha menyembunyikan tetes air matanya. Sebenarnya dia tidak apa-apa dihina, dianggap tidak bisa memasak, karena dia memang tidak bisa memasak. Masalahnya, orang-orang itu menyalahkan pola asuh yang di terapkan oleh orang tuanya. Bukankah setiap keluarga memiliki pola asuh yang berbeda?
Ingin rasanya Hanum bicara kepada mereka, jika sesungguhnya kedua orang tuanya adalah orang tua terbaik, tapi lidahnya terasa kelu. Sekali lagi, ia tidak mau berdebat dengan anggota keluarga suaminya.
Kegiatan masak-masak baru berhenti saat mereka makan siang bersama. Setelah makan siang, Hanum kembali mencuci piring, kemudian beranjak menuju kamar untuk melaksanakan shalat zuhur. Sementara Zainab, Husna, Mila dan yang lainnya tetap mengerjakan pekerjaannya di dapur.
*****
Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 malam. Waktu isya sudah berlalu dan tak ada seorangpun yang berada di ruang tamu. Hanum mengangkat piring-piring kotor dan lainnya menuju tempat pencucian piring. Sementara ibu mertuanya mulai membagi-bagikan makanan sisa kepada para tetangga yang sudah membantu memasak tadi siang.
Ismah nampak sumringah dengan pujian beberapa tetangga yang memuji hasil masakannya. Namun ia melengos melihat sosok Hanum yang bolak-balik mengangkat piring kotor dari ruang tamu ke dapur terus menuju ke tempat pencucian piring.
"Kamu dengar kata-kata orang-orang tadi, Hanum?" tegur Ismah saat semua tamu undangan sudah pulang.
Kini yang tertinggal hanya mereka berempat. Hanum dan Fahri, Ismah dan Mila. Bahkan Mila pun sudah masuk ke dalam kamarnya sejak acara selesai tadi.
"Kata-kata yang mana, Ma?" tanya Hanum mengerutkan kening. Dia memang tidak fokus mendengar semua celotehan para tetangga.
"Mereka memuji masakan Mama. Kamu dengar sendiri, kan?" ujar Ismah membusungkan dadanya.
Hanum mengangguk. "Iya benar. Masakan Mama memang enak. Aku harus mengakui itu."
"Justru itu. Hanum, di kampung ini semua perempuan harus bisa memasak. Ingat itu, Hanum! Kalau kamu sekarang tidak bisa memasak, berarti kamu harus belajar keras. Kamu masih ingat, kan, kata-kata Zainab tadi siang?"
"Ingat, Ma."
"Bagus. Mama beri waktu satu atau dua bulan lagi. Kamu harus sudah mahir memasak, karena Mama mau, kamu lah yang memasak di rumah ini, menggantikan Mama. Mama sudah tua dan sudah tidak layak lagi mengerjakan hal-hal seperti ini. Kamu ini menantu Mama dan harus berbakti kepada Mama. Jadilah menantu yang baik. Jangan pemalas...." Ocehan Ismah seketika terhenti saat melihat Fahri masuk ke dapur.
Lelaki itu bermaksud mengambil air minum. Namun langkahnya terhenti seketika mendengar percakapan antara istri dan ibunya.
"Ada apa, Ma? Kok Mama terlihat serius sekali?" tegur Fahri.
Ismah menggelengkan kepala. "Mama hanya menasehati istrimu agar ia mau belajar keras untuk memasak. Jangan seperti tadi, bikin malu aja. Orang-orang semuanya memuji kepintaran Mama dalam hal memasak. Tiba-tiba punya menantu sama sekali tidak tahu urusan dapur. Apa tidak bikin malu?" ketus Ismah.
"Sudahlah, Ma. Tidak usah lagi diperpanjang. Aku dan Hanum, kan baru sebulan menikah, masih pengantin baru. Semuanya masih berproses," hibur Fahri. Akhirnya ia duduk di depan ibunya, berdampingan dengan istrinya.
"Ya, sudah!" Ismah bermaksud kembali melontarkan kata-kata tajamnya untuk Hanum. Namun mendadak di kepalanya terlintas sesuatu.
"Oh, ya, Fahri. Mampung Mama baru ingat nih. Beberapa hari yang lalu, kamu baru saja jual gabah. Terus, mana uangnya?!" tagih Ismah.
Bab 2) Jatah NafkahFahri seketika bungkam. Lelaki berusia 33 tahun itu terlihat salah tingkah. Sikap yang mengundang kecurigaan di hati Ismah."Mana uangnya, Fahri? Jangan kamu pikir Mama tidak tahu kalau kamu baru saja jual gabah. Tuh lihat, gudang di depan rumah sudah kosong. Isinya hanya tinggal beberapa karung!" Ismah tersenyum menyeringai, menatap Hanum yang terlihat merah padam.Keduanya sesaat berpandangan. Fahri menggenggam tangan Hanum dan istrinya itu hanya mengangguk."Sebentar ya, Ma. Aku ke kamar dulu mengambil uangnya," ujar lelaki itu akhirnya berdiri, melenggang pergi dari dapur."Ya, Mama tunggu di ruang tamu," sahut Ismah sumringah. Dia membayangkan sebentar lagi akan memegang uang banyak, hasil penjualan gabah milik Fahri untuk tahun ini.Setelah menaruh sisa makanan di lemari penyimpanan, perempuan tua itu menarik tangan Hanum demi mengikutinya ke ruang tamu. Namun Hanum melepaskan tangannya, saat ia sampai di depan pintu kamarnya."Aku ke kamar dulu, Ma," ujar Ha
Bab 3) Surga Untuk Anak-anakkuHanum mengangguk, tak bisa menyembunyikan rasa heran. Hanya karena ucapan Fahri barusan, Ismah terlihat layaknya orang kebakaran jenggot. Apa salahnya jika sepasang suami istri baru berniat untuk membangun rumah dan hidup mandiri? Bukankah sudah seharusnya begitu?Hanum memandang suaminya, tapi sang suami hanya mengulurkan tangan, menggenggam tangannya erat."Untuk apa kalian membangun rumah? Rumah ini cukup besar dan penghuninya hanya ada Mama dan Mila selain kalian." Perempuan itu terlihat shock. Tak pernah terpikir di benaknya jika Fahri, putra kesayangannya ini akan tinggal terpisah darinya."Tidak apa-apa, Ma. Bukankah sudah seharusnya setiap orang yang berumah tangga itu harus mempunyai rumah sendiri?" ujar Hanum hati-hati."Benar, Ma," timpal Fahri."Fahri, kamu mau meninggalkan Mama ya?" bentak Ismah."Meninggalkan Mama?" Hanum tergagap. Mereka tidak pernah membahas soal itu. Mereka hanya berencana akan membangun rumah di atas sebidang tanah yang
Bab 4) Sarapan Pagi"Lihat nih, menantu kesayangan Mama! Sudah bangun terlambat, ujung-ujungnya aku juga yang harus mencuci semua peralatan kotor di dapur. Dasar pemalas!" cerca Mila."Apakah benar yang dikatakan oleh Mila itu, Hanum?" Ismah menatap tajam perempuan itu."Maaf, Ma. Aku bangun agak terlambat, jadi....""Jadi kamu membiarkan Mila mencuci semua perabotan kotor di dapur ini, begitu? Sudah numpang, pemalas pula!" Tangan Ismah melayang, mencubit keras lengan Hanum."Menyesal aku mengabulkan permintaan Fahri untuk memperistrimu. Rugi aku sudah mengeluarkan mahar yang mahal untukmu kalau ternyata kamu sama sekali tidak bisa diandalkan. Andaikan tahu begini, lebih baik aku memaksa Fahri untuk menerima tawaran haji Alwi untuk di jodohkan dengan keponakannya, putri haji Faisal yang bos batubara itu!" Wanita tua itu menghentakkan kakinya ke lantai."Benar-benar sial punya menantu seperti kamu. Sudah miskin, plus tidak bisa memasak. Haduuh....""Sekarang panaskan semua lauk yang ad
Bab 5) Mempertahankan Hak"Maaf, bukan begitu maksudku, Ma." Suara Hanum terbata-bata. Pandangannya tertuju ke bawah, menatap sepasang kakinya yang gemetar. Wibawa Ismah memang membuat nyalinya ciut. Aura yang keluar dari tubuh dan suaranya penuh penekanan. Namun jika wanita tua itu akan merampas haknya, bukankah sudah seharusnya ia mempertahankan?Hanum masih tetap berdiri di depan lemari, melindungi lemari pakaian miliknya. Sementara kaki Ismah terus melangkah mendekat sehingga akhirnya tubuh mereka berdempetan."Apa yang ingin Mama lakukan?" Hanum berusaha menahan tubuh sekuatnya saat tangan wanita itu mendorong bahunya memaksanya untuk menjauh dari lemari."Sekali lagi Mama minta, serahkan uang itu! Kalau tidak, Mama akan memaksa mengambilnya. Kamu menyimpannya di dalam lemari ini, kan?""Ma, kalau Mama memaksa ingin mengambil uang itu, maka aku akan berteriak sekarang!" gertak Hanum."Oh, ya? Kalau begitu lakukan saja! Kamu pikir orang-orang di sekitar ini lebih percaya sama kam
Bab 6) Meminta Uang Saku"Aku tidak mengadu, Ma. Aku hanya meminta saran Mama Filza," ralat Hanum. "Tapi yang Mama dengar justru sebaliknya," pancing Ismah sembari terus memotong sayuran berupa kacang panjang dan labu kuning. "Dan Mama tidak suka itu. Ingat, jangan pernah kamu mengadukan apa yang terjadi di sini.""Aku tidak mengadu. Aku hanya meminta saran, supaya aku punya kegiatan di sini. Selama ini aku hanya membantu Mama di rumah dan tidak melakukan apapun selain itu....""Melakukan tugasmu di rumah saja kamu tidak becus, apalagi melakukan hal yang lain." Perempuan tua itu mencibir. "Kalau kamu memang merasa bosan di rumah ini, kamu bisa ikut ke sawah bersama Fahri. Dulu sewaktu masih muda seumuran kamu, Mama juga pergi ke sawah membantu Ayah Fahri.""Tapi seumur hidupku tidak pernah bekerja di sawah, Ma. Aku tidak yakin.""Itu hanya karena kamu tidak terbiasa," tekan Ismah. "Dengar ya, Hanum. Istri itu harus ikut pekerjaan suami. Semua wanita di kampung ini juga begitu. Kamu
Bab 7) Merasa Seperti Diteror"Maaf Ma," lirih Hanum."Kalau kamu memang benar-benar minta maaf sama Mama, ayo buktikan! Berikan uang yang diminta oleh Mama," desak Mila. Gadis itu mengacungkan lembaran uang berwarna biru itu ke atas."Benar kata Mila. Untuk apa kamu menyimpan uang yang seharusnya menjadi milik kami?" timpal Ismah.Wanita tua itu menghampiri Hanum, lalu mendorong tubuh itu. Hanum tak kalah gesit. Dia semgaja menangkap tangan Ismah, memegang kuat tangan itu, sehingga tubuhnya tetap tegak berdiri.Hanum menghela nafas. Berpuluh detik kemudian ia melepaskan pegangan tangannya pada Ismah. Tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Percuma saja melayani orang seperti mereka. Mereka sudah terlanjur menganggapnya sebagai istri yang serakah. Namun tidakkah lantas menyadari jikalau mereka sendiri yang serakah? Bukankah serakah namanya, jika menginginkan sesuatu yang sudah menjadi milik orang lain? Mereka menuntut hak-hak mereka sebagai ibu dan saudara di tunaikan, tapi ma
Bab 8) Memangnya Kamu Ini Siapa?"Tidak apa-apa, Kak." Hanum berusaha mengelak. Secepat kilat ia merubah ekspresi di wajahnya. Zainab, bahkan Ismah tidak boleh tahu apa yang tengah ia pikirkan.Hanum menerima sebungkus ikan sepat kering dari Zainab, lalu beranjak menuju kompor, menaruh wajan berisi minyak di atas kompor."Awas ya, Hanum. Ingat, goreng ikannya jangan seperti kemarin, harus kering," wanti-wanti Zainab.Hanum mengangguk. Tak ada suara apapun setelah itu kecuali hanya suara Zainab yang menyuruhnya ini dan itu. Sementara Ismah hanya duduk santai menyaksikan keduanya memasak.Masakan akhirnya siap satu jam kemudian. Hari kian beranjak siang. Sebenarnya masih ada waktu bagi Hanum untuk pergi ke kantor bank, tetapi ia tidak melakukan itu, lantaran tak ingin ketahuan mereka. Hanum memilih masuk ke dalam kamarnya setelah semuanya selesai.*****Sejauh mata memandang hanya hamparan berwarna hijau yang menenangkan mata. Ini adalah kawasan persawahan tempat mencari nafkah orang-or
Bab 9) Jangan Sampai Kalah"Kakak...." Suara Fahri kembali tertahan."Benar sekali kata Zainab, Fahri. Kamu ini bagaimana sih? Kamu itu jadi suami, jangan sampai kalah sama istri. Kenapa sekarang Hanum yang mengaturmu, bukan kamu yang mengatur Hanum?""Ma, kami tidak pernah saling mengatur...." "Kamu hanya tidak merasa, karena terlalu menyayangi istrimu. Sadarlah, Fahri. Sadar!" pekik Ismah benar-benar gemas dengan sikap putranya yang terlihat lemah dihadapan sang istri."Aku sadar dan mengerti apa yang kau ucapkan, Ma." Ucapan Fahri seketika terjeda saat sebilah jari telunjuk menempel di bibirnya. Sebelah tangan Hanum yang menggamit lengannya memberi kode untuk tidak melayani kedua perempuan itu.Keduanya berjalan beriringan menuju kamar, meskipun Ismah dan Zainab berteriak memanggilnya."Kenapa kamu ngomong seperti itu pada mereka, Sayang?" sesal Fahri. Mereka duduk berdua di sisi ranjang. Fahri menarik kain yang menutupi kepala istrinya membiarkan helaian hitam itu tergerai begitu
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny