Bab 2) Jatah Nafkah
Fahri seketika bungkam. Lelaki berusia 33 tahun itu terlihat salah tingkah. Sikap yang mengundang kecurigaan di hati Ismah."Mana uangnya, Fahri? Jangan kamu pikir Mama tidak tahu kalau kamu baru saja jual gabah. Tuh lihat, gudang di depan rumah sudah kosong. Isinya hanya tinggal beberapa karung!" Ismah tersenyum menyeringai, menatap Hanum yang terlihat merah padam.
Keduanya sesaat berpandangan. Fahri menggenggam tangan Hanum dan istrinya itu hanya mengangguk.
"Sebentar ya, Ma. Aku ke kamar dulu mengambil uangnya," ujar lelaki itu akhirnya berdiri, melenggang pergi dari dapur.
"Ya, Mama tunggu di ruang tamu," sahut Ismah sumringah. Dia membayangkan sebentar lagi akan memegang uang banyak, hasil penjualan gabah milik Fahri untuk tahun ini.
Setelah menaruh sisa makanan di lemari penyimpanan, perempuan tua itu menarik tangan Hanum demi mengikutinya ke ruang tamu. Namun Hanum melepaskan tangannya, saat ia sampai di depan pintu kamarnya.
"Aku ke kamar dulu, Ma," ujar Hanum.
Ismah melengos. Akan tetapi beberapa detik kemudian ia mengangguk tanpa suara, lalu meneruskan langkahnya.
Hanum masuk ke dalam kamar. Dia melihat Fahri tengah menghitung setumpuk uang.
Melihat kehadiran Hanum, Fahri melambaikan tangan, memberi isyarat untuk menutup pintu kamar.
"Sayang, aku akan memberikan uang 5 juta untuk Mama. Saat ini uang di Mama pasti habis, setelah menyelenggarakan acara haul Abah...."
"Aku tidak pernah menghalangimu untuk memberikan uang kepada Mama, karena selamanya anak lelaki adalah milik ibunya." Hanum mengusap lengan sang suami, seraya mengulas senyum termanis.
"Terima kasih atas perhatian dan kerelaanmu, Sayang." Sebuah kecupan lembut mendarat di kening Hanum.
Fahri mengambil 5 bundel uang. Setiap bundel berisi 20 lembar uang berwarna biru, kemudian bergegas keluar dari kamar. Sementara Hanum merapikan uang yang tersisa, memasukkannya ke dalam amplop besar berwarna coklat, lantas memasukkannya ke dalam lemari pakaiannya. Mungkin besok atau lusa dia akan membawa uang itu ke bank.
Setelah mengunci pintu lemari, Hanum pun keluar dari kamar, menyusul suaminya. Lamat-lamat ia mendengar percakapan sang suami dengan ibu mertuanya. Seketika itu pula darahnya tersirap.
"Hanya 5 juta? Kemana sisanya, Fahri? Bukankah hasil penjualan gabah tahun ini sebesar 17 juta? 12 jutanya lagi kamu kemanakan?" Ismah mengacungkan bundelan uang tersebut ke atas.
Fahri mendongak ke atas, menatap nanar lembaran uang yang diacungkan oleh ibunya. "Memang benar, hasil penjualan gabah tahun ini sebesar 17 juta, tetapi uang 12 juta itu untuk Hanum. Dia istriku dan berhak mendapatkan nafkah dariku."
"Hai.... Apakah Mama tidak salah dengar? 12 juta katamu? Itu bukan uang yang sedikit, Fahri? Hanum baru sebulan menjadi istrimu dan sekarang dia sudah kamu kasih uang 12 juta? Ini tidak adil untuk Mama, Fahri!" Ismah menurunkan tangannya, meletakkan bundelan uang yang barusan ia genggam ke meja sofa."
"Tidak adil bagaimana, Ma?"
"Fahri, Mama adalah orang tuamu satu-satunya yang bertanggung jawab untuk mengatur rumah ini. Sudah seharusnya semua uang penjualan hasil gabah itu untuk Mama dan Mama yang harus mengelolanya, bukan istrimu. Dia itu hanya numpang di rumah ini!" Ismah mencibir. Kenyataan ini membuat ia sungguh terpukul.
Ismah tak pernah menyangka, jika Fahri bisa berubah secepat itu. Baru sebulan ia menikah, tetapi putranya ini sudah berani mengurangi jatah tahunannya. Oh, ini tak boleh di biarkan. Jangan sampai ia kalah pengaruh dengan perempuan yang baru sebulan hidup bersama putranya.
"Jadi Mama menganggapku hanya numpang di rumah ini?" Suara Hanum bergetar. Perempuan muda itu berdiri membeku hanya berjarak sekitar lima langkah dari tempat sepasang ibu dan anak yang tengah berdebat.
"Sayang.... Ini tak seperti yang kamu dengarkan." Fahri seketika berdiri dan buru-buru menghampiri istrinya, mengajaknya duduk di sofa.
"Bagus, kalau kamu sadar. Dengar ya, Hanum. Selamanya menantu itu harus berbakti kepada mertua, karena mertua itu sama dengan orang tua kita sendiri. Dulu Mama juga begitu saat nenek Fahri masih hidup. Kamu berbakti kepada Mama, sama artinya kamu berbakti kepada kedua orang tuamu yang berada di kampung yang jauh di sana!" cerocos Ismah penuh penekanan.
"Tanpa harus Mama menjelaskan panjang lebar, aku juga tahu soal itu," sahut Hanum. Dia memberanikan diri menatap ibu mertuanya
"Kalau kamu sudah mengerti, sekarang buktikan baktimu kepadaku. Mana sisa uang itu? Serahkan kepada Mama." Ismah menadahkan tangan.
"Ma...." Suara Fahri kembali terdengar.
"Diam kamu, Fahri! Istrimu ini harus dinasehati lebih keras supaya dia tidak merasa punya kuasa di rumah ini. Mama tahu, pasti ini ulah Hanum, yang telah mempengaruhimu agar tidak memberikan seluruh uang penjualan gabah tahun ini kepada Mama!" Perempuan tua itu berteriak.
"Aku tidak pernah menghalangi kak Fahri memberikan uangnya kepada Mama, tetapi kalau Mama minta semua penghasilan kak Fahri, itu tidak adil untukku. Aku berhak atas nafkah darinya, karena dia adalah suamiku. Lagi pula....." Ucapan Hanum tertahan oleh suara Ismah yang kembali menggelegar.
"Soal jatah nafkah dari Fahri, Mama yang akan atur. Kamu jangan khawatirkan soal itu. Mama pun juga seorang wanita dan pernah menjadi seorang istri. Mama tahu, berapa nafkah yang pantas untukmu. Cepat, serahkan uang itu kepada Mama!" Perempuan tua itu kembali mendesak.
"Maaf, Ma, tetapi itu adalah hakku. Lagi pula aku memang tidak bermaksud untuk memakai uang itu, karena aku juga memiliki penghasilan sendiri," sahut Hanum hati-hati. Jangan sampai Ibu mertuanya berpikiran kalau ia bermaksud untuk menguasai uang hasil penjualan gabah tahun ini.
"Penghasilan sendiri? Kamu dapat uang dari mana? Bukankah kamu tidak kerja?" Ucapan Ismah bernada meremehkan.
"Ma, ketahuilah, sebelum menikah denganku, Hanum memiliki sebuah toko yang sampai sekarang dikelola oleh ayahnya. Jadi Hanum bukan anak orang miskin seperti yang Mama sangka sebelumnya." Fahri angkat bicara.
Spontan saja Ismah tertawa keras. Suara tertawanya bahkan terdengar menggelegar, memenuhi kisi-kisi ruang tamu.
"Mama tidak percaya. Masa iya Hanum memiliki toko? Dia menghayal kali? Bukankah kamu sendiri sudah membuktikan saat melihat Hanum pertama kali di rumahnya yang kecil itu, bagaimana penampilannya, bahkan acara pernikahan kalian pun digelar sangat sederhana? Ketahuan sekali, kan, jika keluarganya bukan orang kaya?" sembur Ismah.
Hanum buru-buru mengucapkan istighfar. "Orang tua ini, ya Allah...." Dia mengeluh dalam hati. Ibu mertuanya terlalu memandang seseorang hanya dari penampilannya saja.
Hanum mengakui, pertemuan pertama dan akad nikah dengan Fahri waktu itu memang sengaja di adakan di rumah tetangga, di sebelah rumahnya. Hanum bahkan melepas seluruh perhiasan yang biasa ia kenakan. Bukan karena ia ingin menyamar, berpura-pura miskin seperti cerita di novel-novel, tetapi untuk lebih mendidik hati keluarga calon suaminya agar dalam memandang seorang wanita yang akan dijadikan sebagai istri dan menantu, haruslah berdasarkan keimanannya bukan kekayaannya.
Ide tersebut berasal dari ayahnya dan di amini oleh keluarga besarnya. Saat akad nikah Hanum dan Fahri, seluruh keluarganya kompak mengenakan pakaian sederhana.
Hanum melempar pandangan ke arah sang suami. Pembicaraan mereka malam ini sudah melebar ke mana-mana. Ini sudah tidak benar. Hanum tidak menyangka ternyata Ismah masih saja mengungkit-ungkit soal acara akad nikah sederhana yang mereka selenggarakan sebulan yang lalu, padahal Ismah tahu, jika Hanum adalah anak tunggal.
Bukankah setiap orang tua akan berani menghabiskan dana sekian banyak untuk pesta pernikahan anak perempuan satu-satunya? Terkecuali jika orang tua tersebut tidak memiliki uang! Begitulah pikiran picik Ismah.
"Ma, tolong jangan berprasangka buruk kepadaku. Aku menerima uang dari Kak Fahri, karena aku adalah istrinya dan uang itu akan kami gunakan untuk hal-hal yang lebih penting. Anak Mama tidak cuma kak Fahri, tetapi ada Kak Faiz, Diana, Mila dan Kak Zainab. Mereka semua adalah orang berada, kecuali Mila yang masih sekolah. Sedangkan kami masih memerlukan dana yang besar untuk membangun rumah tangga kami. Aku berencana untuk menabungkan uang itu, Ma. Jadi uang itu tidak semata untuk keperluan pribadiku." Hanum kembali mengangkat wajahnya menatap sang ibu mertua dengan berani.
"Terus kalau bukan untuk keperluan pribadimu, lalu untuk apa?"
"Kami sedang menabung untuk membangun rumah," jawab Fahri tegas.
"Apa? Membangun rumah?" Ismah kembali berteriak.
Bab 3) Surga Untuk Anak-anakkuHanum mengangguk, tak bisa menyembunyikan rasa heran. Hanya karena ucapan Fahri barusan, Ismah terlihat layaknya orang kebakaran jenggot. Apa salahnya jika sepasang suami istri baru berniat untuk membangun rumah dan hidup mandiri? Bukankah sudah seharusnya begitu?Hanum memandang suaminya, tapi sang suami hanya mengulurkan tangan, menggenggam tangannya erat."Untuk apa kalian membangun rumah? Rumah ini cukup besar dan penghuninya hanya ada Mama dan Mila selain kalian." Perempuan itu terlihat shock. Tak pernah terpikir di benaknya jika Fahri, putra kesayangannya ini akan tinggal terpisah darinya."Tidak apa-apa, Ma. Bukankah sudah seharusnya setiap orang yang berumah tangga itu harus mempunyai rumah sendiri?" ujar Hanum hati-hati."Benar, Ma," timpal Fahri."Fahri, kamu mau meninggalkan Mama ya?" bentak Ismah."Meninggalkan Mama?" Hanum tergagap. Mereka tidak pernah membahas soal itu. Mereka hanya berencana akan membangun rumah di atas sebidang tanah yang
Bab 4) Sarapan Pagi"Lihat nih, menantu kesayangan Mama! Sudah bangun terlambat, ujung-ujungnya aku juga yang harus mencuci semua peralatan kotor di dapur. Dasar pemalas!" cerca Mila."Apakah benar yang dikatakan oleh Mila itu, Hanum?" Ismah menatap tajam perempuan itu."Maaf, Ma. Aku bangun agak terlambat, jadi....""Jadi kamu membiarkan Mila mencuci semua perabotan kotor di dapur ini, begitu? Sudah numpang, pemalas pula!" Tangan Ismah melayang, mencubit keras lengan Hanum."Menyesal aku mengabulkan permintaan Fahri untuk memperistrimu. Rugi aku sudah mengeluarkan mahar yang mahal untukmu kalau ternyata kamu sama sekali tidak bisa diandalkan. Andaikan tahu begini, lebih baik aku memaksa Fahri untuk menerima tawaran haji Alwi untuk di jodohkan dengan keponakannya, putri haji Faisal yang bos batubara itu!" Wanita tua itu menghentakkan kakinya ke lantai."Benar-benar sial punya menantu seperti kamu. Sudah miskin, plus tidak bisa memasak. Haduuh....""Sekarang panaskan semua lauk yang ad
Bab 5) Mempertahankan Hak"Maaf, bukan begitu maksudku, Ma." Suara Hanum terbata-bata. Pandangannya tertuju ke bawah, menatap sepasang kakinya yang gemetar. Wibawa Ismah memang membuat nyalinya ciut. Aura yang keluar dari tubuh dan suaranya penuh penekanan. Namun jika wanita tua itu akan merampas haknya, bukankah sudah seharusnya ia mempertahankan?Hanum masih tetap berdiri di depan lemari, melindungi lemari pakaian miliknya. Sementara kaki Ismah terus melangkah mendekat sehingga akhirnya tubuh mereka berdempetan."Apa yang ingin Mama lakukan?" Hanum berusaha menahan tubuh sekuatnya saat tangan wanita itu mendorong bahunya memaksanya untuk menjauh dari lemari."Sekali lagi Mama minta, serahkan uang itu! Kalau tidak, Mama akan memaksa mengambilnya. Kamu menyimpannya di dalam lemari ini, kan?""Ma, kalau Mama memaksa ingin mengambil uang itu, maka aku akan berteriak sekarang!" gertak Hanum."Oh, ya? Kalau begitu lakukan saja! Kamu pikir orang-orang di sekitar ini lebih percaya sama kam
Bab 6) Meminta Uang Saku"Aku tidak mengadu, Ma. Aku hanya meminta saran Mama Filza," ralat Hanum. "Tapi yang Mama dengar justru sebaliknya," pancing Ismah sembari terus memotong sayuran berupa kacang panjang dan labu kuning. "Dan Mama tidak suka itu. Ingat, jangan pernah kamu mengadukan apa yang terjadi di sini.""Aku tidak mengadu. Aku hanya meminta saran, supaya aku punya kegiatan di sini. Selama ini aku hanya membantu Mama di rumah dan tidak melakukan apapun selain itu....""Melakukan tugasmu di rumah saja kamu tidak becus, apalagi melakukan hal yang lain." Perempuan tua itu mencibir. "Kalau kamu memang merasa bosan di rumah ini, kamu bisa ikut ke sawah bersama Fahri. Dulu sewaktu masih muda seumuran kamu, Mama juga pergi ke sawah membantu Ayah Fahri.""Tapi seumur hidupku tidak pernah bekerja di sawah, Ma. Aku tidak yakin.""Itu hanya karena kamu tidak terbiasa," tekan Ismah. "Dengar ya, Hanum. Istri itu harus ikut pekerjaan suami. Semua wanita di kampung ini juga begitu. Kamu
Bab 7) Merasa Seperti Diteror"Maaf Ma," lirih Hanum."Kalau kamu memang benar-benar minta maaf sama Mama, ayo buktikan! Berikan uang yang diminta oleh Mama," desak Mila. Gadis itu mengacungkan lembaran uang berwarna biru itu ke atas."Benar kata Mila. Untuk apa kamu menyimpan uang yang seharusnya menjadi milik kami?" timpal Ismah.Wanita tua itu menghampiri Hanum, lalu mendorong tubuh itu. Hanum tak kalah gesit. Dia semgaja menangkap tangan Ismah, memegang kuat tangan itu, sehingga tubuhnya tetap tegak berdiri.Hanum menghela nafas. Berpuluh detik kemudian ia melepaskan pegangan tangannya pada Ismah. Tak ada sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Percuma saja melayani orang seperti mereka. Mereka sudah terlanjur menganggapnya sebagai istri yang serakah. Namun tidakkah lantas menyadari jikalau mereka sendiri yang serakah? Bukankah serakah namanya, jika menginginkan sesuatu yang sudah menjadi milik orang lain? Mereka menuntut hak-hak mereka sebagai ibu dan saudara di tunaikan, tapi ma
Bab 8) Memangnya Kamu Ini Siapa?"Tidak apa-apa, Kak." Hanum berusaha mengelak. Secepat kilat ia merubah ekspresi di wajahnya. Zainab, bahkan Ismah tidak boleh tahu apa yang tengah ia pikirkan.Hanum menerima sebungkus ikan sepat kering dari Zainab, lalu beranjak menuju kompor, menaruh wajan berisi minyak di atas kompor."Awas ya, Hanum. Ingat, goreng ikannya jangan seperti kemarin, harus kering," wanti-wanti Zainab.Hanum mengangguk. Tak ada suara apapun setelah itu kecuali hanya suara Zainab yang menyuruhnya ini dan itu. Sementara Ismah hanya duduk santai menyaksikan keduanya memasak.Masakan akhirnya siap satu jam kemudian. Hari kian beranjak siang. Sebenarnya masih ada waktu bagi Hanum untuk pergi ke kantor bank, tetapi ia tidak melakukan itu, lantaran tak ingin ketahuan mereka. Hanum memilih masuk ke dalam kamarnya setelah semuanya selesai.*****Sejauh mata memandang hanya hamparan berwarna hijau yang menenangkan mata. Ini adalah kawasan persawahan tempat mencari nafkah orang-or
Bab 9) Jangan Sampai Kalah"Kakak...." Suara Fahri kembali tertahan."Benar sekali kata Zainab, Fahri. Kamu ini bagaimana sih? Kamu itu jadi suami, jangan sampai kalah sama istri. Kenapa sekarang Hanum yang mengaturmu, bukan kamu yang mengatur Hanum?""Ma, kami tidak pernah saling mengatur...." "Kamu hanya tidak merasa, karena terlalu menyayangi istrimu. Sadarlah, Fahri. Sadar!" pekik Ismah benar-benar gemas dengan sikap putranya yang terlihat lemah dihadapan sang istri."Aku sadar dan mengerti apa yang kau ucapkan, Ma." Ucapan Fahri seketika terjeda saat sebilah jari telunjuk menempel di bibirnya. Sebelah tangan Hanum yang menggamit lengannya memberi kode untuk tidak melayani kedua perempuan itu.Keduanya berjalan beriringan menuju kamar, meskipun Ismah dan Zainab berteriak memanggilnya."Kenapa kamu ngomong seperti itu pada mereka, Sayang?" sesal Fahri. Mereka duduk berdua di sisi ranjang. Fahri menarik kain yang menutupi kepala istrinya membiarkan helaian hitam itu tergerai begitu
Bab 10) Cobaan KecilMendengar itu, Hanum seketika memundurkan tubuhnya. Wajahnya pucat pias.Ilmu pengasihan?"Apakah Mila sadar apa yang dia ucapkan?" gumam Hanum. Meskipun hanya sedikit yang keluarga suaminya ketahui tentang dirinya, tetapi mereka jelas tahu bahwa Hanum tumbuh dan dibesarkan di lingkungan pesantren serta tidak mungkin memiliki ilmu pengasihan. Apakah sedemikian tidak menarik dirinya, sehingga adik iparnya sendiri mengucapkan kata-kata itu? Apakah menurutnya rupa yang cantik merupakan satu-satunya faktor yang membuat seorang lelaki tertarik kepada seorang wanita kemudian menjadikannya istri?Hanum memegangi dadanya yang terasa sesak. Kini ia baru mengetahui cara berpikir adik iparnya. Pantas saja gadis itu begitu pandai memoles wajahnya. Bahkan Ismah pun tak segan memberikan uang kepada gadis itu untuk membeli aneka kosmetik agar tetap terlihat cantik, walaupun menurut Hanum itu terasa berlebihan. Make up seorang gadis berumur 17 tahun tentunya tidak sama dengan ma
Bab 225) Pencapaian Tertinggi4 tahun kemudian....Mila menatap pantulan dirinya di cermin. Kebaya bermodel simpel berwarna putih dengan bawahan yang terdiri dari kain batik yang dililit. Sebenarnya ini agak merepotkan lantaran tak terbiasa, tapi ia harus memakainya karena hari ini adalah momen bahagianya.Wanita muda itu tersenyum, lalu meraih toga yang berada di meja rias dan memasangnya ke kepala. Toga ini layaknya sebuah mahkota yang memiliki nilai prestisius. Seumur-umur dia tidak pernah membayangkan akan bisa meletakkan toga ini di kepalanya.Jika bukan karena support dari suaminya dan peristiwa di rumah sakit 4 tahun yang silam, mungkin dia masih akan tetap menjadi Mila yang dulu, tak berubah sampai akhir hayatnya, menjadi seorang ibu rumah tangga yang hanya bisa memasak dan melayani suami di atas ranjang. Urusannya hanya berputar pada sumur, kasur dan dapur seperti apa yang sudah diajarkan oleh mendiang ibu dan kakaknya.Mila menggigit bibirnya. Bertahun-tahun ia menikah denga
Bab 224) Maafkan Aku, Mbak!Kondisi Zainab kian lama semakin mengkhawatirkan. Kalau dulu wanita itu masih bisa mengayuh kursi rodanya sendiri, sekarang dia hanya mampu terbaring di tempat tidur. Tubuhnya kurus kering, hanya tinggal kulit pembalut tulang. Sudah berulang kali Fahri dan Faiz membujuk untuk membawanya ke rumah sakit, tetapi Zainab selalu menolak. Gairah hidupnya sudah mati. Kekecewaan yang begitu dalam pada hidupnya, terakhir dengan suami barunya yang ternyata mengkhianatinya dengan menikah lagi dengan perempuan lain membuatnya sangat terpukul. "Kak." Suara Hanum perlahan menyapa. Dia meletakkan dua box berisi kue-kue yang ia bawa ke meja dekat pembaringan. Aroma kurang sedap menguar di kamar itu, tercium oleh indera penciumannya, tapi sekuat mungkin Hanum berusaha untuk menahan agar perutnya tidak mual. "Ini ada kue-kue untuk Kakak. Barusan kami menyelenggarakan acara syukuran 4 bulan kehamilanku. Semoga kakak suka ya," ujarnya."Kakak ini ada-ada saja. Masa iya bikin
Bab 223) Kabar GembiraZainab benar-benar lelah. Tak ada gunanya ia hidup di dunia ini, jika tubuhnya tak berdaya. Andai bunuh diri bukanlah dosa ingin rasanya ia minta disuntik mati saja agar penderitaannya segera berakhir. Tak pernah terbayangkan dibenaknya, hidup bergantung dari belas kasihan adik dan para iparnya. Sungguh tak pernah terbayangkan!Dulu dia merasa memiliki segala macam kelebihan. Kepandaian mengurus rumah tangga, melayani suami dan anak, juga ikut bekerja di sawah. Tenaganya kuat. Itulah yang selalu ia banggakan, terutama di hadapan Hanum yang ia anggap tak memiliki kelebihan apapun saat pertama kali wanita itu masuk ke dalam keluarganya sebagai istri Fahri.Dia selalu membandingkan dirinya dengan Hanum. Hanum tidak pandai memasak, sedangkan dia merupakan ahlinya. Tenaga Hanum sangat lemah, bahkan dulu saat Hanum masih tinggal rumah ibunya pun seringkali harus dibantu oleh Fahri dalam mengurus rumah. Namun tenaga Zainab sangat kuat. Dia bisa mengurus seisi rumah se
Bab 222) Melepas PopokTak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulut lelaki itu. Dia langsung memeluk istrinya, mendekapnya erat sekali seraya mengusap-usap perut Hanum yang masih rata. Hanya ada rasa bangga dan bahagia, karena masih diberi kesempatan untuk memiliki keturunan lagi. Memberikan putranya seorang adik adalah salah satu mimpinya, meski ia tetap menyerahkan sepenuhnya kepada kesiapan tubuh sang istri untuk hamil kembali.Keduanya berpelukan cukup lama, sebelum akhirnya Hanum merenggangkan pelukan suaminya, lantas mengusap wajahnya yang basah."Kamu menangis?" Fahri tersentak menyadari wajah istrinya yang basah. "Apakah ini bukan kehendakmu? Apakah ini karena kita kebobolan?"Hanum menggeleng. "Tidak. Aku sudah lepas KB 4 bulan yang lalu.""Syukurlah." Fahri menghela nafas lega. "Berarti kehamilan ini memang kamu kehendaki, kan?"Tangannya kembali terulur mengusap wajah basah itu. Dia menangkupkan tangan di pipi istrinya. "Jangan menangis, Sayang.""Aku hanya terharu meli
Bab 221) Hadiah "Aku terlebih lagi merindukanmu." Wanita itu memutar tubuhnya sehingga posisi mereka kini berhadapan. Hanum membalas pelukan sang suami, membenamkan wajahnya di dada bidang lelakinya. "Dua minggu rasanya seperti bertahun-tahun. Aku nggak ada bakat ldr-an." "Maaf, Sayang. Itu sudah menjadi resiko dari pekerjaanku, lebih tepatnya amanah yang diberikan oleh Kak Iskandar." "Aku tahu itu dan aku akan selalu mendukung." "Kita berhutang budi padanya dan aku tidak mau mengecewakannya." Fahri menghela nafas. Dengan sekali gerakan, lelaki itu membopong tubuh istrinya menuju tempat tidur. Dia membaringkan istrinya dengan hati-hati, lalu melepas mukena yang masih melekat di tubuh Hanum, melemparkannya kembali ke atas sajadah yang masih terhampar di lantai. "Aku mengerti...." Hanum tak sempat melanjutkan ucapannya lantaran mulutnya sudah dibungkam oleh lelaki itu dengan ciuman yang terasa semakin menuntut. Ada denyar kerinduan yang membuat tubuh Hanum serasa disengat aliran l
Bab 220) Penyesalan ZainabZainab hanya sanggup menatap kepergian adik iparnya yang melesat cepat setelah memenuhi semua keperluannya. Sebenarnya bukan ini yang Zainab inginkan. Zainab pengen sekali ditemani, dimengerti, meskipun dia tak mungkin menceritakan semua yang sudah terjadi pada hidupnya kepada siapapun, apalagi kepada ipar-ipar yang dulu pernah dimusuhinya. Mereka pasti akan tertawa dan menyorakinya penuh dengan ejekan.Dia merasa malu, sangat malu. Pernikahannya yang hanya seumur jagung, harus berakhir menyakitkan. Dia hancur sehancur-hancurnya. Tidak ada lagi yang bisa ia banggakan kini. Semua sudah lenyap. Harta, kemampuan fisik dan semuanya. Hanya menyisakan dirinya yang terpaksa setia duduk di kursi roda. Bahkan untuk menjalankan aktivitas sehari-hari pun tidak bisa. Sehari-hari dia hanya mengharap belas kasihan adik dan para iparnya untuk mengurus semua keperluannya.Sepasang matanya mengembun. Antara sedih, kecewa, terpuruk dan kesepian bercampur baur dalam dirinya.
Bab 219) Jatuh Tertimpa Tangga"Bi Nab tuh!" seru Adzkar dengan bahasa bocah."Bibi Zainab terjatuh?!" pekik Hanum kaget. Kepala mungil itu mengangguk.Hanum buru-buru mengucap istighfar kemudian bangkit dari tempat duduknya. Sembari menggendong Adzkar, ia segera berlari kecil menuju rumah sebelah.Sudah lebih dari 3 bulan Zainab menderita stroke. Sehari-hari hanya menghabiskan waktunya di atas kursi roda. Dia tidak bisa melakukan apapun. Separuh tubuhnya dari tengah sampai ke bawah mati rasa. Hanum, Mila dan Husnalah yang akhirnya merawat wanita itu. Untuk meringankan pekerjaannya, terpaksa Hanum membawa serta bibi Diah untuk tinggal di rumah ini. Dia tidak mungkin menghandle semuanya sendirian. Mengurus rumah, mengasuh Adzkar, merawat Zainab, sekaligus mengerjakan pekerjaannya di Najmi Store. Bahkan kini, pekerjaan Hanum bertambah, yaitu menjadi konten kreator di sebuah aplikasi. Bermula dari keisengannya mengunggah video-video Adzkar yang tengah belajar menghafal Al-Qur'an. Tern
Bab 218) Peringatan Terakhir Merasa tak ada lagi respon dari istrinya, Fahri memilih melangkah menuju kamar mandi. Dia melepas seluruh pakaiannya, melemparkannya ke keranjang cucian, lalu mengguyur tubuhnya yang lengket akibat keringat. Sembari mengguyur tubuhnya, bayangan raut wajah istrinya yang datar menari-nari di benak Fahri. Dia tahu, sulit bagi Hanum untuk mempercayainya lagi setelah selama bertahun-tahun, janji hanya tinggal janji. Namun dia tak bisa menampik, kenyataan bahwa dia memang tidak bisa terlalu tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, karena waktu itu masih ada ibunya. Surga di bawah telapak kaki ibu. Ajaran yang melekat kuat di alam bawah sadarnya, membuatnya tunduk dengan mutlak. Sejauh yang bisa ia lakukan hanya sekedar mencari jalan tengah, meski pada akhirnya Hanum juga yang harus mengalah dan berkorban. Kini sudah saatnya ia bertindak. Ibunya sudah meninggal dunia. Apalagi yang mesti ia perhatikan? Darah memang lebih kental daripada air, tetapi jika air l
Bab 217) Kita Lihat Saja NantiMila menatap nanar saat mobil yang membawa kakak madunya pergi dari rumah ini. Sampai di titik akhir, Mila tetap menolak. Dia takkan pernah sudi menerima tawaran Herlita untuk menjadi asisten pribadinya. Bekerja merupakan hal yang berat bagi Mila dan itu bukan tujuan hidupnya. Selamanya dia bercita-cita untuk menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya, sementara urusan pekerjaan dan nafkah itu urusan laki-laki, urusan suami. Sudah cukup ia menyaksikan mendiang ibunya harus pontang panting kerja di sawah sambil mengurus rumah, suami, anak-anak, bahkan mertua.Bekerja itu sama sekali tidak menyenangkan bagi Mila. Dia menyaksikan sendiri bagaimana lelahnya ibunya saat pulang dari sawah. Setelah pulang dari sawah pun tetap tidak bisa beristirahat, karena harus mengurus rumah, anak-anak dan mertua.Dia tidak mau nasib buruk ibunya menimpa dirinya pula. Dia harus mencari suami orang kaya, agar hidupnya terjamin. Dan sekarang keinginan itu tercapai, walaupun keny