Tanpa ragu Zaara meloncat dari jembatan itu tetapi seseorang menahannya, berusaha menyelamatkannya.
Hap!
Sepasang tangan kekar menahannya.
“Jangan! Aku ingin mati saja,” pekik Zaara dalam isak yang begitu keras. Namun kerasnya suara isak tangis tentu tak terdengar karena hujan begitu lebat. Air matanya meruah, mengaliri pipinya menyatu dengan tetesan hujan.
Lelaki itu tidak berbicara satu patah kata pun. Dia menarik Zaara ke atas. Karena kedinginan Zaara Nadira pingsan. Lelaki tua itu membawanya ke rumah. Di sana lah awal mula kehidupan Zaara pasca mengalami kebutaan.
****Setahun kemudian *****
“Di mana Ibu?” tanya Zaara dengan menyunggingkan senyum hangatnya yang sempat terkubur lama.
“Ibu sedang memasak bubur,” jawab lelaki tua bersurai keperak-perakan. Dia meraih gagang cangkir untuk meneguk teh tawar yang baru dibuat sang istri.
“Bapak, aku sudah tahu, aku bisa menghirup aroma bubur dari sini. Aku bisa menajamkan indera penciuman dan pendengaranku sekarang,” sahut Zaara penuh semangat. Matanya yang kecil dengan warna irish coklat muda dihiasi bulu mata yang panjang dan lentik kini berbinar tak seperti sebelumnya tampak meredup.
“Alhamdulillah, bagus Nak! Bapak salut padamu. Ayo kita sarapan bubur bikinan Ibu,” ajaknya pada Zaara, berusaha memapahnya ke ruang makan yang menyatu dengan dapur tetapi Zaara menolak dengan halus.
“Ke dapur, aku hanya butuh lima belas langkah, sebelumnya lurus tujuh langkah dan belok ke kanan delapan langkah. Ada bufet jadi aku harus berhati-hati saat di langkah ke lima belas,” jelas Zaara dengan detail.
Mendengar hal itu, Hamid, lelaki tua yang setahun lalu menolong Zaara terharu. Gadis itu hanya butuh sosok yang merangkulnya saat dia terpuruk. Terbukti dia bisa move on, melanjutkan hidupnya dengan penuh syukur.
“Bapak menangis?” tanya Zaara. Semenjak kehilangan indera penglihatannya, indera pendengarannya menjadi begitu sensitif. Dia bisa mendengar suara sekecil apapun.
Hamid menyeka air matanya dan berjalan lebih dulu mengajak Zaara sarapan. Dia menangis karena terharu melihat perubahan sikap Zaara saat ini. Zaara terlihat ikhlas menerima kondisinya sekarang.
“Ayo sarapan!” ajaknya dengan suara yang sedikit bergetar.
Mereka pun tampak seperti sebuah keluarga kecil yang lengkap, menikmati sarapan sederhana dan ala kadarnya.
“Enak sekali, Bu!” puji Zaara mengelap ujung bibirnya dengan sehelai tisu.
“Alhamdulillah,” ucap Fatimah, wanita yang dipanggil ibu tersenyum. Seorang ibu akan merasa sangat bahagia jika hasil jerih payah masakannya dihargai dengan cara dimakan hingga habis.
“Bapak, mau berangkat dulu Bu. Ajak Zaara ke pasar Bu biar tahu,” kata Hamid beringsut dari duduknya.
“Pak, mau kemana? Bukankah seharusnya Bapak libur sekarang?” sergah Fatimah.
“Betul sekali, memang jadwal libur tapi tidak ada yang merawat tanaman mawar, jadi untuk sementara Bapak yang handle sebelum menemukan pekerja yang baru,” Hamid menengok arlojinya dan berangkat setelah mengecup kening sang istri dan menepuk pundak Zaara.
“Pak, aku bisa merawat tanaman termasuk bunga. Dulu saat Mama masih ada kami seringkali berkebun di halaman sebelum melukis,” ucap Zaara mengenang sang ibu. “Aku ingin bekerja dan menghasilkan uang agar bisa mandiri,”
“Gak usah Zaara. Memberi makan satu orang saja tidak akan membuat Bapak miskin. Papamu pernah memberi lebih Nak!”
Hamid mengingat kebaikan Aksara. Dia memang tidak terlalu kenal dekat dengannya, hanya saja dia lelaki baik hati yang suka menolong orang yang kesulitan. Saat masih lajang Hamid bertemu dengannya sebab dia salah satu OB di perusahaan ayahnya Aksara, Salim Hantoro. Saat terdesak hutang, hanya Aksara yang menolongnya saat itu.
‘Ah, Bapak. Aku mulai bosan di rumah. Aku ingin kembali melukis dan ingin beli alat lukis,’ kata Zaara dalam hati. Kini dia sudah terbiasa dengan kegelapan. Namun intuisi hatinya tetap memintanya untuk tetap melukis. Melukis adalah jiwa baginya, separuh kehidupannya. Dia tak bisa hidup tanpa kanvas dan kuas.
Siang itu untuk pertama kalinya Zaara bersedia pergi keluar rumah yang lokasinya cukup jauh yaitu ke pasar. Biasanya dia hanya bepergian jarak dekat ke kebun bunga dekat TPU, bermain bersama anak yatim piatu yang tinggal di pesantren dan masjid tempat dia menenangkan diri.
“Capek tidak?” tanya Fatimah menggandeng lengan Zaara dan memayunginya agar tidak kepanasan.
“Enggak kok Bu, tenang saja,”
Zaara terkekeh dan semakin menarik lengan Fatimah. Dia tak pernah pergi ke pasar tradisional sebelumnya.
Maklumlah dia anak mama dan papa yang begitu dimanjakan. Seketika dia merasa kehadiran Khansa, sang ibu membersamainya dengan tersenyum hangat sehangat sinar mentari saat musim semi.
Mereka pun belanja berbagai bahan keperluan dapur seperti daging dan sayuran. Beberapa pedagang mencuri pandang pada Zaara dan penasaran dengan sosok gadis buta yang cantik.
“Bu, siapa Neng geulis ini?” goda penjual sayuran.
“Putriku, namanya Zaara Nadira,” jawab Fatimah, sengaja menyebutnya anak sebab tak ingin seorang pun merendahkan dirinya apalagi sampai mengganggunya.
Zaara memegang tangan Fatimah erat, merasa tak nyaman dan ingin segera beranjak dari sana. Terbiasa di rumah membuatnya merasa tidak nyaman saat berpergian ke tempat yang ramai. Dia sedikit gelisah.
“Kita pulang sekarang, Nak,” bisiknya pada Zaara yang diikuti anggukan.
Sore menjelang.
Setelah membantu membereskan bahan makanan, Zaara akan bersiap-siap ikut kajian di masjid Al-Anshor yang berlokasi satu kilo meter dari rumah itu. Dia berangkat bersama teman-teman seumurannya. Hamid mengajak Zaara mengikuti kajian di sana agar hatinya tenang sebab bisa mendengar nasehat-nasehat yang menyejukan batinnya. Perlahan dia mulai sembuh dari depresi yang dialaminya.
Usai mengaji bersama teman sebayanya yang merupakan yatim piatu, Zaara menyempatkan dirinya pergi ke jembatan merah sekedar ingin mengingat moment di mana dia ingin mengakhiri hidupnya.
Kini, dia sudah mulai melanjutkan hidupnya dan ingin kembali melukis. Setelah mendengar kabar tentang Esref Armagan, pelukis buta dari Turki dia pun kembali bersemangat untuk melukis.
Tak seperti Zaara, kondisi Esref Armagan buta sejak lahir tetapi dia mampu melukis. Hal tersebut membuat Zaara terpacu kembali. Zaara pernah melihat warna dan dia akan berusaha menajamkan perasaannya untuk membayangkan melukis dengan cara yang berbeda. Dia akan mencoba melukis dengan aliran abstraksionisme.
Zaara berjalan pelan-pelan menuju jembatan itu. Entahlah, dia ingin sekali mengunjungi tempat itu saat itu juga. Padahal sudah menjelang isya. Namun karena terbiasa dengan kegelapan dia menjadi tidak takut apapun saat malam menjelang. Malam dan siang sama saja baginya.
“Aaa … sakit!” pekik seorang pemuda yang tersungkur dan hampir jatuh tercebur ke dalam sungai yang meluap-luap di bawah jembatan merah. Sebelah tangannya meraih gagang besi jembatan dan sebelah tangan yang lainnya memegangi perutnya yang bersimbah darah segar.
Zaara berusaha menajamkan indera pendengarannya. Dia mendengar suara seorang lelaki yang tengah meringis kesakitan. Dia seperti membutuhkan pertolongan.
“Siapa disitu?” tanya Zaara sembari meraba-raba lalu memancangkan tongkat yang selalu setia menemaninya.
Dengan berjalan sedikit tersaruk-saruk Zaara mencari sumber suara seorang lelaki yang tengah meringis kesakitan. “Aa … tolong!” serunya lagi. Dia merintih kesakitan. Saking kesakitan dan mengeluarkan banyak darah dia mengalami pusing luar biasa sehingga membuat netranya kabur, tak bisa melihat jelas penampakkan Zaara yang berjalan ke arahnya. Dengan nafas yang tersengal-sengal dia memilih menunduk untuk menghindari banyak pergerakan. Sepertinya ujung pisau itu masih menancap di bagian entah mana perutnya. Atau mungkin pisau itu kotor saat melukai perutnya hingga menyebabkannya infeksi dan pendarahan. Zaara menurunkan bobot tubuhnya, setengah berjongkok sebab merasa ada orang yang terluka dan membutuhkan pertolongannya di bawah, di jalan yang dia lewati. Tepat ujung kakinya yang tertutup pump shoes menyentuh kakinya yang setengah ditekuk. “Apa kamu terluka?” tanya Zaara dengan suara yang terpantul merdu. Merdu yang tak dibuat-buat sebab suaranya terlahir begitu. Lelaki itu terseny
Perlahan secercah cahaya tampak berpendar melalui retina matanya. Entah mengapa hanya sekedar membuka mata dia seolah mengeluarkan energi besar. Alasannya karena pengaruh obat bius seusai operasi. Lampu LED dengan intensitas rendah masih saja tampak menyilaukan sehingga membuat matanya kembali ingin tenggelam sebelum suara dengungan dari wanita yang duduk di sampingnya terdengar. Lelaki itu berpura-pura tidur kembali, tak sudi mendengar ceramah ibunya saat itu. Apalagi dalam kondisi tubuhnya yang remuk redam dan perut terasa dililit ular piton. “Bangun! Pura-pura tidur!” cibir sang ibu bahkan tanpa menatap lawan bicaranya. Dia seolah memiliki indera keenam untuk mengetahui gelagat anaknya yang menyebalkan. Dia tengah melakukan video call dengan teman sosialitanya. “Di mana gadis itu Mom?”Lelaki itu berusaha bangun dan duduk dengan kasar. “Haikal, diam dulu! Jangan banyak gerak, kamu baru habis dioperasi.”Ibunya berkomentar dan langsung membantunya kembali tidur.“Mom, mana gadis
Zaara pasrah tidak bisa membesuk pemuda yang ditolongnya. Hanya mendengar kabar baik bahwa keluarganya sudah datang setidaknya membuat Zaara merasa lega. Apalagi mendengar pemuda itu sudah ditangani dan operasinya berjalan lancar. Dia sudah tidak memiliki urusan ataupun kepentingan dengan pemuda itu.Namun tatkala kaki jenjangnya mengayun di langkah ke empat, Zaara teringat sesuatu. Dia sudah kadung membawa sebuket bunga untuk pemuda tersebut. Oleh karena itu, Zaara memutuskan kembali menyambangi resepsionis tadi untuk menitipkan bunga tersebut sebagai penyemangat.“Ada apa lagi Mbak?” tanya resepsionis lelaki dengan ketus.“Ah, aku lupa, aku hanya ingin memberinya bunga. Bisakah Mbak eh Mas memberikan ini!”Zaara menyodorkan sebuket bunga mawar putih yang masih segar. Aromanya bisa terhidu langsung, segar dan membuat semangat yang melihatnya.“Baiklah, ada lagi? Um, ada lagi yang mau disampaikan?”“Enggak cukup, Mas. Oh, ya, sampaikan saja, semoga cepat sembuh,”Lagi, Zaara tidak men
Sementara itu Zaara marah dan merutuki dirinya sendiri saat dia mengingat pemuda yang dia tolong. Dia begitu mengkhawatirkannya tetapi pemuda tersebut malah menghina fisiknya yang difabel. Dia merasa harga dirinya jatuh sejatuhnya sebab diinjak-injak oleh lelaki tersebut.“Lelaki sialan! Pemuda brengsek! Aku kira pemuda jalanan yang berambut gondrong hatinya baik. Um, cuma penampilannya saja yang urakan. Ternyata sama saja!Semua lelaki yang mengaku punya banyak uang mau dia berpenampilan gaul atau rapi metroseksual kayak si Ray sama saja! Lelaki brengsek!”Zaara tak henti-hentinya merutuk. Lalu dia duduk di sebuah bangku kosong dekat gerobak bakso untuk istirahat.“Neng mau makan bakso?” tanya tukang bakso yang memang sudah mengenal Zaara sejak kedatangannya ke rumah Hamid dan Fatimah. Zaara dikenalkan oleh mereka sebagai anak angkatnya pada semua orang.“Iya, Mang! Bakso dengan level terpedas,” jawab Zaara dengan sedikit ketus. Dia memijit pangkal hidungnya berkali-kali. Lalu merang
Di sebuah mansion mewah berkonsep klasik-kontemporer, para pelayan cantik yang mengenakan seragam khusus menyambut kedatangan majikan mereka. Seorang butler langsung menyambut Elia Mariyam dan membawakan barang bawaannya sedangkan pelayan yang lain langsung meraih jaket wol yang dikenakan olehnya dan langsung menaruhnya dengan menggantungnya pada gantungan besi etnik.Pelayan yang lain juga segera menyambut kedatangan tuan majikannya yang tak lain Haikal sang putra semata wayang yang berjalan di belakang sang ibu. Beberapa pelayan muda seringkali berlomba agar bisa bertemu, bercengkerama dan melayani tuan muda mereka yang terlihat sangat tampan berwajah khas timur tengah. Namun Haikal tidak suka diperlakuan semacam itu.Apalagi rambut Haikal yang gondrong sedikit ikal tampak menampakkan sisi maskulin seorang lelaki macho, membuat para gadis menjerit melihatnya. Padahal Haikal tak pernah berniat menggoda para hawa dengan penampilannya yang paripurna, terkesan cowok badboy dengan setela
Haikal terlihat menarik nafas dalam.“Ya …” ucap Haikal singkat.Elia dan Edi saling menoleh kaget melihat respon Haikal. Tak percaya, Elia masih merekam memori beberapa tahun silam saat Haikal ditawari mengurus perusahaan tetapi Haikal memilih meninggalkan rumah dan berbuat sesuka hati.Haikal lantas meninggalkan meja makan tanpa suara. Dia langsung keluar mansion dan menyisir kendaraan miliknya, sebuah motor ninja yang sudah dimodifikasi. Dia pergi mengunjungi kekasihnya yang sedang marah saat ini.Di depan sebuah kantor agency model, Haikal menyesap sebatang rokok seraya menunggu kekasihnya keluar. Dia ingin memberi kejutan padanya. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Lalu Haikal memutuskan masuk ke kantor tersebut.Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Apa yang dilakukan seorang badboy rupawan di kantor tersebut?“Siapa dia?” tanya salah satu model.“Dia … bukankah dia Haikal Mahardika? Anak pengusaha tambang itu loh,”“Serius?”“Mau ngapain di sini?”Begitulah perca
Zaara dicegat oleh dua orang pemuda asing.“Apa mau kalian?” pekik Zaara panik saat menyadari kehadiran mereka.“Kamu sudah berbuat tak sopan pada ibu kami. Kamu siapa? Um, dasar gadis buta. Dengar, ibu kami warga sini sedangkan kamu hanya orang asing. Kamu jangan sok-sokan ngatur warga sini? Berani main labrak,”Salah satu pemuda itu menarik tongkat yang dipegang Zaara hingga membuat Zaara kaget.“Hei, jangan kurang ajar!”“Bagaimana Bang, kita lihat apa gadis itu bisa berjalan tanpa tongkat? Kasihan, gadis cantik tapi …”“Buta dan yatim piatu,”“Benar Bang, malang kali nasibnya,”“Diam? Atau ..”“Atau apa?” salah satu pemuda itu menjawil dagu Zaara.“Jangan kurang ajar? Atau aku akan berteriak?””“Teriak saja, memang kami takut,”“Sialan,”Zaara tidak tinggal diam, dia melepas salah satu sepatunya lalu menudingkan ke arah pemuda tadi lalu memukul-mukul asal ke berbagai arah yang akhirnya salah satu wajah pemuda itu tertimpuk cukup keras mengenai pangkal hidungnya.Lalu terdengar Zaa
"Mas!” seru Zaara sebab lawan bicaranya terdiam tiba-tiba. Padahal lawan bicaranya saat ini tengah menatap Zaara lekat. Zaara terlihat sangat cantik, berwajah oriental dan berkulit kuning langsat. Kecantikannya bertambah dengan pashmina yang dia kenakan, sebuah pashmina berwarna krem dipadupadankan dengan tunik berwarna moka serta celana flare pants putih. Dari penampilannya yang bergaya, Haikal menyimpulkan jika Zaara bukanlah gadis desa sehingga membuatnya penasaran. “Iya, aku masih di sini. Nunggu jawaban kamu,” “Jawaban apa?” “Kamu mau terima tawaranku? Lusa ibuku ulang tahun, aku ingin bunga segar mirip yang kamu kasih ke aku pas di rumah sakit. Bunga mawar putih dengan kelopak yang besar. Aku suka itu …” “Okay,” Setelah menimang-nimang Zaara akhirnya menerima tawaran Haikal. Dia memang butuh uang. Untuk sesaat dia mengenyampingkan rasa gengsinya. “Apa mau dibayar sekarang atau nanti?” tanya Haikal berhati-hati. Khawatir Zaara tersinggung. “Ada uang ada barang,” Zaara ter
Kediamaan Harun malam ini begitu indah, dihiasi bebungaan berwarna warni dan lampu-lampu kristal yang menggantung indah. Halaman rumah yang begitu luas tersebut telah disulap menjadi sebuah venue pernikahan garden party yang hangat dan romantis.Malam ini akan diadakan malam di mana seorang pria dan wanita akan melepas masa lajangnya dengan mengadakan walimah dan dihadiri oleh keluarga inti dan kerabat terdekat.Acara walimah aqad ijab qabul akan diadakan di sebuah pelaminan yang hanya dihadiri oleh calon mempelai pria, wali, saksi dan penghulu. Pengantin wanita menunggu di ruangan terpisah. Zaara kini terlihat cantik dengan penampilan pengantin ala Sunda, mengenakan kebaya berwarna putih tulang dan tetap memakai kerudung yang dipadupadankan dengan hiasan siger di kepalanya. Dia terlihat sangat cantik dan berbeda setelah dirias oleh seorang MUA profesional.Namun Zaara bersedih saat yang sama. Ada banyak kesedihan yang dia rasakan malam ini. Pertama dia sedih karena harus menikah den
Suatu malam yang hening, Zaara tengah duduk di taman depan rumahnya. Dia tengah termenung menikmati hembusan angin malam yang menerpa wajahnya.Harum semerbak anggrek bulan yang tengah mekar menyapa indera penciumannya. Zaara merasa tenang saat menghidunya.Namun ada aroma parfum yang dia kenal familiar tiba-tiba muncul. Hanya satu orang yang dia tahu suka memakai parfum mahal dan mewah berasal dari Paris tersebut, parfum beraroma woody floral musk. Seketika Zaara berdiri dan berusaha mencari sang pemilik aroma tersebut.Mata Zaara berembun tatkala kakinya dengan begitu saja melangkah menghampiri pemuda yang begitu dia rindukan. Namun sosok pemuda yang berdiri di hadapannya memilih melangkah mundur, menghindari Zaara hingga membuat Zaara terlihat sedih dan kecewa.“Mas Haikal, kau kah itu?”Zaara spontan menyebutkan nama sang empunya aroma yang familier tersebut. Pria yang Zaara dekati memilih diam dengan pikiran yang gelisah.“Mas Haikal kenapa diam? Kenapa Mas selalu mempermainkan h
“Di mana Safira?” pekik Haikal ketika kakinya menginjak lantai sebuah apartemen. Kini Safira berada di apartemen miliknya karena lokasinya dekat dengan lokasi shooting di mana dia bekerja. Saat ini Safira Nasution memperoleh tawaran dari salah satu perusahaan advertising untuk menjadi model iklan kosmetik kecantikan.Kean yang merupakan pengawal pribadi Safira langsung menghadang jalan Haikal. Kebetulan Kean saat itu berada di luar pintu apartemen.Kean ditugasi Safira untuk berjaga di depan pintu masuk karena sang nona muda tak ingin diganggu. Dia ingin istirahat sejenak karena letih begadang beberapa hari setelah melakukan shooting.“Nona Safir tak bisa diganggu! Beliau sedang istirahat.”Kean menjawab dengan nada tegas, berharap Haikal akan segera pergi dari sana dan tak mencari gara-gara lagi dengannya. Seingat Kean, Haikal terakhir kali menghajarnya bertubi-tubi.“Aku harus bertemu dengannya sekarang! Minggir kau!” titah Haikal dengan menaikkan suaranya beberapa oktaf. Haikal mem
“Kau habis dari mana?” tanya Elia berkacak pinggang saat menyambut kedatangan Haikal malam itu. Sepulang mengantar Zaara ke klinik Haikal memutuskan pulang ke kediaman sang ibu karena ada hal yang harus dibicarakan dengannya. Haikal akan mengabari tentang batalnya pernikahan di antara dirinya dan Safira sehingga ibunya tidak akan mempermasalahkannya lagi. Namun tentu Haikal tidak akan langsung mengabari malam itu karena dirinya sudah cukup letih. Dia baru akan mengabari sang ibu keesokan harinya.Siapa sangka, Elia terbangun saat mendengar suara deru mesin mobil Haikal. Melihat kedatangan putranya tersebut, Elia keluar dari kamarnya dengan mengenakan piyama tidur berbentuk kimono, menghampiri Haikal yang baru saja masuk dengan wajah letih dan pakaian yang berantakan.“Belum tidur Mom?”Haikal hanya menimpali sang ibu dengan begitu santai. Dia berjalan melewatinya menuju kamarnya. “Aku mau istirahat Mom! Besok kita bicara. Aku letih.” Haikal memijit pelipisnya.“Tunggu, kita bicara sek
Tenggorokan Zaara terasa terbakar setelah dipaksa minum minuman cairan berwarna merah oleh pria tua bangka berperut buncit. Entah minuman apa yang diberikan olehnya. Tubuhnya terasa panas dan dia ingin sekali melepas pakaiannya saking merasa kepanasan. Namun dia berusaha menahan diri untuk tetap menjaga kewarasannya. Zaara sama sekali tak memahami reaksi tubuhnya. Dia sampai mengepalkan jemari tangannya pada lantai agar efek tersebut hilang.Pria itu hanya tersenyum miring melihat Zaara terlihat gelisah dan kepanasan. Saat Zaara akan melompat dari balkon, pria itu segera menyeret Zaara masuk ke dalam kamar tersebut setelah memaksanya minum.“Argh, apa ini? Kenapa dengan tubuhku. Panas sekali. Aku tak tahan. Aku harus mengguyur tubuhku dengan air dingin.”Zaara bergumam tak karuan. Namun karena pria tua masih berdiri di hadapannya, Zaara menahan diri untuk tidak melewatinya. Pria itu berdiri tepat di depan Zaara yang duduk bersimpuh dengan kondisi memprihatinkan.Pria tua mengambil pon
Karena menghindari pengendara yang ugal-ugalan Haikal justru membanting stir dan dia nyaris menabrak seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih tengah berjalan kaki di sisi jalan. Saat itu dia sedang dalam perjalanan menuju istal kuda milik keluarganya. Untuk menghilangkan rasa penat karena begitu banyak beban yang menghimpit pikirannya dia berencana akan berkuda.Pria tua itu baru saja keluar dari pintu parkiran area rumah sakit. Akhirnya dia jatuh bersimpuh karena kaget. Lututnya terbentur jalan beraspal. Pasti terasa sakit sekali apalagi usianya sudah tak lagi muda.Haikal pun segera menepikan kendaraan beroda empatnya ke tepi jalan dan segera turun untuk menghampiri pria itu. Dia harus memastikan jika pria tua itu baik-baik saja. Jika terjadi apa-apa dengannya maka dia akan bertanggung jawab untuk mengobatinya. Seperti itulah yang seharusnya Haikal lakukan.“Pak, maafkan saya. Bapak tidak apa-apa?” tanya Haikal dengan ke dua tangan berusaha merengkuhnya, membantu bapak tadi
“Mas,”Haikal terbangun dari tidurnya. Dia bangun kesiangan karena semalam baru bisa tidur pukul tiga pagi. Namun saat terbangun dia hanya mendengar suara Zaara yang memanggilnya. Mungkin alam bawah sadarnya terus menerus mengingatnya. Haikal turun dari ranjang dan langsung berjalan menuju wastafel untuk mencuci wajahnya. Dia menatap pantulan wajahnya yang terlihat kusam karena menangis, mata yang sembab dan ada lingkaran hitam di bawah matanya. Seorang pria baru pertama kalinya menangis ketika dia merasa patah hati. Itulah yang Haikal rasakan saat ini.Haikal telah melewatkan sarapannya dan harus segera pergi ke kantor. Dia mandi dan bersiap-siap pergi ke kantor pagi itu.Dengan memakai seragam khas eksekutif muda, Haikal berjalan menaiki lift menuju tempat parkir apartemen miliknya. Tak lupa kacamata hitam bertengger di hidungnya yang bangir. Dia mengendarai mobilnya membelah jalanan padat merayap kota hujan dengan keheningan, tanpa musik yang selalu mengiringi perjalanannya. Biasa
Di hadapan Brandon, Alfian duduk tegak dan menatapnya dengan serius. Alfian membawa sebuah foto Zaara Nadira dan seorang pria tua bermata sipit dengan rambut yang sudah memutih. Alfian sengaja mencetak ke dua foto tersebut demi untuk mengembalikan ingatan Brandon.“Apa kau mengingat ini siapa? Dari kemarin kau menyebutkan nama Zaara Nadira. Nah, ini fotonya! Zaara Nadira keponakan saya.”Alfian menjelaskan pada Brandon dengan begitu serius. Jika Brandon sampai hilang ingatan dan masih mengingat Zaara pertanda bahwa Brandon tidak berbohong dan menipunya mengaku sebagai orang suruhan Hantoro.Brandon duduk dengan bersandar pada bantal dan menatap foto tersebut dengan seksama. Brandon menyebut nama Zaara Nadira berulangkali pasti sebelumnya dia mengenalnya. Semakin mencoba mengingat semakin kepalanya begitu berat sekali.Brandon memegangi kepalanya dengan perasaan frustrasi. Dia tak bisa mengingat siapakah gadis bernama Zaara Nadira itu. Dia hanya mengenal namanya saja. Selebihnya tidak
Pagi itu Alfian menjenguk Brandon di rumah sakit karena merasa iba padanya. Setelah Alfian pikir mungkin Brandon memang bukan seorang penipu. Setelah memperoleh informasi dari aparat kepolisian yang melakukan penyelidikian dan penyidikan di tempat kejadian perkara di mana Brandon mengalami kecelakaan naas tersebut, telah ditemukan bahwa seseorang telah berusaha mencelakai Brandon dengan menyabotase kendaraannya seolah hanya kecelakan murni biasa, padahal kecelakaan yang sudah disusun skenarionya terlebih dahulu.Seseorang yang mampu melakukan pekerjaan yang mulus tersebut hanya bisa dilakukan oleh orang berpengaruh dan tak tersentuh.Terlepas dari itu semua, naluri Alfian tergugah ingin mengetahui kondisi pria yang berusia seumuran dengannya tersebut apakah sudah membaik atau belum.Alfian berjalan di lorong rumah sakit menuju ruang rawat inap di mana Brandon berada. Saat ini kartu identitasnya masih bermasalah. Namun pihak kepolisian tengah mengurusnya di kedutaan. Kondisinya cukup m