Dengan berjalan sedikit tersaruk-saruk Zaara mencari sumber suara seorang lelaki yang tengah meringis kesakitan.
“Aa … tolong!” serunya lagi. Dia merintih kesakitan. Saking kesakitan dan mengeluarkan banyak darah dia mengalami pusing luar biasa sehingga membuat netranya kabur, tak bisa melihat jelas penampakkan Zaara yang berjalan ke arahnya.
Dengan nafas yang tersengal-sengal dia memilih menunduk untuk menghindari banyak pergerakan. Sepertinya ujung pisau itu masih menancap di bagian entah mana perutnya. Atau mungkin pisau itu kotor saat melukai perutnya hingga menyebabkannya infeksi dan pendarahan.
Zaara menurunkan bobot tubuhnya, setengah berjongkok sebab merasa ada orang yang terluka dan membutuhkan pertolongannya di bawah, di jalan yang dia lewati. Tepat ujung kakinya yang tertutup pump shoes menyentuh kakinya yang setengah ditekuk.
“Apa kamu terluka?” tanya Zaara dengan suara yang terpantul merdu. Merdu yang tak dibuat-buat sebab suaranya terlahir begitu.
Lelaki itu tersenyum miring dan meringis di waktu yang sama. Enggan mendengar basa-basi seorang perempuan yang dianggap melembutkan suaranya, menggodanya.
“Oh, Come on! Jangan banyak bacot, aku terluka parah, kamu masih bertanya,”
Lelaki yang sedikit temperamental itu membuang nafas kasar. “Perutku kena tusuk pisau. Tolong panggilkan taksi atau apalah! Aku harus segera ke dokter,” ucapnya lagi sambil menunduk dan menggigit bibir bawahnya menahan sakit yang luar biasa. Dia bicara tanpa melihat Zaara. Dia meremas bagian perutnya yang kesakitan.
Tanpa pikir panjang, Zaara pun melepas sweater rajut berwarna coklat yang dipakainya dan menyodorkannya pada lelaki itu.
“Kamu bisa menggunakan ini untuk menyumpal lukamu,” ucap Zaara lalu meninggalkannya. Dia melangkahkan kaki jenjangnya dengan bantuan tongkatnya, menuju jalan utama yang berjarak sekitar lima puluh meter dari jembatan merah. Lalu dia memanggil taksi atau kendaraan apapun untuk berhenti. Namun tak ada satupun kendaraan yang bersedia berhenti mungkin karena penuh penumpang.
Lelaki itu pasti kesakitan, dia harus segera mendapat pertolongan. Batin Zaara iba.
Terpaksa Zaara pun kembali menemui lelaki itu, dia harus memapahnya, membawanya segera sembari mencari kendaraan.
Pelan-pelan Zaara mendekati lelaki itu dan meraba untuk meraih lengan lelaki itu. Namun karena sedikit gugup, instingnya yang kuat seketika lesap. Dia malah meraba bagian wajah lelaki itu hingga membuat lelaki itu berjengit dan menepisnya kasar. Lelaki itu mengira Zaara akan berbuat senonoh padanya.
“Hei! How brave you …” umpat lelaki itu dengan mata yang menyala. Dia sudah sering berjumpa dengan para gadis cantik yang selalu menggodanya karena uang dan ketampanannya.
Zaara merasa tersentak mendengar teriakannya. Dia tak bermaksud melakukan hal tersebut.
“Jangan ambil kesempatan dalam kesempitan! Pake hijab tapi mesum,” gerutu lelaki itu berusaha bangkit tetapi karena lemah dia pun duduk kembali. Samar-samar dia melihat sosok Zaara.
Zaara merasa bersalah meskipun itu bukan kesalahannya sepenuhnya. Dia hanya berniat baik, menolong pemuda itu.
Zaara tersenyum tipis. “Oh, maaf, aku hanya mendengar suaramu, karena aku tak bisa melihat. Aku buta,” ucapnya dengan tenang.
Sontak mendengar hal itu pemuda itu kaget. Seketika dia memandang Zaara tanpa berkedip. Kini dia bisa melihat dengan jelas wajah gadis itu.
Namun pemuda itu bukan pemuda biasa. Dia adalah orang yang tidak mudah percaya dengan kata-kata orang lain. Krisis kredibilitas telah diidapnya sejak lama. Sejak banyak orang yang di sekelilingnya berdusta.
“Kok diam? Serius, aku gak sengaja. Aku saja jalan pakai tongkat,” ulang Zaara dengan sedikit mendecak sebal.
Namun mendengar cara bicara Zaara yang meyakinkan, dia memang terlihat jujur. Apalagi binar matanya yang entahlah seperti menusuk batinnya.
Pemuda itu melambaikan tangannya ke arah mata Zaara yang berjongkok di depannya, sekedar memastikan apa yang diucapkan gadis itu benar. Jelas, Zaara tidak berkedip karena memang dia buta.
‘Astaga, gadis cantik ini buta beneran,’ batin lelaki itu. Rupanya sisa-sisa kesadarannya terkumpul saat melihat gadis cantik.
“Kalau kamu menunggu di sini, kamu tidak akan menemukan kendaraan. Aku hanya membantumu sampai menemukan taksi atau angkot ya. Aku akan membantumu berjalan, memapahmu,”
Zaara berdiri dengan memegang tongkatnya di sebelah kanan sementara itu tangan sebelah kiri membantu memapah lelaki itu. Lelaki itu mencelos melihat gadis itu. Dia buta tapi dia berhati malaikat, bersedia menolongnya. Dia juga cukup tegar menjalani hidupnya. Itulah yang dilihat lelaki tersebut saat ini.
Lelaki itu pun tak kuasa menolak karena memang dia butuh pertolongan. Sepanjang jalan lelaki itu memandang manik mata berwarna irish coklat muda itu dengan takjub. Rasanya, rasa sakit itu seperti menghilang begitu saja. Apalagi harum aroma mawar yang menguar dari tubuh Zaara, membuatnya merasa tenang dan sedikit bergairah. Bisa-bisanya berpikir kotor saat seperti itu. Jadi kesimpulannya, siapa di sini yang mengambil kesempatan dalam kesempitan?
Mereka pun akhirnya tiba di jalan utama dan menemukan taksi.
“Pak, bawa ke rumah sakit! Mas ini terluka,” ucap Zaara pada supir taksi yang menurunkan sedikit jendela mobilnya. Dia memindai sosok Zaara dan lelaki itu bergantian dengan memicingkan matanya yang nyaris tak terlihat karena sipit.
“Enggak, maaf,”
Supir itu menolak tepat saat melihat kondisi lelaki itu lalu melirik pada gadis buta yang malang.
“La, kenapa?” tanya Zaara dengan polos.
“Siapa yang bertanggungjawab kalau terjadi apa-apa?” ucap supir itu lugas setelah melihat perut yang bersimbah darah dan penampilan lelaki itu yang lebih mirip bertampang berandalan. Rambut gondrong menutupi wajahnya dan jaket berbahan denim kucel serta celana jeans yang robek-robek, yang mengingatkannya pada celana miliknya yang dibakar istrinya saat dia ketahuan ngapel ke rumah selingkuhannya.
“Ya udah aku ikut, aku yang bertanggung jawab,” ucap Zaara dengan tegas. Lelaki itu nyaris tak bersuara sebab menahan sakit yang memilin perutnya.
Zaara pun membantu lelaki itu masuk mobil. Sepertinya dia sudah kehilangan banyak darah sehingga dia makin terlihat lemas. Mereka duduk di kursi belakang.
Kepala lelaki itu bergoyang-goyang mirip boneka dashboard mobil. Dan, akhirnya tubuhnya jatuh tersungkur mencium ujung kaki Zaara hingga membuat Zaara berjengit kaget. Spontan, tangan Zara meraba-raba dan berhasil mencengkeram kasar bahu lelaki itu untuk menariknya lagi agar duduk dengan posisi senyaman mungkin.
“Hei, kamu jangan tidur!” seru Zaara pada lelaki itu yang duduk dengan menunduk. Lelaki itu diam dan hal tersebut membuatnya cemas. Beberapa detik kemudian kepalanya terkulai pada bahu Zaara, mencari posisi ternyaman untuk tidur seperti seorang bayi yang tengah mencari ibunya. Hal tersebut membuat Zaara kembali terlonjak kaget lalu mendorongnya hingga kepalanya mencium jendela kali ini.
“Ough! Sakit fucki* shi*! Aku ngantuk,” umpatnya mengumpulkan kesadarannya.
“Jangan tidur pokoknya!” celoteh Zaara membuat supir terkikik melihat ke duanya lewat kaca spion tengah.
“Pak, ngebut ya! Kasihan Mas ini udah kehilangan banyak darah,” ucap Zaara pada supir itu.
Mereka pun tiba di rumah sakit hanya dalam waktu lima belas menit. Namun Zaara lupa tidak membawa uang sepeserpun.
“Mas, aku gak bawa uang buat ongkos. Mas yang bayarin ya,” ucap Zaara nyengir.
Lelaki itu pun tak banyak bicara, meskipun lemah dia masih memiliki sisa kesadarannya. Dia merogoh uang dari saku celananya dan menyerahkannya pada Zaara.
“Pak, makasih,” seru Zaara pada supir taksi yang berbinar saat memperoleh uang seratus ribu rupiah.
Para perawat IGD langsung menyambut lelaki itu dan membawanya dengan brankar ke ruang IGD untuk segera ditangani. Zaara menunggu di sebuah kursi besi tepat di depan ruangan itu.
Lalu Zaara mendatangi bagian administrasi dan menceritakan kejadian yang menimpa lelaki itu. Rupanya salah satu staf rumah sakit ada yang mengenali keluarga lelaki itu sehingga tak butuh waktu lama, lelaki itu ditangani dan dioperasi sebab telah mengantongi ijin dari keluarganya via sambungan telepon. Zaara pun merasa tenang akan meninggalkan pemuda itu. Menurut salah satu perawat yang menanganinya keluarganya sedang berada dalam perjalanan.
“Sus, bagaimana kondisi Mas tadi?” tanya Zaara saat mendapati seorang perawat keluar dari ruang operasi.
“Sudah dioperasi Mbak, tinggal nunggu siuman,” jawab perawat itu.
“Alhamdulillah, makasih ya Sus,” ucap Zaara berbicara sendiri sebab perawat tadi sudah keburu pergi begitu saja. Dia bersyukur mendengar kabar mengenai lelaki tadi yang selamat.
Terdengar pula riuh kabar tentang lelaki itu. Menurut kabar yang beranak pinak lelaki itu korban penusukan oleh geng motor. Dia terluka sebab memenangkan lomba balap liar malam itu.
Rivalnya yang kalah menyuruh rekan-rekannya, geng motor untuk memberinya pelajaran yang berujung pada aksi kriminal penusukan. Lelaki itu memiliki hobi balap motor gede.
Berita peristiwa itupun langsung menyebar dan disiarkan langsung di TV nasional dan portal berita online. Masalahnya lelaki itu anak seorang pengusaha terkenal sehingga menjadi viral.
Karena malam sudah larut Zaara memutuskan untuk pulang dengan menaiki angkutan umum. Beruntunglah dia menemukan uang pecahan dua ribuan di saku bajunya sehingga bisa pulang.
Sementara itu di dalam ruang operasi lelaki itu bangun dan kata-kata yang meluncur pertama kali dari bibirnya ialah ‘Di mana perempuan itu?’
Perlahan secercah cahaya tampak berpendar melalui retina matanya. Entah mengapa hanya sekedar membuka mata dia seolah mengeluarkan energi besar. Alasannya karena pengaruh obat bius seusai operasi. Lampu LED dengan intensitas rendah masih saja tampak menyilaukan sehingga membuat matanya kembali ingin tenggelam sebelum suara dengungan dari wanita yang duduk di sampingnya terdengar. Lelaki itu berpura-pura tidur kembali, tak sudi mendengar ceramah ibunya saat itu. Apalagi dalam kondisi tubuhnya yang remuk redam dan perut terasa dililit ular piton. “Bangun! Pura-pura tidur!” cibir sang ibu bahkan tanpa menatap lawan bicaranya. Dia seolah memiliki indera keenam untuk mengetahui gelagat anaknya yang menyebalkan. Dia tengah melakukan video call dengan teman sosialitanya. “Di mana gadis itu Mom?”Lelaki itu berusaha bangun dan duduk dengan kasar. “Haikal, diam dulu! Jangan banyak gerak, kamu baru habis dioperasi.”Ibunya berkomentar dan langsung membantunya kembali tidur.“Mom, mana gadis
Zaara pasrah tidak bisa membesuk pemuda yang ditolongnya. Hanya mendengar kabar baik bahwa keluarganya sudah datang setidaknya membuat Zaara merasa lega. Apalagi mendengar pemuda itu sudah ditangani dan operasinya berjalan lancar. Dia sudah tidak memiliki urusan ataupun kepentingan dengan pemuda itu.Namun tatkala kaki jenjangnya mengayun di langkah ke empat, Zaara teringat sesuatu. Dia sudah kadung membawa sebuket bunga untuk pemuda tersebut. Oleh karena itu, Zaara memutuskan kembali menyambangi resepsionis tadi untuk menitipkan bunga tersebut sebagai penyemangat.“Ada apa lagi Mbak?” tanya resepsionis lelaki dengan ketus.“Ah, aku lupa, aku hanya ingin memberinya bunga. Bisakah Mbak eh Mas memberikan ini!”Zaara menyodorkan sebuket bunga mawar putih yang masih segar. Aromanya bisa terhidu langsung, segar dan membuat semangat yang melihatnya.“Baiklah, ada lagi? Um, ada lagi yang mau disampaikan?”“Enggak cukup, Mas. Oh, ya, sampaikan saja, semoga cepat sembuh,”Lagi, Zaara tidak men
Sementara itu Zaara marah dan merutuki dirinya sendiri saat dia mengingat pemuda yang dia tolong. Dia begitu mengkhawatirkannya tetapi pemuda tersebut malah menghina fisiknya yang difabel. Dia merasa harga dirinya jatuh sejatuhnya sebab diinjak-injak oleh lelaki tersebut.“Lelaki sialan! Pemuda brengsek! Aku kira pemuda jalanan yang berambut gondrong hatinya baik. Um, cuma penampilannya saja yang urakan. Ternyata sama saja!Semua lelaki yang mengaku punya banyak uang mau dia berpenampilan gaul atau rapi metroseksual kayak si Ray sama saja! Lelaki brengsek!”Zaara tak henti-hentinya merutuk. Lalu dia duduk di sebuah bangku kosong dekat gerobak bakso untuk istirahat.“Neng mau makan bakso?” tanya tukang bakso yang memang sudah mengenal Zaara sejak kedatangannya ke rumah Hamid dan Fatimah. Zaara dikenalkan oleh mereka sebagai anak angkatnya pada semua orang.“Iya, Mang! Bakso dengan level terpedas,” jawab Zaara dengan sedikit ketus. Dia memijit pangkal hidungnya berkali-kali. Lalu merang
Di sebuah mansion mewah berkonsep klasik-kontemporer, para pelayan cantik yang mengenakan seragam khusus menyambut kedatangan majikan mereka. Seorang butler langsung menyambut Elia Mariyam dan membawakan barang bawaannya sedangkan pelayan yang lain langsung meraih jaket wol yang dikenakan olehnya dan langsung menaruhnya dengan menggantungnya pada gantungan besi etnik.Pelayan yang lain juga segera menyambut kedatangan tuan majikannya yang tak lain Haikal sang putra semata wayang yang berjalan di belakang sang ibu. Beberapa pelayan muda seringkali berlomba agar bisa bertemu, bercengkerama dan melayani tuan muda mereka yang terlihat sangat tampan berwajah khas timur tengah. Namun Haikal tidak suka diperlakuan semacam itu.Apalagi rambut Haikal yang gondrong sedikit ikal tampak menampakkan sisi maskulin seorang lelaki macho, membuat para gadis menjerit melihatnya. Padahal Haikal tak pernah berniat menggoda para hawa dengan penampilannya yang paripurna, terkesan cowok badboy dengan setela
Haikal terlihat menarik nafas dalam.“Ya …” ucap Haikal singkat.Elia dan Edi saling menoleh kaget melihat respon Haikal. Tak percaya, Elia masih merekam memori beberapa tahun silam saat Haikal ditawari mengurus perusahaan tetapi Haikal memilih meninggalkan rumah dan berbuat sesuka hati.Haikal lantas meninggalkan meja makan tanpa suara. Dia langsung keluar mansion dan menyisir kendaraan miliknya, sebuah motor ninja yang sudah dimodifikasi. Dia pergi mengunjungi kekasihnya yang sedang marah saat ini.Di depan sebuah kantor agency model, Haikal menyesap sebatang rokok seraya menunggu kekasihnya keluar. Dia ingin memberi kejutan padanya. Yang ditunggu tak kunjung tiba. Lalu Haikal memutuskan masuk ke kantor tersebut.Beberapa pasang mata menoleh ke arahnya tanpa berkedip. Apa yang dilakukan seorang badboy rupawan di kantor tersebut?“Siapa dia?” tanya salah satu model.“Dia … bukankah dia Haikal Mahardika? Anak pengusaha tambang itu loh,”“Serius?”“Mau ngapain di sini?”Begitulah perca
Zaara dicegat oleh dua orang pemuda asing.“Apa mau kalian?” pekik Zaara panik saat menyadari kehadiran mereka.“Kamu sudah berbuat tak sopan pada ibu kami. Kamu siapa? Um, dasar gadis buta. Dengar, ibu kami warga sini sedangkan kamu hanya orang asing. Kamu jangan sok-sokan ngatur warga sini? Berani main labrak,”Salah satu pemuda itu menarik tongkat yang dipegang Zaara hingga membuat Zaara kaget.“Hei, jangan kurang ajar!”“Bagaimana Bang, kita lihat apa gadis itu bisa berjalan tanpa tongkat? Kasihan, gadis cantik tapi …”“Buta dan yatim piatu,”“Benar Bang, malang kali nasibnya,”“Diam? Atau ..”“Atau apa?” salah satu pemuda itu menjawil dagu Zaara.“Jangan kurang ajar? Atau aku akan berteriak?””“Teriak saja, memang kami takut,”“Sialan,”Zaara tidak tinggal diam, dia melepas salah satu sepatunya lalu menudingkan ke arah pemuda tadi lalu memukul-mukul asal ke berbagai arah yang akhirnya salah satu wajah pemuda itu tertimpuk cukup keras mengenai pangkal hidungnya.Lalu terdengar Zaa
"Mas!” seru Zaara sebab lawan bicaranya terdiam tiba-tiba. Padahal lawan bicaranya saat ini tengah menatap Zaara lekat. Zaara terlihat sangat cantik, berwajah oriental dan berkulit kuning langsat. Kecantikannya bertambah dengan pashmina yang dia kenakan, sebuah pashmina berwarna krem dipadupadankan dengan tunik berwarna moka serta celana flare pants putih. Dari penampilannya yang bergaya, Haikal menyimpulkan jika Zaara bukanlah gadis desa sehingga membuatnya penasaran. “Iya, aku masih di sini. Nunggu jawaban kamu,” “Jawaban apa?” “Kamu mau terima tawaranku? Lusa ibuku ulang tahun, aku ingin bunga segar mirip yang kamu kasih ke aku pas di rumah sakit. Bunga mawar putih dengan kelopak yang besar. Aku suka itu …” “Okay,” Setelah menimang-nimang Zaara akhirnya menerima tawaran Haikal. Dia memang butuh uang. Untuk sesaat dia mengenyampingkan rasa gengsinya. “Apa mau dibayar sekarang atau nanti?” tanya Haikal berhati-hati. Khawatir Zaara tersinggung. “Ada uang ada barang,” Zaara ter
Lamunan Zaara terinterupsi karena kedatangan Fatimah.“Assalamualaikum!” ucap Fatimah yang membuka sedikit pintu kamar Zaara. “Waalaikumsalam, Ibu ada apa?”Zaara buru-buru mengusap wajahnya yang basah dari air mata dan beristigfar.“Kamu sudah makan malam Nak?”“Sudah, Bu. Bagaimana keadaan Ibu sekarang?”Zaara beranjak dari kursi dekat jendela dan menghampiri Fatimah. Dia terlihat khawatir pasalnya Fatimah sedari kemarin meringkuk di kamar. Namun dia tidak berani menganggunya. Fatimah hanya keluar untuk memasak saja.“Sudah baikkan Nak,” jawab Fatimah padahal sedang tidak baik-baik saja. Keringat dingin mengucur di tubuhnya dan tekanan darahnya rendah. Dia kelelahan karena bekerja terlalu keras, memanen bunga.“Alhamdulillah baik, Bu,”Zaara mengukir senyum tatkala mendengar sang ibu dalam kondisi membaik. “Bagaimana jualanmu?” tanya Fatimah membuat Zaara membatu. Zaara tak berniat menceritakan padanya bahwa jualannya tidak laku sebab ada saingan sesama penjual bunga. Tidak hany
Kediamaan Harun malam ini begitu indah, dihiasi bebungaan berwarna warni dan lampu-lampu kristal yang menggantung indah. Halaman rumah yang begitu luas tersebut telah disulap menjadi sebuah venue pernikahan garden party yang hangat dan romantis.Malam ini akan diadakan malam di mana seorang pria dan wanita akan melepas masa lajangnya dengan mengadakan walimah dan dihadiri oleh keluarga inti dan kerabat terdekat.Acara walimah aqad ijab qabul akan diadakan di sebuah pelaminan yang hanya dihadiri oleh calon mempelai pria, wali, saksi dan penghulu. Pengantin wanita menunggu di ruangan terpisah. Zaara kini terlihat cantik dengan penampilan pengantin ala Sunda, mengenakan kebaya berwarna putih tulang dan tetap memakai kerudung yang dipadupadankan dengan hiasan siger di kepalanya. Dia terlihat sangat cantik dan berbeda setelah dirias oleh seorang MUA profesional.Namun Zaara bersedih saat yang sama. Ada banyak kesedihan yang dia rasakan malam ini. Pertama dia sedih karena harus menikah den
Suatu malam yang hening, Zaara tengah duduk di taman depan rumahnya. Dia tengah termenung menikmati hembusan angin malam yang menerpa wajahnya.Harum semerbak anggrek bulan yang tengah mekar menyapa indera penciumannya. Zaara merasa tenang saat menghidunya.Namun ada aroma parfum yang dia kenal familiar tiba-tiba muncul. Hanya satu orang yang dia tahu suka memakai parfum mahal dan mewah berasal dari Paris tersebut, parfum beraroma woody floral musk. Seketika Zaara berdiri dan berusaha mencari sang pemilik aroma tersebut.Mata Zaara berembun tatkala kakinya dengan begitu saja melangkah menghampiri pemuda yang begitu dia rindukan. Namun sosok pemuda yang berdiri di hadapannya memilih melangkah mundur, menghindari Zaara hingga membuat Zaara terlihat sedih dan kecewa.“Mas Haikal, kau kah itu?”Zaara spontan menyebutkan nama sang empunya aroma yang familier tersebut. Pria yang Zaara dekati memilih diam dengan pikiran yang gelisah.“Mas Haikal kenapa diam? Kenapa Mas selalu mempermainkan h
“Di mana Safira?” pekik Haikal ketika kakinya menginjak lantai sebuah apartemen. Kini Safira berada di apartemen miliknya karena lokasinya dekat dengan lokasi shooting di mana dia bekerja. Saat ini Safira Nasution memperoleh tawaran dari salah satu perusahaan advertising untuk menjadi model iklan kosmetik kecantikan.Kean yang merupakan pengawal pribadi Safira langsung menghadang jalan Haikal. Kebetulan Kean saat itu berada di luar pintu apartemen.Kean ditugasi Safira untuk berjaga di depan pintu masuk karena sang nona muda tak ingin diganggu. Dia ingin istirahat sejenak karena letih begadang beberapa hari setelah melakukan shooting.“Nona Safir tak bisa diganggu! Beliau sedang istirahat.”Kean menjawab dengan nada tegas, berharap Haikal akan segera pergi dari sana dan tak mencari gara-gara lagi dengannya. Seingat Kean, Haikal terakhir kali menghajarnya bertubi-tubi.“Aku harus bertemu dengannya sekarang! Minggir kau!” titah Haikal dengan menaikkan suaranya beberapa oktaf. Haikal mem
“Kau habis dari mana?” tanya Elia berkacak pinggang saat menyambut kedatangan Haikal malam itu. Sepulang mengantar Zaara ke klinik Haikal memutuskan pulang ke kediaman sang ibu karena ada hal yang harus dibicarakan dengannya. Haikal akan mengabari tentang batalnya pernikahan di antara dirinya dan Safira sehingga ibunya tidak akan mempermasalahkannya lagi. Namun tentu Haikal tidak akan langsung mengabari malam itu karena dirinya sudah cukup letih. Dia baru akan mengabari sang ibu keesokan harinya.Siapa sangka, Elia terbangun saat mendengar suara deru mesin mobil Haikal. Melihat kedatangan putranya tersebut, Elia keluar dari kamarnya dengan mengenakan piyama tidur berbentuk kimono, menghampiri Haikal yang baru saja masuk dengan wajah letih dan pakaian yang berantakan.“Belum tidur Mom?”Haikal hanya menimpali sang ibu dengan begitu santai. Dia berjalan melewatinya menuju kamarnya. “Aku mau istirahat Mom! Besok kita bicara. Aku letih.” Haikal memijit pelipisnya.“Tunggu, kita bicara sek
Tenggorokan Zaara terasa terbakar setelah dipaksa minum minuman cairan berwarna merah oleh pria tua bangka berperut buncit. Entah minuman apa yang diberikan olehnya. Tubuhnya terasa panas dan dia ingin sekali melepas pakaiannya saking merasa kepanasan. Namun dia berusaha menahan diri untuk tetap menjaga kewarasannya. Zaara sama sekali tak memahami reaksi tubuhnya. Dia sampai mengepalkan jemari tangannya pada lantai agar efek tersebut hilang.Pria itu hanya tersenyum miring melihat Zaara terlihat gelisah dan kepanasan. Saat Zaara akan melompat dari balkon, pria itu segera menyeret Zaara masuk ke dalam kamar tersebut setelah memaksanya minum.“Argh, apa ini? Kenapa dengan tubuhku. Panas sekali. Aku tak tahan. Aku harus mengguyur tubuhku dengan air dingin.”Zaara bergumam tak karuan. Namun karena pria tua masih berdiri di hadapannya, Zaara menahan diri untuk tidak melewatinya. Pria itu berdiri tepat di depan Zaara yang duduk bersimpuh dengan kondisi memprihatinkan.Pria tua mengambil pon
Karena menghindari pengendara yang ugal-ugalan Haikal justru membanting stir dan dia nyaris menabrak seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih tengah berjalan kaki di sisi jalan. Saat itu dia sedang dalam perjalanan menuju istal kuda milik keluarganya. Untuk menghilangkan rasa penat karena begitu banyak beban yang menghimpit pikirannya dia berencana akan berkuda.Pria tua itu baru saja keluar dari pintu parkiran area rumah sakit. Akhirnya dia jatuh bersimpuh karena kaget. Lututnya terbentur jalan beraspal. Pasti terasa sakit sekali apalagi usianya sudah tak lagi muda.Haikal pun segera menepikan kendaraan beroda empatnya ke tepi jalan dan segera turun untuk menghampiri pria itu. Dia harus memastikan jika pria tua itu baik-baik saja. Jika terjadi apa-apa dengannya maka dia akan bertanggung jawab untuk mengobatinya. Seperti itulah yang seharusnya Haikal lakukan.“Pak, maafkan saya. Bapak tidak apa-apa?” tanya Haikal dengan ke dua tangan berusaha merengkuhnya, membantu bapak tadi
“Mas,”Haikal terbangun dari tidurnya. Dia bangun kesiangan karena semalam baru bisa tidur pukul tiga pagi. Namun saat terbangun dia hanya mendengar suara Zaara yang memanggilnya. Mungkin alam bawah sadarnya terus menerus mengingatnya. Haikal turun dari ranjang dan langsung berjalan menuju wastafel untuk mencuci wajahnya. Dia menatap pantulan wajahnya yang terlihat kusam karena menangis, mata yang sembab dan ada lingkaran hitam di bawah matanya. Seorang pria baru pertama kalinya menangis ketika dia merasa patah hati. Itulah yang Haikal rasakan saat ini.Haikal telah melewatkan sarapannya dan harus segera pergi ke kantor. Dia mandi dan bersiap-siap pergi ke kantor pagi itu.Dengan memakai seragam khas eksekutif muda, Haikal berjalan menaiki lift menuju tempat parkir apartemen miliknya. Tak lupa kacamata hitam bertengger di hidungnya yang bangir. Dia mengendarai mobilnya membelah jalanan padat merayap kota hujan dengan keheningan, tanpa musik yang selalu mengiringi perjalanannya. Biasa
Di hadapan Brandon, Alfian duduk tegak dan menatapnya dengan serius. Alfian membawa sebuah foto Zaara Nadira dan seorang pria tua bermata sipit dengan rambut yang sudah memutih. Alfian sengaja mencetak ke dua foto tersebut demi untuk mengembalikan ingatan Brandon.“Apa kau mengingat ini siapa? Dari kemarin kau menyebutkan nama Zaara Nadira. Nah, ini fotonya! Zaara Nadira keponakan saya.”Alfian menjelaskan pada Brandon dengan begitu serius. Jika Brandon sampai hilang ingatan dan masih mengingat Zaara pertanda bahwa Brandon tidak berbohong dan menipunya mengaku sebagai orang suruhan Hantoro.Brandon duduk dengan bersandar pada bantal dan menatap foto tersebut dengan seksama. Brandon menyebut nama Zaara Nadira berulangkali pasti sebelumnya dia mengenalnya. Semakin mencoba mengingat semakin kepalanya begitu berat sekali.Brandon memegangi kepalanya dengan perasaan frustrasi. Dia tak bisa mengingat siapakah gadis bernama Zaara Nadira itu. Dia hanya mengenal namanya saja. Selebihnya tidak
Pagi itu Alfian menjenguk Brandon di rumah sakit karena merasa iba padanya. Setelah Alfian pikir mungkin Brandon memang bukan seorang penipu. Setelah memperoleh informasi dari aparat kepolisian yang melakukan penyelidikian dan penyidikan di tempat kejadian perkara di mana Brandon mengalami kecelakaan naas tersebut, telah ditemukan bahwa seseorang telah berusaha mencelakai Brandon dengan menyabotase kendaraannya seolah hanya kecelakan murni biasa, padahal kecelakaan yang sudah disusun skenarionya terlebih dahulu.Seseorang yang mampu melakukan pekerjaan yang mulus tersebut hanya bisa dilakukan oleh orang berpengaruh dan tak tersentuh.Terlepas dari itu semua, naluri Alfian tergugah ingin mengetahui kondisi pria yang berusia seumuran dengannya tersebut apakah sudah membaik atau belum.Alfian berjalan di lorong rumah sakit menuju ruang rawat inap di mana Brandon berada. Saat ini kartu identitasnya masih bermasalah. Namun pihak kepolisian tengah mengurusnya di kedutaan. Kondisinya cukup m