Matahari pagi mulai merangkak naik di cakrawala, menciptakan semburat oranye di antara gedung-gedung kota. Udara masih sejuk, tapi di dalam ruangan tempat mereka berkumpul, atmosfernya jauh dari tenang.Gigio tiba lebih dulu, diikuti oleh Ashton dan Luki yang datang bersamaan dengan Diego dan Moretti. Mereka semua membawa kegelisahan dan antisipasi yang sama.Ashton menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap ke arah Gigio yang duduk dengan tangan terlipat di depan dada. "Jadi ini benar-benar terjadi," katanya pelan, seakan masih mencoba mencerna semuanya.Gigio mengangguk. "Lucas akan pergi ke istana Raja Verdansk."Diego menyeringai, ekspresi bahagia terpampang jelas di wajahnya. "Siapa yang menyangka? Lucas, Raja Verdansk. Kedengarannya... luar biasa.""Lebih dari luar biasa," timpal Moretti. "Dia tidak hanya menumbangkan Raja Verdansk, tapi juga mengambil tahta yang selama ini hanya legenda bagi kita."Luki, yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. "Tapi... apakah aman? Apakah mereka
Pertempuran masih berlangsung, tetapi bagi mereka yang berdiri di samping Lucas, Gigio, Lorenzo, Ashton, dan Luki, tidak ada rasa cemas.Suara senjata yang meletus, tubuh yang terhempas ke tanah, dan jeritan orang-orang yang kalah seharusnya membuat mereka tegang. Namun, tidak.Lucas dan pasukannya berada di puncak rantai makanan di kota ini.Gigio menatap pertarungan yang sedang terjadi di halaman istana dengan penuh kekaguman. Gerakan anak buah Lucas begitu cepat dan efisien, seakan mereka telah berlatih selama bertahun-tahun untuk momen ini.Gigio menyeringai. Lalu berkata, "Mereka bertarung seperti serigala lapar. Tidak ada celah, tidak ada belas kasihan."Lorenzo mengangguk, matanya mengikuti pergerakan Julian yang baru saja menghabisi seorang penjaga dengan satu tusukan bersih ke leher.Dan yang paling menakutkan adalah ilmu tenaga dalam milik Julian, cakranya begitu memukau."Bukan hanya cepat, mereka juga mematikan. Kota Verdansk tidak pernah melihat kekuatan seperti ini sebel
Angeline bersandar di kursinya, matanya masih tertuju pada layar komputer yang menampilkan berita tentang Verdansk. Tangannya mengusap dagunya, pikirannya berkecamuk.Siapa Raja Verdansk yang baru?Jika dia mengenalnya, itu akan menjadi keuntungan besar. Verdansk adalah pusat kekuatan yang tidak bisa diabaikan. Memiliki hubungan baik dengan pemimpinnya berarti memiliki akses ke jaringan yang luas dan peluang bisnis yang tak terbatas.Namun, jawaban yang diberikan Jack Will membuatnya semakin penasaran.‘Kamu tidak tahu siapa dia,’ ujar Jack di seberang telepon. ‘Tapi satu hal yang pasti, dia bukan orang biasa.’Angeline mengernyit. ‘Maksudmu?’‘Dia adalah bayangan,’ lanjut Jack. ‘seseorang yang hanya muncul ketika sesuatu yang besar terjadi. Tidak ada catatan tentangnya. Tidak ada jejak.’Keheningan menyelimuti percakapan mereka sejenak.‘Kalau begitu, apakah dia berbahaya?’ tanya Angeline akhirnya.‘Kota Verdansk selalu dipimpin oleh orang-orang berbahaya. Tapi yang ini … mungkin leb
Lucas tidak langsung merasa tenang setelah mendengar laporan dari Julian. Dominus Noctis memang belum menunjukkan tanda-tanda pergerakan, tapi itu bukan berarti mereka tidak sedang merencanakan sesuatu di balik bayangan. Organisasi itu bukan sekadar ancaman bagi dirinya atau Veleno, mereka adalah ancaman bagi negara.Lucas menyilangkan tangan di dadanya, pandangannya tajam mengarah ke Julian."Jangan lengah. Kita tidak tahu apa yang mereka rencanakan," katanya dengan nada dingin.Julian mengangguk. "Aku akan mengawasi mereka lebih dalam. Akan kutambah mata-mata kita di sekitar wilayah mereka.""Bagus," ujar Lucas singkat.Namun sebelum Julian bisa melangkah lebih jauh, Moretti menyela. "Tunggu dulu."Julian menoleh. "Apa?"Moretti mengusap dagunya, ekspresinya serius. "Apa maksudnya? Apakah kita sedang atau akan bertarung melawan Dominus Noctis?"Diego yang sejak tadi diam, menatap Julian dengan tatapan penuh pertimbangan. "Mereka itu sangat kuat. Bahkan lebih kuat dari beberapa organ
Angeline keluar dari kamar dengan langkah mantap. Gaun formal berwarna biru tua membalut tubuhnya dengan elegan, dipadukan dengan sepatu hak tinggi yang mengeluarkan suara ritmis di lantai marmer. Rambutnya ditata rapi dalam sanggul sederhana, mempertegas kesan profesional sekaligus berwibawa. Saat dia menutup pintu, suara langkah ringan terdengar dari koridor. Sabrina muncul dari kamarnya, mengenakan dress navy yang memberi kesan lebih santai dibandingkan penampilannya yang biasa. Wajahnya segar, dengan sedikit riasan yang menonjolkan fitur wajahnya yang lembut. "Kamu sudah siap?" tanya Angeline tanpa basa-basi. Sabrina mengangguk sambil merapikan lengan blazernya. "Sudah. Ayo sarapan dulu sebelum berangkat." Keduanya berjalan menuju ruang makan. Aroma kopi segar memenuhi udara, bercampur dengan wangi roti panggang dan telur orak-arik yang baru saja disiapkan oleh asisten rumah tangga. Angeline duduk dengan anggun di kursinya, sementara Sabrina menuangkan kopi ke cangkirnya sebel
Magdalena terdiam. Wajahnya yang biasanya penuh percaya diri kini kehilangan sinarnya. Ia menatap Albin dengan mata membulat, berusaha mencari tanda bahwa kakaknya hanya bercanda.“Kak! Ayo jawab pertanyaanku!” seru Magdalena. “Lucas itu Raja Verdansk yang baru? Kamu serius?”Albin mengangguk tanpa ragu seraya menjawab, “Ya.”Magdalena menggigit bibirnya, menelan ludah dengan susah payah. Ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja didengarnya. Itu berarti Lucas bukan sekadar petarung jalanan, bukan sekadar pemilik sasana yang tengah bangkit. Pria itu memegang kekuasaan yang jauh lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.“Jadi … dia benar-benar tidak bisa disentuh?” Magdalena bertanya, masih berharap ada kesalahan.“Bukan hanya tidak bisa disentuh,” Albin menyandarkan tubuhnya ke dinding, suaranya lebih dalam. “bahkan polisi pun tak bisa berbuat banyak padanya. Orang-orang yang mencoba melawannya, pada akhirnya hanya punya dua pilihan; tunduk … atau menghilang.”Keheningan menye
Lucas menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Stella dengan ekspresi santai tapi penuh perhitungan. “Aku butuh bantuanmu.”Stella meletakkan cangkir kopinya, alisnya sedikit terangkat. Lalu dia bertanya, “Bantuan apa?”Lucas mencondongkan tubuh ke depan, menurunkan suaranya. “Cari tahu apakah Hector bermain dengan keuangan Dominus Noctis. Jika ada sesuatu yang tidak beres, laporkan padaku.”Stella mengerutkan keningnya, berpikir sejenak. Dia berusaha mengingat percakapan-percakapan yang pernah didengarnya, kejadian-kejadian kecil yang mungkin dianggap tidak penting sebelumnya.Setelah beberapa detik, matanya berbinar tipis. “Hmm … sepertinya aku pernah mendengar sesuatu.”“Apa itu?” tanya Lucas dengan begitu bersemangat.Stella menyandarkan punggungnya, menatap Lucas dengan intens. “Beberapa kali Hector terlambat menyerahkan uang kepada orang-orang tertentu. Bahkan ada yang sampai mengancamnya karena pembayaran yang tertunda.”“Tapi itu tidak berlangsung lama. Dia bisa menyelesaikanny
Stella menatap punggung Lucas yang semakin menjauh. Tatapannya penuh frustrasi, dan jari-jarinya mencengkeram garpu di tangannya dengan kuat, nyaris ingin melemparkannya ke dinding.Pria itu bahkan tidak menoleh. Tidak ada kata perpisahan. Tidak ada basa-basi. Hanya berjalan pergi begitu saja.Julian sempat berdiri di sana, melirik Stella dan Lucas secara bergantian sebelum akhirnya menghela napas dan berjalan menyusul bosnya.Stella meremas garpu itu lebih keras. Jantungnya berdegup cepat, bukan karena amarah, tapi lebih kepada sesuatu yang lain, sesuatu yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.Ketidakpastian.Apa yang salah denganku?Selama ini, Stella tidak pernah ditolak. Tidak ada pria yang bisa mengabaikannya begitu saja, apalagi dengan sikap sedingin itu. Tapi Lucas berbeda.Sekali lagi, Stella memikirkan setiap gerakan, tatapan, dan kata-kata yang ia ucapkan tadi. Apa dia kurang menarik? Apa dia kehilangan daya tariknya?Tidak. Itu tidak mungkin.Dia hanya perlu mengubah strat
Lucas membuka matanya. Masih gelap. Jam dinding di kamar menunjukkan pukul lima pagi.Dia diam sejenak, mendengarkan keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara napas lembut istrinya yang masih tertidur pulas di sampingnya.Namun di dadanya, ada sesuatu yang bergetar. Sebuah firasat buruk. Bukan ketakutan biasa. Ini adalah naluri bertahan hidup yang hanya muncul di ambang bahaya besar.Lucas duduk di pinggir ranjang. Ia menatap Angeline sejenak, memastikan istrinya baik-baik saja.Kemudian dia berbisik pada dirinya sendiri, "Ini sama seperti dulu, sebelum aku bertarung melawan raja mafia di Utara."Saat itu, Lucas hampir mati. Namun justru dari pertarungan itu, dia bangkit dan menjadi salah satu figur yang paling ditakuti di dunia bawah tanah.Lucas berdiri perlahan, mengenakan kaos dan celana training, lalu melangkah ke jendela.Langit di luar masih gelap. Kabut tipis menggantung di atas jalanan perumahan Montclair Manor.“Akan ada sesuatu yang datang … sebentar lagi,” pikirnya.Luca
Dario berdiri di pendopo, matanya menyala penuh amarah. Setelah mendengar penjelasan dari Xena, dadanya serasa terbakar."Aku akan membuat Lucas merasakan apa itu neraka di dunia ini," gumam Dario dengan suara serak.Dia tidak peduli siapa pun yang akan menghalangi. Bahkan kalau keluarga Lucas ikut terseret, itu bukan masalah. Satu-satunya tujuan yang ada di pikirannya hanyalah membalas dendam.Ruben menatap sahabatnya itu dengan cemas. Perlahan, ia bertanya, "Dario, kau yakin bisa menghadapi dia?"Dario menoleh tajam.Ruben melanjutkan, "Aku dengar, Lucas bukan petarung biasa. Bahkan para pemimpin cabang organisasi besar di Verdansk kalah di tangannya."Dario mengepalkan tinjunya. "Aku tidak peduli."Ruben menghela napas berat. Ia sadar, Dario punya semangat, tapi dalam dunia nyata, semangat saja tidak cukup. Apalagi Dario baru berguru kepada Xena kurang lebih satu bulan. Waktu itu terlalu singkat untuk mengasah kemampuan tingkat tinggi.Xena yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya
Angeline melipat lengannya, bersandar di kepala ranjang sambil menatap langit-langit kamar yang temaram. Lucas masih memegang ponsel yang tadi bergetar.Kini nama Jeremy sudah tidak lagi terlihat di layar, tapi bayangannya masih menggantung di kepala mereka.“Dia makin lama makin mengganggu,” ucap Angeline dengan nada tidak suka.Lucas menoleh ke arahnya. “Dia melakukan apa lagi?”“Dua hari ini dia datang menemuiku,” jawab Angeline, suaranya tenang namun mengandung penekanan emosi. “dia bilang ingin membantuku menyelesaikan masalah dengan Carlos dan teman-temannya.”Lucas mengernyit. “Membantu? Dengan cara apa?”Angeline menghela napas, menatap Lucas sebentar lalu menunduk. “Katanya, dia bisa menghentikan Carlos agar tidak memviralkan kasus itu. Tapi dengan satu syarat.”Lucas menyandarkan punggung, tangannya terlipat di dada. “Syarat?”“Dia minta aku membantu menyelamatkan perusahaan Liquid,” jawab Angeline pelan. “dia bilang perusahaan di ambang kebangkrutan dan membutuhkan proyek b
Ponsel Jeremy bergetar di tengah hingar bingar musik klub malam. Lampu disko menyinari wajahnya dengan warna-warni menyilaukan, tapi ia tetap bisa membaca nama yang muncul di layar.Carlos.Dengan senyum kecil, Jeremy menerima panggilan itu dan menempelkan ponsel ke telinganya. Dia sudah menduga jika Carlos menghubungi karena dia setuju untuk menyerahkan masalah mereka kepadanya.‘Akhirnya kamu menghubungiku juga,’ kata Jeremy dengan ringan.‘Aku ingin bertemu denganmu. Kalau bisa sih, sekarang,’ jawab Carlos tegas.Jeremy melirik sekeliling. Musik EDM masih menggelegar.‘Hmmm … aku sedang di Imperial Room, klub malam di pusat kota. Kalau kamu mau bicara, datang saja ke sini,’ kata Jeremy.‘Baiklah, kalau begitu aku akan segera ke sana,’ kata Carlos.Setelah itu dia pun mengakhiri panggilan suara.Jeremy menaruh ponselnya ke atas meja dengan tawa lepas. “Aku tidak pernah gagal. Aku adalah seorang pemenang!” ucap Jeremy, berbangga diri. Dia pun memeluk seorang teman wanitanya, tapi bu
Langkah kaki Lucas menyusuri jalan yang sepi, meninggalkan jejak di rumput. Panggilan dari Angeline beberapa menit lalu masih membekas di benaknya. Nada suaranya terdengar tenang, tapi Lucas tahu, terlalu tenang justru menyembunyikan sesuatu.Rajendra m kembali ke rumah ibunya dan langsung menuju ke ruang keluarga. Di sana, ibunya sedang duduk santai di sofa sambil menonton tayangan ulang sinetron klasik. Volume televisi tak terlalu keras, namun cukup untuk mengisi kesunyian rumah mewah itu.Rose menoleh begitu melihat Lucas masuk. “Dari mana saja kamu, Nak?”Lucas menyandarkan tubuh di sandaran sofa. “Dari danau. Sekadar jalan-jalan.”Rose memiringkan kepala. “Ah, kamu benar. Udara di dekat danau, memang sangat bagus.”Lucas menoleh. “Ibu ingin ikut jalan-jalan?”Wajah Rose langsung berubah berseri. “Kalau boleh, aku ingin. Badanku rasanya kaku sekali. Dulu waktu kita masih tinggal di gang kecil, aku bolak-balik ke pasar. Masak buat dijual. Bergerak terus. Tapi sejak tinggal di sini,
“Apakah musuhmu itu bernamaLucas?” bisik Emilio lagi, kali ini lebih pelan, nyaris seperti gumaman yang tercampur rasa tidak percaya.Xena hanya menjawab dengan anggukan kecil.Tatapan Emilio mengeras. Dia bersandar ke sofa, memandangi Xena dalam diam. Beberapa detik kemudian, dia berkata, “Kalau benar kita punya musuh yang sama, artinya pria itu memang tidak biasa.”Hector melirik Emilio. “Don Emilio, apa kau yakin?”Emilio mengangguk pelan, meski sorot matanya tidak menunjukkan keyakinan yang sepenuhnya bulat. “Dia membunuh dua ketua cabang organisasi kami di kota Verdansk. Dalam waktu yang berdekatan.”Xena menatap Emilio tajam. Lalu dia berkata, “Dia juga telah membunuh keponakanku. Dan itulah kenapa aku menganggap dia sebagai musuhku.”Ruangan itu kembali sunyi. Emilio mencoba mengingat siapa saja keponakan Xena yang diketahui dalam lingkaran dunia bela diri. Tak banyak. Dan jika salah satunya tewas di tangan Lucas…“Apa? Dia membunuh keponakanmu?” tanya Emilio.Xena menatapnya.
Langkah kaki ringan namun tegas terdengar mendekati aula utama markas organisasi Dominus Noctis. Aroma wewangian bunga magnolia mengalir lebih dulu, seolah menandakan kehadiran sosok luar biasa.Pintu dibuka oleh pengawal, dan masuklah seorang wanita.Tubuhnya tegap namun elegan. Rambut hitam berkilau digulung anggun di atas kepala. Wajahnya tidak muda, namun tiap lekuk dan guratannya memancarkan ketegasan serta keanggunan yang menakjubkan. Sepasang mata tajam menyorot sekeliling dengan rasa percaya diri yang luar biasa.“Xena,” ucap Don Emilio dengan nada hampir tak percaya.Ia langsung berdiri. Tatapannya berubah dari dingin menjadi hangat seketika, seolah beban puluhan tahun menguap begitu melihat wanita itu.Xena tersenyum saat melihat Emilio. “Masih mengenaliku?” tanya Xena.“Mana mungkin tidak mengenalimu?” Emilio melangkah cepat mendekati, lalu memeluk Xena dengan erat. “Tuhan. Ini benar-benar kamu. Sudah berapa lama sejak kita terakhir bertemu?”“Hmmm … dua puluh tahun, mungki
Carlos mengernyit. “Perjanjian kecil macam apa?”Jeremy menepuk lututnya pelan dan tersenyum seolah tengah menawarkan harta karun dengan nominal tak terhingga.“Aku ingin kalian berlima bergabung ke perusahaan Liquid. Perusahaan keluargaku,” ucap Jeremy dengan nada meyakinkan. “kalian akan langsung bekerja, punya jabatan, dan tentu saja, kalian akan mendapatkan uang besar.”Fabian langsung mendecak. “Perusahaan Liquid? Perusahaan kecil itu? Serius?”Jeremy tak tersinggung. Malah tertawa pelan. “Aku tahu kalian akan berkata begitu.”“Kami dipecat dari perusahaan raksasa,” sahut Fabian lagi. “sekarang kamu suruh kami balik ke perusahaan gurem yang bahkan belum pernah kami dengar di berita lokal? Aku tidak mau mengakhiri karirku di lubang sumur.”Jeremy mengangkat tangan sambil berkata, “Tenang dulu. Ini baru awal. Aku belum selesai bicara.”Lucca menyipitkan mata. “Jadi maksudmu bagaimana?”Jeremy menatap ke sekeliling, melihat wajah-wajah yang penasaran. Lalu dia berkata dengan pelan,
Jeremy menelan ludah, pandangannya terombang-ambing antara Lucas dan Gigio. Aura tekanan di sekeliling terasa seperti dinding tak terlihat yang siap menekuk tubuh siapa pun yang berkata salah.“Aku, tentu saja aku tidak memanfaatkan situasi,” kata Jeremy akhirnya dengan suaranya yang bergetar tipis. “aku datang ke sini karena ingin membantu. Tapi aku tidak punya kekuatan apa pun untuk bertindak tanpa persetujuan Angeline. Karena itu, aku datang ke kamu. Kupikir, kalau kamu bicara, dia akan mendengarkan.”Lucas tetap berdiri, menatap Jeremy seolah menilai setiap gerak napasnya.“Lalu apa yang akan kamu lakukan untuk menghentikan Carlos? Apa rencanamu?” tanya Lucas.Jeremy menarik napas panjang. Kali ini dia merasa punya pijakan.“Aku akan bicara dengan Carlos secara langsung. Aku akan memberinya beberapa opsi penawaran damai,” terang Jeremy. “aku akan berusaha membujuknya untuk membatalkan rencananya dan menerima keputusan Angeline yang memecat mereka.”Lucas menyipitkan mata. “Dan kam