Tentu saja sebuah imbalan adalah penentu apakah Adriano mau membantu atau tidak. Jika imbalannya besar maka dia akan membantu tapi jika kecil, dia tidak mau bergerak.“Jadi, berapa yang bisa kalian tawarkan?” tanya Adriano sambil menatap mereka berdua dengan ekspresi bosan, jari-jarinya mengetuk meja kayu hitam di depannya.Randy dan Matias saling berpandangan.“Ehm … berapa kira-kira yang pantas, ya?” Randy bertanya pelan, suaranya nyaris berbisik.Matias mengangkat bahu. “Aku juga tidak tahu.”Hening.Adriano menutup mata sejenak, menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Saat ia membuka matanya lagi, tatapannya berubah tajam.“Jadi kalian datang ke sini tanpa tahu berapa yang kalian mau bayar?” tanya Adriano dengan nada yang tajam.Matias menelan ludah. “Kami … kami kira akan ada tarif.”Adriano tertawa kecil, tetapi tawa itu dingin.“Kalian pikir ini jasa laundry? Pembunuhan bukan sesuatu yang bisa ditarifkan seperti layanan kebersihan,” kata Adriano.Randy buru-buru
Lucas melangkah keluar dari mobil dengan ekspresi datar. Udara malam terasa dingin, angin berembus pelan di halaman rumahnya yang sepi. Begitu ia mendekati pintu, sebuah mobil lain berhenti di depan gerbang.Ia menoleh. Angeline.Pintu mobil terbuka, dan wanita itu turun dengan anggun. Wajahnya tetap cantik dalam pencahayaan temaram, tetapi ekspresinya dingin. Di sampingnya, Sabrina turun lebih dulu, lalu melirik Lucas dengan pandangan yang sulit diartikan.Lucas tersenyum, mencoba memberi sapaan hangat. "Kebetulan sekali. Aku baru saja pulang."“Bagaimana harimu?” lanjutnya.Angeline tidak berhenti. Tidak melirik. Tidak merespons.Angeline mengabaikan Lucas.Dia berjalan melewatinya seolah-olah Lucas tidak ada di sana. Tumitnya beradu dengan lantai teras, suara langkahnya menggema pelan sebelum pintu rumah terbuka dan menutup dengan cepat di belakangnya.Lucas terdiam. Dia bisa saja menahan Angeline, menanyakan apa yang terjadi, atau setidaknya mencoba memperbaiki suasana. Tapi dia t
Lucas menutup pintu kamar perlahan, membiarkan denting kunci yang terkunci menggema di ruangan.Matanya tetap tertuju pada Angeline yang berdiri di depan lemari. Handuk putih melilit tubuhnya, ketat di dada, jatuh hingga pertengahan pahanya. Kemudian dia naik kembali dan menelusuri lekuk lehernya.Lucas menarik napas dalam, tetapi itu tidak membantu. Dadanya berdegup lebih cepat dari biasanya.Dia mulai melangkah dengan perlahan.Setiap langkahnya begitu berat, bukan karena kelelahan, tetapi karena ketegangan yang memenuhi udara. Ruangan terasa lebih hangat, meskipun AC masih menyala.Angeline pasti tahu Lucas mendekat. Tapi dia tetap diam.Tidak ada reaksi. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Angeline.Lucas berhenti tepat di belakang Angeline. Napasnya kini bisa dirasakan oleh Angeline, menerpa tengkuknya yang terbuka."Angeline." Suaranya berat.Angeline masih tak bergeming.Lucas mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Kamu mau mandi?"Angeline masih diam membisu.Alih-alih me
"Ada apa ini?"Suara Angeline terdengar datar, tapi tatapannya menyelidik. Matanya terpaku pada Lucas, penuh dengan sesuatu yang lebih dari sekadar kecurigaan.Lucas menatapnya balik, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap netral. "Apa maksudmu?" tanyanya, meskipun dia sudah tahu arah pertanyaan itu.Angeline menyipitkan mata. "Jangan berpura-pura. Aku ingin tahu, apa yang sebenarnya terjadi?"Lucas menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Aku tidak tahu apa-apa, Angeline.""Kamu tahu." Nada suara Angeline tegas, tanpa keraguan sedikit pun.Lucas bisa merasakan tekanan dalam kata-katanya, seperti belati yang siap menembus kebohongannya.Lucas menggelengkan kepalanya sambil berkata, "Aku benar-benar tidak tahu. Ini pertama kalinya aku mendengar berita ini, sama seperti kamu."Angeline mendekat satu langkah. "Lucas, jangan berbohong padaku."Lucas tidak bergeming. Dia tahu, jika dia mengatakan yang sebenarnya, Angeline akan murka. Maka dia tetap pada kebohongannya."Aku
Nero menatap dua pria di hadapannya. Keduanya masih menyeringai, seperti kucing yang bermain dengan tikus sebelum mencabik-cabiknya."Aku ulangi lagi," kata Nero, suaranya tetap santai. "siapa duluan?"Pria pertama tak sabar. Dia maju dengan cepat, melemparkan tinju ke wajah Nero.Nero menunduk sedikit, menghindari serangan itu dengan tipis.Terlalu terburu-buru.Dia melangkah ke samping dan menghantam rusuk pria itu dengan siku.Bugh!Pria itu mengerang, tapi dia masih bertahan. Dia mencoba membalas dengan ayunan siku ke rahang Nero, tapi Nero mundur satu langkah, menghindar dengan presisi.Saat itulah pria kedua melompat masuk, mengayunkan tendangan ke kepala Nero.Nero mengangkat lengannya, menangkis tendangan itu, tapi dampaknya cukup kuat hingga dia sedikit terdorong ke belakang.Lumayan. Mereka bukan amatir.Pria pertama kembali menyerang, kali ini dengan serangkaian pukulan cepat ke arah dada dan perut Nero.Nero menghindari sebagian besar pukulan itu, tapi satu tinju mendarat
Kai melangkah mundur, matanya bergerak liar ke sekeliling. Ia bisa merasakan bulu kuduknya meremang."Kak, kita harus pergi," kata Kai dengan cepat. "kita tidak bisa berlama-lama di sini."Nero tetap berdiri di tempatnya, menatap Kai dengan dahi berkerut. "Kenapa? Aku masih ada urusan dengan mereka."Kai menelan ludah. Lalu dia bercerita, "Aku pernah melihat ini sebelumnya. Saat aku kecil ... ada seorang pria, seperti kita, yang menang dalam perkelahian. Dia menghajar lawannya habis-habisan. Tapi yang terjadi setelahnya..."Kai menggelengkan kepala, matanya dipenuhi bayangan kelam dari masa lalunya. "Mereka menelepon teman-temannya. Puluhan orang datang. Dan mereka membunuh pria itu di tempat."Nero menyipitkan mata, memandangi dua pria yang masih tergeletak di tanah. "Jadi menurutmu mereka bagian dari mafia?"Nero juga sebenarnya sudah mengira kalau mereka berdua adalah orang bayaran."Bukan cuma menurutku. Aku yakin."Belum sempat Nero merespons, sebuah suara keras memecah malam.La
Lucas kini tiba di kantor polisi kota Verdansk.“Lucas?” Polisi itu menatapnya dengan kaget.Lucas melangkah masuk ke kantor polisi dengan tenang, auranya begitu kuat hingga ruangan terasa lebih sempit dari sebelumnya.Polisi yang berjaga segera berdiri lebih tegak. Mereka mengenalnya. Bukan sebagai mafia, tapi sebagai pengusaha besar yang memiliki jaringan luas.Lucas melangkah mendekat ke meja resepsionis. “Di mana Nero?”Polisi itu tampak ragu. “Nero?” dia melirik daftar tahanan sebelum mengangkat kepala, ekspresinya berubah curiga. “Apa dia membuat masalah dengan Anda, Tuan Lucas?”Lucas tidak menjawab langsung. Matanya yang tajam hanya menatapnya, menunggu.Detik berikutnya, pintu kantor utama terbuka. Seorang pria paruh baya dengan seragam polisi masuk ke ruangan. Kepala polisi.“Tuan Lucas,” ucap kepala polisi dengan nada penuh rasa hormat. “tidak menyangka Anda datang ke sini. Ada yang bisa saya bantu?”Lucas tetap tenang. “Aku ingin bertemu seseorang. Namanya Nero.”Kepala po
Lucas duduk diam di ruangannya, cahaya lampu gantung menyinari wajahnya dengan temaram. Di tangannya, secangkir kopi masih mengepulkan uap, tetapi ia tak berniat meminumnya.Kai.Nama itu terus berputar di kepalanya.Seorang remaja yang muncul tiba-tiba, cukup kuat untuk membantu Nero dalam pertarungan melawan preman bayaran. Itu bukan sesuatu yang bisa dianggap kebetulan.Lucas mengingat dirinya sendiri di usia yang hampir sama. Saat remaja, ia sudah memiliki kemampuan bertarung di atas rata-rata. Lebih dari sekadar bakat alami, tubuhnya sudah terlatih untuk menghadapi kekerasan. Keunggulannya itu membuat banyak organisasi mafia menginginkannya. Mereka mengincarnya, berusaha menariknya ke dalam jaringan mereka.Namun hanya Veleno yang berhasil mendapatkan dirinya.Dan sekarang, ia melihat kemungkinan yang sama pada pemuda bernama Kai.Lucas menatap Julian, yang berdiri di hadapannya.“Temukan dia,” perintahnya singkat.Julian mengangguk. “Akan kuurus.”Tanpa banyak bicara, ia berbali
Lucas membuka matanya. Masih gelap. Jam dinding di kamar menunjukkan pukul lima pagi.Dia diam sejenak, mendengarkan keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara napas lembut istrinya yang masih tertidur pulas di sampingnya.Namun di dadanya, ada sesuatu yang bergetar. Sebuah firasat buruk. Bukan ketakutan biasa. Ini adalah naluri bertahan hidup yang hanya muncul di ambang bahaya besar.Lucas duduk di pinggir ranjang. Ia menatap Angeline sejenak, memastikan istrinya baik-baik saja.Kemudian dia berbisik pada dirinya sendiri, "Ini sama seperti dulu, sebelum aku bertarung melawan raja mafia di Utara."Saat itu, Lucas hampir mati. Namun justru dari pertarungan itu, dia bangkit dan menjadi salah satu figur yang paling ditakuti di dunia bawah tanah.Lucas berdiri perlahan, mengenakan kaos dan celana training, lalu melangkah ke jendela.Langit di luar masih gelap. Kabut tipis menggantung di atas jalanan perumahan Montclair Manor.“Akan ada sesuatu yang datang … sebentar lagi,” pikirnya.Luca
Dario berdiri di pendopo, matanya menyala penuh amarah. Setelah mendengar penjelasan dari Xena, dadanya serasa terbakar."Aku akan membuat Lucas merasakan apa itu neraka di dunia ini," gumam Dario dengan suara serak.Dia tidak peduli siapa pun yang akan menghalangi. Bahkan kalau keluarga Lucas ikut terseret, itu bukan masalah. Satu-satunya tujuan yang ada di pikirannya hanyalah membalas dendam.Ruben menatap sahabatnya itu dengan cemas. Perlahan, ia bertanya, "Dario, kau yakin bisa menghadapi dia?"Dario menoleh tajam.Ruben melanjutkan, "Aku dengar, Lucas bukan petarung biasa. Bahkan para pemimpin cabang organisasi besar di Verdansk kalah di tangannya."Dario mengepalkan tinjunya. "Aku tidak peduli."Ruben menghela napas berat. Ia sadar, Dario punya semangat, tapi dalam dunia nyata, semangat saja tidak cukup. Apalagi Dario baru berguru kepada Xena kurang lebih satu bulan. Waktu itu terlalu singkat untuk mengasah kemampuan tingkat tinggi.Xena yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya
Angeline melipat lengannya, bersandar di kepala ranjang sambil menatap langit-langit kamar yang temaram. Lucas masih memegang ponsel yang tadi bergetar.Kini nama Jeremy sudah tidak lagi terlihat di layar, tapi bayangannya masih menggantung di kepala mereka.“Dia makin lama makin mengganggu,” ucap Angeline dengan nada tidak suka.Lucas menoleh ke arahnya. “Dia melakukan apa lagi?”“Dua hari ini dia datang menemuiku,” jawab Angeline, suaranya tenang namun mengandung penekanan emosi. “dia bilang ingin membantuku menyelesaikan masalah dengan Carlos dan teman-temannya.”Lucas mengernyit. “Membantu? Dengan cara apa?”Angeline menghela napas, menatap Lucas sebentar lalu menunduk. “Katanya, dia bisa menghentikan Carlos agar tidak memviralkan kasus itu. Tapi dengan satu syarat.”Lucas menyandarkan punggung, tangannya terlipat di dada. “Syarat?”“Dia minta aku membantu menyelamatkan perusahaan Liquid,” jawab Angeline pelan. “dia bilang perusahaan di ambang kebangkrutan dan membutuhkan proyek b
Ponsel Jeremy bergetar di tengah hingar bingar musik klub malam. Lampu disko menyinari wajahnya dengan warna-warni menyilaukan, tapi ia tetap bisa membaca nama yang muncul di layar.Carlos.Dengan senyum kecil, Jeremy menerima panggilan itu dan menempelkan ponsel ke telinganya. Dia sudah menduga jika Carlos menghubungi karena dia setuju untuk menyerahkan masalah mereka kepadanya.‘Akhirnya kamu menghubungiku juga,’ kata Jeremy dengan ringan.‘Aku ingin bertemu denganmu. Kalau bisa sih, sekarang,’ jawab Carlos tegas.Jeremy melirik sekeliling. Musik EDM masih menggelegar.‘Hmmm … aku sedang di Imperial Room, klub malam di pusat kota. Kalau kamu mau bicara, datang saja ke sini,’ kata Jeremy.‘Baiklah, kalau begitu aku akan segera ke sana,’ kata Carlos.Setelah itu dia pun mengakhiri panggilan suara.Jeremy menaruh ponselnya ke atas meja dengan tawa lepas. “Aku tidak pernah gagal. Aku adalah seorang pemenang!” ucap Jeremy, berbangga diri. Dia pun memeluk seorang teman wanitanya, tapi bu
Langkah kaki Lucas menyusuri jalan yang sepi, meninggalkan jejak di rumput. Panggilan dari Angeline beberapa menit lalu masih membekas di benaknya. Nada suaranya terdengar tenang, tapi Lucas tahu, terlalu tenang justru menyembunyikan sesuatu.Rajendra m kembali ke rumah ibunya dan langsung menuju ke ruang keluarga. Di sana, ibunya sedang duduk santai di sofa sambil menonton tayangan ulang sinetron klasik. Volume televisi tak terlalu keras, namun cukup untuk mengisi kesunyian rumah mewah itu.Rose menoleh begitu melihat Lucas masuk. “Dari mana saja kamu, Nak?”Lucas menyandarkan tubuh di sandaran sofa. “Dari danau. Sekadar jalan-jalan.”Rose memiringkan kepala. “Ah, kamu benar. Udara di dekat danau, memang sangat bagus.”Lucas menoleh. “Ibu ingin ikut jalan-jalan?”Wajah Rose langsung berubah berseri. “Kalau boleh, aku ingin. Badanku rasanya kaku sekali. Dulu waktu kita masih tinggal di gang kecil, aku bolak-balik ke pasar. Masak buat dijual. Bergerak terus. Tapi sejak tinggal di sini,
“Apakah musuhmu itu bernamaLucas?” bisik Emilio lagi, kali ini lebih pelan, nyaris seperti gumaman yang tercampur rasa tidak percaya.Xena hanya menjawab dengan anggukan kecil.Tatapan Emilio mengeras. Dia bersandar ke sofa, memandangi Xena dalam diam. Beberapa detik kemudian, dia berkata, “Kalau benar kita punya musuh yang sama, artinya pria itu memang tidak biasa.”Hector melirik Emilio. “Don Emilio, apa kau yakin?”Emilio mengangguk pelan, meski sorot matanya tidak menunjukkan keyakinan yang sepenuhnya bulat. “Dia membunuh dua ketua cabang organisasi kami di kota Verdansk. Dalam waktu yang berdekatan.”Xena menatap Emilio tajam. Lalu dia berkata, “Dia juga telah membunuh keponakanku. Dan itulah kenapa aku menganggap dia sebagai musuhku.”Ruangan itu kembali sunyi. Emilio mencoba mengingat siapa saja keponakan Xena yang diketahui dalam lingkaran dunia bela diri. Tak banyak. Dan jika salah satunya tewas di tangan Lucas…“Apa? Dia membunuh keponakanmu?” tanya Emilio.Xena menatapnya.
Langkah kaki ringan namun tegas terdengar mendekati aula utama markas organisasi Dominus Noctis. Aroma wewangian bunga magnolia mengalir lebih dulu, seolah menandakan kehadiran sosok luar biasa.Pintu dibuka oleh pengawal, dan masuklah seorang wanita.Tubuhnya tegap namun elegan. Rambut hitam berkilau digulung anggun di atas kepala. Wajahnya tidak muda, namun tiap lekuk dan guratannya memancarkan ketegasan serta keanggunan yang menakjubkan. Sepasang mata tajam menyorot sekeliling dengan rasa percaya diri yang luar biasa.“Xena,” ucap Don Emilio dengan nada hampir tak percaya.Ia langsung berdiri. Tatapannya berubah dari dingin menjadi hangat seketika, seolah beban puluhan tahun menguap begitu melihat wanita itu.Xena tersenyum saat melihat Emilio. “Masih mengenaliku?” tanya Xena.“Mana mungkin tidak mengenalimu?” Emilio melangkah cepat mendekati, lalu memeluk Xena dengan erat. “Tuhan. Ini benar-benar kamu. Sudah berapa lama sejak kita terakhir bertemu?”“Hmmm … dua puluh tahun, mungki
Carlos mengernyit. “Perjanjian kecil macam apa?”Jeremy menepuk lututnya pelan dan tersenyum seolah tengah menawarkan harta karun dengan nominal tak terhingga.“Aku ingin kalian berlima bergabung ke perusahaan Liquid. Perusahaan keluargaku,” ucap Jeremy dengan nada meyakinkan. “kalian akan langsung bekerja, punya jabatan, dan tentu saja, kalian akan mendapatkan uang besar.”Fabian langsung mendecak. “Perusahaan Liquid? Perusahaan kecil itu? Serius?”Jeremy tak tersinggung. Malah tertawa pelan. “Aku tahu kalian akan berkata begitu.”“Kami dipecat dari perusahaan raksasa,” sahut Fabian lagi. “sekarang kamu suruh kami balik ke perusahaan gurem yang bahkan belum pernah kami dengar di berita lokal? Aku tidak mau mengakhiri karirku di lubang sumur.”Jeremy mengangkat tangan sambil berkata, “Tenang dulu. Ini baru awal. Aku belum selesai bicara.”Lucca menyipitkan mata. “Jadi maksudmu bagaimana?”Jeremy menatap ke sekeliling, melihat wajah-wajah yang penasaran. Lalu dia berkata dengan pelan,
Jeremy menelan ludah, pandangannya terombang-ambing antara Lucas dan Gigio. Aura tekanan di sekeliling terasa seperti dinding tak terlihat yang siap menekuk tubuh siapa pun yang berkata salah.“Aku, tentu saja aku tidak memanfaatkan situasi,” kata Jeremy akhirnya dengan suaranya yang bergetar tipis. “aku datang ke sini karena ingin membantu. Tapi aku tidak punya kekuatan apa pun untuk bertindak tanpa persetujuan Angeline. Karena itu, aku datang ke kamu. Kupikir, kalau kamu bicara, dia akan mendengarkan.”Lucas tetap berdiri, menatap Jeremy seolah menilai setiap gerak napasnya.“Lalu apa yang akan kamu lakukan untuk menghentikan Carlos? Apa rencanamu?” tanya Lucas.Jeremy menarik napas panjang. Kali ini dia merasa punya pijakan.“Aku akan bicara dengan Carlos secara langsung. Aku akan memberinya beberapa opsi penawaran damai,” terang Jeremy. “aku akan berusaha membujuknya untuk membatalkan rencananya dan menerima keputusan Angeline yang memecat mereka.”Lucas menyipitkan mata. “Dan kam