Lucas duduk diam di ruangannya, cahaya lampu gantung menyinari wajahnya dengan temaram. Di tangannya, secangkir kopi masih mengepulkan uap, tetapi ia tak berniat meminumnya.Kai.Nama itu terus berputar di kepalanya.Seorang remaja yang muncul tiba-tiba, cukup kuat untuk membantu Nero dalam pertarungan melawan preman bayaran. Itu bukan sesuatu yang bisa dianggap kebetulan.Lucas mengingat dirinya sendiri di usia yang hampir sama. Saat remaja, ia sudah memiliki kemampuan bertarung di atas rata-rata. Lebih dari sekadar bakat alami, tubuhnya sudah terlatih untuk menghadapi kekerasan. Keunggulannya itu membuat banyak organisasi mafia menginginkannya. Mereka mengincarnya, berusaha menariknya ke dalam jaringan mereka.Namun hanya Veleno yang berhasil mendapatkan dirinya.Dan sekarang, ia melihat kemungkinan yang sama pada pemuda bernama Kai.Lucas menatap Julian, yang berdiri di hadapannya.“Temukan dia,” perintahnya singkat.Julian mengangguk. “Akan kuurus.”Tanpa banyak bicara, ia berbali
Kai menatap dua pria di hadapannya. Kata-kata Morris terus bergaung di kepalanya."Karena ini akan menguntungkanmu."Keuntungan?Hidupnya saat ini jauh dari kata nyaman. Rumah kecil yang ia tinggali bersama ibu dan adiknya nyaris tak cukup untuk menampung mereka bertiga. Ibunya, Liana, hanya seorang pedagang kecil di pasar, berjuang setiap hari untuk mencukupi kebutuhan mereka. Sementara adik perempuannya, Mila, masih berusia sepuluh tahun dan terlalu muda untuk memahami kerasnya hidup.Ayah mereka? Sudah lama menghilang, lenyap tanpa kabar sejak Mila masih bayi.Kai menelan ludah. Jika bertemu dengan bos mereka bisa membuka peluang, mungkin ia harus mencobanya."Aku akan datang besok," kata Kai akhirnya.Hugo mengangkat alis, sementara Morris tersenyum puas."Pilihan yang tepat," ujar Morris.Hugo pun memberikan secarik kertas, alamat sasana Brotherhood.Belum sempat Kai berkata lagi, suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Pintu terbuka, dan ibunya muncul sambil membawa dua c
Adriano melempar dokumen itu ke lantai. Wajahnya merah padam, rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam ke arah dua anak buahnya yang tertunduk ketakutan."Kalian dua orang dewasa, berlatih bertahun-tahun, dan masih bisa kalah dari satu anak ingusan?! Apa gunanya aku membayar kalian?!"Salah satu anak buahnya mencoba berbicara, suaranya gemetar. "Bos, Nero … dia lebih kuat dari yang kita kira. Gerakannya cepat, pukulannya keras. Kami tidak sempat bereaksi.”Brak!Adriano menghantam meja di depannya. "Omong kosong! Kalian cuma cari alasan!"Langkah santai terdengar dari pintu.Seorang pria tinggi dengan jas hitam masuk ke ruangan tanpa terburu-buru. Wajahnya tenang, seolah tidak peduli pada kekacauan yang sedang terjadi.Marchetti.Tatapannya menyapu ruangan sebelum berhenti pada Adriano. "Ada apa?"Adriano mengepalkan tangannya, mencoba meredam amarah. "Nero mengalahkan dua orangku."Marchetti mengangkat alis. "Nero?""Ya.""Siapa yang kau kirim?"Adriano menyebutkan dua nama.Mar
Hugo berdiri di tengah halaman sasana, matanya tajam menyapu sekeliling. Matahari terik menggantung di atas kepala, tapi tidak ada yang merasa nyaman di bawah sinarnya."Kita harus menemukan mereka," kata Hugo dengan suara tegas. "Morris, kau pimpin tim ke arah utara. Aku akan ke barat. Yang lain, sebarkan diri kalian. Jangan sampai ada satu sudut pun yang terlewat.""Dimengerti!" seru para anggota Brotherhood serempak sebelum bergegas menyebar.Morris melangkah cepat ke arah jalanan di utara, matanya tak henti-henti mengamati trotoar, gang sempit, dan wajah-wajah asing yang mungkin mencurigakan. Ia melihat beberapa pria bertato bersandar di dinding gang, merokok sambil bercakap santai. Tapi setelah diamati lebih jauh, mereka hanyalah pemabuk biasa.Sementara itu, Hugo berjalan ke barat, melewati deretan toko kecil dan gudang tua. Ia memperlambat langkahnya saat melihat beberapa pria dengan postur tinggi besar berdiri di depan toko kelontong. Hugo menajamkan tatapannya, tetapi mereka
Lucas berdiri dan berjalan menuju arena latihan, langkahnya mantap dan penuh wibawa. "Ikut aku," katanya tanpa menoleh.Kai ragu sejenak, tapi ia tidak bertanya. Ia mengikuti Lucas keluar dari ruangan, melewati lorong sempit yang berbau keringat dan debu, lalu tiba di sebuah arena latihan yang luas. Matras tebal melapisi lantai, sementara beberapa samsak bergelantungan di sudut. Sejumlah anggota Brotherhood sedang berlatih, tinju mereka menghantam samsak dengan kecepatan dan kekuatan yang mengintimidasi.Lucas berhenti di tepi arena. Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan, lalu menatap seorang pria bertubuh kekar yang sedang mengangkat barbel di sudut."Armand," panggil Lucas.Pria itu menoleh, meletakkan barbelnya, lalu berjalan mendekat. Dengan tubuh berotot dan lengan penuh urat, ia tampak seperti seseorang yang lahir untuk bertarung."Apa, Bos?"Lucas mengangguk ke arah Kai. "Masuk ke arena."Armand melirik Kai dan mendengus. "Serius?"Lucas hanya menatapnya tanpa ekspresi.Arman
Kai menatap Lucas dengan ragu. Tawaran itu menggiurkan, tapi ia tahu ibunya tidak akan mudah memberikan izin."Aku sebenarnya sangat ingin bergabung. Tapi aku harus meminta izin ibuku dulu," katanya akhirnya.Lucas menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. Dia paham.“Itu bisa dimengerti." Lucas menyilangkan tangan. "tapi kamu tahu, kebanyakan orang tidak punya pandangan baik tentang tempat seperti ini. Mereka melihatnya sebagai dunia bawah tanah yang penuh kekerasan dan risiko tinggi."Kai mengangguk pelan. Ia tahu ibunya adalah orang yang konservatif. Bahkan jika hanya sekadar latihan, ibunya mungkin tetap tidak setuju.Lucas tampak berpikir sejenak. Lalu dia berkata, "Kalau begitu, aku akan menemui ibumu sendiri. Aku akan menjelaskan bahwa kau hanya akan berlatih, tidak bertarung. Dan aku akan memastikan tidak ada yang membahayakanmu."Kai menatapnya, terkejut. "Kamu serius, Bos?"Lucas tersenyum tipis. "Aku tidak main-main, Kai. Aku ingin kamu bergabung."Senyum lebar muncul di
“Kendalikan dirimu.”Nero menatap Hugo dengan tajam. Suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi ada ketegasan yang tak bisa diabaikan.Hugo tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, matanya terus menatap Randy dan Matias yang kini duduk santai di sudut restoran, berbincang seolah dunia sedang berpihak pada mereka.“Kita tidak bisa menyerang mereka sekarang,” lanjut Nero. “itu bukan perintah.”Hugo mengembuskan napas kasar. “Kalau bukan karena perintah dari The Obsidian Blade, mereka sudah mati di tempat ini.”“Dan itulah sebabnya kau harus menahan diri.” Nero mengaduk kopinya perlahan. “kita tunggu.”Hugo mengepalkan tangannya di bawah meja. “Tunggu apa? Sampai mereka menghancurkan semuanya?”Nero tidak menjawab. Matanya masih memperhatikan Randy dan Matias yang kini tidak lagi sendirian. Dua pria bertubuh besar masuk ke restoran, tubuh mereka dipenuhi tato, dari tangan, leher, hingga wajah. Salah satunya bahkan memiliki luka panjang di pipi kanan, memberi kesan bahwa ia bukan orang ya
"Aku tidak suka ini," gumam Hugo, tatapannya tajam menyapu sekeliling. Lima pria bersenjata berdiri dalam formasi setengah lingkaran, mengawasi mereka seperti pemangsa menunggu mangsanya jatuh ke perangkap.Nero tetap tenang, meskipun pikirannya berpacu cepat. “Kita ulur waktu," bisiknya nyaris tak terdengar. "The Obsidian Blade pasti sudah membaca pesanku. Dia akan datang untuk menolong.”Hugo mengangguk kecil. Dia langsung memutar otak bagaimana caranya agar dia bisa mengukur waktu.Setelah beberapa saat, Hugo mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi malas. "Hei, aku kesulitan membuka pintunya," katanya, suaranya terdengar santai, seolah situasi ini bukan ancaman serius.Pemimpin kelompok itu,seorang pria bertubuh kekar dengan janggut tebal dan bekas luka di pelipisnya, menyipitkan mata. "Jangan main-main dengan kami!” ucapnya."Aku serius," kata Hugo, memasang ekspresi kesal. "kuncinya macet. Bagiamana aku bisa keluar?”Salah satu pria bertato di leher melangkah maju, menatap H
Jeremy berdiri kaku di ruang tamu itu, peluh dingin mulai membasahi pelipisnya. Kata-kata Lucas barusan bagaikan pedang es yang menusuk jantungnya. Bukan hanya penolakan terhadap permintaannya, tetapi juga aura dingin dan dominasi yang terpancar dari mantan teman kuliahnya itu."Kamu tidak mengerti, Lucas!" ucap Jeremy yang tampak putus asa namun dia tetap mencoba sekali lagi menembus tembok ketidakpedulian di mata Lucas. "ini bukan hanya soal uang! Ini soal masa depan Angeline! Bayangkan jika Carlos membuat berita viral tentang Angeline. Karirnya, reputasinya, semuanya bisa hancur!"Lucas mendengus pelan. "Itu tidak akan terjadi. Semuanya akan baik-baik saja jika mereka mengerti akan bahaya yang ada di depan mereka jika nekat melanjutkannya.""Tapi Lucas, kasihan Angeline. Berkorbanlah sedikit demi istrimu,” kata Jeremy.“Kasihan Angeline atau kasihan kamu?” tanya Lucas seraya mengangkat sebelah bibirnya.Saat ketegangan di antara keduanya mencapai puncaknya, pintu dapur terbuka. Ros
Lucas membuka matanya. Masih gelap. Jam dinding di kamar menunjukkan pukul lima pagi.Dia diam sejenak, mendengarkan keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara napas lembut istrinya yang masih tertidur pulas di sampingnya.Namun di dadanya, ada sesuatu yang bergetar. Sebuah firasat buruk. Bukan ketakutan biasa. Ini adalah naluri bertahan hidup yang hanya muncul di ambang bahaya besar.Lucas duduk di pinggir ranjang. Ia menatap Angeline sejenak, memastikan istrinya baik-baik saja.Kemudian dia berbisik pada dirinya sendiri, "Ini sama seperti dulu, sebelum aku bertarung melawan raja mafia di Utara."Saat itu, Lucas hampir mati. Namun justru dari pertarungan itu, dia bangkit dan menjadi salah satu figur yang paling ditakuti di dunia bawah tanah.Lucas berdiri perlahan, mengenakan kaos dan celana training, lalu melangkah ke jendela.Langit di luar masih gelap. Kabut tipis menggantung di atas jalanan perumahan Montclair Manor.“Akan ada sesuatu yang datang … sebentar lagi,” pikirnya.Luca
Dario berdiri di pendopo, matanya menyala penuh amarah. Setelah mendengar penjelasan dari Xena, dadanya serasa terbakar."Aku akan membuat Lucas merasakan apa itu neraka di dunia ini," gumam Dario dengan suara serak.Dia tidak peduli siapa pun yang akan menghalangi. Bahkan kalau keluarga Lucas ikut terseret, itu bukan masalah. Satu-satunya tujuan yang ada di pikirannya hanyalah membalas dendam.Ruben menatap sahabatnya itu dengan cemas. Perlahan, ia bertanya, "Dario, kau yakin bisa menghadapi dia?"Dario menoleh tajam.Ruben melanjutkan, "Aku dengar, Lucas bukan petarung biasa. Bahkan para pemimpin cabang organisasi besar di Verdansk kalah di tangannya."Dario mengepalkan tinjunya. "Aku tidak peduli."Ruben menghela napas berat. Ia sadar, Dario punya semangat, tapi dalam dunia nyata, semangat saja tidak cukup. Apalagi Dario baru berguru kepada Xena kurang lebih satu bulan. Waktu itu terlalu singkat untuk mengasah kemampuan tingkat tinggi.Xena yang sedari tadi memperhatikan, akhirnya
Angeline melipat lengannya, bersandar di kepala ranjang sambil menatap langit-langit kamar yang temaram. Lucas masih memegang ponsel yang tadi bergetar.Kini nama Jeremy sudah tidak lagi terlihat di layar, tapi bayangannya masih menggantung di kepala mereka.“Dia makin lama makin mengganggu,” ucap Angeline dengan nada tidak suka.Lucas menoleh ke arahnya. “Dia melakukan apa lagi?”“Dua hari ini dia datang menemuiku,” jawab Angeline, suaranya tenang namun mengandung penekanan emosi. “dia bilang ingin membantuku menyelesaikan masalah dengan Carlos dan teman-temannya.”Lucas mengernyit. “Membantu? Dengan cara apa?”Angeline menghela napas, menatap Lucas sebentar lalu menunduk. “Katanya, dia bisa menghentikan Carlos agar tidak memviralkan kasus itu. Tapi dengan satu syarat.”Lucas menyandarkan punggung, tangannya terlipat di dada. “Syarat?”“Dia minta aku membantu menyelamatkan perusahaan Liquid,” jawab Angeline pelan. “dia bilang perusahaan di ambang kebangkrutan dan membutuhkan proyek b
Ponsel Jeremy bergetar di tengah hingar bingar musik klub malam. Lampu disko menyinari wajahnya dengan warna-warni menyilaukan, tapi ia tetap bisa membaca nama yang muncul di layar.Carlos.Dengan senyum kecil, Jeremy menerima panggilan itu dan menempelkan ponsel ke telinganya. Dia sudah menduga jika Carlos menghubungi karena dia setuju untuk menyerahkan masalah mereka kepadanya.‘Akhirnya kamu menghubungiku juga,’ kata Jeremy dengan ringan.‘Aku ingin bertemu denganmu. Kalau bisa sih, sekarang,’ jawab Carlos tegas.Jeremy melirik sekeliling. Musik EDM masih menggelegar.‘Hmmm … aku sedang di Imperial Room, klub malam di pusat kota. Kalau kamu mau bicara, datang saja ke sini,’ kata Jeremy.‘Baiklah, kalau begitu aku akan segera ke sana,’ kata Carlos.Setelah itu dia pun mengakhiri panggilan suara.Jeremy menaruh ponselnya ke atas meja dengan tawa lepas. “Aku tidak pernah gagal. Aku adalah seorang pemenang!” ucap Jeremy, berbangga diri. Dia pun memeluk seorang teman wanitanya, tapi bu
Langkah kaki Lucas menyusuri jalan yang sepi, meninggalkan jejak di rumput. Panggilan dari Angeline beberapa menit lalu masih membekas di benaknya. Nada suaranya terdengar tenang, tapi Lucas tahu, terlalu tenang justru menyembunyikan sesuatu.Rajendra m kembali ke rumah ibunya dan langsung menuju ke ruang keluarga. Di sana, ibunya sedang duduk santai di sofa sambil menonton tayangan ulang sinetron klasik. Volume televisi tak terlalu keras, namun cukup untuk mengisi kesunyian rumah mewah itu.Rose menoleh begitu melihat Lucas masuk. “Dari mana saja kamu, Nak?”Lucas menyandarkan tubuh di sandaran sofa. “Dari danau. Sekadar jalan-jalan.”Rose memiringkan kepala. “Ah, kamu benar. Udara di dekat danau, memang sangat bagus.”Lucas menoleh. “Ibu ingin ikut jalan-jalan?”Wajah Rose langsung berubah berseri. “Kalau boleh, aku ingin. Badanku rasanya kaku sekali. Dulu waktu kita masih tinggal di gang kecil, aku bolak-balik ke pasar. Masak buat dijual. Bergerak terus. Tapi sejak tinggal di sini,
“Apakah musuhmu itu bernamaLucas?” bisik Emilio lagi, kali ini lebih pelan, nyaris seperti gumaman yang tercampur rasa tidak percaya.Xena hanya menjawab dengan anggukan kecil.Tatapan Emilio mengeras. Dia bersandar ke sofa, memandangi Xena dalam diam. Beberapa detik kemudian, dia berkata, “Kalau benar kita punya musuh yang sama, artinya pria itu memang tidak biasa.”Hector melirik Emilio. “Don Emilio, apa kau yakin?”Emilio mengangguk pelan, meski sorot matanya tidak menunjukkan keyakinan yang sepenuhnya bulat. “Dia membunuh dua ketua cabang organisasi kami di kota Verdansk. Dalam waktu yang berdekatan.”Xena menatap Emilio tajam. Lalu dia berkata, “Dia juga telah membunuh keponakanku. Dan itulah kenapa aku menganggap dia sebagai musuhku.”Ruangan itu kembali sunyi. Emilio mencoba mengingat siapa saja keponakan Xena yang diketahui dalam lingkaran dunia bela diri. Tak banyak. Dan jika salah satunya tewas di tangan Lucas…“Apa? Dia membunuh keponakanmu?” tanya Emilio.Xena menatapnya.
Langkah kaki ringan namun tegas terdengar mendekati aula utama markas organisasi Dominus Noctis. Aroma wewangian bunga magnolia mengalir lebih dulu, seolah menandakan kehadiran sosok luar biasa.Pintu dibuka oleh pengawal, dan masuklah seorang wanita.Tubuhnya tegap namun elegan. Rambut hitam berkilau digulung anggun di atas kepala. Wajahnya tidak muda, namun tiap lekuk dan guratannya memancarkan ketegasan serta keanggunan yang menakjubkan. Sepasang mata tajam menyorot sekeliling dengan rasa percaya diri yang luar biasa.“Xena,” ucap Don Emilio dengan nada hampir tak percaya.Ia langsung berdiri. Tatapannya berubah dari dingin menjadi hangat seketika, seolah beban puluhan tahun menguap begitu melihat wanita itu.Xena tersenyum saat melihat Emilio. “Masih mengenaliku?” tanya Xena.“Mana mungkin tidak mengenalimu?” Emilio melangkah cepat mendekati, lalu memeluk Xena dengan erat. “Tuhan. Ini benar-benar kamu. Sudah berapa lama sejak kita terakhir bertemu?”“Hmmm … dua puluh tahun, mungki
Carlos mengernyit. “Perjanjian kecil macam apa?”Jeremy menepuk lututnya pelan dan tersenyum seolah tengah menawarkan harta karun dengan nominal tak terhingga.“Aku ingin kalian berlima bergabung ke perusahaan Liquid. Perusahaan keluargaku,” ucap Jeremy dengan nada meyakinkan. “kalian akan langsung bekerja, punya jabatan, dan tentu saja, kalian akan mendapatkan uang besar.”Fabian langsung mendecak. “Perusahaan Liquid? Perusahaan kecil itu? Serius?”Jeremy tak tersinggung. Malah tertawa pelan. “Aku tahu kalian akan berkata begitu.”“Kami dipecat dari perusahaan raksasa,” sahut Fabian lagi. “sekarang kamu suruh kami balik ke perusahaan gurem yang bahkan belum pernah kami dengar di berita lokal? Aku tidak mau mengakhiri karirku di lubang sumur.”Jeremy mengangkat tangan sambil berkata, “Tenang dulu. Ini baru awal. Aku belum selesai bicara.”Lucca menyipitkan mata. “Jadi maksudmu bagaimana?”Jeremy menatap ke sekeliling, melihat wajah-wajah yang penasaran. Lalu dia berkata dengan pelan,