Hugo berdiri di tengah halaman sasana, matanya tajam menyapu sekeliling. Matahari terik menggantung di atas kepala, tapi tidak ada yang merasa nyaman di bawah sinarnya."Kita harus menemukan mereka," kata Hugo dengan suara tegas. "Morris, kau pimpin tim ke arah utara. Aku akan ke barat. Yang lain, sebarkan diri kalian. Jangan sampai ada satu sudut pun yang terlewat.""Dimengerti!" seru para anggota Brotherhood serempak sebelum bergegas menyebar.Morris melangkah cepat ke arah jalanan di utara, matanya tak henti-henti mengamati trotoar, gang sempit, dan wajah-wajah asing yang mungkin mencurigakan. Ia melihat beberapa pria bertato bersandar di dinding gang, merokok sambil bercakap santai. Tapi setelah diamati lebih jauh, mereka hanyalah pemabuk biasa.Sementara itu, Hugo berjalan ke barat, melewati deretan toko kecil dan gudang tua. Ia memperlambat langkahnya saat melihat beberapa pria dengan postur tinggi besar berdiri di depan toko kelontong. Hugo menajamkan tatapannya, tetapi mereka
Lucas berdiri dan berjalan menuju arena latihan, langkahnya mantap dan penuh wibawa. "Ikut aku," katanya tanpa menoleh.Kai ragu sejenak, tapi ia tidak bertanya. Ia mengikuti Lucas keluar dari ruangan, melewati lorong sempit yang berbau keringat dan debu, lalu tiba di sebuah arena latihan yang luas. Matras tebal melapisi lantai, sementara beberapa samsak bergelantungan di sudut. Sejumlah anggota Brotherhood sedang berlatih, tinju mereka menghantam samsak dengan kecepatan dan kekuatan yang mengintimidasi.Lucas berhenti di tepi arena. Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan, lalu menatap seorang pria bertubuh kekar yang sedang mengangkat barbel di sudut."Armand," panggil Lucas.Pria itu menoleh, meletakkan barbelnya, lalu berjalan mendekat. Dengan tubuh berotot dan lengan penuh urat, ia tampak seperti seseorang yang lahir untuk bertarung."Apa, Bos?"Lucas mengangguk ke arah Kai. "Masuk ke arena."Armand melirik Kai dan mendengus. "Serius?"Lucas hanya menatapnya tanpa ekspresi.Arman
Kai menatap Lucas dengan ragu. Tawaran itu menggiurkan, tapi ia tahu ibunya tidak akan mudah memberikan izin."Aku sebenarnya sangat ingin bergabung. Tapi aku harus meminta izin ibuku dulu," katanya akhirnya.Lucas menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. Dia paham.“Itu bisa dimengerti." Lucas menyilangkan tangan. "tapi kamu tahu, kebanyakan orang tidak punya pandangan baik tentang tempat seperti ini. Mereka melihatnya sebagai dunia bawah tanah yang penuh kekerasan dan risiko tinggi."Kai mengangguk pelan. Ia tahu ibunya adalah orang yang konservatif. Bahkan jika hanya sekadar latihan, ibunya mungkin tetap tidak setuju.Lucas tampak berpikir sejenak. Lalu dia berkata, "Kalau begitu, aku akan menemui ibumu sendiri. Aku akan menjelaskan bahwa kau hanya akan berlatih, tidak bertarung. Dan aku akan memastikan tidak ada yang membahayakanmu."Kai menatapnya, terkejut. "Kamu serius, Bos?"Lucas tersenyum tipis. "Aku tidak main-main, Kai. Aku ingin kamu bergabung."Senyum lebar muncul di
“Kendalikan dirimu.”Nero menatap Hugo dengan tajam. Suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi ada ketegasan yang tak bisa diabaikan.Hugo tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, matanya terus menatap Randy dan Matias yang kini duduk santai di sudut restoran, berbincang seolah dunia sedang berpihak pada mereka.“Kita tidak bisa menyerang mereka sekarang,” lanjut Nero. “itu bukan perintah.”Hugo mengembuskan napas kasar. “Kalau bukan karena perintah dari The Obsidian Blade, mereka sudah mati di tempat ini.”“Dan itulah sebabnya kau harus menahan diri.” Nero mengaduk kopinya perlahan. “kita tunggu.”Hugo mengepalkan tangannya di bawah meja. “Tunggu apa? Sampai mereka menghancurkan semuanya?”Nero tidak menjawab. Matanya masih memperhatikan Randy dan Matias yang kini tidak lagi sendirian. Dua pria bertubuh besar masuk ke restoran, tubuh mereka dipenuhi tato, dari tangan, leher, hingga wajah. Salah satunya bahkan memiliki luka panjang di pipi kanan, memberi kesan bahwa ia bukan orang ya
"Aku tidak suka ini," gumam Hugo, tatapannya tajam menyapu sekeliling. Lima pria bersenjata berdiri dalam formasi setengah lingkaran, mengawasi mereka seperti pemangsa menunggu mangsanya jatuh ke perangkap.Nero tetap tenang, meskipun pikirannya berpacu cepat. “Kita ulur waktu," bisiknya nyaris tak terdengar. "The Obsidian Blade pasti sudah membaca pesanku. Dia akan datang untuk menolong.”Hugo mengangguk kecil. Dia langsung memutar otak bagaimana caranya agar dia bisa mengukur waktu.Setelah beberapa saat, Hugo mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi malas. "Hei, aku kesulitan membuka pintunya," katanya, suaranya terdengar santai, seolah situasi ini bukan ancaman serius.Pemimpin kelompok itu,seorang pria bertubuh kekar dengan janggut tebal dan bekas luka di pelipisnya, menyipitkan mata. "Jangan main-main dengan kami!” ucapnya."Aku serius," kata Hugo, memasang ekspresi kesal. "kuncinya macet. Bagiamana aku bisa keluar?”Salah satu pria bertato di leher melangkah maju, menatap H
Pemimpin pasukan musuh berdiri tegak. Seolah dia Ingin menunjukkan diri jika dia tidak takut kepada siapapun."Kalian pikir siapa, hah? Aku bukan orang yang bisa kalian takuti begitu saja!" Pemimpin musuh mendengus, melangkah maju dengan mata penuh keyakinan. Tatapannya menyapu tubuh Lucas dan Julian dengan penuh rasa percaya diri."Aku telah melalui lebih banyak pertempuran daripada yang bisa kalian bayangkan," katanya lagi, suaranya tajam. "Jika kalian berani melawanku, bersiaplah untuk mati!"Julian tersenyum tipis, menatap pria itu dengan tatapan yang hampir mengejek. "Lebih baik kalian semua menyerahkan diri sekarang," katanya santai. "kau sudah kehilangan banyak orang. Tidak ada gunanya melawan."Pemimpin musuh itu menggeram, matanya menyala karena amarah. "Serahkan diri? Setelah kalian membunuh anak buahku?”“Ciih! Aku tidak akan pernah melakukannya!" ucapnya dengan angkuh.Julian mengangkat bahu. "Kalau itu keputusanmu, kau juga akan mati sebentar lagi."Pria itu terkekeh, men
Ketiga pria itu masih menunduk, tubuh mereka sedikit gemetar. Mereka tahu, begitu mereka membawa Lucas ke markas Dominus Noctis, nyawa mereka bisa terancam. Tapi di sisi lain, jika menolak, mereka akan mati di tangan Julian."Kalian sudah mengambil keputusan, bukan?" Lucas bertanya dengan nada datar.Salah satu dari mereka mengangguk cepat. "Ya … kami akan mengantar kalian ke markas."Lucas melangkah ke mobil dengan tenang. Julian menyusul di belakangnya, lalu sebelum masuk, dia menoleh."Lucas, kau sudah memikirkan ini matang-matang?"Lucas menatapnya. "Kenapa? Kamu takut?"Julian mendengus. "Takut? Tidak. Aku hanya ingin memastikan kamu sadar konsekuensinya. Jika kita pergi ke sana, itu berarti kita secara resmi berperang dengan Dominus Noctis."Lucas menyandarkan punggungnya ke kursi mobil dan tersenyum tipis. "Lalu kenapa? Aku adalah pemimpin Veleno. Aku tidak peduli berapa banyak musuh yang datang. Jika mereka mengancam wilayahku, maka aku akan menghancurkan mereka terlebih dahul
Marchetti melangkah maju dengan penuh percaya diri. Tatapan matanya tajam, penuh determinasi."Aku adalah pemimpin baru Dominus Noctis di Verdansk," ucapnya dengan nada yang menggema di seluruh ruangan.Julian menatapnya dengan mata menyipit, bibirnya membentuk seringai tipis. "Jadi kamu pemimpinnya? Bagus. Aku tidak perlu repot-repot mencari lagi."Marchetti menyilangkan tangan di dada. "Jika kau datang ke sini saat pemimpin lama masih berkuasa, mungkin kau akan menang. Tapi sekarang berbeda. Aku yang memimpin. Dan aku tidak terkalahkan."Julian tertawa kecil. "Oh? Benarkah?"Dari balik pintu, langkah kaki terdengar. Semua kepala menoleh.Lucas melangkah masuk, tatapan matanya tajam seperti elang yang mengintai mangsa. Dia berhenti di samping Julian, menatap Marchetti dengan santai namun penuh tekanan."Jadi, kau yang sekarang memimpin Dominus Noctis?" tanya Lucas.Marchetti menatapnya dengan bingung. "Siapa kau? Aku tidak mengenalmu. Dan jika kau hanya orang biasa, lebih baik tutup
Pria itu menekan tombol panggilan dengan tangan gemetar. Suaranya tertahan di tenggorokan, tetapi dia tahu tidak bisa ragu. Jika dia gagal menyampaikan ini, konsekuensinya tidak akan terbayangkan."Tuan," suaranya rendah, berusaha tetap tenang meskipun napasnya tersengal. "Kita punya masalah besar. Verdansk jatuh. Bos Marchetti dikalahkan ... dalam satu serangan."Hening sejenak. Kemudian, suara berat di seberang sana menjawab dengan nada dingin, "Apa yang kau katakan?""Lucas ... dia menghancurkan Marchetti. Dia mengambil alih Verdansk untuk Veleno. Kita ... butuh instruksi."Sementara itu, Lucas dan kelompoknya meninggalkan markas Dominus Noctis. Mereka bergerak cepat, kembali ke sasana Brotherhood. Mobil melaju dalam keheningan. Tidak ada yang berbicara, tetapi ketegangan masih terasa di udara. Lucas menatap ke luar jendela, ekspresinya datar, tetapi pikirannya masih menganalisis segala sesuatu yang baru saja terjadi.Saat mereka sampai di sasana, Kai langsung berlari ke ruang teng
Marchetti melangkah maju dengan penuh percaya diri. Tatapan matanya tajam, penuh determinasi."Aku adalah pemimpin baru Dominus Noctis di Verdansk," ucapnya dengan nada yang menggema di seluruh ruangan.Julian menatapnya dengan mata menyipit, bibirnya membentuk seringai tipis. "Jadi kamu pemimpinnya? Bagus. Aku tidak perlu repot-repot mencari lagi."Marchetti menyilangkan tangan di dada. "Jika kau datang ke sini saat pemimpin lama masih berkuasa, mungkin kau akan menang. Tapi sekarang berbeda. Aku yang memimpin. Dan aku tidak terkalahkan."Julian tertawa kecil. "Oh? Benarkah?"Dari balik pintu, langkah kaki terdengar. Semua kepala menoleh.Lucas melangkah masuk, tatapan matanya tajam seperti elang yang mengintai mangsa. Dia berhenti di samping Julian, menatap Marchetti dengan santai namun penuh tekanan."Jadi, kau yang sekarang memimpin Dominus Noctis?" tanya Lucas.Marchetti menatapnya dengan bingung. "Siapa kau? Aku tidak mengenalmu. Dan jika kau hanya orang biasa, lebih baik tutup
Ketiga pria itu masih menunduk, tubuh mereka sedikit gemetar. Mereka tahu, begitu mereka membawa Lucas ke markas Dominus Noctis, nyawa mereka bisa terancam. Tapi di sisi lain, jika menolak, mereka akan mati di tangan Julian."Kalian sudah mengambil keputusan, bukan?" Lucas bertanya dengan nada datar.Salah satu dari mereka mengangguk cepat. "Ya … kami akan mengantar kalian ke markas."Lucas melangkah ke mobil dengan tenang. Julian menyusul di belakangnya, lalu sebelum masuk, dia menoleh."Lucas, kau sudah memikirkan ini matang-matang?"Lucas menatapnya. "Kenapa? Kamu takut?"Julian mendengus. "Takut? Tidak. Aku hanya ingin memastikan kamu sadar konsekuensinya. Jika kita pergi ke sana, itu berarti kita secara resmi berperang dengan Dominus Noctis."Lucas menyandarkan punggungnya ke kursi mobil dan tersenyum tipis. "Lalu kenapa? Aku adalah pemimpin Veleno. Aku tidak peduli berapa banyak musuh yang datang. Jika mereka mengancam wilayahku, maka aku akan menghancurkan mereka terlebih dahul
Pemimpin pasukan musuh berdiri tegak. Seolah dia Ingin menunjukkan diri jika dia tidak takut kepada siapapun."Kalian pikir siapa, hah? Aku bukan orang yang bisa kalian takuti begitu saja!" Pemimpin musuh mendengus, melangkah maju dengan mata penuh keyakinan. Tatapannya menyapu tubuh Lucas dan Julian dengan penuh rasa percaya diri."Aku telah melalui lebih banyak pertempuran daripada yang bisa kalian bayangkan," katanya lagi, suaranya tajam. "Jika kalian berani melawanku, bersiaplah untuk mati!"Julian tersenyum tipis, menatap pria itu dengan tatapan yang hampir mengejek. "Lebih baik kalian semua menyerahkan diri sekarang," katanya santai. "kau sudah kehilangan banyak orang. Tidak ada gunanya melawan."Pemimpin musuh itu menggeram, matanya menyala karena amarah. "Serahkan diri? Setelah kalian membunuh anak buahku?”“Ciih! Aku tidak akan pernah melakukannya!" ucapnya dengan angkuh.Julian mengangkat bahu. "Kalau itu keputusanmu, kau juga akan mati sebentar lagi."Pria itu terkekeh, men
"Aku tidak suka ini," gumam Hugo, tatapannya tajam menyapu sekeliling. Lima pria bersenjata berdiri dalam formasi setengah lingkaran, mengawasi mereka seperti pemangsa menunggu mangsanya jatuh ke perangkap.Nero tetap tenang, meskipun pikirannya berpacu cepat. “Kita ulur waktu," bisiknya nyaris tak terdengar. "The Obsidian Blade pasti sudah membaca pesanku. Dia akan datang untuk menolong.”Hugo mengangguk kecil. Dia langsung memutar otak bagaimana caranya agar dia bisa mengukur waktu.Setelah beberapa saat, Hugo mengangkat kedua tangannya dengan ekspresi malas. "Hei, aku kesulitan membuka pintunya," katanya, suaranya terdengar santai, seolah situasi ini bukan ancaman serius.Pemimpin kelompok itu,seorang pria bertubuh kekar dengan janggut tebal dan bekas luka di pelipisnya, menyipitkan mata. "Jangan main-main dengan kami!” ucapnya."Aku serius," kata Hugo, memasang ekspresi kesal. "kuncinya macet. Bagiamana aku bisa keluar?”Salah satu pria bertato di leher melangkah maju, menatap H
“Kendalikan dirimu.”Nero menatap Hugo dengan tajam. Suaranya rendah, nyaris berbisik, tapi ada ketegasan yang tak bisa diabaikan.Hugo tidak langsung menjawab. Rahangnya mengeras, matanya terus menatap Randy dan Matias yang kini duduk santai di sudut restoran, berbincang seolah dunia sedang berpihak pada mereka.“Kita tidak bisa menyerang mereka sekarang,” lanjut Nero. “itu bukan perintah.”Hugo mengembuskan napas kasar. “Kalau bukan karena perintah dari The Obsidian Blade, mereka sudah mati di tempat ini.”“Dan itulah sebabnya kau harus menahan diri.” Nero mengaduk kopinya perlahan. “kita tunggu.”Hugo mengepalkan tangannya di bawah meja. “Tunggu apa? Sampai mereka menghancurkan semuanya?”Nero tidak menjawab. Matanya masih memperhatikan Randy dan Matias yang kini tidak lagi sendirian. Dua pria bertubuh besar masuk ke restoran, tubuh mereka dipenuhi tato, dari tangan, leher, hingga wajah. Salah satunya bahkan memiliki luka panjang di pipi kanan, memberi kesan bahwa ia bukan orang ya
Kai menatap Lucas dengan ragu. Tawaran itu menggiurkan, tapi ia tahu ibunya tidak akan mudah memberikan izin."Aku sebenarnya sangat ingin bergabung. Tapi aku harus meminta izin ibuku dulu," katanya akhirnya.Lucas menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. Dia paham.“Itu bisa dimengerti." Lucas menyilangkan tangan. "tapi kamu tahu, kebanyakan orang tidak punya pandangan baik tentang tempat seperti ini. Mereka melihatnya sebagai dunia bawah tanah yang penuh kekerasan dan risiko tinggi."Kai mengangguk pelan. Ia tahu ibunya adalah orang yang konservatif. Bahkan jika hanya sekadar latihan, ibunya mungkin tetap tidak setuju.Lucas tampak berpikir sejenak. Lalu dia berkata, "Kalau begitu, aku akan menemui ibumu sendiri. Aku akan menjelaskan bahwa kau hanya akan berlatih, tidak bertarung. Dan aku akan memastikan tidak ada yang membahayakanmu."Kai menatapnya, terkejut. "Kamu serius, Bos?"Lucas tersenyum tipis. "Aku tidak main-main, Kai. Aku ingin kamu bergabung."Senyum lebar muncul di
Lucas berdiri dan berjalan menuju arena latihan, langkahnya mantap dan penuh wibawa. "Ikut aku," katanya tanpa menoleh.Kai ragu sejenak, tapi ia tidak bertanya. Ia mengikuti Lucas keluar dari ruangan, melewati lorong sempit yang berbau keringat dan debu, lalu tiba di sebuah arena latihan yang luas. Matras tebal melapisi lantai, sementara beberapa samsak bergelantungan di sudut. Sejumlah anggota Brotherhood sedang berlatih, tinju mereka menghantam samsak dengan kecepatan dan kekuatan yang mengintimidasi.Lucas berhenti di tepi arena. Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan, lalu menatap seorang pria bertubuh kekar yang sedang mengangkat barbel di sudut."Armand," panggil Lucas.Pria itu menoleh, meletakkan barbelnya, lalu berjalan mendekat. Dengan tubuh berotot dan lengan penuh urat, ia tampak seperti seseorang yang lahir untuk bertarung."Apa, Bos?"Lucas mengangguk ke arah Kai. "Masuk ke arena."Armand melirik Kai dan mendengus. "Serius?"Lucas hanya menatapnya tanpa ekspresi.Arman
Hugo berdiri di tengah halaman sasana, matanya tajam menyapu sekeliling. Matahari terik menggantung di atas kepala, tapi tidak ada yang merasa nyaman di bawah sinarnya."Kita harus menemukan mereka," kata Hugo dengan suara tegas. "Morris, kau pimpin tim ke arah utara. Aku akan ke barat. Yang lain, sebarkan diri kalian. Jangan sampai ada satu sudut pun yang terlewat.""Dimengerti!" seru para anggota Brotherhood serempak sebelum bergegas menyebar.Morris melangkah cepat ke arah jalanan di utara, matanya tak henti-henti mengamati trotoar, gang sempit, dan wajah-wajah asing yang mungkin mencurigakan. Ia melihat beberapa pria bertato bersandar di dinding gang, merokok sambil bercakap santai. Tapi setelah diamati lebih jauh, mereka hanyalah pemabuk biasa.Sementara itu, Hugo berjalan ke barat, melewati deretan toko kecil dan gudang tua. Ia memperlambat langkahnya saat melihat beberapa pria dengan postur tinggi besar berdiri di depan toko kelontong. Hugo menajamkan tatapannya, tetapi mereka