Kai melangkah mundur, matanya bergerak liar ke sekeliling. Ia bisa merasakan bulu kuduknya meremang."Kak, kita harus pergi," kata Kai dengan cepat. "kita tidak bisa berlama-lama di sini."Nero tetap berdiri di tempatnya, menatap Kai dengan dahi berkerut. "Kenapa? Aku masih ada urusan dengan mereka."Kai menelan ludah. Lalu dia bercerita, "Aku pernah melihat ini sebelumnya. Saat aku kecil ... ada seorang pria, seperti kita, yang menang dalam perkelahian. Dia menghajar lawannya habis-habisan. Tapi yang terjadi setelahnya..."Kai menggelengkan kepala, matanya dipenuhi bayangan kelam dari masa lalunya. "Mereka menelepon teman-temannya. Puluhan orang datang. Dan mereka membunuh pria itu di tempat."Nero menyipitkan mata, memandangi dua pria yang masih tergeletak di tanah. "Jadi menurutmu mereka bagian dari mafia?"Nero juga sebenarnya sudah mengira kalau mereka berdua adalah orang bayaran."Bukan cuma menurutku. Aku yakin."Belum sempat Nero merespons, sebuah suara keras memecah malam.La
Lucas kini tiba di kantor polisi kota Verdansk.“Lucas?” Polisi itu menatapnya dengan kaget.Lucas melangkah masuk ke kantor polisi dengan tenang, auranya begitu kuat hingga ruangan terasa lebih sempit dari sebelumnya.Polisi yang berjaga segera berdiri lebih tegak. Mereka mengenalnya. Bukan sebagai mafia, tapi sebagai pengusaha besar yang memiliki jaringan luas.Lucas melangkah mendekat ke meja resepsionis. “Di mana Nero?”Polisi itu tampak ragu. “Nero?” dia melirik daftar tahanan sebelum mengangkat kepala, ekspresinya berubah curiga. “Apa dia membuat masalah dengan Anda, Tuan Lucas?”Lucas tidak menjawab langsung. Matanya yang tajam hanya menatapnya, menunggu.Detik berikutnya, pintu kantor utama terbuka. Seorang pria paruh baya dengan seragam polisi masuk ke ruangan. Kepala polisi.“Tuan Lucas,” ucap kepala polisi dengan nada penuh rasa hormat. “tidak menyangka Anda datang ke sini. Ada yang bisa saya bantu?”Lucas tetap tenang. “Aku ingin bertemu seseorang. Namanya Nero.”Kepala po
Lucas duduk diam di ruangannya, cahaya lampu gantung menyinari wajahnya dengan temaram. Di tangannya, secangkir kopi masih mengepulkan uap, tetapi ia tak berniat meminumnya.Kai.Nama itu terus berputar di kepalanya.Seorang remaja yang muncul tiba-tiba, cukup kuat untuk membantu Nero dalam pertarungan melawan preman bayaran. Itu bukan sesuatu yang bisa dianggap kebetulan.Lucas mengingat dirinya sendiri di usia yang hampir sama. Saat remaja, ia sudah memiliki kemampuan bertarung di atas rata-rata. Lebih dari sekadar bakat alami, tubuhnya sudah terlatih untuk menghadapi kekerasan. Keunggulannya itu membuat banyak organisasi mafia menginginkannya. Mereka mengincarnya, berusaha menariknya ke dalam jaringan mereka.Namun hanya Veleno yang berhasil mendapatkan dirinya.Dan sekarang, ia melihat kemungkinan yang sama pada pemuda bernama Kai.Lucas menatap Julian, yang berdiri di hadapannya.“Temukan dia,” perintahnya singkat.Julian mengangguk. “Akan kuurus.”Tanpa banyak bicara, ia berbali
Kai menatap dua pria di hadapannya. Kata-kata Morris terus bergaung di kepalanya."Karena ini akan menguntungkanmu."Keuntungan?Hidupnya saat ini jauh dari kata nyaman. Rumah kecil yang ia tinggali bersama ibu dan adiknya nyaris tak cukup untuk menampung mereka bertiga. Ibunya, Liana, hanya seorang pedagang kecil di pasar, berjuang setiap hari untuk mencukupi kebutuhan mereka. Sementara adik perempuannya, Mila, masih berusia sepuluh tahun dan terlalu muda untuk memahami kerasnya hidup.Ayah mereka? Sudah lama menghilang, lenyap tanpa kabar sejak Mila masih bayi.Kai menelan ludah. Jika bertemu dengan bos mereka bisa membuka peluang, mungkin ia harus mencobanya."Aku akan datang besok," kata Kai akhirnya.Hugo mengangkat alis, sementara Morris tersenyum puas."Pilihan yang tepat," ujar Morris.Hugo pun memberikan secarik kertas, alamat sasana Brotherhood.Belum sempat Kai berkata lagi, suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Pintu terbuka, dan ibunya muncul sambil membawa dua c
Adriano melempar dokumen itu ke lantai. Wajahnya merah padam, rahangnya mengeras, dan matanya menatap tajam ke arah dua anak buahnya yang tertunduk ketakutan."Kalian dua orang dewasa, berlatih bertahun-tahun, dan masih bisa kalah dari satu anak ingusan?! Apa gunanya aku membayar kalian?!"Salah satu anak buahnya mencoba berbicara, suaranya gemetar. "Bos, Nero … dia lebih kuat dari yang kita kira. Gerakannya cepat, pukulannya keras. Kami tidak sempat bereaksi.”Brak!Adriano menghantam meja di depannya. "Omong kosong! Kalian cuma cari alasan!"Langkah santai terdengar dari pintu.Seorang pria tinggi dengan jas hitam masuk ke ruangan tanpa terburu-buru. Wajahnya tenang, seolah tidak peduli pada kekacauan yang sedang terjadi.Marchetti.Tatapannya menyapu ruangan sebelum berhenti pada Adriano. "Ada apa?"Adriano mengepalkan tangannya, mencoba meredam amarah. "Nero mengalahkan dua orangku."Marchetti mengangkat alis. "Nero?""Ya.""Siapa yang kau kirim?"Adriano menyebutkan dua nama.Mar
Hugo berdiri di tengah halaman sasana, matanya tajam menyapu sekeliling. Matahari terik menggantung di atas kepala, tapi tidak ada yang merasa nyaman di bawah sinarnya."Kita harus menemukan mereka," kata Hugo dengan suara tegas. "Morris, kau pimpin tim ke arah utara. Aku akan ke barat. Yang lain, sebarkan diri kalian. Jangan sampai ada satu sudut pun yang terlewat.""Dimengerti!" seru para anggota Brotherhood serempak sebelum bergegas menyebar.Morris melangkah cepat ke arah jalanan di utara, matanya tak henti-henti mengamati trotoar, gang sempit, dan wajah-wajah asing yang mungkin mencurigakan. Ia melihat beberapa pria bertato bersandar di dinding gang, merokok sambil bercakap santai. Tapi setelah diamati lebih jauh, mereka hanyalah pemabuk biasa.Sementara itu, Hugo berjalan ke barat, melewati deretan toko kecil dan gudang tua. Ia memperlambat langkahnya saat melihat beberapa pria dengan postur tinggi besar berdiri di depan toko kelontong. Hugo menajamkan tatapannya, tetapi mereka
Lucas berdiri dan berjalan menuju arena latihan, langkahnya mantap dan penuh wibawa. "Ikut aku," katanya tanpa menoleh.Kai ragu sejenak, tapi ia tidak bertanya. Ia mengikuti Lucas keluar dari ruangan, melewati lorong sempit yang berbau keringat dan debu, lalu tiba di sebuah arena latihan yang luas. Matras tebal melapisi lantai, sementara beberapa samsak bergelantungan di sudut. Sejumlah anggota Brotherhood sedang berlatih, tinju mereka menghantam samsak dengan kecepatan dan kekuatan yang mengintimidasi.Lucas berhenti di tepi arena. Ia menyapu pandangan ke seluruh ruangan, lalu menatap seorang pria bertubuh kekar yang sedang mengangkat barbel di sudut."Armand," panggil Lucas.Pria itu menoleh, meletakkan barbelnya, lalu berjalan mendekat. Dengan tubuh berotot dan lengan penuh urat, ia tampak seperti seseorang yang lahir untuk bertarung."Apa, Bos?"Lucas mengangguk ke arah Kai. "Masuk ke arena."Armand melirik Kai dan mendengus. "Serius?"Lucas hanya menatapnya tanpa ekspresi.Arman
Kai menatap Lucas dengan ragu. Tawaran itu menggiurkan, tapi ia tahu ibunya tidak akan mudah memberikan izin."Aku sebenarnya sangat ingin bergabung. Tapi aku harus meminta izin ibuku dulu," katanya akhirnya.Lucas menatapnya beberapa detik, lalu mengangguk. Dia paham.“Itu bisa dimengerti." Lucas menyilangkan tangan. "tapi kamu tahu, kebanyakan orang tidak punya pandangan baik tentang tempat seperti ini. Mereka melihatnya sebagai dunia bawah tanah yang penuh kekerasan dan risiko tinggi."Kai mengangguk pelan. Ia tahu ibunya adalah orang yang konservatif. Bahkan jika hanya sekadar latihan, ibunya mungkin tetap tidak setuju.Lucas tampak berpikir sejenak. Lalu dia berkata, "Kalau begitu, aku akan menemui ibumu sendiri. Aku akan menjelaskan bahwa kau hanya akan berlatih, tidak bertarung. Dan aku akan memastikan tidak ada yang membahayakanmu."Kai menatapnya, terkejut. "Kamu serius, Bos?"Lucas tersenyum tipis. "Aku tidak main-main, Kai. Aku ingin kamu bergabung."Senyum lebar muncul di
“Aku akan membantumu,” ujar Jeremy mantap.Carlos menatapnya dengan penuh harap. “Kamu sungguh-sungguh?”“Tentu saja,” jawab Jeremy sambil menatap lurus ke depan. “Kebetulan, aku punya kenalan di BQuality.”Carlos sedikit membungkuk. “Kenalan? Siapa?”Jeremy tersenyum kecil, lalu menggeleng. “Lebih baik tidak aku sebutkan sekarang. Tapi orang itu cukup penting di dalam perusahaan.”Carlos menahan tanya. Ada keraguan di matanya, namun ia menahannya. Ia tahu, dia tidak berada dalam posisi untuk menuntut apa pun.Jeremy menyesap bourbon-nya sekali lagi. “Kamu hanya perlu mempercayakannya padaku. Mungkin akan ada beberapa hal yang perlu kamu bantu nanti, tapi saat ini, cukup tenang saja.”Carlos mengangguk perlahan. “Baik. Aku percaya. Dan ... terima kasih. Aku ... aku minta maaf jika tadi terlalu curiga.”“Tidak masalah,” balas Jeremy, masih dengan nada tenang. “sudah sewajarnya orang dalam posisi sepertimu bersikap waspada. Tapi percayalah, Carlos, bantuan ini bukan semata-mata karena r
Lampu neon berpendar di langit-langit klub malam, menyiram ruangan dengan warna ungu dan biru elektrik. Musik berdentum keras, menembus lantai dan membuat setiap gelas bergetar halus di atas meja. Di tengah keramaian itu, Jeremy duduk seorang diri di sofa VIP, menatap kosong ke arah bar. Gelas kristal berisi bourbon masih utuh di tangannya. Minuman keras tidak membantu banyak. Kepalanya masih terasa berat.“Jeremy.” suara manja itu terdengar di sampingnya.Selena berdiri dengan dress merah menyala, tubuhnya bergerak mengikuti irama musik yang menghentak.“Ayo berdansa. Jangan terlalu tenggelam dalam pikiranmu sendiri,” ujarnya sambil tersenyum.Jeremy hanya menggeleng pelan. Lalu dia berkata, “Aku sedang tidak berminat malam ini. Aku hanya ingin duduk dan menikmati suasana.”Selena menghela napas. Ia mencondongkan tubuh, duduk di sisi Jeremy. “Apa ada masalah? Jangan terlalu dipikirkan. Setidaknya malam ini, lepaskan semuanya meskipun hanya sebentar.”Jeremy meneguk minumannya. Alkoho
Langit sore mulai menggelap saat mobil hitam berlogo perusahaan Bellucci berhenti di halaman rumah besar mereka. Angeline melangkah keluar dengan langkah lesu. Hari itu begitu melelahkan, penuh dengan rapat dan dokumen yang membuat otaknya terasa penuh sesak.Ia membuka pintu rumah, lalu langsung menaiki tangga ke lantai atas. Rumah terasa sunyi. Tak ada suara musik, tak ada aroma masakan. Yang terdengar hanya suara air yang mengalir dari kamar mandi.Begitu membuka pintu kamar, aroma sabun langsung menyeruak. Angeline menatap ke arah kamar mandi. Terdengar suara guyuran air dari balik pintu kaca buram. Ia melirik ke arah keranjang pakaian kotor, melihat kemeja Lucas yang dikenakannya tadi pagi sudah tergeletak di sana, basah keringat. Di atas sofa single, tergeletak ponsel Lucas. Layarnya menyala beberapa kali—tanda pesan masuk.Angeline berjalan ke arah meja riasnya. Ia melepaskan sepatu hak tinggi, menjatuhkan tubuh ke kursi dengan napas berat. Tangan kanannya menjangkau anting-ant
Deni berdiri di tengah ruangan, wajahnya pucat. Napasnya memburu.“A-aku akan pergi,” kata Deni pada akhirnya. “aku akan pergi ke rumah wanita itu, seperti yang diminta oleh Bos Lucas. Aku akan minta maaf.”Hugo mendengus kecil. “Bagus.”Ia menatap Deni dengan dingin, lalu menepuk pelan pipi pria itu, bukan seperti menenangkan, tapi mengingatkan. “Kau beruntung masih ingat. Kupikir kau akan lupa. Dan kalau itu terjadi… kehancuranmu akan datang lebih cepat dari yang kau kira.”Deni buru-buru menggeleng. “Tidak … tidak. Aku tidak mungkin lupa. Janji pada Bos Lucas, mana mungkin aku abaikan.”Morris menyilangkan tangan. “Kalau begitu, segera berangkat. Bawa anak-anakmu juga. Suruh mereka minta maaf bersama.”“Baik. Setelah kalian pergi, aku akan ke sana,” ucap Deni seraya menunduk.Morris menyipitkan mata. Lalu dia berkata, “Aku tidak ke mana-mana. Aku akan ikut. Aku ingin melihat langsung bagaimana kau merendahkan harga dirimu.”Tenggorokan Deni terasa kering. Ia menelan ludah keras-ker
“Aku nggak percaya Ibu benar-benar mengizinkannya,” ucap Kai dengan wajah berseri. “Aku janji, Bos. Aku akan latihan dengan sungguh-sungguh. Aku akan jadi petarung yang hebat!”Lucas memandangnya sebentar. “Latihlah dulu hatimu sebelum tubuhmu.”Kai mengernyit. “Maksud Bos?”“Kamu harus bayar kepercayaan ibumu. Jangan kecewakan dia. Kamu tahu, kepercayaan itu mahal. Kalau kau gagal, kau bukan cuma jatuh, kamu menghancurkan harapannya.”Kai mengangguk cepat, wajahnya berubah serius. “Aku mengerti. Aku nggak akan mengecewakannya. Aku akan buat Ibu bangga. Dan suatu hari nanti ... aku akan bawa dia keluar dari kemiskinan ini.”Liana yang sejak tadi diam, menghela napas pelan. “Tapi ... kalau bisa jangan ikut tinju bawah tanah, ya. Latihan saja. Jangan sampai cedera.”Kai menoleh ke ibunya, lalu tersenyum kecil. “Itu tidak bisa, Bu. Dari mana aku dapat uang kalau tidak bertarung?”“Uang?” Liana mengernyit.Kai mengangguk. “Iya. Satu pertandingan bisa dapat bayaran besar. Bahkan lebih besa
“Aku masih tidak percaya,” kata Kai sambil berjalan di samping Lucas. “Bos Lyacs tadi seperti Raja Iblis turun dari langit.”Lucas tidak menjawab. Langkah kakinya tetap stabil, matanya lurus ke depan seperti tak terganggu oleh pujian itu.“Kamu tahu, Bos? Tadi itu benar-benar gila. Tujuh orang siap menghajarmu, dan Bos tidak bergerak sedikit pun. Tapi, mereka semua malah mundur sendiri. Itu bukan karena kekuatan fisikmu. Itu karena aura dan wibawamu, Bos. Kamu ... benar-benar luar biasa, Bos.”Lucas tetap diam.Kai tertawa kecil. “Aku pikir kita bakal baku hantam habis-habisan. Ternyata, cukup dengan satu kalimat: 'Dia adalah pemilik Sasana Brotherhood,' dan semuanya selesai. Mereka takut.”Lucas akhirnya berbicara, suaranya tenang dan datar. “Jangan lakukan itu lagi.”Kai mengerutkan dahi. “Lakukan apa?”“Jangan pernah bongkar siapa aku. Bahkan jika nyawamu terancam sekalipun.”Kai langsung berhenti melangkah. “A-aku ... aku hanya ingin melindungimu, Bos. Dan juga ingin menyelesaikan
“Serang dia! Hajar sampai mati kalau perlu! Jangan biarkan dia keluar dari rumah ini hidup-hidup!” bentak Tuan Deni, suaranya membelah udara seperti cambuk api.Anak buahnya langsung bereaksi. Tujuh pria berbadan besar dengan mata merah menyala menerjang maju. Tinju mereka terkepal, siap menghantam. Suara langkah kaki mereka bergemuruh seperti kawanan banteng yang menyeruduk liar.Namun Lucas tidak bergeming.Dia berdiri di tempat, tangan tetap dimasukkan ke saku celana, wajahnya sama sekali tidak menunjukkan rasa takut.Dia justru menyeringai.“Lucu,” gumamnya pelan, nyaris seperti bicara kepada diri sendiri. “Anak-anak taman kanak-kanak diajak tawuran.”Tepat ketika preman-preman itu hendak menyentuh jarak tempur, sebuah suara melengking memecah suasana.“Berhenti!”Semua orang membeku.Kai melangkah maju, berdiri di antara Lucas dan para preman, tubuhnya gemetar tapi matanya bulat penuh tekad.“Berhenti! Jangan sentuh dia!”Tuan Deni mendelik. “Kau gila, bocah?! Minggir!”Kai menel
Kai bergegas ke kamar mandi tanpa berkata apa-apa. Langkahnya tergesa, tangannya cepat meraih gayung dan menampung air di ember kecil yang ada di sana.Sementara itu, Liana masih berdiri di ruang tamu dengan tubuh gemetar.“Bos Lucas…” katanya lirih. “Tolong … batalkan niatmu pergi ke tempat Tuan Deni.”Lucas menoleh perlahan, matanya tenang namun tajam. “Kenapa?”“Aku tidak ingin ada keributan lagi. Aku tidak ingin kamu menyulut api lebih besar,” ucap Liana, suaranya gemetar. “tolong, cukup sampai di sini. Nantinya, aku yang akan repot karena aku yang pastinya akan dikejar-kejar oleh mereka.”Lucas menghela napas pelan. “Tenang. Aku akan menyelesaikan ini supaya tidak ada masalah di kemudian hari.”“Tidak seperti itu maksudku,” Liana cepat-cepat menimpali. “pokoknya jangan ke sana! Jangan menantang Tuan Deni! Dia bukan orang biasa, Lucas.”Langkah Kai terdengar dari lorong. Dia muncul sambil membawa gayung berisi air, menetes-netes di lantai.“Ibu, tenanglah,” katanya sambil menyerah
Pria bertubuh besar dengan suara bak halilintar itu berdiri di depan pintu. Wajahnya penuh kemarahan. Tato naga hitam menghiasi lengan kirinya, dan rantai emas tebal menggantung di lehernya.“Kamu tidak perlu ikut campur kecuali kamu mau mendapat masalah!” ucap pria bernama Baron.“Namaku Lucas,” jawabnya tenang, lalu menyunggingkan senyum dingin. “nama belakangku ‘masalah’. Jadi, aku sudah akrab dengan yang namanya masalah.”Baron mendecih. “Sialan.”Lucas melipat tangan di dada. “Sekarang jelaskan, kau ini siapa dan kenapa mencari Liana?”Baron menoleh ke arah Liana yang berada di balik Lucas. “Bukan urusanmu. Aku di sini untuk menagih utang.”Liana melangkah maju dengan wajah tegang. “Baron, aku sudah bilang, aku butuh waktu. Aku belum punya uangnya sekarang.”Baron mengangkat alis. “Waktu? Sudah cukup banyak waktu kau minta, Liana. Tapi utang tetap utang. Harus dibayar sekarang juga sesuai dengan perjanjian! Paham!”Kai langsung berdiri dari tempat duduknya. “Jangan bentak ibu say