Pertanyaan itu mengganggu Lucas. Dia tidak senang dengan apa yang terjado. Semalam Angeline pun bertanya hal yang sama.Namun meski begitu, Lucas menanggapinya dengan santai saja sambil tersenyum kecil. "Keberuntungan."Jeremy terkekeh. "Keberuntungan?"Jeremy menyipitkan matanya. "Aku tidak percaya pada keberuntungan, terutama dalam dunia kita. Gigio Moratta bukan tipe orang yang sembarangan memilih seseorang. Dia sangat selektif."Lucas tetap tersenyum. Lalu dia berkata, "Mungkin dia hanya melihat sesuatu dalam diriku. Gigio juga baik hati, jadi apa salahnya dekat dengannya?"Jeremy tidak langsung membalas. Dia menatap Lucas lebih dalam, seolah mencoba menelanjangi pikirannya."Atau mungkin dia melihat sesuatu yang lebih besar daripada yang kamu sadari sendiri,” kata Jeremy.Lucas menatapnya. "Kamu terdengar seperti seseorang yang memiliki teori sendiri. Pada intinya, aku hanya beruntung bisa dekat dengan Gigio Moratta.""Tidak, aku merasa ada hal lain yang kamu sembunyikan. Apa kam
Di sisi lain kota, Lucas melangkah masuk ke dalam gedung perusahaan Liquid dengan ekspresi dingin. Langkahnya mantap, setiap jejak yang dia tinggalkan membawa aura ketegasan yang tidak bisa diabaikan oleh siapapun yang melihatnya.Para karyawan yang masih sibuk dengan pekerjaan mereka di lantai utama segera melirik ke arahnya, sebagian besar memilih untuk menundukkan kepala dan menghindari tatapan pria itu. Lucas bukan tipe orang yang suka berbasa-basi, dan setiap kehadirannya di kantor ini selalu membawa dampak yang tidak bisa diremehkan.Dia telah menyelesaikan beberapa urusan sebelumnya, tetapi ada satu hal yang terus mengganjal pikirannya sejak pagi.Saat dia menaiki anak tangga menuju lantai tempat ruangan Angeline berada, firasatnya semakin kuat. Ada sesuatu yang mengganggunya, sesuatu yang membuatnya merasa harus segera berada di sini.Langkahnya melambat ketika mendekati ruangan Angeline. Pintu tidak tertutup rapat, dan dari celah kecil itu, dia bisa mendengar suara percakapan
Lucas melangkah menuju meja, mengambil ponselnya dengan gerakan cepat dan pasti. Angeline menatapnya dengan rasa cemas yang semakin mendalam. Dia tahu Lucas sedang marah, dan kali ini, kemarahan itu mungkin akan membawa akibat yang jauh lebih besar dari yang dia bayangkan.Lucas menatap Angeline sekilas, kemudian pergi meninggalkan ruangan itu dan menuju ke kamar mandi.Lucas membuka kontak Jack Will dengan tangan yang gemetar sedikit karena amarah yang semakin membara. Setelah beberapa detik, dia mulai mengetik pesan, setiap kata yang dia ketik penuh dengan ancaman dan kekuatan.‘Jack, pastikan Lisa, Presdir perusahaan Liquid, mendapatkan apa yang pantas dia terima. Jika dia tidak memberikan posisi wakil direktur kepada Angeline, aku akan menarik investasi yang sudah kami rencanakan untuk perusahaan Liquid. Jangan ada pengecualian.’Dia menekan tombol kirim dan menunggu sejenak. Beberapa detik kemudian, pesan balasan masuk dari Jack Will.‘Pesan sudah diterima, The Obsidian Blade. Ka
Beberapa tamu tampak tegang. Angeline bingung dengan penggrebekan tiba-tiba ini. Cahaya lampu gantung di langit-langit kafe memancarkan kesan hangat, berpadu dengan alunan musik jazz pelan yang mengalir di udara. Meja-meja kayu tertata rapi, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelip samar. Ini bukan tempat sembarangan. Kafe ini hanya dikunjungi oleh mereka yang berkantong tebal dan memiliki koneksi kuat.Namun, suasana tenang itu mendadak berubah ketika suara gaduh dari luar menyusup ke dalam. Angeline mengangkat kepalanya, matanya menangkap bayangan beberapa orang berseragam yang baru saja memasuki tempat itu dengan langkah tegas.Dia menoleh ke arah Dario, pria yang duduk tenang di hadapannya dengan segelas espresso yang masih mengepul di tangan. "Kenapa di tempat seperti ini ada penggerebekan?" tanyanya tanpa basa-basi. Dia tak paham, biasanya pengrebekan adanya di klub, di diskotek, tapi ini kafe, tempat orang makan dan nongkrong.Dario mengangkat bahu, matanya yang tajam tetap te
Di antara hiruk-pikuk itu, matanya menangkap sosok Dario yang berdiri di sudut ruangan. "Dario!" teriaknya, suaranya mengandung kemarahan sekaligus pengharapan. "Kamu tahu aku tidak bersalah! Lakukan sesuatu!" Namun, Dario hanya tersenyum tipis. Ekspresinya tetap tenang. “Aku tidak tahu dan maaf, aku tidak boleh terlibat dengan hukum. Nama keluargaku bisa tercoreng,” kata Dario. “jika kamu tidak bersalah, kamu jangan takut.” Setelah itu Dario pun melanjutkan langkah kakinya, pergi meninggalkan tempat itu. Polisi kembali menarik Angeline dengan lebih kuat. "Lepaskan aku! Aku bilang aku tidak bersalah!" Dia berusaha melawan, tetapi cengkeraman di lengannya terlalu erat. Kamera kembali menyala. Wartawan semakin bersemangat meliput kejadian ini. Di luar, mobil polisi sudah menunggu dengan pintu belakang terbuka. Salah satu petugas mendorongnya masuk dengan kasar. Sebelum pintu tertutup, Angeline masih sempat melihat Dario berdiri di depan kafe dengan ekspresi penuh arti. "Pak, sa
Yang diketahui oleh polisi di sana, Angeline adalah salah satu dari keluarga Jordan. Mereka sama sekali tidak melihat ada sesuatu yang berbahaya jika mereka menangkap Angeline. Malah, sebaliknyaIni akan menjadi prestasi besar bagi mereka.Namun, Mirko berkata lain, membuat para polisi yang lain menjadi menahan diri dan penasaran.Namun sebelum Angeline dipindahkan, pintu ruangan terbuka. Seorang pria berseragam polisi masuk, membawa tablet di tangannya. Dia menyerahkannya kepada polisi yang menginterogasi Angeline.“Rekaman CCTV sudah diperiksa, Pak.”Angeline menajamkan tatapannya.Polisi itu memberikan tablet itu kepada Mirko. Lalu dia langsung memutarnya.Di layar, terlihat Angeline memasuki kafe. Dia duduk di sudut ruangan, memesan kopi, dan saat sedang asyik, datang seorang pria.Mirko menghentikan video itu. Dia langsung memperbesar layar untuk melihat siapa pria itu.“Apa? Dia Dario Moratta?” tanya Mirko. Kemudian Ryan menoleh ke arah Angeline. “benar, dia Dario?”Angeline men
"Lucas, aku tidak pernah mengkonsumsi barang itu. Kamu percaya sama aku kan?" Angeline bersuara, meski lelaki di depannya hanya menatap tajam dan tidak berbicara sama sekali.Angeline mengigit bibirnya risau. Bagaimana kalau Lucas tidak percaya kepadanya? Bagaimana kalau nanti Lucas meninggalkannya. Dan masih banyak ketakutan yang dia sendiri tidak bisa menjelaskan."Lucas, kamu percaya sama aku kan?"Ruangan itu sunyi. Hanya ada suara napas tertahan dan detak jam di dinding yang semakin memperjelas suasana tegang yang menggantung di antara mereka. Lampu neon di atas kepala memancarkan cahaya putih pucat, menciptakan bayangan samar di wajah Angeline yang terlihat lelah dan frustrasi.Lucas masih diam, sama sekali tidak menjawab pertanyaan Angeline."Lucas!" panggil Angeline risau.Lucas duduk di hadapannya dengan sikap santai yang justru membuat Angeline semakin gelisah. Sejak tadi, pria itu tidak mengatakan apa pun. Tidak ada pertanyaan, tidak ada tuduhan, bahkan tidak ada pembelaan.
Angeline menyilangkan tangan di dada, sorot matanya tajam menusuk ke arah Lucas yang berdiri di hadapannya. Napasnya masih teratur, tapi nada bicaranya dingin, nyaris seperti pisau yang siap mengiris."Bukankah kamu mengenalnya?" Angeline bertanya balik alih-alih menjawab pertanyaan Lucas.Lucas menatapnya tanpa ekspresi. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang sulit diterjemahkan, bukan keterkejutan, bukan juga ketidaktahuan, tetapi lebih kepada kehati-hatian yang disengaja. Dia ingin memastikan, sekaligus mencari kebenaran atas apa yang akan dikatakan oleh Angeline."Aku tidak melihatnya dengan jelas." Lucas menjawab singkat.Angeline menyeringai kecil, lalu menggelengkan kepala dengan tawa tipis yang tidak mengandung kehangatan sedikit pun. "Jangan berpura-pura dan mencari masalah, Lucas. Kamu jelas-jelas tahu siapa dia."Lucas tetap diam. Dia hanya menatap Angeline dengan mata yang seakan menimbang sesuatu. "Siapa memang?""Namanya Dario." Angeline akhirnya berkata. "Aku baru pertama k
Angeline melipat lengannya, bersandar di kepala ranjang sambil menatap langit-langit kamar yang temaram. Lucas masih memegang ponsel yang tadi bergetar.Kini nama Jeremy sudah tidak lagi terlihat di layar, tapi bayangannya masih menggantung di kepala mereka.“Dia makin lama makin mengganggu,” ucap Angeline dengan nada tidak suka.Lucas menoleh ke arahnya. “Dia melakukan apa lagi?”“Dua hari ini dia datang menemuiku,” jawab Angeline, suaranya tenang namun mengandung penekanan emosi. “dia bilang ingin membantuku menyelesaikan masalah dengan Carlos dan teman-temannya.”Lucas mengernyit. “Membantu? Dengan cara apa?”Angeline menghela napas, menatap Lucas sebentar lalu menunduk. “Katanya, dia bisa menghentikan Carlos agar tidak memviralkan kasus itu. Tapi dengan satu syarat.”Lucas menyandarkan punggung, tangannya terlipat di dada. “Syarat?”“Dia minta aku membantu menyelamatkan perusahaan Liquid,” jawab Angeline pelan. “dia bilang perusahaan di ambang kebangkrutan dan membutuhkan proyek b
Ponsel Jeremy bergetar di tengah hingar bingar musik klub malam. Lampu disko menyinari wajahnya dengan warna-warni menyilaukan, tapi ia tetap bisa membaca nama yang muncul di layar.Carlos.Dengan senyum kecil, Jeremy menerima panggilan itu dan menempelkan ponsel ke telinganya. Dia sudah menduga jika Carlos menghubungi karena dia setuju untuk menyerahkan masalah mereka kepadanya.‘Akhirnya kamu menghubungiku juga,’ kata Jeremy dengan ringan.‘Aku ingin bertemu denganmu. Kalau bisa sih, sekarang,’ jawab Carlos tegas.Jeremy melirik sekeliling. Musik EDM masih menggelegar.‘Hmmm … aku sedang di Imperial Room, klub malam di pusat kota. Kalau kamu mau bicara, datang saja ke sini,’ kata Jeremy.‘Baiklah, kalau begitu aku akan segera ke sana,’ kata Carlos.Setelah itu dia pun mengakhiri panggilan suara.Jeremy menaruh ponselnya ke atas meja dengan tawa lepas. “Aku tidak pernah gagal. Aku adalah seorang pemenang!” ucap Jeremy, berbangga diri. Dia pun memeluk seorang teman wanitanya, tapi bu
Langkah kaki Lucas menyusuri jalan yang sepi, meninggalkan jejak di rumput. Panggilan dari Angeline beberapa menit lalu masih membekas di benaknya. Nada suaranya terdengar tenang, tapi Lucas tahu, terlalu tenang justru menyembunyikan sesuatu.Rajendra m kembali ke rumah ibunya dan langsung menuju ke ruang keluarga. Di sana, ibunya sedang duduk santai di sofa sambil menonton tayangan ulang sinetron klasik. Volume televisi tak terlalu keras, namun cukup untuk mengisi kesunyian rumah mewah itu.Rose menoleh begitu melihat Lucas masuk. “Dari mana saja kamu, Nak?”Lucas menyandarkan tubuh di sandaran sofa. “Dari danau. Sekadar jalan-jalan.”Rose memiringkan kepala. “Ah, kamu benar. Udara di dekat danau, memang sangat bagus.”Lucas menoleh. “Ibu ingin ikut jalan-jalan?”Wajah Rose langsung berubah berseri. “Kalau boleh, aku ingin. Badanku rasanya kaku sekali. Dulu waktu kita masih tinggal di gang kecil, aku bolak-balik ke pasar. Masak buat dijual. Bergerak terus. Tapi sejak tinggal di sini,
“Apakah musuhmu itu bernamaLucas?” bisik Emilio lagi, kali ini lebih pelan, nyaris seperti gumaman yang tercampur rasa tidak percaya.Xena hanya menjawab dengan anggukan kecil.Tatapan Emilio mengeras. Dia bersandar ke sofa, memandangi Xena dalam diam. Beberapa detik kemudian, dia berkata, “Kalau benar kita punya musuh yang sama, artinya pria itu memang tidak biasa.”Hector melirik Emilio. “Don Emilio, apa kau yakin?”Emilio mengangguk pelan, meski sorot matanya tidak menunjukkan keyakinan yang sepenuhnya bulat. “Dia membunuh dua ketua cabang organisasi kami di kota Verdansk. Dalam waktu yang berdekatan.”Xena menatap Emilio tajam. Lalu dia berkata, “Dia juga telah membunuh keponakanku. Dan itulah kenapa aku menganggap dia sebagai musuhku.”Ruangan itu kembali sunyi. Emilio mencoba mengingat siapa saja keponakan Xena yang diketahui dalam lingkaran dunia bela diri. Tak banyak. Dan jika salah satunya tewas di tangan Lucas…“Apa? Dia membunuh keponakanmu?” tanya Emilio.Xena menatapnya.
Langkah kaki ringan namun tegas terdengar mendekati aula utama markas organisasi Dominus Noctis. Aroma wewangian bunga magnolia mengalir lebih dulu, seolah menandakan kehadiran sosok luar biasa.Pintu dibuka oleh pengawal, dan masuklah seorang wanita.Tubuhnya tegap namun elegan. Rambut hitam berkilau digulung anggun di atas kepala. Wajahnya tidak muda, namun tiap lekuk dan guratannya memancarkan ketegasan serta keanggunan yang menakjubkan. Sepasang mata tajam menyorot sekeliling dengan rasa percaya diri yang luar biasa.“Xena,” ucap Don Emilio dengan nada hampir tak percaya.Ia langsung berdiri. Tatapannya berubah dari dingin menjadi hangat seketika, seolah beban puluhan tahun menguap begitu melihat wanita itu.Xena tersenyum saat melihat Emilio. “Masih mengenaliku?” tanya Xena.“Mana mungkin tidak mengenalimu?” Emilio melangkah cepat mendekati, lalu memeluk Xena dengan erat. “Tuhan. Ini benar-benar kamu. Sudah berapa lama sejak kita terakhir bertemu?”“Hmmm … dua puluh tahun, mungki
Carlos mengernyit. “Perjanjian kecil macam apa?”Jeremy menepuk lututnya pelan dan tersenyum seolah tengah menawarkan harta karun dengan nominal tak terhingga.“Aku ingin kalian berlima bergabung ke perusahaan Liquid. Perusahaan keluargaku,” ucap Jeremy dengan nada meyakinkan. “kalian akan langsung bekerja, punya jabatan, dan tentu saja, kalian akan mendapatkan uang besar.”Fabian langsung mendecak. “Perusahaan Liquid? Perusahaan kecil itu? Serius?”Jeremy tak tersinggung. Malah tertawa pelan. “Aku tahu kalian akan berkata begitu.”“Kami dipecat dari perusahaan raksasa,” sahut Fabian lagi. “sekarang kamu suruh kami balik ke perusahaan gurem yang bahkan belum pernah kami dengar di berita lokal? Aku tidak mau mengakhiri karirku di lubang sumur.”Jeremy mengangkat tangan sambil berkata, “Tenang dulu. Ini baru awal. Aku belum selesai bicara.”Lucca menyipitkan mata. “Jadi maksudmu bagaimana?”Jeremy menatap ke sekeliling, melihat wajah-wajah yang penasaran. Lalu dia berkata dengan pelan,
Jeremy menelan ludah, pandangannya terombang-ambing antara Lucas dan Gigio. Aura tekanan di sekeliling terasa seperti dinding tak terlihat yang siap menekuk tubuh siapa pun yang berkata salah.“Aku, tentu saja aku tidak memanfaatkan situasi,” kata Jeremy akhirnya dengan suaranya yang bergetar tipis. “aku datang ke sini karena ingin membantu. Tapi aku tidak punya kekuatan apa pun untuk bertindak tanpa persetujuan Angeline. Karena itu, aku datang ke kamu. Kupikir, kalau kamu bicara, dia akan mendengarkan.”Lucas tetap berdiri, menatap Jeremy seolah menilai setiap gerak napasnya.“Lalu apa yang akan kamu lakukan untuk menghentikan Carlos? Apa rencanamu?” tanya Lucas.Jeremy menarik napas panjang. Kali ini dia merasa punya pijakan.“Aku akan bicara dengan Carlos secara langsung. Aku akan memberinya beberapa opsi penawaran damai,” terang Jeremy. “aku akan berusaha membujuknya untuk membatalkan rencananya dan menerima keputusan Angeline yang memecat mereka.”Lucas menyipitkan mata. “Dan kam
“Darimana kamu dapat info kalau Dario ada di sana?” tanya Lucas. Suaranya terdengar tenang. Tapi bagi mereka yang mengenalnya, itu bukan suara biasa. Itu adalah suara yang mengandung ancaman tersembunyi, dingin, tajam, dan siap menebas jika perlu.Gigio tahu itu.Dia menarik napas pendek, lalu menjawab hati-hati. “Aku menyewa detektif pribadi.”Lucas mengangguk sekali. Sorot matanya tidak bergeser dari wajah Gigio.“Detektif itu bilang mereka menemukan jejak Dario di sebuah rumah di selatan ibukota provinsi Everdale. Katanya dia tinggal di sana, diam-diam.”Lucas menyilangkan tangan di dadanya. “Apakah kamu sudah memeriksa rumah itu?”Gigio menatap Albin sekilas, lalu kembali menatap Lucas. “Sudah. Tapi rumah itu kosong. Tidak ada jejak Dario. Sepertinya mereka sudah pergi sebelum kami tiba.”Lucas tertawa pelan, lalu mengangguk dua kali. “Kamu menyewa detektif bodoh, Gigio.”Gigio mengerutkan kening. Tapi dia menahan diri untuk tidak tersinggung.Lucas melanjutkan, “Orang seperti Dar
“Aku tidak mau memikirkan hal ini sekarang,” ucap Angeline pelan namun tegas, sambil berdiri dari kursinya. “masih banyak pekerjaan yang lebih penting dan mendesak.”Jeremy menatapnya dengan ekspresi kecewa.“Angeline, kamu tidak bisa menganggap remeh masalah ini. Carlos dan keempat temannya tidak main-main,” tekan Jeremy, berjalan dua langkah mendekat.Angeline memutar tubuhnya, menatap langsung ke arah Jeremy. “Pak Jack Will tidak akan memecatku hanya karena lima orang pecundang yang sakit hati. Aku sudah menyelamatkan banyak proyek dan menjadikan BQuality tumbuh. Fakta itu tidak bisa dibantah hanya dengan satu video viral.”Jeremy tersenyum sinis. Lalu dia berkata, “Kamu benar-benar mulai sombong, ya. Sudah merasa tak tersentuh hanya karena jabatan?”“Bukan soal jabatan, tapi soal kebenaran,” potong Angeline.“Kalau begitu, jangan salahkan aku saat kamu jatuh tersungkur. Karena kesalahanmu akan segera mengejarmu!” seru Jeremy dengan emosi yang mulai memuncak.“Silakan keluar,” ujar