Samantha segera datang ke sebuah tempat makan, dan menemui seseorang. Ditemani oleh Bobby yang juga ikut terduduk di sebelahnya dan terdiam.
"Selamat pagi, saya mendapatkan berkas dari Anda. Bagaimana saya bisa membantu?" Sambut Samantha dengan berjabat tangan pada calon Mitra tersebut."Selamat pagi, Nyonya Samantha. Saya sangat tertarik untuk menaruh saham dan bekerja sama dengan perusahaan Anda. Saya yakin kolaborasi ini akan memberikan manfaat besar bagi kedua belah pihak," ucap Calon Mitra tersebut dengan tersenyum penuh percaya diri.Samantha membuka berkas kembali setelah beberapa hari telah ia pelajari."Terima kasih atas minatnya. Namun, saat ini perusahaan saya belum mencari investasi atau kemitraan tambahan. Kami masih fokus pada pengembangan secara internal," cakap Samantha dengan tegas."Saya memahami, tetapi saya yakin kontribusi saya bisa membuat perbedaan positif. Saya punya pengalaman yang relevan dan visi yang sejalan de"Selamat malam. Terima kasih sudah datang," - ujar Samantha dengan senyum hangat."Malam juga, Nyonya Samantha. Restoran ini sangat sepi, membuatnya sempurna untuk berdiskusi pembahasan kita," balas Calon Mitra terduduk di hadapan Samantha."Betul, kita bisa berbicara tanpa gangguan. Jadi, bagaimana pendapatmu tentang kerjasama ini?" Ucap Samantha dengan antusias.Setelah mendapatkan penawaran kerjasama yang lebih dari Calon Mitra tersebut, Samantha mendadak antusias untuk memberikan peluang kerjasama mereka."Saya memang sangat tertarik, Nyonya Samantha. Saya yakin perusahaan kita bisa mencapai banyak hal dan kemajuan bersama," ucap Calon Mitra Penuh semangat."Itu bagus. Saya senang mendengarnya. Apa yang menurutmu menjadi poin kunci dalam kerjasama ini?""Menurut saya, kolaborasi yang kuat dan saling mendukung antara tim kita akan menjadi kunci kesuksesan. Serta, fokus pada inovasi." "Saya setuju. Kita harus saling mendukung dan terbuka terhadap ide-ide baru. Bagaimana menurutmu t
Samantha membawa bunga mawar misterius itu dengan hati yang bercampur aduk. Sinar siluet malam menyinari ruang tamu saat dia memasuki kamar apartemen tersebut. Aroma harum mawar langsung menusuk hidungnya begitu dia membuka pintu, saat mengambilnya tadi.Saat Samantha mencium aroma parfum yang akrab, matanya membesar."Ini... ini aromanya, aku seperti pernah mengenal aroma ini," gumamnya sambil tersenyum kecut.Bobby, yang berada di ambang pintu, memperhatikan reaksi aneh Samantha."Dari siapa bunga ini? Apa mungkin, kau tahu sesuatu, Samantha?" tanya Bobby, wajahnya penuh dengan rasa ingin tahu.Samantha tersentak."Aku rasa aku tahu, tapi rasanya seperti berada di ujung lidahku. Kenapa juga, dia sampai tahu kamar apartemen ini?" Dia merenung sejenak, mencoba menggali memori yang terpendam."Apakah, ini tidak terlalu bahaya, Samantha? Kenapa banyak sekali orang di luar sana yang terobsesi padamu, menyusahkan diriku," celoteh Bobby masih menatapnya dengan tatapan penuh pertanyaan."Ka
Samantha duduk di kursi belakang mobil bersama keluarganya, tatapan cemas mencerminkan kekhawatiran terhadap Neneknya yang sedang sakit. Suasana dalam mobil penuh dengan keheningan yang sesekali dipotong oleh suara mesin dan keriuhan jalanan.Tuan Jackson, dengan tulus mencoba menenangkan, sementara Nyonya Brianna, memberikan senyuman lembut dalam upaya mengembalikan kehangatan di antara mereka. Di sisi lain, Bobby, pengawal setia Samantha, mencoba memberikan semangat.Meskipun perjalanan menuju bandara Brazil penuh dengan ketidakpastian, keluarga ini berusaha menjaga semangat dan bersatu dalam menghadapi cobaan yang menimpa keluarga mereka."Ibu, sepanjang perjalanan ini, hatiku terasa begitu gelisah. Nenek begitu tiba-tiba masuk rumah sakit, dan aku merasa seperti ada beban berat di dadaku. Aku sangat ketakutan, aku harap Nenek baik-baik saja, secepatnya pulih seperti sedia kala," ucap Samantha dengan gelisah.Nyonya Brianna memeluk putrinya tersebut."Sayang, kita harus tetap kuat.
Samantha segera bangkit, ingin meninggalkan Ivander, namun Ivander menahan tangan Samantha dengan penuh harap."Tolong, Samantha. Ku mohon, berikan aku kesempatan sekali lagi. Aku menyesal dan sangat menyesal," ucap Ivander.Samantha mencoba menarik tangannya, tetapi terjebak dalam pegangan Ivander."Kita sudah berakhir, Ivander. Jangan paksa aku. Kita memiliki kehidupan masing-masing, tolong jangan mengusik. Aku ingin bahagia meskipun tanpa dirimu," tegas Samantha."Aku tidak bahagia. Kebahagiaanku ada padamu, aku butuh kamu. Aku sudah menceraikan Anna demi kembali padamu, Samantha. Kau adalah duniaku, dan aku sangat membutuhkanmu untuk hidupku!" Ivander bersikeras."Lepaskan tanganku, Ivander! Semua sudah terlambat, dan semua telah terjadi. Hargailah kehidupanmu sekarang ini. Jika kau menceraikan Anna, itu bukan urusanku. Itu keputusanmu, Ivander!" tegaskan Samantha mantap."Samantha, aku tahu, aku telah membuat banyak kesalahan, tapi aku mencintaimu. Aku rela mengubah segalanya dem
Samantha tiba di depan pintu ruangan kamar inap neneknya dan mendapati pemandangan yang menyenangkan. Ivander dan neneknya tengah bersenda gurau, terlihat ceria. Neneknya tersenyum bahagia, dan Samantha merasa tersentuh. "Nenek, hari ini cuaca sangat cerah, ya?" Tanya Ivander sambil mengupasi buah-buahan untuk Nenek Prita."Betul sekali, Ivander. Ini membuatku semakin bersemangat," balas Nenek Prita dengan tersenyum."Aku senang melihatmu semakin baik setiap harinya. Bagaimana rasanya?""Sungguh, Ivander, terima kasih atas dukunganmu. Aku merasa lebih kuat dan bersemangat untuk pulih. Dan buah ini terasa begitu enak saat kau mengupasi kulitnya dengan ketulusan.""Aku senang mendengarnya. Oh ya, tadi aku membawa buku-buku kesukaanmu dari toko buku. Mungkin bisa membuat harimu lebih menyenangkan.""Oh, Ivander, kau selalu tahu caranya untuk membuatku senang. Terima kasih banyak.""Tidak perlu berterima kasih, Nenek. Aku senang bisa berbagi momen-momen bahagia denganmu."Nenek dan Ivand
Setelah seminggu berada di rumah sakit, hari yang ditunggu-tunggu tiba ketika nenek Samantha akhirnya pulang ke rumah. Dengan senyum penuh kebahagiaan, keluarga dan Ivander menyambutnya di pintu. Suasana hangat dan syukur terasa di udara saat mereka menggandeng tangan nenek yang telah pulih.Ruangan dipenuhi dengan kegembiraan saat keluarga Samantha bersama Ivander hendak merayakan kesembuhan nenek dengan menyelenggarakan syukuran yang dihadiri juga oleh anak-anak yatim dari panti asuhan. Mereka segera sibuk untuk mempersiapkan."Samantha, Ivander, kalian bisa tolong pergi ke pasar sebentar? Kita butuh beberapa bahan lagi untuk syukuran," perintah Bibinya seraya sibuk."Tentu, Bibi. Kami akan segera pergi. Ada apa saja yang harus kami beli?" Tanya Samantha dengan sigap."Kita butuh lebih banyak sayuran, bumbu-bumbu dapur, dan mungkin beberapa makanan ringan untuk anak-anak.""Baik, bibi. Kami akan mencarinya. Apakah ada preferensi khusus?
Anna merasakan kecemasan mendalam saat melihat perubahan sikap Elvano yang tiba-tiba dingin. Ketidakpastian akan masa depan rumah tangganya membuat Anna merasa cemas, mencari cara untuk menjaga hubungan mereka tetap kokoh di tengah gejolak yang muncul dari bayangan masa lalu yang terus menghantuinya."Elvano, kenapa sejak kemarin kamu tiba-tiba berubah? Apa yang terjadi?" Tanya Anna berdiri memandang Elvano suaminya."Tidak ada apa-apa," Elvano menjawab dengan sikap dinginnya."Aku tahu kamu suka dengan kopi ini. Kenapa tiba-tiba kamu dingin padaku?" Anna membawa dan meletakkan secangkir kopi."Apa yang membuatmu berpikir begitu?" Elvano menerima kopi tanpa ekspresi."Kamu berbeda, Elvano. Ceritakan padaku, apa yang terjadi?" Anna terduduk di hadapan Elvano dengan perasaan cemas."Apakah kamu masih memiliki perasaan pada Ivander?" Elvano bertanya dengan nada dingin.Anna berusaha mengalihkan pandangannya."Menga
Ketika Elvano mendekati rumah seseorang untuk bertamu, tak disangka ia menemui seorang wanita yang dulu pernah mencintainya. Detik itu menjadi sorotan kenangan pahit, di mana Elvano mengingat saat-saat ketika ia secara tidak bijak meremehkan dan menyia-nyiakan perasaan wanita tersebut.Kehadiran itu membawa rasa penyesalan yang dalam, memperlihatkan bagaimana tindakan masa lalu dapat meninggalkan bekas yang sulit terhapus. Elvano merasa gemetar saat melihat wajah wanita itu, membanjiri pikirannya dengan kenangan pahit yang tersembunyi selama ini.Tatapannya dipenuhi penyesalan, menyadari betapa tidak bijaknya dia dulu. Momen itu menjadikan sebagai kenangan, mengajarkannya tentang dampak tindakan masa lalu yang mungkin sulit diperbaiki.Ceklek."Elvano?" Sosok tersebut jelas sangat terkejut karena kehadirannya."Hai," ucapnya gemetar, namun berusaha terlihat tegar.Sosok tersebut menatap Elvano dengan kesal."Maafkan aku
Samantha kembali dari petualangan di Finlandia, membawa kabar bahagia untuk keluarga besar bahwa setelah beberapa bulan di Lapland, ia kini mengandung. Berita tersebut disambut dengan suka cita dan rasa syukur oleh keluarga besar, mengukuhkan perasaan bahagia Ivander dan Samantha yang akhirnya meraih kebahagiaan menjadi orang tua.Kehamilan Samantha telah mencapai usia lima bulan, menandai perjalanan mereka menuju kehidupan keluarga yang penuh keceriaan dan harapan."Semuanya, ada sesuatu yang ingin kami bagikan. Aku sangat bersyukur karena pada akhirnya, Tuhan telah mempercayakan seorang janin yang tengah hidup dalam rahimku," ungkap Samantha dengan sangat bahagia.Keluarga besar dari kedua belah pihak bersorak dan bahagia."Akhirnya, terima kasih, Tuhan. Selamat, Ivander dan Samantha!" Ucap Neneknya Samantha dengan penuh haru."Kami benar-benar sangat bersyukur atas berkah ini," ucap Ivander tersenyum bahagia, seraya mengelus perut Samantha yang sudah buncit."Kami tidak sabar menan
Dengan hati yang galau, Kevin melangkah mendekati Rose di bawah sinar senja, di tengah suasana hening kolam renang. Kehilangan komunikasi selama ini membuatnya ragu bagaimana menyapa, namun didorong oleh desiran untuk memulihkan kehangatan yang terputus. Orang tua Rose menyambutnya dengan senyuman, memberikan izin untuk memperbaiki keputusan itu."Rose... " Panggil Kevin dengan lembut.Rose menoleh dan wajahnya mendadak murung ketika mendapati Kevin."Rose, tolong beri aku kesempatan. Aku minta maaf Rose, aku merindukan kamu. Tolong jangan jauhi aku dan jangan terus bersikap dingin seperti ini," oceh Kevin panjang lebar tanpa jeda agar bisa segera memberikan penjelasan."Bukankah, sudah pernah ku bilang, bahwa jangan pernah hubungi aku lagi. Dan jangan pernah temui aku lagi," balas Rose seraya bangkit berdiri."Rose, ku mohon, tolonglah. Aku benar-benar merasa sangat kehilangan dirimu, aku menyesal Rose.""Aku tidak akan pernah percaya lagi atas semua ucapan yang keluar dari mulutmu!"
Malvin dan Ling-Ling dengan cepat mendekati Leona dan Kevin begitu mereka sampai di pintu kelas."Maaf ya, Leona, Kevin. Kami tahu kami salah kemarin," ucap Malvin sambil tersenyum penuh penyesalan."Kami ingin memulai ulang hubungan kita semua, aku juga turut meminta maaf," Ling-Ling menambahkan, meskipun dalam hati sangat muak.Mereka harus bisa memainkan peran yang sudah diatur."Apa yang membuat kalian berubah pikiran?" Leona memandang mereka dengan rasa heran."Dan kenapa tiba-tiba kalian baik pada kami?" Kevin menyela."Kami menyadari, kita seharusnya tidak bersikap seperti itu. Kami ingin menjadi teman kalian lagi," Malvin menjelaskan, meskipun dalam hati malas."Kami merasa bersalah dan ingin memperbaiki semuanya," Ling-Ling menimpali."Aku senang akhirnya kalian berdua sadar. Aku maafkan kalian, tapi... aku juga ingin sekali berbaikan dengan Rose dan Debora," Leona tersenyum dan mengangguk. Kemudian merenung."Ya, kita harus memperbaiki semuanya bersama-sama," Kevin setuju.K
"Jadi, untuk apa kalian ke sini?" Tanya Samantha menatap secara bergantian pada para sosok remaja yang terduduk di hadapannya."Ehm, kami... Kami, mau.. " ucap Malvino dengan bingung dan terbata-bata.Ketakutan sebenarnya menyelimuti mereka, telapak tangan mereka mendadak terasa dingin karenanya."Mau apa?" Tanya Ivander dengan tajam dan dengan nada galak."Ayo, cepat katakan!" Ujar Ling-Ling berbisik dan mendesak Malvino."Kau saja!" Balas Malvino juga sama berbisik dan merasa terdesak."Kami bingung hendak menjelaskan bagaimana Nyonya Samantha, Tuan Ivander," ucap Debora segera."Ehm, kami... Kamu datang ke sini hendak berbicara sesuatu," sahut Rose dengan ragu.Ling-Ling segera menyenggol kaki Rose untuk segera mengatakannya, Rose malah kembali mendesak Malvino."Ayo, bicaralah. Waktuku tidak banyak," ucap Ivander mendesak bocah-bocah kecil di hadapannya."Mm, Tuan dan Nyonya. Kami hendak minta maaf," ujar Malvino tapi tidak sanggup berkata lebih lanjut."Minta maaf untuk apa?" Tan
Leona duduk di bangku taman, wajahnya dipenuhi raut kesedihan. Kevin, yang selalu setia berada di sisinya, mencoba menghiburnya."Leona, aku tahu semua orang menjauh, tapi aku di sini untukmu," ucap Kevin terduduk di sebelahnya sambil menatap Leona dari samping."Terima kasih, Kevin. Kau selalu ada untukku," balas Leona menoleh pada Kevin dan berusaha tersenyum.Suasana taman sangat sepi dan keadaan seolah kelabu menyelimuti hati Leona."Kevin, apakah benar yang mereka semua katakan padaku? Apakah aku benar-benar seegois itu? Bukankah hal yang wajar, jika aku sebagai seorang sahabat meminta bantuan kalian?" Ucap Leona membela dirinya secara halus."Aku paham, dan aku tidak masalah soal semua itu. Hanya saja, tidak juga berlebihan Leona," jawab Kevin mengangguk, kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal dengan rasa tidak enak."Berarti aku salah?""Oh, tidak juga, hehe.""Kevin, kenapa Rose, orang yang paling aku percayai selama ini, tega berbuat seperti itu padaku?" Ucap Leona mer
"Dona! Kamu tidak bisa pergi begitu saja! Dona!" Teriak Baba Hong mengejar Dona ke gerbang pintu.Dona terus saja berlari sampai berhasil keluar rumah tersebut, dengan beberapa pelayan dan penjaga heran menatap keduanya. Baba Hong berhasil meraih Dona, dan memeluknya dari belakang."Lepaskan! Aku tidak akan menuntut apapun dirimu! Lepaskan aku!" Pekik Dona seraya berusaha melepaskan diri."Tidak! Jangan pergi, kau akan tetap menjadi istriku, Dona.""Buat apa? Kau sudah ada Livia. Aku cukup sadar diri, kau akan menua bersama Livia.""Aku tahu, Livia hanya mengincar uangku saja. Aku hanya ingin membeli harga dirinya, aku tidak benar-benar mencintainya."Dona berhasil melepaskan pelukannya dari Baba Hong.Plak!Dona menampar Baba Hong dengan sangat kencang, Baba Hong kemudian merasakan pipinya sangat perih dan memerah. Meskipun sudah tua, wajahnya masih terlihat tua dan segar. Sedangkan, Dona sebenarnya cantik. Namun, dia sadar bahwa hati Baba Hong selama ini bukan untuknya. Baba Hong ti
Leona berjalan dengan percaya diri menuju rumah Baba Hong, menyadari ketertarikan yang dimiliki pengusaha tua tersebut pada kakaknya, Livia. Baba Hong sangat tergila-gila dengan kecantikan yang dimiliki oleh Livia Kakaknya sejak muncul di sebuha majalah.Leona melangkah dengan anggun menuju pintu masuk yang megah. Pintu terbuka luas, mengungkapkan kemegahan rumah Baba Hong. Segera, sekelompok pelayan berdiri dengan sikap hormat."Selamat datang, Nyonya Leona," sapa kepala pelayan dengan ramah."Terima kasih. Saya harap tidak merepotkan. Saya ingin bertemu dengan Baba Hong," jawab Leona sambil tersenyum."Tentu saja, Nyonya. Ikuti saya," kata kepala pelayan sambil memimpin Leona melewati lorong-lorong yang dihiasi dengan lukisan dan hiasan seni yang mahal.Sesampainya di ruang tamu utama, Baba Hong sudah menunggu dengan senyuman hangat."Leona, selamat datang di rumahku yang sederhana ini," kata Baba Hong sambil memberikan salam."Salam, Baba Hong. Terima kasih atas sambutanmu, rumah i
Ivander duduk di samping Samantha di ruang tamu mereka yang nyaman, kegembiraan terpancar dari suaranya."Samantha, Ayahmu memberikan tiket ke Finlandia untuk berbulan madu kita.""Tapi, tanpa tiket pun, kita bisa pergi sendiri, kan?" Samantha tertawa kecil menatap Ivander."Tentu saja. Tapi, apakah di sana kamu punya rumah?""Ayahku telah membelikan rumah di Lapland saat aku pergi dari sini."Ivander mengangguk paham."Kalau bosan dengan suasana di rumahmu, kita juga punya tiket hotel dari Tuan Jackson.""Bagus, Ivander. Aku ingin merasakan suasana baru. Setelah itu, kita pulang ke rumah di Lapland.""Tuan Jackson sangat berharap kita segera memiliki buah hati di rahimmu, sayang. Kita harus berhasil sebelum kembali ke Indonesia," ujar Ivander seraya merapihkan rambut Samantha ke telinganya."Aku akan berusaha semaksimal mungkin. Kapan kita bisa berangkat?" Tanya Samantha."Aku akan kembali bekerja setelah luka kamu sembuh, satu mingguan, dan kemudian kita bebas pergi ke mana saja.""
Samantha melangkah pelan di antara lorong-lorong toko yang penuh dengan berbagai kebutuhan rumah tangga. Troli besarnya ditarik dengan cermat, sementara matanya sibuk memilah produk-produk yang akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Saat itulah, tiba-tiba saja, seorang laki-laki asing dengan langkah ringan muncul di sebelahnya. Dengan senyum ramah, laki-laki itu menyapa Samantha."Perlu bantuan? Saya bisa membantu Anda mengambil barang yang sulit dijangkau."Samantha terkejut sejenak, namun senyum lelaki tersebut mampu meredakan ketegangannya."Oh, terima kasih banyak! Saya sebenarnya kesulitan mengambil beberapa barang di rak yang tinggi."Tanpa ragu, lelaki tersebut dengan sigap membantu Samantha mengambil barang-barang yang sulit dijangkaunya. Mereka bekerja sama, dan Samantha merasa bersyukur atas pertolongan yang diberikan."Saya benar-benar berterima kasih, Anda sungguh membantu," ucap Samantha dengan tulus."Tidak masalah, saya senang bisa membantu. Nama saya Ryan, si