“Memangnya butuh kekuatan seperti apa buat nanti malam, paling juga tidur!” ucapku datar, tak merasakan apa pun pada pertanyaan Mas Ragil. Walaupun, aku tahu ia mungkin segera melakukan malam pertamanya denganku.“Dek, aku ini sudah jadi suamimu, kalo ngomong itu bisa lembut sedikit aja nggak?” katanya.Aku meliriknya, tak tahu harus menjawab apa karena aku memang tidak tahu bagaimana bersikap lemah lembut padanya. Sejak awal bertemu memang sudah seperti ini adanya, mau berubah mungkin aku harus sedikit usaha.“Kalau memang kamu belum bisa menerima aku jadi suamimu, Dek, setidak-tidaknya kamu bisa ikhlas, sekarang semua yang terjadi pada kita ini sudah jadi takdir!”Mas Ragil kembali bicara dan kalimat itu sedikit menyentuhku. Seandainya saja bisa bilang, maaf, ya, Mas! Bukannya aku tidak ikhlas atau tidak menerima jadi istrimu, tapi mungkin untuk lemah lembut sama kamu itu butuh proses, mengingat pertemuan awal sampai akhir antara aku dan kamu, selalu saja ada masalah. Kita bic
“Mas, Kamu menyadari sesuatu nggak?” tanyaku setelah bapak menjauh sementara Pakde Yusro dan Bu Nuria, sedang menikmati makanannya tak jauh dari kami berdua.“Apa?” Katanya Mas Ragil kami pun saling bertatapan.Aku mendekat ke telinganya dan berkata, “Kemungkinan besar temanku si Ismawati itu, bisa jadi saudaraan sama Ismaya adik iparku, istrinya si Landu!”“Masa?” Mas Ragil menanggapinya dengan cepat.“Menurutku memang mukanya mirip sama Ismawati yang dulu waktu masih jadi temanku!” Aku yakin sekali, apalagi setelah aku mendengar pengakuan besan ibuku itu.Mas Ragil sepertinya ingin bicara sesuatu, tapi Pakde Yusro yang sudah selesai makan, mendekati kami. Lalu ia mengobrol dengan suamiku tentang kebun garapannya. Dari obrolan mereka aku jadi tahu bahwa, mereka terlibat kerja sama, dalam mengurus perkebunan karet dan kelapa sawit, yang sudah berjalan sejak lama. Alhamdulillah selama ini, semuanya berjalan dengan lancar. Namun, ada saja masalah kecil yang terjadi, meski bisa di
POV Author.Setelah kepergian kedua orang tua Ismaya, Yusro meminta Nuria untuk duduk kembali. Namun, wanita itu tetap berdiri dan menatap Ismaya lebih lekat lagi. Setelah Ismaya berjalan melewatinya, ia pun memanggilnya.“Namamu Ismaya, kan?” katanya.Ismaya menoleh, ia melihat ke arah Nuria dengan tatapan yang tidak suka, karena sedikit banyak ia sudah mendengar ucapan ibunya bahwa, wanita itu memiliki permasalahan dengan kedua orang tuanya.Walaupun, Ismaya belum tahu persis seperti apa masalahnya, tetapi setidak-tidaknya ia tahu bahwa, Nuria pernah menyakiti ibunya. Kalau tidak, kenapa Vina begitu marah ketika melihat wanita itu dan tidak peduli pada semua orang.Ismaya tidak bergerak dan Landu memegang tangannya dengan erat. Mina dan Ragil serta kedua orang tuanya, berada di sekitarnya. Mereka semua menjadi saksi ketiga tiba-tiba Nuria mendekati gadis itu dan memeluknya.“Kamu mirip sekali dengan Ismawati!” katanya.Ucapan Nuria membuat Ismaya tergerak untuk melepaskan pe
POV Author“Kalau soal yang saya ingat, hanya waktu Ismawati sebelum meninggal dunia—“ kata Mina“Mina! Diam kamu!” tiba-tiba Sanita berdiri dan menarik Mina, agar duduk di sampingnya. Ia mencoba membungkam anaknya bicara sebab apabila wanita yang baru saja menikah itu, mengatakan semuanya. Maka suasana akan menjadi runyam, sekarang bukanlah waktu yang tepat.Jikalau sudah waktunya semua terkuak, tapi tidak di sana. Tidak ada orang yang ingin masa lalu dan aibnya terbongkar di depan semua orang. Apalagi, di acara penting di mana seharusnya semua orang bahagia.“Kenapa, sih, Ibu ini?” tanya Mina, ia berpikir berbeda karena keinginannya kuat untuk bicara dan mengatakan sebenarnya kalau ia mengingat semuanya.“Mina, bukannya apa-apa ... sekarang adalah hari pernikahanmu, tidak seharusnya kamu membuat ibunya Ismawati bersedih dengan mengenang kembali kematian anaknya dan juga termasuk membuka kenangan kembali teman lamamu, mungkin tidak enak untuk didengar ... kalaupun mau membicarak
POV Author“Yang sopan kamu, Abid!” kata Ragil, sikapnya menunjukkan kalau hubungan mereka sangat dekat. Padahal dari sejak lamaran dan hari ini, dua pria itu hanya bertemu sebentar saja, bahkan, bersalaman juga tidak.“Apa Mas Ragil dan Mas Abid sudah saling kenal?” tanya Landu heran.Namun, pertanyaan itu tidak ada yang menjawab karena Nuria langsung berdiri.“Siapa kamu, kenapa kamu ikut campur masalah anakku?” tanyanya heran.Seketika suasana mendadak hening, mereka saling pandang satu sama lain karena keheranan dengan apa yang baru saja terjadi.Abid dan Nuria saling bertatapan dengan pandangan yang tajam. Nuria begitu menyelidik, tetapi pandangan Abid menunjukkan bahwa, dia sangat merasa bersalah pada wanita di depannya itu ia juga melemparkan pandangan ke semua orang yang duduk di hadapannya.Ragil sudah duduk kembali di samping istrinya, sementara Nuria masih berdiri dengan perasaan heran. Dilihatnya laki-laki itu baru saja muncul, dan tidak mendengar semua pembicaraan m
Suasana yang tiba-tiba hening terasa begitu riskan bagiku, sebab Abid menatapku dengan tajam, seolah aku adalah tersangkanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Ismawati waktu itu, tapi tatapannya seakan menuduh akulah penyebab semuanya. “Kenapa kamu liatin aku begitu, Bid?” tanyaku, tapi dia diam saja seolah-olah menganggap aku tidak ada. Enak saja dia bersikap seperti itu memangnya dia berada di rumah siapa dan, ini adalah pesta pernikahanku seharusnya dia tahu diri, dia cuma adik iparku, nggak sopan sekali dia.Tiba-tiba Mas Ragil merangkul bahuku, dan aku menatap wajahnya. Dia terlihat lebih tampan dari biasanya apakah karena ia sekarang sudah resmi menjadi imamku atau karena sentuhan yang kurasakan begitu hangat hingga bahuku menempel di dadanya.Sementara itu Abid mengalihkan tatapannya pada Mas Ragil. Dia terlihat kesal dan waspada.“Mbak Mina jangan salah sangka, siapa yang melotot sama, Mbak, sih?” katanya.“Kamu pikir aku nggak tahu mana melotot mana ya
Aku maklum dengan sikap ibu yang membela menantu anak kesayangannya itu, tapi aku juga heran kalau ibu terus saja mencoba menyembunyikan kebenaran. Memang sebagai ibu yang membela keluarga, hal itu wajar, tapi kalau kaitannya dengan nyawa manusia, aku pikir ibu tidak seharusnya bersikap begitu.“Bu, biar Mina selesaikan ngomongnya, biar dia lega! Lagian, masalah ini sudah cukup lama kita simpan kebenarannya, sudah sepatutnya Bu Nuria tahu kejadiannya!” kata Mas Ragil lagi-lagi dia membelaku.“Tapi, Ragil! Cerita Mina ini menyangkut Abid! Dia kan menantu Ibu juga!” sahut ibu padaku.“Ibu tidak usah kuatir, kan, ini cuma cerita, belum tentu Abid terlibat dan bersalah karena kematian Ismawati,” kata bapak menenangkan wanita yang terlihat gelisah dan menatapku.Sementara Abid terlihat beberapa kali mengusap rambutnya dengan kasar. Kulihat dia berpikir keras dan mencoba menenangkan diri. Aku ingat semua yang pernah dia katakan padaku soal Ismawati. Seandainya dulu aku sudah mengingat
“Termasuk keinginan kamu menodai anakku?” tanya Bu Nuria sambil menunjuk lurus ke arahnya.Abid seketika tercengang karena dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan langsung seperti itu. Aku melihat perubahan raut wajahnya dan aku juga penasaran apa yang akan dia katakan sebagai jawaban dari pertanyaan Bu Nuria itu. Kuperhatikan dia mulai membuka mulutnya tapi sebelumnya dia menenangkan istrinya dulu. Lalu, dia mendudukkan Linda di kursi yang ada di dekatnya. Setelah itu Abid pun duduk juga. Dia terkesan serius dan semua orang juga memperhatikannya termasuk Bu Nuria, perempuan itu duduk kembali di tempatnya semula. Adik iparku itu terlihat menarik nafas dalam sebelum akhirnya bicara.“Bapak Ibu semuanya, sebenarnya saya sudah lelah bertahun-tahun menahan hal ini, saya sudah sekian lama tersiksa dengan perasaan bersalah Saya, mungkin sekarang waktunya saya untuk berterus terang ... Saya mengakui kesalahan saya! Dahulu saya begitu ketakutan serta bodoh hingga membuat saya memb
“Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem
POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen
“Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama
Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa
Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me
“Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju
“Siapa?” tanyaku penasaran, pada wanita pembawa makanan yang dikatakan Mas Ragil itu.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu tenda tempat istirahatku.“Iya! Masuk!” kata Mas Ragil, dia belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang yang mengucapkan salam itu sudah terlanjur masuk.“Ini, Mas! Lilis bawain makan siang!” kata perempuan yang mungkin bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdu
“Siapa?” tanyaku penasaran.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil! Ini Lilis bawain makan siangnya!”Mas Ragil belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang masuk di tenda yang kami tempati.Dia perempuan yang bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdulillah! Masak apa kamu Lis?” tanya Mas Ragil antusias. “Masak opor ayam, Mas!” jawab perempuan itu sambil tersenyum dan menyimpan tempat nasi itu di atas meja.“Sini, sini, kita makan
“Gimana, Mbak, rasanya menikah sama perjaka tua dan pengangguran pula, hati-hati ya, Mbak, kalau nanti gaji bulanannya diporotin suami!” kata Teh Nena lagi.Aku tersenyum, dan menjawab, “Teh Nena nggak usah kuatir, Mas Ragil nggak akan morotin istrinya sendiri, seperti laki-laki yang tidak punya harga diri, lagian dia bukan pengangguran, Kok!” Setelah itu aku pun naik ke motor Mas Ragil.Aku yakin akan hal itu, sebab Mas Ragil tidak mungkin bisa membiayai pernikahan dan memberikan semuanya saat pernikahan, kalau dia pengangguran. Kata Bapak juga bilang kalau suamiku itu rajin dan pintar. Hanya saja bapak tidak memberitahuku, apa pekerjaan Mas Ragil secara pasti.“Aku ini petani, apa kamu malu kalau mengakui suamimu ini petani?” tanya Mas Ragil saat aku dan dia sudah berada di atas motornya. Dia mengantarkan aku dan kendaraan roda dua itu berjalan dalam kecepatan sedang.“Nggak masalah kalau jadi petani, yang penting bukan pengangguran, Mas!”“Biarin saja mereka bilang begitu,