POV Author“Yang sopan kamu, Abid!” kata Ragil, sikapnya menunjukkan kalau hubungan mereka sangat dekat. Padahal dari sejak lamaran dan hari ini, dua pria itu hanya bertemu sebentar saja, bahkan, bersalaman juga tidak.“Apa Mas Ragil dan Mas Abid sudah saling kenal?” tanya Landu heran.Namun, pertanyaan itu tidak ada yang menjawab karena Nuria langsung berdiri.“Siapa kamu, kenapa kamu ikut campur masalah anakku?” tanyanya heran.Seketika suasana mendadak hening, mereka saling pandang satu sama lain karena keheranan dengan apa yang baru saja terjadi.Abid dan Nuria saling bertatapan dengan pandangan yang tajam. Nuria begitu menyelidik, tetapi pandangan Abid menunjukkan bahwa, dia sangat merasa bersalah pada wanita di depannya itu ia juga melemparkan pandangan ke semua orang yang duduk di hadapannya.Ragil sudah duduk kembali di samping istrinya, sementara Nuria masih berdiri dengan perasaan heran. Dilihatnya laki-laki itu baru saja muncul, dan tidak mendengar semua pembicaraan m
Suasana yang tiba-tiba hening terasa begitu riskan bagiku, sebab Abid menatapku dengan tajam, seolah aku adalah tersangkanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Ismawati waktu itu, tapi tatapannya seakan menuduh akulah penyebab semuanya. “Kenapa kamu liatin aku begitu, Bid?” tanyaku, tapi dia diam saja seolah-olah menganggap aku tidak ada. Enak saja dia bersikap seperti itu memangnya dia berada di rumah siapa dan, ini adalah pesta pernikahanku seharusnya dia tahu diri, dia cuma adik iparku, nggak sopan sekali dia.Tiba-tiba Mas Ragil merangkul bahuku, dan aku menatap wajahnya. Dia terlihat lebih tampan dari biasanya apakah karena ia sekarang sudah resmi menjadi imamku atau karena sentuhan yang kurasakan begitu hangat hingga bahuku menempel di dadanya.Sementara itu Abid mengalihkan tatapannya pada Mas Ragil. Dia terlihat kesal dan waspada.“Mbak Mina jangan salah sangka, siapa yang melotot sama, Mbak, sih?” katanya.“Kamu pikir aku nggak tahu mana melotot mana ya
Aku maklum dengan sikap ibu yang membela menantu anak kesayangannya itu, tapi aku juga heran kalau ibu terus saja mencoba menyembunyikan kebenaran. Memang sebagai ibu yang membela keluarga, hal itu wajar, tapi kalau kaitannya dengan nyawa manusia, aku pikir ibu tidak seharusnya bersikap begitu.“Bu, biar Mina selesaikan ngomongnya, biar dia lega! Lagian, masalah ini sudah cukup lama kita simpan kebenarannya, sudah sepatutnya Bu Nuria tahu kejadiannya!” kata Mas Ragil lagi-lagi dia membelaku.“Tapi, Ragil! Cerita Mina ini menyangkut Abid! Dia kan menantu Ibu juga!” sahut ibu padaku.“Ibu tidak usah kuatir, kan, ini cuma cerita, belum tentu Abid terlibat dan bersalah karena kematian Ismawati,” kata bapak menenangkan wanita yang terlihat gelisah dan menatapku.Sementara Abid terlihat beberapa kali mengusap rambutnya dengan kasar. Kulihat dia berpikir keras dan mencoba menenangkan diri. Aku ingat semua yang pernah dia katakan padaku soal Ismawati. Seandainya dulu aku sudah mengingat
“Termasuk keinginan kamu menodai anakku?” tanya Bu Nuria sambil menunjuk lurus ke arahnya.Abid seketika tercengang karena dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan langsung seperti itu. Aku melihat perubahan raut wajahnya dan aku juga penasaran apa yang akan dia katakan sebagai jawaban dari pertanyaan Bu Nuria itu. Kuperhatikan dia mulai membuka mulutnya tapi sebelumnya dia menenangkan istrinya dulu. Lalu, dia mendudukkan Linda di kursi yang ada di dekatnya. Setelah itu Abid pun duduk juga. Dia terkesan serius dan semua orang juga memperhatikannya termasuk Bu Nuria, perempuan itu duduk kembali di tempatnya semula. Adik iparku itu terlihat menarik nafas dalam sebelum akhirnya bicara.“Bapak Ibu semuanya, sebenarnya saya sudah lelah bertahun-tahun menahan hal ini, saya sudah sekian lama tersiksa dengan perasaan bersalah Saya, mungkin sekarang waktunya saya untuk berterus terang ... Saya mengakui kesalahan saya! Dahulu saya begitu ketakutan serta bodoh hingga membuat saya memb
“Diam kamu Mina! Ibu nggak mau bicara sama kamu!” kata ibuku sambil melangkah masuk ke dalam meninggalkan aku yang terheran-heran dan beliau terlihat sangat kesal padaku.“Anak kok dari kecil bikin masalah terus sampai nikah gak juga bisa nyenengin Ibuk!” suara ibu menggerutu masih terdengar di telingaku, meski wanita itu sudah berjalan menjauhiku.Aku malu dikatai seperti itu di depan suamiku padahal, kami baru saja menikah. Seolah-olah aib dari masa kecilku sengaja dibuka oleh ibu di depan Mas Ragil, hanya karena kesal dan marah.Siapa yang tidak sedih kalau mendapatkan hal seperti itu di hari pernikahannya? Bukankah semua sudah jelas dan aku tidak terlihat dalam hal buruk yang dilakukan Abid, Ismawati, atau siapa pun? Masa laluku adalah milikku dan hidupku, semuanya ada dalam genggaman Allah. Apa hak manusia menghakimi masa lalunya? Tidak ada. Manusia hanya perlu bersyukur dan meminta ampun atas apa pun kesalahan di masa lalunya.Masa yang sudah terjadi, berhubungan erat dengan
Keesokan harinya hal yang lain lagi terjadi, aku bertemu Linda di dapur saat dia merebus air hangat untuk mandi. Kulihat wajahnya cemberut dan juga matanya sembab, karena terlalu banyak menangis.“Lin, kenapa kamu kok matamu begitu, kamu habis nangis?”“Nggak, Mbak! Gak apa-apa,” jawabnya seraya menunduk.Aku minta maaf padanya dan memeluknya, aku tahu mungkin dia menangis karena perbuatanku juga yang, mengakui kejadian masa laluku. Pengakuanku itu secara tidak langsung melibatkan suaminya.Linda mengangguk dan mengerti, dia juga sudah mengakui kalau mendengar apa yang dibicarakan ibu tentang aku. Jad, dia mau memaafkan aku dan aku pun terharu, karena pengertiannya itu. oleh karena itu aku tidak begitu merasa bersalah padanya. Namun tetap saja aku sedih melihatnya begitu, aku tahu bagaimana perasaannya yang berpikiran buruk. Selebihnya, ia mungkin waspada dan antisipasi jika suaminya benar-benar harus masuk penjara. Bukankah kebanyakan orang seperti itu, mereka terlalu khawat
Ismaya mengakui kalau diam mendengar namanya satu kali disebut. Dia juga mengaku kalau papanya juga disebut. Hal itu membuatnya penasaran hingga ia keluar dari dapur dan mempertanyakan maksud obrolan mereka—bapakku dan mamanya.Bapak terlihat menarik nafas panjang, sebagai laki-laki dewasa aku yakin kalau bapak menyadari satu hal bahwa kenyataan demi kenyataan mungkin memang seharusnya terbongkar sejak kemarin. Aku juga akan berpikir seperti itu bahwa, semua orang yang ada di sini adalah manusia dewasa. Tentu saja bisa mencerna mana yang benar dan salah, serta tidak akan mengambil informasi begitu saja tanpa membuktikannya. Termasuk masalah perselingkuhan dan istri simpanan seperti ini. Di mana pun berada kejadian ataupun berita, tentang adanya hubungan lain, sangat sensitif. Dan, biasanya akan menyakiti beberapa pihak yang terlibat di dalamnya.Tanpa diminta, akhirnya bapak menjelaskan secara runut dari awal pengakuan Bu Vina, tentang hubungan antara suaminya dan Bu Nuria. “Ap
“Jadi, apa kita mau melakukannya lagi sekarang?” tanya Mas Ragil dengan suara genit, saat Ismaya sudah ke luar kamar.Aku menatap Mas Ragil sambil tersenyum, lalu pura-pura pingsan hingga dia menggelitiki pinggangku. Dia melakukannya sebagai pemanasan sekaligus menghiburku. “Mas, aku mau pulang ke kontrakan malam ini!” aku mengutarakan keinginanku saat suamiku itu sudah selesai dengan urusannya. Mas Ragil yang baru memejamkan mata itu seketika menoleh dan alisnya mengerut sambil menatapku. “Kenapa malam-malam? Besok saja!” jawabnya sambil memeluk dan mencium kepalaku.“Ih, gak mau! Besok pagi aku udah masuk kerja, aku cuman ambil cuti tiga hari!”“Nggak usah kerja lagi, kan, sekarang ada aku!”Aku melotot sambil mendorong tubuhnya menjauh. Aku tidak bisa mengandalkan dirinya untuk membiayai hidup kami berdua, aku memikirkan diriku sendiri juga. Kebutuhan keluarga itu bukan hanya makan dan bayar kontrakan saja. Apalagi dia hanya petani dan kerja serabutan. Kalau untuk dirin