“Jadi, apa kita mau melakukannya lagi sekarang?” tanya Mas Ragil dengan suara genit, saat Ismaya sudah ke luar kamar.Aku menatap Mas Ragil sambil tersenyum, lalu pura-pura pingsan hingga dia menggelitiki pinggangku. Dia melakukannya sebagai pemanasan sekaligus menghiburku. “Mas, aku mau pulang ke kontrakan malam ini!” aku mengutarakan keinginanku saat suamiku itu sudah selesai dengan urusannya. Mas Ragil yang baru memejamkan mata itu seketika menoleh dan alisnya mengerut sambil menatapku. “Kenapa malam-malam? Besok saja!” jawabnya sambil memeluk dan mencium kepalaku.“Ih, gak mau! Besok pagi aku udah masuk kerja, aku cuman ambil cuti tiga hari!”“Nggak usah kerja lagi, kan, sekarang ada aku!”Aku melotot sambil mendorong tubuhnya menjauh. Aku tidak bisa mengandalkan dirinya untuk membiayai hidup kami berdua, aku memikirkan diriku sendiri juga. Kebutuhan keluarga itu bukan hanya makan dan bayar kontrakan saja. Apalagi dia hanya petani dan kerja serabutan. Kalau untuk dirin
Sesampainya di kontrakan, kebetulan Bu RT sedang berjalan dari arah kontrakan kami. Sopir bertanya pada suamiku akan diturunkan di mana barang-barang kami. Mas Ragil minta diturunkan di depan pintu gerbang saja, tapi aku minta lebih baik di pinggir jalan saja. Toh barang bawaannya dan tas pakaianku bisa di bawa masing-masing. “Mbak Mina, ya?” katanya. Sebenarnya niat lain aku pulang malam adalah karena menghindari hal seperti ini. Bukannya aku tidak mau atau malu mengakui siapa suamiku, tapi malas rasanya meladeni banyak pertanyaan dari para penghuni kontrakan.“Hehe, iya, Bu RT!” jawabku malu, sambil menjinjing satu tas kecil berisi pakaianku.Mas Ragil membawakan tas pakaian itu, dan langsung menggandeng tanganku berjalan menyusuri jalan kecil menuju kontrakan. Ia tidak menegur Bu RT sama sekali, ia sudah kembali seperti Mas Ragil yang dulu, pendiam, karena inilah habitatnya. Anehnya, aku tidak melihat laki-laki itu membayar jasa travel pada si pengemudi. Aku tahu, Teh Mel
“Gimana, Mbak, rasanya menikah sama perjaka tua dan pengangguran pula, hati-hati ya, Mbak, kalau nanti gaji bulanannya diporotin suami!” kata Teh Nena lagi.Aku tersenyum, dan menjawab, “Teh Nena nggak usah kuatir, Mas Ragil nggak akan morotin istrinya sendiri, seperti laki-laki yang tidak punya harga diri, lagian dia bukan pengangguran, Kok!” Setelah itu aku pun naik ke motor Mas Ragil.Aku yakin akan hal itu, sebab Mas Ragil tidak mungkin bisa membiayai pernikahan dan memberikan semuanya saat pernikahan, kalau dia pengangguran. Kata Bapak juga bilang kalau suamiku itu rajin dan pintar. Hanya saja bapak tidak memberitahuku, apa pekerjaan Mas Ragil secara pasti.“Aku ini petani, apa kamu malu kalau mengakui suamimu ini petani?” tanya Mas Ragil saat aku dan dia sudah berada di atas motornya. Dia mengantarkan aku dan kendaraan roda dua itu berjalan dalam kecepatan sedang.“Nggak masalah kalau jadi petani, yang penting bukan pengangguran, Mas!”“Biarin saja mereka bilang begitu,
“Siapa?” tanyaku penasaran.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil! Ini Lilis bawain makan siangnya!”Mas Ragil belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang masuk di tenda yang kami tempati.Dia perempuan yang bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdulillah! Masak apa kamu Lis?” tanya Mas Ragil antusias. “Masak opor ayam, Mas!” jawab perempuan itu sambil tersenyum dan menyimpan tempat nasi itu di atas meja.“Sini, sini, kita makan
“Siapa?” tanyaku penasaran, pada wanita pembawa makanan yang dikatakan Mas Ragil itu.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu tenda tempat istirahatku.“Iya! Masuk!” kata Mas Ragil, dia belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang yang mengucapkan salam itu sudah terlanjur masuk.“Ini, Mas! Lilis bawain makan siang!” kata perempuan yang mungkin bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdu
“Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju
Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me
Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa