Suasana yang tiba-tiba hening terasa begitu riskan bagiku, sebab Abid menatapku dengan tajam, seolah aku adalah tersangkanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Ismawati waktu itu, tapi tatapannya seakan menuduh akulah penyebab semuanya. “Kenapa kamu liatin aku begitu, Bid?” tanyaku, tapi dia diam saja seolah-olah menganggap aku tidak ada. Enak saja dia bersikap seperti itu memangnya dia berada di rumah siapa dan, ini adalah pesta pernikahanku seharusnya dia tahu diri, dia cuma adik iparku, nggak sopan sekali dia.Tiba-tiba Mas Ragil merangkul bahuku, dan aku menatap wajahnya. Dia terlihat lebih tampan dari biasanya apakah karena ia sekarang sudah resmi menjadi imamku atau karena sentuhan yang kurasakan begitu hangat hingga bahuku menempel di dadanya.Sementara itu Abid mengalihkan tatapannya pada Mas Ragil. Dia terlihat kesal dan waspada.“Mbak Mina jangan salah sangka, siapa yang melotot sama, Mbak, sih?” katanya.“Kamu pikir aku nggak tahu mana melotot mana ya
Aku maklum dengan sikap ibu yang membela menantu anak kesayangannya itu, tapi aku juga heran kalau ibu terus saja mencoba menyembunyikan kebenaran. Memang sebagai ibu yang membela keluarga, hal itu wajar, tapi kalau kaitannya dengan nyawa manusia, aku pikir ibu tidak seharusnya bersikap begitu.“Bu, biar Mina selesaikan ngomongnya, biar dia lega! Lagian, masalah ini sudah cukup lama kita simpan kebenarannya, sudah sepatutnya Bu Nuria tahu kejadiannya!” kata Mas Ragil lagi-lagi dia membelaku.“Tapi, Ragil! Cerita Mina ini menyangkut Abid! Dia kan menantu Ibu juga!” sahut ibu padaku.“Ibu tidak usah kuatir, kan, ini cuma cerita, belum tentu Abid terlibat dan bersalah karena kematian Ismawati,” kata bapak menenangkan wanita yang terlihat gelisah dan menatapku.Sementara Abid terlihat beberapa kali mengusap rambutnya dengan kasar. Kulihat dia berpikir keras dan mencoba menenangkan diri. Aku ingat semua yang pernah dia katakan padaku soal Ismawati. Seandainya dulu aku sudah mengingat
“Termasuk keinginan kamu menodai anakku?” tanya Bu Nuria sambil menunjuk lurus ke arahnya.Abid seketika tercengang karena dia tidak menyangka akan mendapat pertanyaan langsung seperti itu. Aku melihat perubahan raut wajahnya dan aku juga penasaran apa yang akan dia katakan sebagai jawaban dari pertanyaan Bu Nuria itu. Kuperhatikan dia mulai membuka mulutnya tapi sebelumnya dia menenangkan istrinya dulu. Lalu, dia mendudukkan Linda di kursi yang ada di dekatnya. Setelah itu Abid pun duduk juga. Dia terkesan serius dan semua orang juga memperhatikannya termasuk Bu Nuria, perempuan itu duduk kembali di tempatnya semula. Adik iparku itu terlihat menarik nafas dalam sebelum akhirnya bicara.“Bapak Ibu semuanya, sebenarnya saya sudah lelah bertahun-tahun menahan hal ini, saya sudah sekian lama tersiksa dengan perasaan bersalah Saya, mungkin sekarang waktunya saya untuk berterus terang ... Saya mengakui kesalahan saya! Dahulu saya begitu ketakutan serta bodoh hingga membuat saya memb
“Diam kamu Mina! Ibu nggak mau bicara sama kamu!” kata ibuku sambil melangkah masuk ke dalam meninggalkan aku yang terheran-heran dan beliau terlihat sangat kesal padaku.“Anak kok dari kecil bikin masalah terus sampai nikah gak juga bisa nyenengin Ibuk!” suara ibu menggerutu masih terdengar di telingaku, meski wanita itu sudah berjalan menjauhiku.Aku malu dikatai seperti itu di depan suamiku padahal, kami baru saja menikah. Seolah-olah aib dari masa kecilku sengaja dibuka oleh ibu di depan Mas Ragil, hanya karena kesal dan marah.Siapa yang tidak sedih kalau mendapatkan hal seperti itu di hari pernikahannya? Bukankah semua sudah jelas dan aku tidak terlihat dalam hal buruk yang dilakukan Abid, Ismawati, atau siapa pun? Masa laluku adalah milikku dan hidupku, semuanya ada dalam genggaman Allah. Apa hak manusia menghakimi masa lalunya? Tidak ada. Manusia hanya perlu bersyukur dan meminta ampun atas apa pun kesalahan di masa lalunya.Masa yang sudah terjadi, berhubungan erat dengan
Keesokan harinya hal yang lain lagi terjadi, aku bertemu Linda di dapur saat dia merebus air hangat untuk mandi. Kulihat wajahnya cemberut dan juga matanya sembab, karena terlalu banyak menangis.“Lin, kenapa kamu kok matamu begitu, kamu habis nangis?”“Nggak, Mbak! Gak apa-apa,” jawabnya seraya menunduk.Aku minta maaf padanya dan memeluknya, aku tahu mungkin dia menangis karena perbuatanku juga yang, mengakui kejadian masa laluku. Pengakuanku itu secara tidak langsung melibatkan suaminya.Linda mengangguk dan mengerti, dia juga sudah mengakui kalau mendengar apa yang dibicarakan ibu tentang aku. Jad, dia mau memaafkan aku dan aku pun terharu, karena pengertiannya itu. oleh karena itu aku tidak begitu merasa bersalah padanya. Namun tetap saja aku sedih melihatnya begitu, aku tahu bagaimana perasaannya yang berpikiran buruk. Selebihnya, ia mungkin waspada dan antisipasi jika suaminya benar-benar harus masuk penjara. Bukankah kebanyakan orang seperti itu, mereka terlalu khawat
Ismaya mengakui kalau diam mendengar namanya satu kali disebut. Dia juga mengaku kalau papanya juga disebut. Hal itu membuatnya penasaran hingga ia keluar dari dapur dan mempertanyakan maksud obrolan mereka—bapakku dan mamanya.Bapak terlihat menarik nafas panjang, sebagai laki-laki dewasa aku yakin kalau bapak menyadari satu hal bahwa kenyataan demi kenyataan mungkin memang seharusnya terbongkar sejak kemarin. Aku juga akan berpikir seperti itu bahwa, semua orang yang ada di sini adalah manusia dewasa. Tentu saja bisa mencerna mana yang benar dan salah, serta tidak akan mengambil informasi begitu saja tanpa membuktikannya. Termasuk masalah perselingkuhan dan istri simpanan seperti ini. Di mana pun berada kejadian ataupun berita, tentang adanya hubungan lain, sangat sensitif. Dan, biasanya akan menyakiti beberapa pihak yang terlibat di dalamnya.Tanpa diminta, akhirnya bapak menjelaskan secara runut dari awal pengakuan Bu Vina, tentang hubungan antara suaminya dan Bu Nuria. “Ap
“Jadi, apa kita mau melakukannya lagi sekarang?” tanya Mas Ragil dengan suara genit, saat Ismaya sudah ke luar kamar.Aku menatap Mas Ragil sambil tersenyum, lalu pura-pura pingsan hingga dia menggelitiki pinggangku. Dia melakukannya sebagai pemanasan sekaligus menghiburku. “Mas, aku mau pulang ke kontrakan malam ini!” aku mengutarakan keinginanku saat suamiku itu sudah selesai dengan urusannya. Mas Ragil yang baru memejamkan mata itu seketika menoleh dan alisnya mengerut sambil menatapku. “Kenapa malam-malam? Besok saja!” jawabnya sambil memeluk dan mencium kepalaku.“Ih, gak mau! Besok pagi aku udah masuk kerja, aku cuman ambil cuti tiga hari!”“Nggak usah kerja lagi, kan, sekarang ada aku!”Aku melotot sambil mendorong tubuhnya menjauh. Aku tidak bisa mengandalkan dirinya untuk membiayai hidup kami berdua, aku memikirkan diriku sendiri juga. Kebutuhan keluarga itu bukan hanya makan dan bayar kontrakan saja. Apalagi dia hanya petani dan kerja serabutan. Kalau untuk dirin
Sesampainya di kontrakan, kebetulan Bu RT sedang berjalan dari arah kontrakan kami. Sopir bertanya pada suamiku akan diturunkan di mana barang-barang kami. Mas Ragil minta diturunkan di depan pintu gerbang saja, tapi aku minta lebih baik di pinggir jalan saja. Toh barang bawaannya dan tas pakaianku bisa di bawa masing-masing. “Mbak Mina, ya?” katanya. Sebenarnya niat lain aku pulang malam adalah karena menghindari hal seperti ini. Bukannya aku tidak mau atau malu mengakui siapa suamiku, tapi malas rasanya meladeni banyak pertanyaan dari para penghuni kontrakan.“Hehe, iya, Bu RT!” jawabku malu, sambil menjinjing satu tas kecil berisi pakaianku.Mas Ragil membawakan tas pakaian itu, dan langsung menggandeng tanganku berjalan menyusuri jalan kecil menuju kontrakan. Ia tidak menegur Bu RT sama sekali, ia sudah kembali seperti Mas Ragil yang dulu, pendiam, karena inilah habitatnya. Anehnya, aku tidak melihat laki-laki itu membayar jasa travel pada si pengemudi. Aku tahu, Teh Mel
“Tidak masalah Pak Anan! Saya faham soal ini, jadi jangan sungkan lagi pada kami!” jawab Yusro, semakin membuat lega perasaan semua orang yang ada di sana.“Iya, Mas Anan! Saya juga salah, sudah membuat anak saya tidak tenang di sana! Oh ya! Nak Abid, saya sudah memaafkan kesalahan kamu, kok!” kata Nuria.Akhirnya, semua pihak berdamai, karena tidak ada yang bisa dilakukan selain melupakan. Masa lalu tidak akan terasa menyakitkan jika semua orang bisa mengikhlaskan dan menyadari bahwa sang waktu tidak dalam kendali manusia.Nuria dan Yusro pun akhirnya merelakan, kalau Abid akhirnya dibebaskan. Mereka menyadari bahwa, tidak seharusnya mereka mengungkit kematian Ismawati setelah sekian lama waktu berlalu atas kematiannya. Ada hal yang menyakitkan bagi jasad anaknya kalau proses itu tetap dilakukan. Apalagi mereka memahami selama dua bulan proses penyelidikan itu berjalan, bahwa semua tidak terlepas dari kuasa Tuhan.Setelah proses penjelasan resmi dari pihak kepolisian selesai, sem
POV AUTHORMina memutuskan menginap karena Abid tidak pulang, tidak ada yang tidak tahu, apa yang terjadi karena Linda juga tidak bisa menghubungi suaminya. Ia sering tidak masuk kerja karena kondisinya, tapi ia sudah mendelegasikan pekerjaan kantor pada asistennya. Linda tidak mau meninggalkan karirnya walau keadaan diri dan suaminya seperti sekarang ini. Ia memang diandalkan oleh sang suami karena memiliki kompetensi. Apalagi Abid menyerahkan keputusan soal pekerjaan sepenuhnya pada, sang istri. Jadi, Linda bebas apakah ia tetap bekerja atau akan berhenti.Tanpa sepengetahuan istrinya, Ragil menghubungi seorang pengacara yang pernah ia kenal saat ayahnya masih ada. Semua demi berjaga-jaga kalau Mina membutuhkan pembelaan dari pengacara.Proses di kepolisian terus berjalan selama beberapa hari lamanya, demi penyelidikan yang harus terus di lakukan. Sementara Mina bergantian menjaga Linda dengan ibunya. Ia memilih menghindar kalau ibunya datang. Mereka melakukan giliran itu karen
“Jadi, Mas benaran mau nganterin aku ke mana pun aku mau?” aku bertanya sambil menutup dompetku kembali. Aku putuskan untuk membeli sesuatu nanti saja setelah melihat keadaan Linda dan membeli apa kiranya yang ia butuhkan.“Siap!” katanya seraya melakukan gerakan hormat. Kelihatan ya, kalau pengangguran sejati, pekerjaannya Cuma nganterin istri. Jadi, pasti dia mau nganterin aku untuk membeli kebutuhan Linda nanti.Sesampainya di rumah Linda, aku dibuat terkejut dengan keadaannya. Suasana sepi dan pintunya tidak dalam keadaan terkunci. Semua ruangan berantakan seperti baru saja ada peperangan. Aku menemukannya sesuai lokasi yang dibagikannya.Aku memberanikan diri masuk ke dalam sebuah ruangan yang aku pikir itu kamar Linda. Ternyata benar, adikku itu meringkuk di kamar.“Linda ...!” panggilku lembut. Aku baru saja hendak menyentuh tubuhnya saat tiba-tiba telepon dalam tas ku berbunyi nyaring. Aku berniat mematikannya agar tidak menggangu Linda. Namun, setelah kulihat nama
Keesokan harinya, setelah sarapan, Teh Mela berpesan padaku agar tetap merahasiakan semuanya dan biarlah tetap berjalan seperti biasa.“Kenapa?” tanyaku, sebab jelas aku ingin mengatakan semuanya dengan segera, tapi justru dilarang.“Biar mereka nggak memanfaatkan kebaikan kita atau meminta agar sewanya diskon sama Ragil! Soalnya Ragil itu baiknya nggak ketulungan, bisa-bisa nanti semua orang minta potongan!”Alasan Teh Mela memang benar adanya, tapi selain itu, kalau bayaran sewanya kurang, maka dialah yang akan dapat akibatnya karena jatahnya berkurang.Aku bisa memakluminya, sebab Teh Mela memang bisa dikatakan sangat tergantung pada adik laki-lakinya. “Anakku ada tiga, di pesantren semua dan jauh, kalau saya nggak bantu suami membiayai mereka, kasihan juga, Mbak Mina tahu, kan, biaya anak pesantren berkualitas jaman sekarang berapa?”“Iya, Teh, biaya tahunannya itu yang memberatkan biasanya!” “Nah iya, kalau bukan suami saya yang dulu menghabiskan warisan ayah, mungkin sa
Mas Ragil pun kembali bercerita. Atas desakan sang ayah, akhirnya ia pun mau membeli mobil itu. Di kemudian hari ia baru tahu bahwa, itu mobil bekas dan sang ayah memintanya membeli karena pemiliknya sedang kekurangan uang.Dari cerita itu aku berpikir jangan-jangan rumah yang di tempati teh Mela juga miliknya.Jawaban dari dugaanku itu segera terjawab. Dan, ternyata benar, bahwa rumah besar yang sering dimasuki Mas Ragil—aku melihatnya sendiri keluar masuk ke rumah itu, adalah rumahnya. Bukan rumah Teh Mela.Saat aku sampai di kota, hari sudah malam dan tidak mungkin berkunjung ke rumah Linda. Sementara di kontrakan tidak ada garasi mobil, hingga Mas Ragil menyimpan mobil itu di garasinya.“Mas! Parkir mobil di sini! Tadi bilangnya nggak mau gangguin Linda, eh! Di sini ganggu Teh Mela!”“Nggak apa, dia sudah biasa!” jawab Mas Ragil, sambil melepas sabuk pengamannya. Aku mengikutinya dan turun, Mas Ragil membuka gerbang dan aku masuk untuk mengetuk pintu rumah, dengan niat me
“Memangnya, Abid kenapa, Bu?” tanyaku pada Ibu, seraya mendengar lebih serius di telepon.“Bagus kamu ya, langsung bisa tahu kalau Ibuk mau bicara soal Abid!” jawab ibu.Ibu Aku bisa menebak, sebab adik ipar yang bermasalah denganku ya, Abid. Tidak mungkin kalau Ismaya, kan? Kalau soal Landu, adikku itu mengirim kabar beberapa hari yang lalu. Adikku dan istrinya akan menetap di kota dan untuk sementara waktu tidak akan mengunjungi mertuanya. Entah kapan ia bisa bersikap kembali seperti biasa, setelah mengetahui masa lalu mertuanya.Walaupun, apa yang terjadi sama sekali tidak ada kaitannya dengan Ismaya atau pun Landu, tapi, sikap menghindar dari kedua orang tua itu perlu. Apalagi, hanya untuk sementara waktu. Selain demi menata hati, juga demi kebaikan semuanya. Bayangkan saja kalau bertemu sementara hati belum memaafkan kesalahan masa lalu. Bisa jadi mereka akan terus membicarakan kekecewaan itu.Bagaimana Ismaya tidak kecewa kalau setelah mengetahui Ismawati tiada, ayahnya ju
“Siapa?” tanyaku penasaran, pada wanita pembawa makanan yang dikatakan Mas Ragil itu.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil!” sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah pintu tenda tempat istirahatku.“Iya! Masuk!” kata Mas Ragil, dia belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang yang mengucapkan salam itu sudah terlanjur masuk.“Ini, Mas! Lilis bawain makan siang!” kata perempuan yang mungkin bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdu
“Siapa?” tanyaku penasaran.“Dek Lilis, nanti kamu kenalan saja sama dia!”“Dia bawain makan buat kamu, Mas?”“Iya! Dia tahu jadwal Mas kalau berkunjung ke sini!”“Oh, gitu ya, jadi dia cuma bawain makan buat kamu, Mas! Terus aku gimana?”Mas Ragil yang sejak tadi asyik melihat ke arah buku besar di atas mejanya, tiba-tiba menoleh ke arahku dan tersenyum aneh. Senyumnya yang seperti itu, belum pernah aku lihat sebelumnya.“Kita makan saja berdua, biasanya makan sama dia di sini!”“Apa? Siapa sih, dia Mas?”“Assalamu’alaikum, Mas Ragil! Ini Lilis bawain makan siangnya!”Mas Ragil belum menjawab pertanyaanku, tapi seseorang masuk di tenda yang kami tempati.Dia perempuan yang bernama Lilis, orangnya cantik, sederhana dan masih sangat muda. Dia membawa rantang dua susun berwarna biru.“Alhamdulillah! Masak apa kamu Lis?” tanya Mas Ragil antusias. “Masak opor ayam, Mas!” jawab perempuan itu sambil tersenyum dan menyimpan tempat nasi itu di atas meja.“Sini, sini, kita makan
“Gimana, Mbak, rasanya menikah sama perjaka tua dan pengangguran pula, hati-hati ya, Mbak, kalau nanti gaji bulanannya diporotin suami!” kata Teh Nena lagi.Aku tersenyum, dan menjawab, “Teh Nena nggak usah kuatir, Mas Ragil nggak akan morotin istrinya sendiri, seperti laki-laki yang tidak punya harga diri, lagian dia bukan pengangguran, Kok!” Setelah itu aku pun naik ke motor Mas Ragil.Aku yakin akan hal itu, sebab Mas Ragil tidak mungkin bisa membiayai pernikahan dan memberikan semuanya saat pernikahan, kalau dia pengangguran. Kata Bapak juga bilang kalau suamiku itu rajin dan pintar. Hanya saja bapak tidak memberitahuku, apa pekerjaan Mas Ragil secara pasti.“Aku ini petani, apa kamu malu kalau mengakui suamimu ini petani?” tanya Mas Ragil saat aku dan dia sudah berada di atas motornya. Dia mengantarkan aku dan kendaraan roda dua itu berjalan dalam kecepatan sedang.“Nggak masalah kalau jadi petani, yang penting bukan pengangguran, Mas!”“Biarin saja mereka bilang begitu,