Mas Ragil bersiap akan duduk kembali, tapi aku menarik tangannya agar tetap berdiri.“Eh! Tunggu dulu!” satu kalimat keluar dari mulutku, enak saja dia cium-cium kening tanpa bilang dulu, aku akan membalasnya.Mas Ragil kembali berdiri sambil menatapku lekat, tatapan matanya itu ... eum ... entah melukiskan apa hingga membuatku gagal melakukan apa, yang sebenarnya ingin kulakukan padanya.“Apa, Dek?” katanya, dengan alis yang terangkat.“Eh, nggak jadi!” jawabku, karena seketika kehilangan keberanian untuk mengerjainya.“Udah, nanti lagi kalau mau menyelesaikan urusan kalian berdua!” seru bapak, seraya melambaikan tangan agar kami berdua segera duduk, tentu saja aku malu.Begitu aku dan Mas Ragil duduk, Pak Amil menyodorkan berkas yang harus kami di atas meja. Dia tersenyum-senyum, begitu juga dengan bapak. Sikap mereka terkesan meledek kami berdua.Aku menerima buku nikah setelah membubuhkan tanda tangan. Lalu ,beberapa orang yang berada di antara aku dan Mas Ragil, serentak m
“Memangnya butuh kekuatan seperti apa buat nanti malam, paling juga tidur!” ucapku datar, tak merasakan apa pun pada pertanyaan Mas Ragil. Walaupun, aku tahu ia mungkin segera melakukan malam pertamanya denganku.“Dek, aku ini sudah jadi suamimu, kalo ngomong itu bisa lembut sedikit aja nggak?” katanya.Aku meliriknya, tak tahu harus menjawab apa karena aku memang tidak tahu bagaimana bersikap lemah lembut padanya. Sejak awal bertemu memang sudah seperti ini adanya, mau berubah mungkin aku harus sedikit usaha.“Kalau memang kamu belum bisa menerima aku jadi suamimu, Dek, setidak-tidaknya kamu bisa ikhlas, sekarang semua yang terjadi pada kita ini sudah jadi takdir!”Mas Ragil kembali bicara dan kalimat itu sedikit menyentuhku. Seandainya saja bisa bilang, maaf, ya, Mas! Bukannya aku tidak ikhlas atau tidak menerima jadi istrimu, tapi mungkin untuk lemah lembut sama kamu itu butuh proses, mengingat pertemuan awal sampai akhir antara aku dan kamu, selalu saja ada masalah. Kita bic
“Mas, Kamu menyadari sesuatu nggak?” tanyaku setelah bapak menjauh sementara Pakde Yusro dan Bu Nuria, sedang menikmati makanannya tak jauh dari kami berdua.“Apa?” Katanya Mas Ragil kami pun saling bertatapan.Aku mendekat ke telinganya dan berkata, “Kemungkinan besar temanku si Ismawati itu, bisa jadi saudaraan sama Ismaya adik iparku, istrinya si Landu!”“Masa?” Mas Ragil menanggapinya dengan cepat.“Menurutku memang mukanya mirip sama Ismawati yang dulu waktu masih jadi temanku!” Aku yakin sekali, apalagi setelah aku mendengar pengakuan besan ibuku itu.Mas Ragil sepertinya ingin bicara sesuatu, tapi Pakde Yusro yang sudah selesai makan, mendekati kami. Lalu ia mengobrol dengan suamiku tentang kebun garapannya. Dari obrolan mereka aku jadi tahu bahwa, mereka terlibat kerja sama, dalam mengurus perkebunan karet dan kelapa sawit, yang sudah berjalan sejak lama. Alhamdulillah selama ini, semuanya berjalan dengan lancar. Namun, ada saja masalah kecil yang terjadi, meski bisa di
POV Author.Setelah kepergian kedua orang tua Ismaya, Yusro meminta Nuria untuk duduk kembali. Namun, wanita itu tetap berdiri dan menatap Ismaya lebih lekat lagi. Setelah Ismaya berjalan melewatinya, ia pun memanggilnya.“Namamu Ismaya, kan?” katanya.Ismaya menoleh, ia melihat ke arah Nuria dengan tatapan yang tidak suka, karena sedikit banyak ia sudah mendengar ucapan ibunya bahwa, wanita itu memiliki permasalahan dengan kedua orang tuanya.Walaupun, Ismaya belum tahu persis seperti apa masalahnya, tetapi setidak-tidaknya ia tahu bahwa, Nuria pernah menyakiti ibunya. Kalau tidak, kenapa Vina begitu marah ketika melihat wanita itu dan tidak peduli pada semua orang.Ismaya tidak bergerak dan Landu memegang tangannya dengan erat. Mina dan Ragil serta kedua orang tuanya, berada di sekitarnya. Mereka semua menjadi saksi ketiga tiba-tiba Nuria mendekati gadis itu dan memeluknya.“Kamu mirip sekali dengan Ismawati!” katanya.Ucapan Nuria membuat Ismaya tergerak untuk melepaskan pe
POV Author“Kalau soal yang saya ingat, hanya waktu Ismawati sebelum meninggal dunia—“ kata Mina“Mina! Diam kamu!” tiba-tiba Sanita berdiri dan menarik Mina, agar duduk di sampingnya. Ia mencoba membungkam anaknya bicara sebab apabila wanita yang baru saja menikah itu, mengatakan semuanya. Maka suasana akan menjadi runyam, sekarang bukanlah waktu yang tepat.Jikalau sudah waktunya semua terkuak, tapi tidak di sana. Tidak ada orang yang ingin masa lalu dan aibnya terbongkar di depan semua orang. Apalagi, di acara penting di mana seharusnya semua orang bahagia.“Kenapa, sih, Ibu ini?” tanya Mina, ia berpikir berbeda karena keinginannya kuat untuk bicara dan mengatakan sebenarnya kalau ia mengingat semuanya.“Mina, bukannya apa-apa ... sekarang adalah hari pernikahanmu, tidak seharusnya kamu membuat ibunya Ismawati bersedih dengan mengenang kembali kematian anaknya dan juga termasuk membuka kenangan kembali teman lamamu, mungkin tidak enak untuk didengar ... kalaupun mau membicarak
POV Author“Yang sopan kamu, Abid!” kata Ragil, sikapnya menunjukkan kalau hubungan mereka sangat dekat. Padahal dari sejak lamaran dan hari ini, dua pria itu hanya bertemu sebentar saja, bahkan, bersalaman juga tidak.“Apa Mas Ragil dan Mas Abid sudah saling kenal?” tanya Landu heran.Namun, pertanyaan itu tidak ada yang menjawab karena Nuria langsung berdiri.“Siapa kamu, kenapa kamu ikut campur masalah anakku?” tanyanya heran.Seketika suasana mendadak hening, mereka saling pandang satu sama lain karena keheranan dengan apa yang baru saja terjadi.Abid dan Nuria saling bertatapan dengan pandangan yang tajam. Nuria begitu menyelidik, tetapi pandangan Abid menunjukkan bahwa, dia sangat merasa bersalah pada wanita di depannya itu ia juga melemparkan pandangan ke semua orang yang duduk di hadapannya.Ragil sudah duduk kembali di samping istrinya, sementara Nuria masih berdiri dengan perasaan heran. Dilihatnya laki-laki itu baru saja muncul, dan tidak mendengar semua pembicaraan m
Suasana yang tiba-tiba hening terasa begitu riskan bagiku, sebab Abid menatapku dengan tajam, seolah aku adalah tersangkanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Ismawati waktu itu, tapi tatapannya seakan menuduh akulah penyebab semuanya. “Kenapa kamu liatin aku begitu, Bid?” tanyaku, tapi dia diam saja seolah-olah menganggap aku tidak ada. Enak saja dia bersikap seperti itu memangnya dia berada di rumah siapa dan, ini adalah pesta pernikahanku seharusnya dia tahu diri, dia cuma adik iparku, nggak sopan sekali dia.Tiba-tiba Mas Ragil merangkul bahuku, dan aku menatap wajahnya. Dia terlihat lebih tampan dari biasanya apakah karena ia sekarang sudah resmi menjadi imamku atau karena sentuhan yang kurasakan begitu hangat hingga bahuku menempel di dadanya.Sementara itu Abid mengalihkan tatapannya pada Mas Ragil. Dia terlihat kesal dan waspada.“Mbak Mina jangan salah sangka, siapa yang melotot sama, Mbak, sih?” katanya.“Kamu pikir aku nggak tahu mana melotot mana ya
Aku maklum dengan sikap ibu yang membela menantu anak kesayangannya itu, tapi aku juga heran kalau ibu terus saja mencoba menyembunyikan kebenaran. Memang sebagai ibu yang membela keluarga, hal itu wajar, tapi kalau kaitannya dengan nyawa manusia, aku pikir ibu tidak seharusnya bersikap begitu.“Bu, biar Mina selesaikan ngomongnya, biar dia lega! Lagian, masalah ini sudah cukup lama kita simpan kebenarannya, sudah sepatutnya Bu Nuria tahu kejadiannya!” kata Mas Ragil lagi-lagi dia membelaku.“Tapi, Ragil! Cerita Mina ini menyangkut Abid! Dia kan menantu Ibu juga!” sahut ibu padaku.“Ibu tidak usah kuatir, kan, ini cuma cerita, belum tentu Abid terlibat dan bersalah karena kematian Ismawati,” kata bapak menenangkan wanita yang terlihat gelisah dan menatapku.Sementara Abid terlihat beberapa kali mengusap rambutnya dengan kasar. Kulihat dia berpikir keras dan mencoba menenangkan diri. Aku ingat semua yang pernah dia katakan padaku soal Ismawati. Seandainya dulu aku sudah mengingat