Keesokan harinya, Azmira sudah bisa mengikuti alur pekerjaan barunya. Hal ini tentu saja berkat bantuan Moko dan Yitno yang sudah mensupport Azmira. Moko dengan penuh semangat mengajari Azmira hal-hal yang perlu diperhatikan dalam bekerja. Tentunya diselingi dengan candaan pula.
"Eh," panggil Moko kepada Azmira.
"Ah, eh, ah, eh, mulu sih kamu Moko. Aku itu punya nama tahu. Masih pagi sudah ngajak ribut aja sih." Azmira langsung memasang muka cemberut
Moko yang merasa gemas dengan wajah cemberut Azmira sedikit menahan tawa. Wajah Azmira saat ini sangat mirip dengan beruang kutub yang galak tapi lucu.
"Iya, deh Nona Azmira." Moko kembali melotot untuk menggoda Azmira.
Azmira sebenarnya sempat merasa kesal dengan Moko yang terkesan sok dekat. Namun, entah mengapa Azmira justru menjadi nyaman dan langsung bisa akrab dengan Moko. Mungkin karena usia mereka yang sepantaran.
Moko—pria yang bernama lengkap Triadmoko Suseno—saat ini sedang mengerjakan proyek sipil di Yogyakarta. Sebelumnya Moko sedang mengerjakan pekerjaan sipil di Kota Tarakan, namun karena pekerjaan di Yogyakarta lebih mendesak, Bagas akhirnya memutuskan untuk menarik Moko pulang terlebih dahulu.
Jam dinding menunjukkan pukul 09:30 WIB, pertanda bahwa Azmira harus segera mengirimkan laporan permintaan harga barang kepada distributor yang telah ia kerjakan kemarin. Dengan sangat hati-hati, Azmira mengirimkan laporan tersebut kepada Bagas melalui email. Tidak sampai 3 menit setelah mengirim email, Azmira sudah dipanggil oleh Bagas untuk segera masuk ke ruangannya.
Dengan hati yang gundah dan perut yang terasa mulas, Azmira segera melangkahkan kaki menuju ruangan Pak Bagas.
"Aduh, ini perut kenapa enggak bisa dikondisikan sih!" gerutu Azmira dalam hati
Tok tok tok, Azmira mengetuk pintu ruangan Pak Bagas. Bagas menyuruh Azmira untuk segera masuk.
"Jadi, kamu itu sudah mengerjakan apa aja sih! Masa bikin laporan begini saja enggak becus!" bentak Bagas dengan suara lantangnya hingga terdengar sampai luar ruangan.
"Maaf, Pak. Saya sudah mengerjakan sesuai instruksi Bapak dan mengikuti pola laporan sebelumnya," jawab Azmira sopan dengan suara lirih karena kaget.
"Halah, kamu itu pasti kerjanya cuma tebar pesona aja kan sama cowok-cowok di depan sana. Kerja itu yang benar jangan cuma bercanda aja. Baru juga kerja sehari sudah buat masalah kaya gini!" Kali ini Bagas sungguh terlihat sangat marah.
Azmira sejujurnya merasa kesal karena Bagas memarahinya tidak secara objektif melainkan memang hanya karena tidak suka dengan Azmira. Sedari tadi omelan Bagas hanya seputar sindiran karena Azmira dekat dengan Moko, namun Bagas malah tidak mengoreksi laporan yang dikirim Azmira.
"Ya sudah, sana kembali ke meja kamu. Itu laporan kamu tanggalnya salah. Lebih teliti lagi dan segera perbaiki! Saya tunggu secepatnya." Bagas menyodorkan lipatan kertas kosong yang sedari tadi ia tulis sembari memarahi Azmira.
"Baik, Pak." Azmira mengambil lipatan kertas itu dan segera keluar ruangan.
Saat Azmira keluar dari ruangan, Rina langsung mendekati Azmira
"Sudah, Mbak. Enggak usah diambil hati. Pak Bagas itu memang sarapan paginya marah-marah," ucap Rina menenangkan hati Azmira.
"Memangnya ada gitu sarapan marah-marah, Rin?" balas Azmira dengan sedikit senyum mengembang di bibirnya.
"Nah, kan kalau senyum gitu Mbak Azmira jadi cantik lagi," goda Rina.
Rina sungguh sangat paham bagaimana rasanya menjalani hari pertama sebagai karyawan baru bak di neraka. Hari pertamanya bekerja saja bahkan dia sudah disuruh membuatkan kopi untuk tamu sambil mempersiapkan ruangan rapat tepat 3 (tiga) menit sebelum tamunya Pak Bagas tiba. Ditambah harus mendengarkan sindiran Bagas sampai 3 (tiga) kali dari pagi sampai sore, hanya karena Rina lupa mematikan AC di ruang rapat setelah selesai digunakan. Sudah seperti sedang minum obat saja. Benar-benar pengalaman yang menyebalkan jika diingat-ingat kembali.
"Wes, pokok'e biarkan saja si Bagas mengomel Mbak. Sudah hobi dia begitu." Rina kembali menyemangati Azmira agar tidak sedih.
"Iya, terima kasih ya Rina." Azmira langsung kembali ke tempat duduknya.
Tak bisa dipungkiri, posisi Azmira saat ini memang bisa dibilang posisi panas alias banyak yang tidak betah. Penyebab utamanya adalah mereka tidak tahan dengan kebiasaan Bagas yang suka sekali marah-marah setiap pagi. Mereka tidak membuat kesalahan saja bisa membuat Bagas marah, apalagi jika membuat kesalahan. Mungkin, meja itu bisa saja dibalik oleh Bagas.
Kebiasaan buruk Bagas ini sebenarnya sudah menjadi perhatian Pak Yuspianto sejak lama. Tabiat Bagas memang sedikit buruk, namun dibalik tabiat buruk itu sebenarnya Bagas adalah orang yang paling kompeten dan memiliki loyalitas sangat tinggi pada perusahaan. Tidak ada satupun karyawan yang se-loyal Bagas di perusahaan manapun. Hal inilah yang menjadi satu-satunya nilai positif Bagas. Entah mungkin karena Bagas hingga usia 36 (tiga puluh enam) tahunnya kini masih berstatus single, sehingga dia sangat loyal kepada perusahaan.
Azmira kini kembali duduk ke kursi kerjanya. Moko yang melihat Azmira menghela nafas dengan berat, buru-buru menggodanya agar tidak sedih.
"Jadi, sarapanmu tadi rasa apa? Coklat atau keju?"
Azmira yang tadinya kesal karena dimarahi Bagas, mendadak jadi mesem-mesem mendengar candaan dari Moko.
"Rasa durian." Azmira mengangkat kedua tangannya memperagakan singa mengamuk.
Keduanya pun tertawa lepas bersama.
Yitno tiba-tiba datang dan langsung duduk di kursi kerjanya sambil merengut.
"Om—sapaan akrab khusus untuk Yitno di circle mereka—, habis dapat jackpot kah? Merengut juga ini pagi-pagi," goda Moko.
"Gimana enggak merengut. Si Bagas itu kadang suka enggak jelas juga. Pagi-pagi aku disuruh ke kantor End User—sebutan untuk customer pemakai jasa perusahaan tempat mereka bekerja—buat ambil Surat Perintah Kerja, tapi gak disiapin Surat Jalannya. Kan, jadi kerja dua kali begini." Yitno menggerutu dan melotot ke arah ruangan Bagas.
Azmira yang tadi sedang fokus di depan laptop seketika berhenti mengetik mendengar Yitno datang. Dan lagi-lagi jantungnya masih deg-degan jika berada dekat Yitno.
"Mas Yitno jangan marah-marah terus, nanti cepat tua loh." Azmira memberanikan diri mengajak Yitno bicara duluan
Yitno sungguh bahagia sekali karena Azmira mengajak ia bicara. Hal yang sudah Yitno tunggu akhirnya tiba juga.
"Azmira sih tadi pagi enggak ikut aku ke...."
"Dia memang sudah tua," timpal Moko.
"Moko ini memang kok ya, orang lagi ngomong main dipotong aja kaya kirim sms kepanjangan," balas Yitno
Suasana percakapan menjadi riuh karena candaan yang dilemparkan oleh Moko. Sebenarnya selain memang tabiat Moko yang suka bercanda, Moko juga sedikit merasa cemburu karena Azmira sedari tadi hanya melihat ke Yitno saja. Namun, Moko berusaha menahan perasaan itu agar ia tidak terlalu jauh jatuh cinta kepada Azmira.
"Azmira, nanti makan siang dimana?" tanya Moko.
"Belum tahu, nih! Aku ikut kamu dong, Moko," balas Azmira.
Yitno tiba-tiba mengeluarkan handphonenya lalu mengetik sesuatu, sepertinya sedang mengirim pesan kepada seseorang.
"Aku ikut juga deh Moko. Aku enggak tenang membiarkan kamu berdua sama Azmira," celetuk Yitno.
"Tumben Om mau ikutan. Biasanya juga pasti pulang. Emangnya diizinin kah sama...."
"Aman itu." Yitno menatap mata Moko seolah memberi kode untuk tidak melanjutkan omongannya.
Azmira sedari tadi hanya tersenyum melihat tingkah kedua temannya itu. Azmira bersyukur masih di kelilingi oleh orang-orang baik. Mereka lalu kembali ke rutinitas pekerjaannya masing-masing hingga tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 12:00 WIB. Azmira, Moko dan Yitno bersiap-siap untuk keluar istirahat keluar kantor.
Tujuan istirahat mereka kali ini adalah kost Moko. Hal ini diusulkan oleh Moko sendiri karena perdebatan mereka untuk menentukan mau makan siang dimana tidak menemukan titik terang. Seperti biasa diskusi panjang lebar tidak berfaedah yang berujung tanpa kesepakatan. Akhirnya mereka pun bersiap dan menuju ke parkiran motor untuk mengendarai kendaraan masing-masing.
"Azmira, sini kamu sama aku aja," ajak Moko.
"Jangan mau sama Moko, sama aku aja. Enggak tenang hatiku kalau kamu sama si Moko," balas Yitno.
"Ya sudah, aku sama Mas Yitno aja ya. Oke!" Azmira segera naik ke motor Yitno
Mereka lalu memacu sepeda motor mereka masing-masing. Sepanjang perjalanan menuju kost Moko, Azmira hanya diam saja di bangku motor belakang.
"Tadi kamu dimarahin apa sama Bagas?" tanya Yitno memecah kecanggungan.
"Padahal aku sudah kerjakan laporan dengan baik, tapi katanya aku kebanyakan tebar pesona. Jadi bingung sendiri juga sih yang salah dimananya," cerita Azmira.
"Yasudah biarkan aja. Si Bagas itu memang enggak jelas. Kerjanya setiap pagi marah-marah gitu,"
"Iya, Mas. Tadi sudah banyak yang bilang juga kok," jawab Azmira cepat karena percakapan mereka terganggu efek suara motor pengendara lainnya.
Setibanya di kost Moko, Yitno memarkirkan motornya dan kemudian membukakan helm yang digunakan Azmira. Moko yang melihat moment itu, segera menggoda mereka karena dia tidak mau menjadi obat nyamuk disana.
"Hey, enggak usah lebay segala bukain helm. Kaya drama-drama percintaan aja," goda Moko.
"Ni anak memang enggak bisa betul lihat orang lain bahagia ya." Yitno menjitak kepala Moko.
"Haduh, Om! Tenaganya dikondisikan dong! Kekerasan sama anak kecil nih," canda Moko.
Azmira hanya tertawa melihat tingkah Yitno dan Moko yang sudah seperti adik dan kakak itu.
Mereka bertiga lalu masuk ke kamar kost Moko. Azmira yang baru pertama kali masuk kamar kost sungguh heran dengan kondisi kamar Moko. Berantakan. Satu kata yang tepat untuk menggambarkan situasi tersebut. Moko lalu menawari Azmira dan Yitno menu makanan yang tersaji di kamar Moko. Ada menu Soto Ayam, Ayam Geprek, Ayam Goreng, Kari Ayam dan lain sebagainya dalam bentuk mie instan.
"Astaga Moko, kamu ini benar-benar anak kost sejati. Isi makananmu semua mie instan, ha ha ha," tawa Yitno.
"Enggak lama itu ususmu bentuknya mirip kaya mie, keriting!" timpal Azmira.
"Ternyata kamu ada suaranya juga ya Ra," balas Moko.
"Moko ini sembarangan aja loh manggil Ra Ra," kata Yitno
"Emangnya harus dipanggil apa Om?" Azmira mulai ikut memanggil Yitno dengan sapaan Om.
"Panggil sayang dong," goda Yitno
"Huuu. Om enggak jelas. Sudah tua jangan kebanyakan modusin anak orang." Moko mulai menggoda lagi.
"Enak situ muda," balas Yitno
"Enak situ tua," Moko dan Azmira serempak menjawab bersamaan.
Entah mengapa sebenarnya candaan mereka bertiga sungguh garing krispi seperti kerupuk. Namun, Azmira merasa bahagia dan sejenak melupakan beban pikiran di pekerjaan bila bersama mereka, terutama semenjak kejadian tadi pagi—ketika Azmira dimarahi oleh Bagas—yang sungguh menguras emosi.
Tidak terasa 15 (lima belas) menit sudah berlalu. Tiba-tiba ada panggilan masuk di handphone Moko, ternyata itu adalah panggilan telepon dari Putra—rekan kerja mereka yang bernama lengkap Keannu Mahasaputra—yang saat ini sedang dinas bekerja di Kota Jakarta. Moko lantas mengenalkan Azmira kepada Putra melalui panggilan video alias video call. Selama ini Moko dan Yitno memanggil Azmira dengan panggilan Azmira, namun setelah mereka berbincang dengan Putra akhirnya Azmira sah menyandang nama Zira di circle pertemanan mereka. Sungguh pertemanan yang sangat unik dengan nama panggilan unik masing-masing.
Putra yang hanya sekilas melihat interaksi Azmira dan Yitno melalui video call langsung tahu bahwa mereka berdua saling suka.
"Si Om, puber kedua kayanya ini. Awas aja dia ngerusak anak orang. Mana si Zira ini kelihatannya masih polos banget," batin Putra.
Sejak saat itulah Putra merasa ingin melindungi Azmira, namun perasaannya hanya sebatas sebagai kakak dan tidak lebih dari itu.
Panggilan telepon dengan Putra itu harus berakhir karena waktu sudah menunjukkan pukul 13:00 WIB, mereka bertiga harus segera kembali ke kantor jika tidak ingin melihat Bagas mengomel kembali seperti tadi pagi. Entah mengapa Bagas ini sepertinya selalu ingin memakan orang jika marah. Sebelum mereka pulang, Azmira sempat membalas pesan dari Maliki yang menanyakan kabar Nugraha. Ketika akan mengakhiri chatnya dengan Maliki, Azmira tidak sadar malah salah mengirimkan pesan tersebut ke Yitno yang mana isi pesannya adalah "Iya, Ayah. Hati-hati di jalan ya!".
"Iya, Bunda," balas Yitno kepada Azmira.
Azmira yang kaget karena ternyata salah kirim segera meminta maaf kepada Yitno karena ketidaksengajaan itu. Yitno yang hanya terkekeh segera mengacak rambut Azmira dengan tangannya. Moko yang sudah menunggu di depan pintu ikut berkomentar melihat tingkah mereka.
"Astaga, sampai kapan kalian berdua mau berdiri disitu? Kamu masih mau diomelin lagi sama Bagas. Nanti dia kalau ngamuk suka makan meja loh," celetuk Moko sambil menahan tawa melihat kelakuan Yitno yang sudah kaya ABG lagi jatuh cinta.
"Iya iya, bawel banget sih kamu Moko," balas Yitno sembari mengajak Azmira keluar kamar.
Azmira tidak sanggup menatap mata Yitno karena terlalu malu. Di dalam hati, ia hanya memaki dirinya sendiri. "Bodoh kamu, Azmira." Azmira tidak bisa menahan rasa malunya hingga mukanya memerah seperti kepiting rebus. Yitno yang semakin gemas melihat kelakuan Azmira itu, malah semakin mencubiti pipi Azmira yang akhirnya dilerai oleh Moko karena Moko tidak mau kembali menjadi obat nyamuk lagi.
Seperti yang sudah diduga, mereka bertiga akhirnya kena omel oleh Bagas karena kembali ke kantor terlambat. Moko dan Yitno yang sudah hapal dengan kalimat andalan Bagas, hanya mendengarkan sambil lalu saja. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Azmira yang sedari tadi menahan kesal karena Bagas hanya mengomel tidak jelas, tanpa sadar mengatakan sesuatu.
"Pak Bagas itu enggak bosan kah? Dari tadi marah-marah terus. Sudah gitu marahnya muter-muter aja pembahasannya. Kalau yang dibahas bukan kesalahan kami, mendingan kami lanjutin kerjaan kami, Pak. Biar Bapak nanti enggak tambah marah karena kerjaan kami enggak selesai." Azmira mengucapkan kalimat yang membuat Moko dan Yitno takjub seketika. Mereka benar-benar takjub dengan keberanian Azmira melawan Bagas si tukang marah.
Bagas yang merasa tersindir, tiba-tiba menyuruh mereka semua keluar ruangan. Entah mengapa bukannya merasa marah karena ditegur Azmira, Bagas malah merasakan jantungnya berdetak sangat cepat. Tidak seperti biasanya, bila ditegur Bagas cenderung akan semakin marah. Namun, kali ini Bagas malah merasa ada sesuatu yang menggelitik perutnya. Yah, Bagas si pemarah yang tidak pernah jatuh cinta belum sadar bahwa itu adalah rasa suka yang pertama kali ia rasakan.
Moko dan Yitno masih merasa takjub dengan yang dilakukan Azmira tadi di ruangan Bagas. Mereka berdua tidak menyangka dibalik wajah polos Azmira ternyata terdapat sikap yang keras. Sungguh sikap yang jarang ditemukan pada karyawan wanita di perusahaan itu dimana rata-rata lebih memilih diam ketika harus berdebat dengan Bagas.
"Eh, Zira. Kamu hebat juga ya. Berani negur Bagas gitu. Coba kalau yang lain, sudah dibanting itu meja di depan dia," puji Moko.
"Reflek aja tadi aku. Habis aku kesal juga dia mengomel terus tanpa henti dan tanpa arah pembahasan yang jelas." Azmira merasa lega sudah berani mengungkapkan rasa kesalnya.
"Jelas dong Moko. Siapa dulu? Bundanya Ayah," goda Yitno.
"Haaa? Enggak salah dengar kah ini aku? Haduh jadi nyamuk lagi aku nanti. Dahlah aku balik kerja aja." Moko duduk ke kursinya menghindari dua pasangan itu.
"Om,...."
"Sudah jangan dipikirin, dijalanin aja dulu," balas Yitno sambil membentuk love dengan kedua tangannya.
Azmira dan Yitno resmi berpacaran ala orang tua setelah kejadian tidak sengaja itu. Azmira melalui hari ini dengan perasaan yang sangat bahagia karena ternyata rasa sukanya berbalas dengan Yitno. Yitno juga merasakan hal yang sama dengan Azmira.
Azmira kembali ke mejanya dan melihat ada lipatan kertas yang ia taruh di bawah laptopnya. Azmira teringat kertas tersebut diberikan oleh Bagas, namun belum ia baca. Mengingat ada pekerjaan yang sangat mendesak, Azmira memilih menyimpan saja dahulu kertas tersebut untuk dibaca nanti ketika tidak sibuk.
Sepulang kerja, seperti biasa Azmira sudah ditunggu oleh Nugraha, sang malaikat kecil Azmira. "Bunda, hari ini Uga sudah bisa baca loh," ucap bocah berusia 3 tahun itu. "Wah, keren anak Bunda. Coba Bunda mau dengar dek Uga baca." Azmira menyodorkan buku bacaan anak. "Bo la, bola, i tu, itu, mi lik, milik, ka kak, kakak, bola itu milik kakak," eja Nugraha. "Mantap, anak Bunda juara. Diajarin sama siapa dek?" tanya Azmira. "Sama Uti, dek Uga yang minta ajarin." Nugraha menunjuk Ibu Astuti. Azmira pun menghabiskan waktunya bersama Nugraha dan saling bercanda. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 21:00 WIB. Sudah waktunya Nugraha untuk tidur. Azmira lantas menidurkan Nugraha di kamar sembari ikut rebahan di sebelahnya. Setelah Nugraha tertidur, Azmira teringat bahwa ia masih menyimpan lipatan keetas yang tadi diberikan oleh Pak Bagas. Segera Azmira membuka lipatan tersebut yang t
Yitno sedari tadi sudah menunggu Azmira di parkiran motor. Ia berencana menyatakan niatnya untuk serius dengan Azmira. Beberapa kali ia mutar-mutar di sekitar motor Azmira. Azmira sebenarnya sudah siap-siap mau pulang namun ia masih menyelesaikan sedikit pekerjaan yang mendesak dan ditunggu oleh Bagas. Lima belas menit kemudian, akhirnya Azmira selesai juga. Ia pun segera bergegas menuju parkiran agar tidak diminta mengerjakan lagi pekerjaan tambahan."Nah, akhirnya keluar juga Bunda," sapa Yitno bahagia."Lho, Om eh Ayah kok belum pulang?" tanya Azmira."Iya, nungguin Bunda dari tadi. Mau ngajak Bunda jalan sekalian ada yang mau Ayah omongin," Yitno sejenak berpikir, "enaknya jalan kemana ya?""Bagaimana kalau kita ke Alun-alun Kota aja, Ayah. Disana suasananya nyaman untuk ngobrol. Nanti kita pilih di Gazebo aja biar bisa sambil duduk." Azmira segera berlalu menuju sepeda motornya."Bun, kita satu motor aja. Nanti motor Bunda ti
Azmira dan Yitno segera menyantap makanan yang sudah mereka beli sambil mengobrol hal-hal remeh yang biasa mereka lakukan. Yitno sesekali menggoda Azmira dengan pura-pura mau menyuapinya, lalu tidak jadi malah diarahkan kemulutnya sendiri. Mereka benar-benar menghabiskan waktu bersama dengan bahagia. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 20:00 WITA, Yitno segera mengajak Azmira pulang agar mereka tidak terlalu larut tiba di rumah. "Ayah, jangan lupa martabak pesanan Moko." Azmira mengingatkan Yitno sebelum menjalankan kendaraan roda dua itu. "Oh, iya. Ayo kita beli dulu di luar." Yitno menunjuk rombong yang jualan Martabak di luar pagar parkiran Alun-alun Kota. Mereka pun membeli martabak dan segera menuju kost Moko. Azmira merasa Moko pasti sudah menunggu mereka dan martabak pesanannya. *** Setibanya di kost Moko, mereka sudah di tunggu oleh Moko di depan pintu kost selayaknya Bapak menunggu anaknya pu
Azmira akhirnya tiba di rumah sekitar pukul 21:00. Dengan sangat hati-hati, Azmira memasukkan kendaraan roda duanya dan mengunci pagar rumah. Azmira masuk ke dalam rumah dan mendapati Nugraha tertidur di ruang keluarga. Ibu Astuti memberi tahu bahwa Nugraha tidak mau tidur di kamar karena ingin menunggu Azmira pulang. Sebelumnya Nugraha memang minta dibelikan Martabak yang kebetulan juga Azmira membelikan itu untuk Moko."Nugraha sudah tidur dari tadi, Mbak. Martabaknya Ibu simpan saja dulu ya, besok dihangatkan di microwave," saran Ibu Astuti."Iya, Bu. Ibu juga tidur saja duluan. Nanti Azmira yang kunci pintunya." Azmira mengunci pintu rumah dengan segera."Ya, sudah. Ibu ke kamar dulu. Bapakmu juga sudah tidur dari tadi." Ibu Astuti pun meninggalkan ruang tamu menuju kamar sambil membawa Martabak yang dibelikan oleh Azmira untuk disimpan.Azmira mengangkat Nugraha ke kamar tidur lalu segera membersihkan diri dan bersiap untuk tidur. Sebelum tidur, Azmi
Malam ini, Yitno merasa tidak bisa tidur dengan tenang. Ia telah mengantongi tiket pesawat yang telah di pesan sebelumnya oleh Azmira di kantor. Hatinya juga merasa gelisah karena khawatir Azmira akan kesulitan tanpa ada kehadirannya. Belum lagi, ia juga semakin kalut karena usia kandungan Witha yang sudah semakin besar. Ia pun juga sudah menyampaikan kepada Witha bahwa keberangkatannya kali ini karena proyek sudah hampir selesai dan membutuhkan koordinasi langsung di lapangan. Nurlinda yang melihat Yitno beberapa kali menghembuskan nafas panjang, mencoba memeluk Ayahnya."Ayah, jangan khawatir. Mbak nanti kan bisa jagain Bunda disini." Nurlinda memeluk punggung ayahnya."Iya, Nak! Doakan Ayah, ya. Semoga selalu diberikan kemudahan," balas Yitno sambil mengusap kepala Nurlinda.Nurlinda Estika—anak pertama Yitno dengan Witha yang akrab disapa Linda—walau masih berusia 6 (enam) tahun, namun memiliki insting perhatian yang sangat tajam terutama kepada
Azmira akhirnya tiba di kantor sekitar 10 menit setelah kembali dari Bandara. Seperti yang sudah diduga sebelumnya, suasana kantor sedikit mencekam karena Bagas baru saja selesai melaksanakan rutinitas paginya yaitu marah-marah. Rina yang melihat Azmira baru akan masuk kantor, segera buru-buru mendatanginya. "Mbak, cepetan kesini. Ini ada titipan berkas dari Pak Bagas. Dia lagi kumat," kata Rina. "Hadeh, itu orang hobby apa ya marah-marah terus." Azmira sedikit kesal karena teringat ada tugas dari Bagas yang harus ia selesaikan. "Dari tadi dia nyariin Mbak, tuh! Padahal dia kan habis telepon Mbak Azmira. Habis itu gak jelas marah-marah lagi." Rina kali ini ikutan cemberut juga. "Ya, sudah. Saya ke meja dulu. Terima kasih ya Rina. Azmira melangkahkan kaki ke meja kerjanya meninggalkan Rina yang juga segera kembali ke meja Receptionist. Di tempat duduknya sudah ada Moko yang menunggu Azmira dengan cemas. Terlihat se
"Hey, Zira!" Suara Moko membuat Azmira sedikit kaget, "kamu kenapa lagi? Baru juga keluar kantor sudah merengut saja. Takut ditinggal Bagas kah?" Kali ini Moko meledek lagi. "Hmm, bukan apa-apa, kok." Azmira terpaksa mengembangkan senyum yang sangat kecut. Azmira kesal karena Yitno mengabari bahwa dirinya sudah tiba di Bandara Tarakan dan memanggilnya dengan sebutan Ndaa. Yah, begitulah wanita itu. Kadang mudah terpancing emosi atau kesal sesaat hanya karena sebuah panggilan. "Si Om kan gak pernah manggil aku dengan panggilan Ndaa. Pasti dia salah kirim ke aku," gerutu Azmira pelan. Moko ternyata mendengar sedikit ucapan Azmira. "Elah, cewek ribet banget yah. Cuma perkara panggilan salah saja langsung ngambek," ucap Moko. "Ha ha ha. Kalau kamu bilang begitu, rasanya kok jadi kesal, ya," balas Azmira kembali. "Ya, kamu juga sih Zira. Lebay beeuudd," ucap Moko kembali sambil memperagakan kedua tangannya diangkat. Az
Hari berlalu hingga tidak terasa sudah dua minggu Azmira menghabiskan hari-harinya tanpa Yitno. Mereka sama-sama fokus ke pekerjaan masing-masing mengingat target pekerjaan yang sudah mendekati deadline—masa tenggat penyelesaian pekerjaan—dari End User di Kota Tarakan. Bagas mulai melibatkan Azmira pada pengajuan tender-tender lainnya. Azmira dapat melalui semua tugas dari Bagas dengan baik dan hal itu tentu membuat Bagas semakin menyukai Azmira karena kegigihannya.Hari ini Moko yang juga sama sibuknya, terlintas untuk mengajak Azmira jalan sepulang kerja."Hei, Zira. Jalan yuk!" ajak Moko."Ih, mana boleh jalan sekarang. Kita loh lagi kerja." Azmira terlalu fokus dengan laptopnya.Bletak..suara buku tipis yang mendarat di kepala Azmira."Wo, k*mpr*t. Jan Moko iki gemblung!" Kali ini Azmira mengomel dengan refleks.Bukannya meminta maaf, Moko malah terlihat sangat gemas dengan Azmira dan mencubit
(Kelanjutan cerita ini masih berlokasi di rumah Yitno) Witha bergegas keluar kamar menuju ke dapur. Ia lantas segera menghubungi nomor Azmira yang telah disimpan pada HPnya. Terdengar suara nada tunggu panggilan di beberapa detik hingga akhirnya telepon dari Witha diangkat oleh Azmira. "Halo," sapa Azmira. "Hey, perempuan j@l@ng. Kamu siapa? Berani ganggu suami saya!" jawab Witha dengan kasar. "Saya..." suara Azmira terputus karena dipotong oleh Witha. "Enggak usah banyak ngomong. Jangan ganggu suami saya, kamu tahu tidak kalau saya sedang hamil besar. Kalau sampai terjadi apa-apa sama saya, saya akan tuntut kamu ke polisi. Murahan sekali kamu sampai menggoda suami orang. Enggak laku, ya! P3lacur." Witha semakin emosi lalu mematikan teleponnya. Witha kembali mengatur nafasnya. Ia benar-benar merasa hancur dan sedih. Hatinya sungguh tersayat membayangkan betapa teganya Yitno mengkhianatinya yang sedang hamil besar. "Ayah, kenapa Ayah tega. Bunda ini kurang apa, sih? Bertahun-tah
(Pada scene ini akan full berlokasi di rumah Yitno.)Setelah berpisah di Bandara sebelumnya dengan Azmira, lima belas menit kemudian Yitno akhirnya tiba di rumah Witha. Yitno sengaja tidak mengabari Witha karena ingin memberikan kejutan untuk Nurlinda, anak perempuannya. Linda—nama panggilan Nurlinda—sungguh sangat merindukan Yitno dan kerap kali menanyakan kapan kepulangan ayahnya.Tiba di depan pintu rumah, Yitno lantas mengetuk pintu tersebut dan berpura-pura menjadi tamu.Tok tok tok. Yitno mengetuk pintu rumahnya."Sebentar." Terdengar teriakan anak kecil dari dalam.Yitno sudah menduga pasti yang membukakan pintu adalah Linda karena biasanya Witha masih belum pulang dari jalan-jalan keliling. Selama hamil besar, Witha memang sering jalan pagi karena disarankan oleh dokter kandungan untuk banyak bergerak agar mudah proses persalinannya.Ceklek. Terdengar suara handle pintu yang dibuka oleh Linda."Ayah!" Teriak Linda.Linda pun tanpa sadar melompat ke pelukan Ayahnya dan Yitno ju
Setelah semua terasa lengkap dan siap, Azmira mencoba kembali ke kamar mandi mencuci tangan sekaligus mengecek apakah ada barang yang tertinggal. Yitno menyusul Azmira ke kamar mandi untuk memastikan kekasihnya tidak kembali bersedih setelah kemarin mereka menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang banyak hal. "Bun, mengapa melamun begitu?" tanya Yitno yang melihat Azmira sedang termenung di depan cermin kamar mandi. Azmira sedikit tersentak, "eh, Ayah. Enggak melamun kok, yah. Hanya mengecek kembali saja ada yang tertinggal atau tidak. Kalau ada yang tertinggal tidak enak, kan." Azmira kembali tersenyum tipis yang terkesan dipaksa. Yitno memeluk Azmira dari belakang dan menyandarkan kepalanya pada bahu Azmira. "Sudah jangan sedih lagi. Kita masih bisa bertemu, kok. Bahkan masih bisa berkomunikasi seperti biasa. Jangan sedih seperti kita akan berpisah jauh saja, ya." Yitno mengusap kepala Azmira. "Iya, Ayah. Walau bibir ini berkata iya, tetap saja Bunda kepikiran bagaimana nanti
Tiga puluh menit kemudian akhirnya Azmira dan Yitno kembali tiba di Hotel GS setelah menghabiskan waktu bersama di Pantai Lamaru. Azmira dengan langkah gontai segera keluar dari mobil dan membawa bawaannya serta tak lupa mengambil kunci kamar yang telah dititipkan ke Receptionis. Sepanjang perjalanan dari Pantai Lamaru hingga ke Hotel GS tadi, hanya ditemani dengan kesunyian dan beberapa obrolan ringan saja. Yitno masih merasa aneh dengan sikap kekasihnya itu yang mendadak berubah. Suatu hal yang aneh jika orang yang biasa banyak berbicara tiba-tiba hanya diam tanpa kata."Bun," tegur Yitno mencoba membuka pembicaraan tatkala mereka sedang di depan pintu lift menunggu lift terbuka."Hmm," jawab Azmira sekenanya."Duh, jawabannya bikin orang bingung mau respon apa." Kembali Yitno membatin.Mereka kembali diam tanpa sepatah kata hingga akhirnya pintu lift terbuka dan mereka masuk ke dalam lift. Tak lama pintu lift terbuka, gegas Azmira keluar lift dan berjalan menuju pintu kamar. Lagi-l
"Apa!" Azmira menarik nafas panjang, "Witha mau melahirkan?" tanya Azmira memastikan."Begitulah, Bun." Yitno hanya terkekeh."Kok malah santai, gini. Enggak kepikiran apa? Terus nanti kalau melahirkan sekarang, bagaimana?" tanya Azmira kembali. Kali ini Azmira sungguh-sungguh ."Bun, Bun. Kaya Bunda enggak pernah melahirkan saja. Sebelumnya waktu melahirkan bagaimana? Enggak serta merta langsung keluar bayinya, kan?" tanya Yitno menenangkan kekasihnya itu."Iya, sih. Tetapi, kan Ayah enggak disana untuk menemani Witha!" kilah Azmira."Yakin dia masih butuh, Ayah? Paling dia butuh buat bayar biaya rumah sakit saja." Yitno mengangkat kedua tangannya.Pletak. Terdengar suara tangan Azmira memukul lengan Yitno."Hust, Ayah ini bagaimana, sih! Dia mau melahirkan kok enteng banget menanggapinya. Bagaimana pun di perut dia ada anak Ayah, loh. Adiknya Linda." Kali ini Azmira benar-benar sudah kesal dengan Yitno terlebih melihat sikap Yitno yang sedikit terlalu santai.Azmira paham bahwa Yitn
Dua puluh menit kemudian, dua insan itu telah menyelesaikan sarapan mereka dan kemudian kembali ke kamar bersiap-siap untuk melanjutkan rencana perjalanan mereka ke Pantai mengingat waktu sudah menunjukkan pukul 07:30 waktu setempat. Mereka berencana berangkat pagi agar bisa menghabiskan waktu lebih lama di Pantai nantinya. Sebelum berangkat, Azmira memastikan kembali tas yang telah ia siapkan sebelumnya telah terisi barang-barang yang akan di bawa serta tidak ada yang tertinggal. "Bun, jangan lupa hubungi dahulu Pak Agung, ya." Yitno mengingatkan kembali amanah yang dititipkan kepada Azmira. "Oh, iya. Benar juga. Bunda telepon dahulu, ya." Azmira lekas mengambil teleponnya dan mencari kontak Pak Agung. Terdengar Azmira beberapa kali mengucapkan terima kasih kepada Pak Agung. Yitno tidak ingin mencuri dengar perbincangan mereka karena dia percaya bahwa Azmira sungguh dapat memegang amanah pekerjaan dengan baik. Yitno sendiri sudah pernah melihat dan mengakui bahwa Azmira sangat cek
Pagi ini, Azmira bangun sedikit lebih pagi daripada biasanya. Mengingat hari ini adalah hari terakhir mereka di Kota Balikpapan, membuat Azmira tidak bisa tidur dengan tenang. Jam di handphonenya menunjukkan pukul 03:00 dini hari. Ia pun melihat Yitno juga masih tertidur dengan lelap.Ia teringat semalam setelah selesai makan malam, teman Yitno menelepon bahwa dirinya sudah di Hotel GS mau mengantarkan kendaraan yang akan ia pinjamkan. Seharusnya kami janjian pukul 22:00, namun karena ada keprluan mendesar, teman Yitno itu memutuskan untuk mengantarkan lebih cepat.Berhubung mereka sedang tidak di hotel, teman Yitno menginfokan bahwa ia akan menyusul mereka ke lokasi saat ini. Sehingga Azmira dan Yitno pun menyetujui ide temannya tersebut sembari menghabiskan makan malam mereka. Tak disangka, ternyata teman Yitno sungguh berbaik hati meminjamkan kendaraan berupa mobil, padahal sebelumnya yang akan dipinjamkan adalah motor saja."Sudah, Bro. Pakai saja dulu mobil
Waktu sudah menunjukkan pukul 17:00 WITA. Azmira dan Yitno masih dalam kondisi belum membersihkan diri setelah selesai melakukan aktifitas berolahraga dalam ruangan."Bun, bersihkan badan duluan, gih. Katanya tadi mau jalan-jalan." Yitno mengusap kepala Azmira yang masih rebahan di kasur."Lima menit lagi, ya," kata Azmira sembari menutup mata."Ayo, bangun. Ayah hitung sampai lima, kalau tidak bangun nanti di gelitikin. Satu, dua...." Yitno sudah bersiap mau menggelitiki pinggang Azmira."Iya, iya." Azmira lantas sigap bangun dan segera ke kamar mandi.Baru saja dia masuk ke kamar mandi, lantas keluar lagi."Kenapa lagi, Bun?" tanya Yitno semakin gemas."Awas, jangan nyusul, ya." Azmira mengedipkan mata sebelah kanannya."Buruan, makin lama nanti Ayah menyusul beneran, lho." Yitno benar-benar sudah tidak tahan ingin menggoda Azmira kembali.Azmira akhirnya melanjutkan membersihkan diri dan kemudian di lanjutkan berganti
Ting. Suara lift berbunyi menandakan lift tersebut telah tiba di lantai tujuan"Mari, Mbak," ucap Pria itu.Sedari tadi Azmira merasa tidak nyaman karena tidak mengenal pria yang berada di sebelahnya itu. Namun, mau tidak mau dia berusaha mengikuti karena Pria itu mengaku telah dihubungi oleh Encun, sahabatnya. Azmira juga tidak berani menanyakan nama kepada Pria itu karena sungkan.Sejenak Pria itu memahami ketidaknyamanan Azmira, lantas segera mencoba mencairkan suasana dengan cepat."Mbak pasti tidak nyaman, ya?" tanya Pria yang masih belum diketahui namanya hingga saat itu."Iya, maaf ya, Mas. Terlalu terlihat, ya?" Azmira kini merasa malu karena Pria itu mengerti kata hatinya."Mbak bisa panggil saya, Nanda. Saya rekan satu kontrakannya Encun juga. Kebetulan saya juga berasal dari Kota yang sama dengan Encun, yaitu Kota Yogyakarta." Pria yang ternyata bernama Nanda itu akhirnya memperkenalkan diri."Wait a minute, namanya kok sam