BAB 58__"Van, lebih baik Anna tetap sama kamu. Belum tentu dia sadar, kalau tinggal sama papanya, yang ada nanti malah semakin liar." Vania merundingkan keputusannya dengan Rahman, sang ayah. Ia menceritakan semua masalah yang ia hadapi, pundaknya terlalu berat menanggung beban ini sendirian. Ia merasa menjadi ibu yang gagal, karena Anna melangkah keluar batas. "Biarkan Anna intropeksi diri, beri dia waktu memikirkan kesalahannya, tapi jangan kamu pulangkan dia ke Hanif. Apa kamu lupa bagaimana istri Hanif sekarang? Anna yang labil akan mudah terhasut ke jalan yang salah," ucap Rahman lagi seraya mengusap bahu putrinya. "Vania bingung, Pa, Anna enggak mau ngerti, apapun yang Vania lakukan selalu salah dimatanya. Padahal, apa yang Vania lakukan sekarang demi masa depannya," lirihnya seraya mengusap keningnya yang berdenyut nyeri. Beberapa hari ini ia tak bisa tidur dengan nyenyak, bahkan perutnya hanya diisi dengan roti sejak kemarin. Ia tak nafsu makan, memikirkan Anna yang sema
BAB 59 __"Enggak ada yang perlu disalahkan, Anna. Dulu sebelum kita lahir ke dunia ini, kita sudah ditunjukkan bagaimana alur hidup kita, di dalam kandungan kita menyetujui perjanjian dengan Allah, bahwa kita sanggup melalui setiap cobaan di dunia ini." Anna bergeming. Anak lelaki Vania itu menatap adiknya datar, sulit sekali menyadarkan adiknya yang egois. Tapi, ia tetap berusaha menyadarkan adiknya yang telah salah langkah. "Jangan merasa hanya kamu yang terluka di sini, jangan egois, Na." Aldi meninggalkan adiknya yang terdiam, membiarkan sang adik merenungi ucapannya. Syukur-syukur kalau sadar dan meminta maaf pada ibunya. Sebelum berangkat ke kampus, Aldi memastikan ibunya sudah menghabiskan makanannya dan minum obat. "Maafin kami ya, Ma, bukannya bikin bangga, malah nambahin beban Mama," lirih Aldi seraya mengecup kening ibunya yang tertidur pulas. __Hanif memijit pelipisnya, tunggakan ut
BAB 60 Hanif menoleh ke arah pintu kamar Wiyani. Ia meneguk saliva dengan susah payah. Jika memang ini jalan terakhir, Hanif hanya bisa berdo'a semoga ibunya tak menyadari. "Baik, kalian boleh pergi. Secepatnya akan saya bayar," ucap Hanif. "Maaf, Pak. Kalau bisa, hari ini," ucap seorang lelaki berbadan kekar. "Sekarang nggak ada, Pak. Tolong kasih saya waktu. Seharusnya, kalian menagih ini pada Lia, bukan pada saya." "Maaf, Pak. Kami hanya menjalankan sesuai prosedur. Di sini Bu Lia memerintahkan untuk menagih pada Pak Hanif selaku suaminya." Hanif pun menghela napas panjang. Makin terpuruk hidupnya sekarang. "Baik, beri saya waktu seminggu." Kedua pria berotot besar itu saling pandang, hingga akhirnya pergi setelah menyetujui permintaan Hanif. "Akhirnya, mereka pergi juga." Hanid mengembuskan napas lega dan duduk di sofa. Keberuntungan berada di pihaknya kali ini. Jika Wiyani tahu ada debt collector yang datang untuk menagih hutang Lia, bisa-bisa ia akan kena hantam. Belum
BAB 61"Anna?" Wiyani terkejut melihat cucunya sudah ada di dalam rumahnya. Ia dan Rima yang baru saja pulang dari rumah sakit. "Oma?" Nenek dan cucu itu saling berpelukan. Sudah hampir setahun lamanya, mereka tidak berjumpa. "Ya Allah, cucu Oma, apa kabar?""Anna baik-baik saja, Oma. Oma apa kabar? Anna kangen," ucap Anna. "Sama, Oma." "Mamamu mana?" tanya Wiyani yang baru sadar jika Vania tak terlihat bersama cucunya. "Anna ke sini sama Papa, Nek.""Mamamu?" "Di rumah," jawab Anna. Wiyani terkejut karena mengetahui jika Hanif membawa Anna tanpa Vania. Karena setahunya, Vania melarang keras anak-anaknya kembali berhubungan dengan keluarga mereka. "Hanif," panggil Wiyani. "Apa, Bu?" "Kamu bawa Anna, dibolehin sama Vania, nggak?" tanya Wiyani. "Apa sih, Oma? Kan Anna ke rumah Papa sendiri, kenapa harus ga dibolehin?" "Tuh, denger sendiri kan, Bu?" Wiyani menghela napas, sementara Anna beralih pada tantenya yang sudah lama tak bersua. "Ibu hanya tak ingin disalahkan lagi
BAB 62 __Anna mengernyit keheranan melihat Omanya mematung dengan ponsel yang sudah terjun bebas ke tanah, ia menghampiri sang Nenek.."Oma, kenapa?" tanyanya.Wiyani menatap cucunya dengan air mata yang meluncur membasahi pipinya. "Ommu meninggal, Na," ucap Wiyani dengan suara bergetar. Gadis itu terkejut, tapi ia tak sedih mengetahui lelaki yang turut andil menghancurkan rumah tangga orang tuanya itu kini menghadap Sang Ilahi. "Ayo kita ke rumah sakit!" ucap Anna, berpura-pura simpati atas kabar duka yang baru saja ia dengar. Wiyani mengangguk. Dua wanita beda generasi itu bergegas bersiap untuk pergi ke rumah sakit, Rima dan Hanif tak ada di rumah, sehingga hanya mereka berdua yang pergi ke rumah sakit. Wanita paruh baya itu menghubungi putri bungsunya untuk segera pulang. Sementara Hanif tak bisa dihubungi. Mereka berdua menggunakan motor pergi ke rumah sakit. Sesampainya di sana, Anna menatap tubuh lelaki yang sudah kaku itu. Wiyani menangis memeluk tubuh putranya yang s
BAB 63 __Anna tersenyum penuh kemenangan menatap ibu tirinya, hatinya sedikit senang karena sang ayah berada dipihaknya. Setidaknya wanita jalang itu tak akan berani lagi ikut campur jika sudah seperti ini. Wanita yang telah merebut ayahnya itu, beranjak dari ruang tengah, masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu."Ngambek!" cibir Anna. Hanif menatap putrinya, "kamu juga Anna, enggak baik bicara seperti itu. Harusnya kamu berduka, kehilangan pamanmu satu-satunya!" Gadis itu mengendikkan bahunya, "kalian saja yang bersedih, aku sih ogah!" Anna beranjak masuk ke kamarnya, mereka seolah tak mengenali gadis itu karena sikapnya yang sangat berubah tak seperti dulu lagi. Wiyani menatap cucunya nanar, ia tak menyangka cucu kesayangannya berubah begitu drastis. Ia yakin, perubahan Anna karena dampak dari perceraian anak dan menantunya. Anna semakin liar, karena kekurangan perhatian. "Sudahlah Hanif, jangan terlalu dikerasin anakmu, yang ada nanti semakin melukai hatinya," ucap Wiy
BAB 64 Vania merasakan denyut di kepalanya semakin menjadi. Rahman yang melihatnya pun memutuskan untuk membawa anak perempuannya ke Rumah Sakit. "Di, hubungi Anna. Mamamu dibawa ke rumah sakit," ucap Rahman pada Aldi melalui panggilan telepon. Cucu laki-lakinya itu tengah kuliah, sehingga tidak mengetahui kejadian ini. "Ya Allah, Mama. Iya, Kek, nanti Aldi hubungi Anna." Setelah mematikan telepon, Aldi berusaha menghubungi Anna, tapi tidak diangkat oleh adiknya itu. Aldi yang semula hendak berangkat jalan-jalan sepulang dari kampus bersama teman-temannya, otomatis membatalkan rencana itu. "Gue nggak ikut deh," ucap Aldi pada Hilman. "Loh, kenapa?" tanya Fariz, temannya."Nyokap gue masuk rumah sakit. Gue harus ke sana," jawab Aldi. "Ya elah, anak mami banget sih, lu. Emang pembantu lu nggak nemenin di sana?" "Ada kakek gue. Tapi, nyokap cuma punya kami. Gimana gue bisa tenang jalan-jalannya kalau surga gue aja lagi sakit?" Fariz dan teman-teman lain berusaha membujuk Aldi u
BAB 65__"Terserah Papa mau percaya atau enggak, itu hak Papa," ucap Aldi seraya memberi kode pada adiknya untuk bersiap meninggalkan rumah orang tua ayahnya.Aldi menatap Tante dan Neneknya sekilas, ia kecewa pada mereka yang membiarkan Anna menjadi pembantu di rumah ini. Bahkan tubuh Anna tampak semakin kurus, padahal dulu adiknya itu memiliki tubuh berisi dengan pipi bulat. Sementara Hanif menatap istrinya tajam, menuntut penjelasan. Lia tak berani menatap suaminya, ingin mengelak tapi ia takut jika anak tirinya ternyata menyimpan bukti. Keringat dingin membasahi pelipis wanita itu. "A-aku bisa jelasin, Mas," lirih Lia. Mendengar ucapan istrinya, Hanif bisa menarik kesimpulan apa yang diucapkan putranya itu benar adanya. "Gila kamu, Lia!" teriak Hanif. Lia mengkerut ketakutan, terlebih Hanif sedari awal mereka kembali menjalin kasih sudah mewanti-wanti dirinya untuk menjauh dari dunia prostitusi. Ayah dua anak itu terduduk lemas, ia
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun
BAB 111__Anna menyadari perubahan ekspresi pada adik tirinya, ia cukup peka dengan suasana hati orang sekitarnya. Terlebih adik tirinya itu, tak bisa menyembunyikan wajah tak sukanya. "Kalian sudah makan siang?" tanya Vania."Sudah kok, Ma. Oh iya, Ma, kami masih ada yang mau dicari, kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, Anna duluan ya!" ucap Anna seraya memberi kode pada Tere untuk beranjak. Anna mencium punggung tangan Vania. "Have fun ya sama Mama." Ia menepuk adik tirinya. Sebagai kakak, ia tak ingin egois. Terlebih ia tahu, Sela kekurangan kasih sayang dari mama kandungannya, kali ini ia memberi kesempatan pada mama dan adik tirinya untuk pendekatan. Teresa menatap sahabatnya kebingungan, "ada sesuatu ya diantara lu sama adik tiri lu?" Yang ditanya mengendikkan bahu, "gue cuma memberi ruang untuk mereka, gue sudah banyak mendapatkan kasih sayang berlimpah dari Mama, berbeda dengan Sela." "Tumben pemikiran lu dewasa, padahal waktu masalah bokap lu, udah kek reog!" cele
BAB 110Anna dan Haikal sudah kembali ke kost-annya, rumah terasa sepi lagi karena Anna lah yang begitu banyak bicara. "Ma, Aldi kuliah dulu, ya?""Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama."Aldi mengangguk, lalu keluar melewati Sela yagng tengah duduk di ruang tamu. Dalam hati ela semakin iri dengan anak-anak Vania, karena ia tak pernah bermanja dan juga diperhatikan opleh ibu kandungnya sendiri. Vania melanjutkan pekerjaan, setelah Mbak Inah memutuskan untuk berhenti kerja karena akan menikah, Vania merasa tenang-tenang saja karena semua ada yang menghandlenya. Namun sekarang, ia sendiri kewalahan mengatur jam kerja dan juga jam bebenah rumah. Sela memperhatikan Vania yang tengah menyapu, ingin rasanya ia menawarkan bantuan, ttapi ia sendiri malu. Vania pun bukan perempuan yang tidak peka, ioa sebenarnya tahu jika Sela sedari tadi memperhatikannya. "Sela, bisa bantu Mama ngepel, Nak? Mama mau mandi dulu." "Iya, Ma." Sela yang memang sedang libur sekolah ka
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe