BAB 64 Vania merasakan denyut di kepalanya semakin menjadi. Rahman yang melihatnya pun memutuskan untuk membawa anak perempuannya ke Rumah Sakit. "Di, hubungi Anna. Mamamu dibawa ke rumah sakit," ucap Rahman pada Aldi melalui panggilan telepon. Cucu laki-lakinya itu tengah kuliah, sehingga tidak mengetahui kejadian ini. "Ya Allah, Mama. Iya, Kek, nanti Aldi hubungi Anna." Setelah mematikan telepon, Aldi berusaha menghubungi Anna, tapi tidak diangkat oleh adiknya itu. Aldi yang semula hendak berangkat jalan-jalan sepulang dari kampus bersama teman-temannya, otomatis membatalkan rencana itu. "Gue nggak ikut deh," ucap Aldi pada Hilman. "Loh, kenapa?" tanya Fariz, temannya."Nyokap gue masuk rumah sakit. Gue harus ke sana," jawab Aldi. "Ya elah, anak mami banget sih, lu. Emang pembantu lu nggak nemenin di sana?" "Ada kakek gue. Tapi, nyokap cuma punya kami. Gimana gue bisa tenang jalan-jalannya kalau surga gue aja lagi sakit?" Fariz dan teman-teman lain berusaha membujuk Aldi u
BAB 65__"Terserah Papa mau percaya atau enggak, itu hak Papa," ucap Aldi seraya memberi kode pada adiknya untuk bersiap meninggalkan rumah orang tua ayahnya.Aldi menatap Tante dan Neneknya sekilas, ia kecewa pada mereka yang membiarkan Anna menjadi pembantu di rumah ini. Bahkan tubuh Anna tampak semakin kurus, padahal dulu adiknya itu memiliki tubuh berisi dengan pipi bulat. Sementara Hanif menatap istrinya tajam, menuntut penjelasan. Lia tak berani menatap suaminya, ingin mengelak tapi ia takut jika anak tirinya ternyata menyimpan bukti. Keringat dingin membasahi pelipis wanita itu. "A-aku bisa jelasin, Mas," lirih Lia. Mendengar ucapan istrinya, Hanif bisa menarik kesimpulan apa yang diucapkan putranya itu benar adanya. "Gila kamu, Lia!" teriak Hanif. Lia mengkerut ketakutan, terlebih Hanif sedari awal mereka kembali menjalin kasih sudah mewanti-wanti dirinya untuk menjauh dari dunia prostitusi. Ayah dua anak itu terduduk lemas, ia
BAB 66"Sekarang kamu sudah merasakan sendiri kan, bagaimana rasanya hidup dengan seorang ayah yang tak memedulikanmu?" tanya Raisa. "Tapi, kemarin Papa yang nyariin Anna sampai ke rumah. Bahkan sampai berantem sama Mama. Kalau nggak peduli, itu apa namanya, Tan?" Raisa tersenyum, ia tahu kini anak sahabatnya itu tengah mencari pembenaran atas dirinya. "Kalau papamu memang memedulikanmu, lalu kenapa dia baru cari kamu sekarang? Kamu pikir aja. Saat kalian masih tinggal bersama, apa papamu memedulikanmu setelah Lia dan anaknya datang?" tanya Raisa. Tanpa berpikir, Anna mengangguk. Masih terasa pedihnya saat ia memergoki Hanif jalan dengan Kikan dan tak memedulikannya. Bahkan, ia sampai dibully teman-temannya dan berakhir dengan pindah sekolah."Papamu mencari hanya karena ia kesepian. Kikan sudah pergi, Lia kebanyakan utang, dia sendiri gak ada tempat untuk mencurahkan perhatian dan ia pun haus ak
BAB 67___[Jadi, bagaimana Lia dengan utangmu? Kau mau bayar dengan uang atau tubuhmu?] Lia bergeming membaca pesan dari pelanggan sekaligus orang yang pernah memberinya uang pinjaman, dengan jumlah yang tidak sedikit. Selama ini, Wahyu jarang menagih, karena selalu mendapatkan 'service ranjang' darinya. "Kenapa dia nagih di saat genting begini sih!" rutuknya. Tak lama, Wahyu menelponnya. Ia menggeser icon merah, menolak panggilan dari lelaki itu. Bahaya jika ia mengangkat panggilan dari lelaki lain, di saat suaminya sedang marah. Ia menatap Hanif yang sudah tertidur pulas, jika bukan karena mengincar warisan lelaki itu sudah pasti ia akan menendang suaminya dari kehidupannya. "Punya suami enggak adagunanya," gumamnya seraya merebahkan tubuh di samping Hanif. Ia tak mendapatkan yang ia inginkan dari Hanif, lelaki itu tak lagi memiliki harta ataupun tahta, keuangan mereka bergantung pada ibu mertuanya. "Lagian itu nenek peyot, kenapa juga masih turun tangan ngurus bisnis, harus
BAB 68 [Untuk anak lelaki Mama, Abang tersayang. Nak, maafkan Mama jika masih banyak kekurangan saat menjadi ibu kalian. Maaf jika Mama kurang dalam mendidik Anna. Yang harus Abang tahu, Mama sayang menyayangi kalian. Bang, Mama lupa dengan kesehatan sendiri demi mengejar masa depan kalian. Jangan pernah bermusuhan meski sering berselisih paham. Bang, jaga Anna untuk Mama, ya. Kita tak pernah tahu tentang umur. Tapi, entah kenapa semakin hari Mama semakin merasakan sudah dekat dengan ajal. Mama sering merasa kesakitan, tapi tak mau kelihatan oleh kalian. Bang, Mama sudah siapkan tabungan untuk kalian jika sudah menikah lagi. Mama akan membelikan rumah, agar kalian tak perlu mengontrak. Maaf, jika Mama lagi-lagi mengecewakan karena memikirkan diri sendiri. Mama egois ya, Bang? Banyak ketakutan yang Mama rasakan hari demi hari. Terlebih ketika Anna memutuskan untuk bergaul dalam jalan yang salah. Peringatkan dia, dan awasi dia, Ba
BAB 69__"Gimana ini, Kan, Papamu mau ceraikan Mama!" ucap Lia saat ia mengumjungi anaknya. Kikan menggaruk kepalanya, ia juga bingung. Rumah tangganya pun sedang tidak baik-baik saja, bahkan suaminya memotong uang bulanannya. Ia juga belum membeli perlengkapan bayinya. "Kikan juga bingung, Ma." Wanita beranak satu itu mendengkus, ia pikir putrinya bisa memberi solusi tapi nyatanya sang anak begitu bodoh dalam urusan percintaan. Bahkan terkesan pasrah diperlakukan seperti apapun oleh suaminya. "Ck, kamu ada uang enggak?" Kikan menggeleng, membuat Lia mendengkus kesal. Karena tak mendapatkan solusi dari putrinya, Lia memutuskan pulang takut jika nanti Hanif semakin murka padanya. Sesampainya di rumah, ia tak melihat motor yang biasa suaminya gunakan. Pertanda lelaki itu belum pulang, saat ia masuk suasana begitu sepi. Hanya televisi di ruang tengah menyala, tapi tak ada yang menontonnya. "Orang-orang pada ke mana sih?" gumamnya, seraya mematikan televisi.Lia melihat pintu kam
BAB 70__"Mama kok ngomongnya gitu?" rengek Anna.Aldi menyeka sudut matanya, dia teringat surat yang kemarin baru ia baca di ruang kerja mamanya. Entah kenapa, perasaannya menjadi semakin gelisah mendengar ucapan mamanya. "Ma, jangan berpikiran yang aneh-aneh, sekarang Mama fokus aja sama kesehatan Mama, cepat sembuh supaya kita bisa kumpul lagi. Aldi sama Anna kangen masakan, Mama."Vania tersenyum haru, ia bahagia melihat anak-anaknya. Tapi di sisi lain, ia juga takut jika nanti Allah mencabut nyawanya. Terlebih ia sempat bermimpi, ibunya mendatanginya disebuah taman dan ingin mengajaknya pergi.Tapi, di dalam mimpi itu Vania menolak dengan alasan hendak menunggu anak-anaknya. "Kakek kalian mana, Nak?" tanya Vania, ketika baru menyadari tak ada ayahnya."Pulang sama Tante Raisa, ada barang yang mau diambil," sahut Anna. Anna merebahkan tubuhnya di sofa, sementara Aldi menyuapi mamanya makan. Gadis itu
BAB 71 "Masa harus itu, Mbah?" "Kenapa? Saya tak memaksa, silakan pergi." Lia hendak berdiri, namun jika ia tak mengikuti ucapan dukun tersebut, maka Hanif benar-benar akan menceraikannya. Lia menggeleng, Hanif lebih penting daripada hal begini. "Baik, Mbah." "Nah, gitu. Baru saya suka." Mbah Jono mengunci pintu, dan mereka pun melakukan adegan tak senonoh. Lia terus membayangkan Hanif yang bercinta dengannya. Ia bahkan tak sanggup membuka mata karena takut melihat wajah Mbah Jono yang sudah tua. "Kamu masih l3git rupanya," ucap Mbah Jono sambil memakai bajunya kembali. "Mana, Mbah?" "Bawa fotonya?" Lia membuka dompet dan menyerahkan foto Hanif. Mbah Jono langsung mengerjakan tugasnya. Mulutnya komat kamit membaca mantra, lalu ia menyembur air di dalam gelas yang sudah dipersiapkan sebelumnya. "Berikan ini pada air minum
BAB 117 | ENDING __"Masakanmu enak juga, Na!" celetuk Haikal. Anna mendengkus pelan, "heh, kamu pikir makanan yang kita makan di rumah Mama itu masakan Mama? Itu masakanku, bodoh!" Lelaki jangkung itu tergelak, "kamu kenapa suka banget sih ngomong kasar, padahal anak-anak di kelasku pada bilang kamu tuh positif vibes, lemah lembut." Mendengar ucapan mantannya itu membuat Anna memberengut kesal. "Yang tahu-tahu aja lah, lagian aku enggak peduli sama penilaian orang." "Iya juga sih, makanya kamu mau aja nerima aku yang brengsek ini. Padahal aku terkenal bad boy," sahut Haikal, mengenang saat pertama kali ia kenal dengan Anna. Gadis berambut panjang itu terkekeh, "jujur sih, aku cuma penasaran aja pacaran sama bad boy." Haikal mendelik, "jadi semua kata rindu dan cintamu itu dusta?" Mereka saling tatap, lagi jantung Anna berdebar ketika bersitatap dengan pemilik iris mata cokelat itu. "Iya, dusta." Anna memalingkan wajahnya. Haikal terkekeh, ia tahu gadis di hadapannya itu ha
BAB 116___Anna bergeming mendengar kata rindu yang keluar dari bibir mantan kekasihnya, seandainya saat ini status mereka bukan saudara tiri, mungkin ia akan memeluk Haikal menumpahkan kerinduan yang menumpuk di hatinya. Tapi, ia harus mengubur rasa cinta dan rindu di hatinya. Rasanya tak etis, jika diantara mereka memiliki hubungan lebih dari saudara. "Waras kan, lu?" ketus Anna, seraya membuang wajah. Ia tak mau berlama-lama menatap wajah Haikal, pertahanannya bisa goyah. Haikal menyentak napas kasar, ia mengacak rambutnya frustasi. Ia benar-benar stres karena tak lagi bisa memiliki Anna, ia juga masih memiliki rasa pada mantan kekasihnya. Meskipun ia sudah berkali-kali mencari pengganti Anna, tapi tak ada yang bisa menggantikan wanita itu di hatinya. Hanya dengan Anna, ia merasakan ketulusan. "Lu mau balapan, ya?" tanya Anna to the point. "Tahu dari mana?" "Dari Tere." Haikal mendengkus pelan, "kalau iya kenapa?" "Kamu enggak kasihan sama Mama Papa?" tanya Anna. Lelaki
BAB 115__Vania terkejut ketika melihat anak bungsunya tergeletak di depan pintu kamar mandi. "Mas tolong!" teriak Vania, seraya menghampiri putrinya. Aldi dan Ibra yang masih berada di rumah, bergegas menghampiri Vania. Darah mengalir dari hidung Sela, membuat mereka semakin panik. "Kita ke rumah sakit aja, Ma!" ucap Ibra.Ibra mengangkat tubuh putrinya, sementara Aldi bergegas menyiapkan mobil. Dengan terburu-buru mereka pergi ke rumah sakit, bahkan tak sempat mengunci pintu. Tubuh Sela sangat panas, ada ruam merah di bagian lengan dan betis Sela. Sepanjang jalan, Aldi berusaha fokus, terlebih jalanan ibu kota di pagi hari sangatlah padat.Setelah menempuh perjalanan duapuluh menit, mereka sampai di lobby Instalasi Gawat Darurat. Mereka disambut oleh perawat dan dokter yang berjaga di bagian IGD. Ibra benar-benar cemas dengan kondisi anaknya, ia merasa bersalah karena tak punya banyak waktu untuk sang anak. Terlebih Sela jarang menghubunginya, putrinya bahkan tak pernah mereng
BAB 114Sela memeluk Anna, ia mencurahkan kesedihan dan juga kesepian yang ia alami. "Tapi, semenjak aku tinggal di sini, aku tak lagi merasakan kesepian seperti ketika aku tinggal di rumah mama. Meskipun Papa masih sering keluar kota, tapi ada mama Vania yang setia menemaniku.""Lah itu, kita hanya perlu mengambil Sisi baiknya dan membuang Sisi buruknya dari semua kejadian yang kita alami. Sekarang kamu tidak sendirian, ada aku dan Bang Aldi serta Mama."Sela mengangguk, ia sadar selama ini telah salah karena menganggap Kakak tirinya itu sebagai saingan. Padahal mereka telah bersikap baik kepada dirinya, tapi Sela terlalu serakah. Menginginkan hal yang lebih dari apa yang ia terima. --Rima membuatkan Abangnya kopi, semalam waktu hari sampai rumah, Ia sibuk dengan Mira yang tengah sakit. "Gimana, Bang? Ketemu?" "Ada, Rim. Tapi pas sampai sana aku kaget banget ngelihat dia sudah tergeletak.""Apa? Maksudnya dibunuh?" tanya Rima."Aku nggak tahu, tapi mungkin nanti pemilik rumah ak
BAB 113Hanif dan orang-orang melihat Lia yang tergeletak di lantai. Darah merembes ke lantai hingga sampai ke bagian tubuh Lia."Astagfirullah!"Hanif bersama pemilik rumah mengangkat tubuh dia dan memindahkannya ke tempat yang lebih bersih. Pemilik rumah memeriksa denyut nadi wanita yang tengah Hamil 3 Bulan itu."Masih ada nadinya, sebaiknya kita segera bawa ke rumah sakit.""Iya, Pak."Pemilik rumah membawa mobilnya yang berupa angkot, lalu Hanif menyetirnya. Sementara Lia di belakang bersama istri pemilik rumah.Aldi, Anna, dan Teresa segera naik ke mobil Hanif. Mereka mengikuti dari belakang hingga akhirnya sampai di rumah sakit umum yang tak jauh dari kontrakan Lia."Aku takut banget, Bang. Kita kan ke sini cuma mau menemui tante Lia, kenapa malah jadi adegan trailer begini.""Sudah, Nggak papa, An. Kita mana tahu kalau kejadiannya bakal begini."Anna dan Teresa mengangguk, Mereka pun menunggu di kantin rumah sakit bersama dengan Aldi.Tak lama kemudian, Hanif datang dan mengab
BAB 112Malam harinya, Anna pulang ke rumah Vania untuk izin besok menemani ayahnya ke luar kota. Aldi yang mendengarnya menentang keras keinginan Anna. "Kita nggak tahu, perempuan itu di luar sana dilindungi oleh siapa. Bagaimana kalau kalian datang ke sana dan banyak preman? Papa itu nggak jago kelahi, kalau nanti kamu dan Tere diapa-apain bagaimana?""Betul itu, Nak. Mama juga khawatir kalau kamu ikut pergi Papa keluar kota, Papa Ibra pun pasti tak akan mengizinkan. Kamu ini anak perempuan, Kenapa papamu tak mengajak abang sekalian?" Anna mengangguk, Ia pun menghubungi Hanif dan mengabarkan jika Vania tak mengizinkan apabila Aldi tak diajak serta. "Papa tak mau mengajak, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya Abangmu."" Coba papa ngomong sendiri sama Abang, barangkali dia mau. Apalagi tadi yang paling menentang itu dia daripada Mama." Hanif merenungkan ucapan Anna sewaktu menelepon tadi, Ia pun mencari kontak Aldi dan menghubunginya. Sayangnya, telepon itu tak kunjun
BAB 111__Anna menyadari perubahan ekspresi pada adik tirinya, ia cukup peka dengan suasana hati orang sekitarnya. Terlebih adik tirinya itu, tak bisa menyembunyikan wajah tak sukanya. "Kalian sudah makan siang?" tanya Vania."Sudah kok, Ma. Oh iya, Ma, kami masih ada yang mau dicari, kayaknya enggak bisa lama-lama di sini, Anna duluan ya!" ucap Anna seraya memberi kode pada Tere untuk beranjak. Anna mencium punggung tangan Vania. "Have fun ya sama Mama." Ia menepuk adik tirinya. Sebagai kakak, ia tak ingin egois. Terlebih ia tahu, Sela kekurangan kasih sayang dari mama kandungannya, kali ini ia memberi kesempatan pada mama dan adik tirinya untuk pendekatan. Teresa menatap sahabatnya kebingungan, "ada sesuatu ya diantara lu sama adik tiri lu?" Yang ditanya mengendikkan bahu, "gue cuma memberi ruang untuk mereka, gue sudah banyak mendapatkan kasih sayang berlimpah dari Mama, berbeda dengan Sela." "Tumben pemikiran lu dewasa, padahal waktu masalah bokap lu, udah kek reog!" cele
BAB 110Anna dan Haikal sudah kembali ke kost-annya, rumah terasa sepi lagi karena Anna lah yang begitu banyak bicara. "Ma, Aldi kuliah dulu, ya?""Iya, Nak. Hati-hati di jalan. Kalau ada apa-apa, hubungi Mama."Aldi mengangguk, lalu keluar melewati Sela yagng tengah duduk di ruang tamu. Dalam hati ela semakin iri dengan anak-anak Vania, karena ia tak pernah bermanja dan juga diperhatikan opleh ibu kandungnya sendiri. Vania melanjutkan pekerjaan, setelah Mbak Inah memutuskan untuk berhenti kerja karena akan menikah, Vania merasa tenang-tenang saja karena semua ada yang menghandlenya. Namun sekarang, ia sendiri kewalahan mengatur jam kerja dan juga jam bebenah rumah. Sela memperhatikan Vania yang tengah menyapu, ingin rasanya ia menawarkan bantuan, ttapi ia sendiri malu. Vania pun bukan perempuan yang tidak peka, ioa sebenarnya tahu jika Sela sedari tadi memperhatikannya. "Sela, bisa bantu Mama ngepel, Nak? Mama mau mandi dulu." "Iya, Ma." Sela yang memang sedang libur sekolah ka
BAB 109__"Mama, Anna kangen!" pekik Anna ketika sampai di rumah. Anak gadis Vania itu memeluk sang mama dari belakang, Vania terkekeh dibuatnya. Ia juga merindukan sang putri, terlebih ini pertama kalinya mereka hidup terpisah dalam waktu lama. "Mama juga kangen, Sayang!" ucap Vania, seraya membalik tubuhnya. Ibu dan anak itu saling menumpahkan rindu, karena sudah lama ia tak pulang sejak tugas-tugas kuliahnya yang semakin banyak. Bahkan untuk membalas pesan mamanya pun, ia mencuri-curi waktu. "Gimana kuliahnya, lancar?'' tanya Vania. Anna mengangguk, "meskipun kepala hampir pecah, tapi aku bisa melaluinya." "Hebatnya anak Mama!" Anna membantu sang mama membersihkan sayuran, malam ini rencananya mereka akan makan bersama. "Sela mana, Ma? Kok aku enggak ada lihat dia dari tadi?" tanya Anna. "Di kamar sih tadi, dia juga lagi sibuk-sibuknya ngerjakan tugas sekolah." "Oh, gitu. Sela baik kan, sama Mama?" tanya Anna lagi. Vania mengangguk, wanita itu terdiam sejenak. Ia menghe