Reya benar-benar orang salah sementara sahabatnya itu terus menghubungi sebenarnya salahnya juga karena mengatakan kalau urusannya sudah selesai. Ia jadi harus tergesa-gesa membersihkan diri, kemudian harus datang ke hotel di mana akan bertemu lagi dengan kekasihnya si om.Jun:Nggak usah terburu-buru. Saya udah bilang Ahyat untuk jemput kamu.Reya:Nanti kalau ketahuan sama mereka gimana om? Aku takut, Lagian aku bisa naik ojek online.Jun:Mereka nggak mungkin repot-repot jemput kamu sampai di parkiran. Saya udah minta dia buat jemput kamu. Kamu bisa hubungin aja kalau sudah selesai nanti. Biar dia ke pintu lobby. Saya nggak mau Kamu kecapean atau repot-repot naik ojek. Ya?Reya:Iya Om.Reya bersiap Gadis itu segera mandi untuk membersihkan diri. Tak lupa juga setelah mandi ia mengeringkan rambut. Rambutnya harus benar-benar kering, karena Lili bisa saja curiga Jika ia datang dengan rambut yang basah. Tentu saja sahabatnya itu akan banyak bertanya, dan ia takut tak bisa menemukan j
"Gue bercanda kali enggak usah panik gitu." Lili berujar karena memang ia hanya meledek Reya, ingin sahabatnya itu marah dan kesal. Karena selama ini, Reya memang paling teruji perihal kesabarannya. Reya lega sekali, setelah ia harus menghadapi tingkah Lili yang mendadak saja tantrum minta ikut. Bingung setengah mati, mau diajak ke mana Lili nanti. Padahal ia sama sekali tak pergi untuk menulis, melainkan untuk melayani Jun. Pria yang adalah paman dari sahabatnya itu."Emang temennya Reya rumahnya di mana?" tanya Jun.Reya menoleh, bingung. "Ya?" tanya gadis itu pada Jun."Rumah temennya? Kalau emang deket dan searah bareng saya aja." Jun mengatakan itu dengan sangat baik. "Ah, iya deket sini om." Reya menjawab. "Kalau gitu, Lili pulang sama Kuki, biar Reya saya antar." Jun memberi intruksi yang segera diikuti oleh semuanya.Jun berjalan ke luar bersama Reya setelaah Lili dan Kuki berjalan ke luar. Jun sesekali melirik kekasihnya itu yang terlihat cemas sambil memainkan tangan. Ing
Malam ini persepupuan Lili dan Kuki belum tidur. Mereka kini tengah sibuk menyaksikan drama Korea. Keduanya juga tengah sibuk menikmati kudapan yang dibeli dari uang pemberian Jun siang tadi. "Tadi Lo ngapain sih Li, maksa banget buat ikut Reya?" Kuki bertanya karena tiba-tiba ia ingat kejadian siang tadi. "Gue cuma penasaran siapa yang kerjasama sama dia. Reya itu biasanya selalu ngomong ke gue. Cuma belakanganya jadi banyak diem. Gue cuman takut dia dimanfaatin orang." Lili hanya takut kalau reya hanya dimanfaatkan. Memang ia ingin tau, hanya saja itu lebih karena ingin menilai siapa yang tengah bekerjasama dengan sahabatnya itu. "Dimanfaatin gimana?" tanya Kuki."Dari dulu dia itu sering dimanfaatin sama orang. Dari yang pinjem uang, minta tolong sesuatu, dan banyak deh. Giliran dia butuh, enggak ada yang mau gerak. Bahkan saat ayahnya sakit, dia urus semua sendiri. Gue enggak bisa bantu apa-apa dulu. Karena kita jauh, temen-temen yang katanya sahabat enggak ada yang care. Untun
Lili, Reya dan Kuki kini berada di teras rumah Lili. Mereka duduk dan menikmati bakso yang mereka beli tadi. Seperti biasa, Reya dan Lili memang cukup sering menghabiskan waktu bersama meski hanya menikmati semangkuk bakso. "Ibu lo udah ditanya mau bakso enggak?" tanya Lili sambil menikmati bakso miliknya. Reya anggukan kepala. "Mau katanya, nanti gue beli lagi habis dari sini."Lili melirik pada Kuki, "Biar Kuki yang nanti anterin pakai motor.""Gue bisa sendiri kok." Reya menjawab ia tak ingin merepotkan. Lagipula saat bersama Kuki membuat dirinya merasa bersalah dan ia tak menginginkan itu. "Enggak apa-apa gue bisa kok anterin. Mumpung gue di sini sampai lusa baru mulai kegiatan. Nanti enggak bisa lagi anterin lho." Kuki tentu saja tak masalah karena ia juga ska berjalan-jalan dengan menggunakan motor. Kalau di rumah, ia malas kemana-mana."Gue bisa sendiri kok, sekalian olah raga."Bersama dengan Kuki mengingatkan pada dosa-dosa yang sudah ia lakukan. Wajar saja kalau Reya tak
"Perasaan saya kok kadang enggak enak ya Ra?" tanya Indi pada Rara tangan kanan yang selalu menemaninya."Kenapa Bu?' Indi yang duduk di kursi penumpang bertanya sambil menoleh. "Bapak belakangan itu sering ke luar kota. Telalu sering sih. saya sih yakin dia enggak mungkin macem-macam. Cuman, perasaan saya aja mungkin ya?" Indi bertanya, lalu terdiam dan berpikir apa yang salah dengan perasaannya. "Apa mungkin karena saya udah lama enggak ketemu sama Mbak Lis ya?"Indi coba berpikir positif , kalau apa yang ia rasakan itu adalah bentuk rasa tak enaknya karena terlalu lama tak menemui kakak iparnya. Ia masih percaya kalau sang suami tak mungkin melakukan hal yang aneh-aneh di belakangnya. Toh, selama ini lebih dari dua puluh tahun rumah tangga mereka baik-baik saja. "Ibu bisa ke Jakarta. Lagipula kegiatan kan libur sampai lusa. Ibu juga bisa ikut bapak datang ke acara Pak Bram. Bapak pasti seneng," kata Rara mencoba memberikan saran. Indi terdiam memikirkan saran yang diucapkan oleh
Reya berjalan bersama Jun, gadis itu berasa sedikit lebih di belakang. Merasa takut sekali, padahal lelahnya belum hilang karena hampir setiap hari habiskan waktu dengan tidur bersama Om Jun. Jun terhenti kemudian menunggu Reya agar berjalan di sampingnya. Setelah gadis itu tepat berada di sampingnya, tangannya bergerak menggenggam tangan gadisnya."Om enggak apa-apa ke hotel ini? Bukan ke apartemen aja?" tanya Reya takut. Jun diam ia malas berdebat. Lagipula tak mungkin Kuki atau Lili datang ke sana malam-malam begini. Ia malas ke apartemen Reya yang berlawanan arah dengan hotel tempatnya menginap. Keduanya kemudian masuk ke dalam lift. Ada pembicaraan karena seperti biasa Jun malas berkata apapun di saat marah seperti ini. Pintu Kemudian terbuka dan Jun lagi-lagi berjalan di depan Reya. Langkahnya kemudian berhenti, menatap wanita yang berada di depan pintu hotelnya, Indi. Jun membeku beberapa saat, kemudian suara pintu lift menyadarkannya dari lamunan. Jantung pria itu berdegup k
Reya pagi ini merasa cemas, apalagi Jun belum menghubungi sejak kemarin malam. Semalam beruntung ia melihat Indi terlebih dulu, sehingga bisa ambil langkah seribu untuk meninggalkan tempat itu tanpa ketahuan. "Kok kelihatan cemas banget?" Ratna bertanya kepada sang putri."Nggak apa-apa kok Bu, aku cuman agak cemas aja nanti mau ada pengambilan foto." Reya berkata. "Yang rileks. Kamu pasti bisa ibu yakin kok.""Iya Bu," jawab Reya. "Ya udah, kalau kayak gitu sekarang kamu habiskan dulu sarapanmu." Keduanya kemudian menikmati sarapan pagi yang tadi dibeli oleh Reya. Pagi-pagi sekali Gadis itu sudah terbangun kemudian membeli sarapan nasi uduk tak jauh dari rumahnya. Setelah selesai sarapan dan mencuci piring ia segera berjalan ke rumah Lili. Memiliki janji temu bersama dengan Kuki dan juga Lili. Mereka sudah merencanakan akan melakukan pengambilan gambar di studio foto milik teman Kuki. Letaknya tak jauh dari sana. "Lili." Reya menyapa ketika ia telah sampai di depan pagar rumah s
Reya, Kuki dan Lili sudah tiba di studio foto milik Arga, teman Kuki. Gadis itu sudah berganti pakaian dan Arga sudah beberapa kali mengambil foto. Hanya saja Reya terlihat tanpa senyum. "Senyum dong Rey," kata Kuki menyemangati.Bagaimana Reya mau tersenyum? Apalagi sejak tadi merasa kalau Indi seolah tengah menilainya. Ia merasa Ind mulai menduga sesuatu dan itu adalah alasan wanita itu datang. Dan juga tentang sindiran tentang cerita yang berbau pelakor, dan ia cukup peka dengan apa yang ditanyakan istri dari kekasihnya tadi. Reya berusaha tersenyum, tapi terlihat kaku sekali. Pikirannya benar-benar dibuat berantakan. Yang ia takutkan adalah ketika sang ibu mengetahui apa yang terjadi. Hubungannya dengan Om Jun tentu bukan masalah besar jika memang mereka harus berpisah. Reya sejak dulu memang ingin lepas dari pria itu. Dan mungkin ini adalah salah satu cara. Namun cara ini jelas mengandung risiko tinggi. Kalau ini tiba-tiba saja datang ke rumahnya dan mengungkapkan semua hal kep
Lili berjalan masuk kembali dengan cemas. Ia menghampiri Reya yang tengah menimang buah hatinya. Ia menatap Lili dengan tatapan bingung. "Kenapa Li?" tanga Reya tak kalah cemasnya. Lili duduk di samping Reya. "Kalau gue bilang ini, lo nggak boleh cemas atau panik ya," kata Lili. "Lo ngomong kayak gitu, gue malah jadi cemas dan makin panik." Reya berkata. Seperti biasa, apa yang dikatakan seseorang, malah biasanya akan menjadi hal yang dilakukan oleh orang yang mendengar. "Ya, pokoknya lo berpikir yang positif aja ya? Oke?" Lili mengatakan lagi. Ia berharap kalau sahabatnya itu, tidak terlalu cemas dan takut oleh kedatangan Indi.Reya anggukkan kepalanya. Jadi merasa cemas sebenarnya, ia bahkan sampai mendekap erat Kira dalam pelukannya. "Kenapa sih?""Ada Tante Indi di depan." Reya terkejut, terpaku beberapa saat. "Hah? Ibu Indi? Ngapain ke sini?" Reya semakin panik setelah mendengar nama yang disebut. Apalagi Reya merasa tidak melakukan kesalahan apapun. "Gue udah bilang sama Om
"Kenapa kamu larang saya Mas? Seolah-seolah saya ini mau mencelakai perempuan itu?" tanya Indi tak terima. Jun memang sangat takut jika Indi bertemu dengan Reya. Apalagi saat ini kondisi Reya tidak stabil secara fisik, dan juga emosi. Jun tak ingin kondisinya semakin parah jika Indi menemui Reya. "Iya, saya memang takut. Kamu kan tahu, kalau dia itu takut sama kamu. Dengan kamu datang dan jenguk dia, itu kan nambah beban pikirannya. Saat ini aja dia kesulitan menyusui. Jangan tambah beban pikirannya, kasihan anak saya." Jun mengatakan alasan mengapa ia tidak ingin Indi menemui Reya.""Memangnya saya mau ngapain sih Mas? Saya cuman mau lihat doang Kok. Saya juga penasaran gimana muka anak kamu." Indi mencoba menahan diri dan emosinya. Ia ingin bersikap lebih baik lagi agar ia bisa menemui Reya. "Sekarang tidak. Untuk sekarang, lebih baik Kalau kamu tidak bertemu Reya. Kalau kamu mau ketemu sama Kira ndak masalah. Saya bisa minta Lili untuk keluar dan bawa bayi itu supaya kamu bisa l
"Hai Mas," sapa Indi dengan senyuman manisnya. Jun jelas terkejut, amarahnya tiba-tiba saja membuncah. Pria itu mencengkram bahu Indi, membawa sang istri menjauh dari apartemennya. Mereka berjalan menuju pintu emergency. Jun membawa Indi ke sana. Menatap dengan penuh kekesalan."Kamu ngapain sih Mas!" teriak Indi kesal."Kamu ngapain ke sini? Enggak bilang saja juga, sejak kapan kamu jadi lancang begini?!" Jun naik pitam sejak awal melihat Indi, emosinya tak bisa dikendalikan.Indi semakin kesal dengan kelakuannya Jun, ia hanya mencoba menahan emosinya. Tak ingin terlihat kesal dan marah. Indi tak ingin presisi hati Jun semakin berpaling darinya. Bahkan keputusannya untuk datang ke Jakarta adalah dalam rangka mempertahankan rumah tangga yang sudah lama terjalin. "Mas, aku cuma mau lihat anak kamu. Salah memang? Aku juga bawa bingkisan untuk Kira. Aku bisa menerima anak itu, untuk kamu." Indi mengatakan itu berharap Jun akan lebih bisa menerimanya.Jun itu mengerti bagaimana Indi,
Lili dan Lis kini dalam perjalan pulang. Lili sejak tadi meminta sang ibu untuk guru-guru kembali ke apartemen. Pasalnya, dia khawatir dengan keadaan Reya. Ia bisa merasakan kalau sahabatnya itu sangat takut jika berada di dekat Jun."Kamu itu, padahal tadi saudara kita belum pada pulang loh nggak enak sama bulekmu." Lis protes. "Aku tuh nggak tega ninggalin Reya lama-lama sama Om Jun." Lis menoleh ke arah sang putri. "Kamu kenapa terlalu khawatir kayak gitu sih? Lagian, nggak mungkinlah kamu itu ngapa-ngapain. Dia kan udah janji kalau bakal berubah. Di sana juga ada mbak yang jagain. Jadi ada yang ngawasin dan nggak mungkin kamu itu berani macam-macam." Lis sangat mempercayai sang adik. dia percaya kalau Jun tak mungkin akan macam-macam Apalagi sudah berjanji tak akan mendekati gadis itu lagi. Lagi pula, selama dia menemani di apartemen juga selalu menjaga jarak dan hanya ingin dekat dengan putri kecilnya."Ya, anggap aja lah Om Jun memang nggak mau dekat sama Reya. Tapi Ibu kan
Pagi ini Jun menemani Reya. Terpaksa Reya menurut, karena Lili dan sang ibu ada kegiatan di luar dan akan kembali sore hari. Reya kini tengah memangku sang putri yang baru saja selesai minum susu formula. ASI yang keluar tak banyak, tapi Reya masih berusaha keras agar ASI nya bisa keluar lebih banyak lagi. Reya hari ini berniat untuk ke rumah sakit ibu dan anak untuk melalui check up. Hanya saja terpaksa dibatalkan karena Lili dan ibunya harus pergi karena urusan mendesak. "ASI kamu masih belum keluar?" tanya Jun."Keluar Om. Cuma kurang untuk Kira." Reya menjawab. Ia juga sedih setiap kali ada yang bertanya seperti itu. Karena jelas itu juga bukan kemauannya. Belakangan Reya terlalu stres memikirkan Jun yang masih saja tinggal di sana. Bahkan memaksanya untuk tinggal di apartemen yang ia beli. Jun memang telah menyiapkan semua dengan baik untuk Reya. Di apartemen yang ia beli sudah disediakan semua kebutuhan untuk bayi. Ia juga membayar perawat dan pelayan. Juga perawatan pijat k
Indi tengah duduk di ruang tengah. Tiga hari sudah Jun berada di Jakarta menemani Reya. Jujur saja ia kecewa dan terluka. Nyatanya meskipun ia berusaha mempertahankan, sang suami tetap memilih untuk menemani kekasih gelapnya. Kuki baru saja pulang setelah seharian tadi sibuk mengerjakan tugas bersama teman-temannya di kampus. Jujur saja, ia bisa merasakan kesedihan yang dialami oleh sang ibu. Kuki juga sudah berbicara dengan sang ayah. Jun mengatakan ia akan kembali setelah merayakan akikah yang akan dilakukan untuk Kira, adik tirinya. "Mami pasti mikirin papi?" tanya Kuki.Indi menolah ke arah Kuki, menatap putra semata wayangnya dengan penuh kasih sayang. Indi kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Kuki. Bahu kecil yang kini bahkan bis aia jadikan tempat bersandar. Indi genggam tangan sang putra, tang itu juga dulu kecil dan mungil. Tangan yang bahkan tak bisa menggenggam jari telunjuknya. Kini tangan itu begitu besar, lebih besar dari tangannya."Dulu kamu kecil banget. Mami eng
Orang suruhan Yudha membawa sesosok tubuh yang tadinya terbaring di jalan di pundaknya. Tubuh tersebut kemudian ditaruh di bagasi belakang mobil. Mobil itu melaju meninggalkan gudang kosong. ***"Mami cemas banget sih?" Kuki bertanya. Malam ini, ia bersama dengan Indi sedang duduk di ruang tengah bersama sambil sibuk menonton televisi. Sejak tadi Indy jelas terlihat gelisah. Meskipun tadi siang sama suami sudah mengabarkan kalau berada di Jakarta dan menjenguk. Tetap saja perasaannya gelisah dan cemas"Meskipun papi udah bilang kalau dia lagi ngurus dan ketemu sama bayinya. Mami takut kalau dia malah kembali sama perempuan itu."Kuki terdiam dan ia memerhatikan sang ibu. Di dalam hatinya sebenarnya merasa iba dengan kejadian ini. semua perilaku sang ayah jelas tak bisa dibenarkan. "Sebenarnya, aku agak kaget karena Mami malah mau balik lagi sama papi. Karena laki-laki itu kalau udah berkhianat akan selamanya jadi penghianat.""Mami cuman nggak mau nyia-nyiain apa yang dititipkan alm
Indi saat ini di taman belakang. Kemarin membeli beberapa bibit bunga baru dan tengah sibuk untuk menanamnya kembali di taman. Saat itu ponselnya berdering, segera ia mengambil dari kantong epron yang digunakannya. "Ya Ra?""Ada kabar katanya Bapak ke Jakarta." Rara memberitahu atasannya itu."Apa? Bapak ke Jakarta? Bapak tadi berangkat ke kantor kok.""Iya Bu, ada kabar katanya Bapak minta helikopter perusahaan disiapkan untuk berangkat ke Jakarta hari ini." Rara memberitahu lagi, dia terdengar cemas."Emangnya ada apa kenapa ya bapak ke Jakarta hari ini? Mbak Lis baik-baik aja kan?""Maaf Bu, hari ini kabarnya perempuan itu akan melahirkan." "Reya?""Iya Bu." Indi jelas menjadi geram dan kesal. Belakangnya situasi di rumah pun belum pulih, tapi sang suami malah bertingkah lagi seperti ini."Ya udah, terima kasih ya karena kamu udah kabarin saya." Segera saja dia mematikan ponsel, kemudian segera memanggil sang suami.Hatinya benar-benar cemas, takut Jun kembali kepada Reya. Kare
"Melahirkan?" Jun mengulangi kata-kata yang diucapkan Yudha dari balik telepon."Benar Pak, sudah berada di rumah sakit sejak pagi-pagi sekali sama Yuji."Senyum di bibir Jun sekilas menghilang. Saat ini sedang dalam perjalanan menuju kantor. Pagi ini memang sudah merasa ada yang berbeda. Jadi sengaja berangkat lebih pagi. Ternyata ia mendapatkan sebuah kabar baik. "Tetap ada di sana, kabari saya apa yang terjadi. Kamu tau kan apa yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan informasi yang akurat? Kalau ada apa-apa kamu harus segera hubungi handphone saya.""Baik pak, saya tau apa yang harus saya lakukan." Jun segera mematikan panggilan. Ia menghubungi sang sekretaris. "Siapkan helikopter, secapatnya saya akan ke Jakarta. Ingat secepatnya." Jun memerintahkan. Karena tak mungkin ia memiliki waktu yang lebih cepat jika harus memesan tiket penerbangan."Ke Jakarta apa ibu nanti ndak marah pak?" tanya Ahyat karena jujur saja ia cukup cemas dengan apa yang dilakukan Jun. "Nanti saya yang a