Tubuh Senja bergetar tak karuan. Pikiran buruk seketika menggelayut otaknya saat mendengar suara Yuke menahan tangis di seberang sana. "Apakah Langit tidak tertolong?" Pikirannya kacau. Setelah mengambil Tas dan ponselnya, Senja langsung berlari keluar. Untung, pas dia sampai di tepi jalan, tetangga kontrakan Senja menyapanya. Senja tak membuang kesempatan, ia meminta tetangganya yang seorang wanita itu untuk mengantarnya ke rumah sakit dimana Langit di rawat. "Bisakah lebih cepat, Mbak?" Wanita itu mengangguk. "Baik, mbak Senja." Motor itupun melesat bagai angin. Senja memegang jaket wanita itu dengan erat. Setelah berkendara selama dua puluh menit, akhirnya mereka telah sampai di rumah sakit. Setelah memberikan ongkos, Senja langsung berlari masuk ke dalam. Walau sempat wanita itu menolak pemberian Senja. Tapi Senja tetap memaksanya untuk menerima. Hati Senja tak karuan saat berada di lift yang membawanya ke lantai empat. Seraya lift itu tak bergerak sam
"Mas.." Membuat Langit menoleh ke sumber suara. "Senja.." Senja mendekat ke arah Langit. Berdiri disampingnya seraya mengusap punggungnya agar emosi di dadanya perlahan menghilang. "Tidak baik berbicara seperti itu pada ibu, Mas." "Tapi_" "Ssstt, sudah diamlah. Ibu Yuke sudah meminta maaf, jadi maafkan ibu Yuke, Mas." pinta Senja dengan senyum manis di bibirnya. Seolah sihir yang membuat Langit terdiam. Emosi yang sempat menguasai, perlahan memudar. "Tapi dia yang berusaha memisahkan kita, Nja. Aku tidak bisa memaafkan begitu saja." "Tapi ibu Yuke juga yabg memintaku untuk menjagamu selama kamu koma, Mas." Langit terkejut. "Benarkah?" Senja menganggukkan kepalanya. Langit menoleh ke arah sang mama yang masih terisak seraya duduk di sofa. Tapi entah kenapa masih ada rasa tak rela saat harus memaafkan sang mama begitu saja setelah apa yang telah mamanya itu perbuat. Sebuah usapan lembut menyapa pipinya, membuat Langit menoleh
"Heem, enak sekali kuenya, Mel. Terima kasih," ucapnya seraya mengunyah kue di dalam mulutnya. Ya, Senja dengan cepat melahap gue yang disodorkan Melly untuk Langit. Tentu saja ia tidak akan membiarkan itu terjadi. Langit kekasihnya, hanya kekasihnya. Ia tidak akan membiarkan wanita lain mendekatinya. Sedangkan Melly merengut tidak terima ketika kue yang seharusnya untuk Langit malah dilahap oleh Senja. "Hey, lancang sekali kamu, Nja. Ini bukan untukmu, tapi untuk Langit," geram Melly dengan tatapan tak menyenangkan. Ingin rasanya ia melempar sekotak kue ini pada Senja agar tau rasa. "Oh, ya? Oops, sorry. Aku tidak mau, Melly. Maafkan aku ya?" ucapnya seraya dengan tatapan polos tapi menyebalkan. Membuat Melly muak. Langit menahan tawanya melihat perlakuan Senja yang begitu menggemaskan dimatanya. Langit tahu jika Senja saat ini sedang menahan cemburu kepada Melly. Terbukti wajahnya berubah menyebalkan seperti itu. "Kenapa wanita sepertimu tidak punya m
Senja terdiam. Entah bagaimana ia harus memaafkan apa yah diperbuat Melly tempo hari. Ia sudah berbuat yang terbaik tanpa mengusik siapapun, tapi kenapa dirinya masih saja diusik sampai hampir celaka? "Nja..." Senja tersentak mendengar panggilan Langit. Matanya menatap Langit yang juga menatapnya dengan tatapan penuh arti. Lantas Senja menunduk menatap Melly yang masih bersimpuh di kakinya dnegan wajah penuh harap. Senja menghela nafas panjang sebelum mengambil keputusan. Ia melipat lututnya untuk sejajar dengan Melly. "Apa yang melatarbelakangi kamu berbuat seperti itu, Mel? Apa salahku?" Melly yang awalnya menunduk, Lantas mengangkat kepalanya. Wanita itu menatap Senja dengan seksama sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan. "Maaf. Memang kanu tidak bersalah, Nja. Tapi hatiku yang tidak saat kamu bersama Langit. Karena aku juga ingin menjadi kekasihnya." "Hanya itu?" tanya Senja dengan kening berkerut. Melly diam membenarkan. S
"Kamu apain anak saya?" Tiba-tiba seorang pria dengan kumis tebal merangsek dan merampas Melly dari rangkulan Riki. Matanya tajam menatap Riki seolah ingin menerkam. "Maaf, Om. Saya tidak apa-apain anak om," jawab Riki tanpa takut. Karena memang itu kenyataannya. "Tapi kenapa dia seperti ini? Padahal berangkat tadi dia baik-baik saja." Tentu papa Melly tidak terima melihat anaknya yang tampak pucat itu. Tubuhnya juga sedikit lemas dengan mata yabg bengkak. Riki menatap Melly sejenak. Memang kondisi Melly tampak sedikit berantakan dengan wajah yang pucat. Ataukah dia sakit? "Kenapa diam? Jawab!!!" bentar pria yabg bernama Baskoro itu. "Pa, sudah. Jangan ribut, Pa. Malu di dengar tetangga," ucap mama Melly yang bernama Sekar itu. Tangannya tampak mengusap lembut surai anaknya yang berantakan. "Biar, Ma. Papa tidak terima anak papa dipermainkan seperti ini. Dia bukan mainan," ucap Baskoro penuh penekanan di setiap kalimatnya. "Tapi, Om. Saya_" "Jangan banyak alasan. Sekarang k
Baskoro dan Sekar tidak bisa membendung kesedihannya. Putri mereka yang sudah sembuh dari penyakitnya, kini kembali depresi. Padahal ia sudah menjaga putrinya sebaik mungkin, tapi apa mau dikata. Sekar mengusap tangan Melly dengan lembut seraya menatap sang putri penuh kesedihan. Entah apa yang terjadi pada Melly sampai seperti ini. Pundaknya diusap lembut oleh Baskoro seolah menenangkan istrinya. "Ma, sabar. Pasti Melly akan kembali sembuh seperti sedia kala. Mama jangan menangis lagi," ucapnya menenangkan. Jauh di lubuk hatinya Baskoro juga hancur melihat putrinya kembali terbaring lemah dengan infus menancap di tangannya. Sekar hanya mengangguk. Tapi netranya menatap lekat pada putri yang tengah terpejam itu. "Mama hanya bisa berharap semoga putri kita bisa mendapatkan pengobatan yang baik untuk kesembuhannya lagi, Pah. Hati Mama terluka melihat dia seperti ini." "Ya, Ma. Kita akan memanggil psikiater yang dulu menangani Melly. Papa yakin Melly akan sembuh s
"Mas Riki." Senja terkejut ketika melihat Riki pagi-pagi sudah berada di kontraknya. Ia melihat ke sekeliling Riki, yang ternyata ia sendirian. "Bina tidak ikut, Mas?" Riki menggeleng. "Memangnya kamu pikir aku dari rumah?" tanya Riki balik. Senja mengangguk polos. "Lalu, apa kamu akan membiarkan mas mu ini hanya berdiri di depan pintu tanpa kamu minta untuk masuk?" Riki mulai kesal karena Senja tidak membiarkan ia masuk. Padahal ia ingin sekali mengistirahatkan tubuhnya karena semalaman begadang menunggu Melly siuman. "Oh, iya. Aku lupa." Senja cengengesan. Sampai akhirnya Senja menggeser tubuhnya dan mempersilahkan Riki untuk masuk ke dalam. Sampai di dalam, Riki langsung merebahkan tubuhnya di atas Sofa. "Mau minum apa, Mas? Kopi atau teh?" tanya Senja yang berdiri di samping sofa, dimana Riki merebahkan tubuhnya. "Kopi saja," jawab Riki yang sudah memejamkan matanya. Merasakan kenyamanan yang luar biasa. Senja melangkah ke dapur, membuat mi
"Kau!!!" Wajah yang awalnya bersinar cerah, tiba-tiba menjadi mendung dan siap memuntahkan berjuta kubik ton air hujan. Bahkan disertai angin puting beliung yang siap melahap apapun yang berada di depannya. Benji kelabakan mendapat tatapan mengerikan dari sang atasan. "Maaf, Pak. Saya mengganggu." "Sudah tahu mengganggu. Sana pulang???" usir Langit. Dia memutar tubuhnya dan merebahkan dengan paksa agar Benji segera keluar dari kamarnya. Bahkan, ia menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Benji menggeleng tak percaya. Siuman dari koma, ternyata tidak mengubah sama sekali sifat Langit yang menyebalkan. Seolah makin menjadi dan susah untuk ia kendalikan. Terpaksa Benji melangkahkan kakinya untuk mendekat ke arah Langit. Biarlah Ia mendapatkan penolakan, asalkan ia tahu bagaimana kondisi Langit saat ini. Karena jujur ia sangat berduka ketika melihat Langit terbaring koma di rumah sakit. Ia seolah kehilangan sosok pemimpin yang selama ini ia segani dan ia sayangi.
"Kenapa dia cantik sekali saat tidur begini?' tanya Langit dalam hati. Memang Senja terlihat lebih manis dan kalem saat menutup matanya. "Tidak salah aku menjadikanmu istriku, Nja," sambungnya yang lagi-lagi dalam hati saja. Merasakan sapuan lembut di wajahnya, membuat Senja perlahan menggerakkan matanya. Ia menutup mulutnya yang menguap lebar seraya berusaha membuka matanya yang seolah masih merekat. "Nyenyak sekali tidurmu, Sayang. Sampai membuatku harus menunggu lama hanya untuk melihatmu membuka mata untuk pertama kalinya." Suara Langit membuat Senja menoleh ke arah suaminya. "Kamu sudah bangun, Mas?" tanya Senja, menyipitkan kedua matanya yang masih melihat dengan buram. Langit hanya berdehem. Kemudian ia kembali memeluk Senja dengan erat dan membau aroma dari tubuh istrinya yang entah sejak kapan menjadi candu baru baginya. Senja yang mengendus aroma bahaya, berniat bergegas untuk bangkit dari tidurnya. Karena jika tidak, akan ada olahraga lagi menantiny
Percintaan yang terjadi di antara mereka beberapa jam yang lalu diakhiri dengan sebuah kecupan yang cukup lama. Rasa lelah dan lega yang semula tertahankan kini sudah tumpah menjadi satu. Ya, dengan susah payah Langit membujuk Senja untuk kembali bertukar keringat di atas ranjang untuk yang kesekian kalinya. Meski sempat mendapatkan penolakan dari Senja dengan alasan lelah, tapi akhirnya Senja menerimanya setelah Langit mengeluarkan dalil-dalil panjang yang membuat Senja berubah pikiran. Dada mereka kembang kempis saling berebut oksigen untuk mengisi paru-parunya agar pernafasan mereka teratur seperti sedia kala. Senyum manis tersungging di sana. Tangan Langit menarik selimut tebal untuk menutupi sebagian tubuhnya dan juga tubuh istrinya. Rasa lelah karena penyatuan yang menguras tenaga, membuat mereka enggan beranjak walau hanya untuk memakai pakaian mereka saja. Mereka lebih memilih mengistirahatkan tubuh mereka. Walau itu tidak mudah karena sisa-sisa kenikmatan
"Sayang, buka pintunya!!" Langit mengetuk pintu dengan lesu. Beberapa kali ia mencoba membuka pintu, tapi terkunci. Langit dibuat frustasi karenanya. Apalagi ketika melihat baju yang dikenakan Senja, ia yakin jika itu sebuah kode dari istrinya. Sekarang, karena kebodohannya, hal ternikmat yang dia idam-idamkan melayang dengan sia-sia. Tubuhnya merosot, terduduk di depan pintu dengan wajah sendu. Jika bisa, ia ingin menangis saat ini. "Sayang!!!" Tangannya mencoba menggapai pintu, tapi tubuhnya sudah lemas. Kepalanya bersandar di daun pintu, matanya terpejam karena rasa lelah yang mendera setelah jutaan bujuk rayuan tidak mempan membuat Senja luluh. Baru saja ia akan menuju ke alam mimpi, terasa pintu tiba-tiba terbuka. Hampir saja tubuh Langit terguling jika saja ia tidak cepat-cepat sadar dan mengendalikan tubuhnya. "Sayang." Langit langsung beranjak berdiri ketika melihat Senja yang sudah berdiri dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya belum juga ted
"Ayo buka bajunya. Biar aku periksa." Perkataan Langit itu tentu saja membuat Senja mendelik tak terima. Tangannya langsung menutup area dadanya. "Kamu jangan ngawur ya, Mas!!" Senja menatap galak ketika mendapati tatapan Langit yang mesum. Langit tertawa. Pria itu semakin gemas melihat istrinya. Pletak.. Langit menyentil pelan kening Senja. "Memangnya apa yang kamu pikirkan, Sayang? Aku hanya ingin mengobati lukamu, bukan yang lain." Senja gelagapan. Ternyata Langit salah tangkap atas sikapnya. "Bukan itu, Mas. Tapi aku malu jika harus buka baju. Kamu sendiri tau jika luka itu lebih banyak di dada dan bagian pundakku." Tangannya terangkat dan membelai wajah istrinya. "Tidak usah malu, Sayang. Aku akan lebih senang jika kamu mau menuruti apa yang aku katakan. Semua ini untukmu. Demi kesembuhanmu." Senja terdiam. Benar apa kata suaminya. Luka lebam masih butuh diberi obat agar tidak membengkak. Tapi jujur dia malu jika Langit harus melihat tubuh polosnya. "Aku j
"Kamu sudah yakin akan keputusan kamu, Sayang?" tanya Langit yang tengah duduk di sisi ranjang. Matanya menatap lekat pada sang istri yang tengah berkemas. Senja menatap sekilas, kemudian fokus memasukkan bajunya untuk dimasukkan ke dalam koper. "Aku serius, mas!" "Kamu tega ninggalin Bina?" Gerakan Senja terhenti. Ia menghela nafas panjang. Sebagai ibu Ia pun tidak tega jika harus meninggalkan anaknya yang masih membutuhkan dirinya. Belum juga nanti para omongan tetangga yang mungkin akan menjelekkan suaminya yang dikira ingin ibunya saja tapi anaknya enggan diterima. "Kamu sendiri sudah mendengar ibu berbicara seperti apa tadi pagi. Aku sudah berusaha membawa Bina untuk pergi bersama kita tapi Ibu melarangnya bukan? Lalu aku harus bagaimana, Mas?" Mata Senja mulai berkaca-kaca. Pagi itu setelah sarapan, Senja menemui ibunya secara langsung untuk meminta izin membawa Bina ke rumah yang sudah disiapkan Langit untuknya. Tapi jawaban ibunya sungguh m
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Senja Kamila Binti Ahmad Arhandi dengan mas kawin satu set perhiasan, uang seratus juta dan seperangkat alat sholat dibayar tunai!!" "Bagaimana para saksi? Sah?" "Saahh!!!" Lantunan doa mengalun merdu mengiringi pergantian status mereka secara agama dan negara. Setelah menggelar acara ijab qobul, mereka melakukan sungkem pada ibu mereka masing-masing. Tangis haru tidak bisa dihindari ketika anak-anak mereka bersimpuh untuk memohon doa restu. Bahkan, Yuke sampai tergugu dalam tangisnya yang sampai membuat beberapa hadirin yang datang ikut menitikkan air mata. Seolah ikut terseret dalam alur penuh keharuan. "Mama, maafkan Langit yang selama ini belum bisa menjadi putra yang baik bagi mama. Belum bisa membahagiakan mama sebagai mestinya. Mah, berilah doa restu untuk Langit, agar Langit bisa mengarungi samudra kehidupan rumah tangga dengan baik bersama wanita pilihan Langit." Jujur, inilah hal yang paling membuat dirinya emosional
Senja mendesis ketika pundaknya disentuh oleh Langit. Langit yang penasaran langsung membukanya meski Senja awalnya menolak. Seketika matanya memerah ketika melihat bekas luka yang masih terlihat ada bekas darah. Di periksanya lagi di bagian dada. Seketika giginya bergemelutuk melihat bekas apa yang dilakukan oleh Han. "Apakah ini sakit?" Senja menggelengkan kepala. "Sama sekali tidak, Mas. " "Jangan bohong." Senja terdiam. Lebih sakit ia melihat Langit yang terluka seperti itu. Semenjak kenal dengan Langit, baru kali ini ia melihat Langit yang menahan amarah seperti itu. Ia takut jika dia akan menyakiti Han dan membuat Langit harus terjerat kasus hukum karena dirinya. "Aku mohon, jangan lagi berurusan dengan dia, Mas. Aku takut kamu terjerat hukum karena dia." Senja langsung memeluk Langit dengan erat. Ia berharap pria itu akan mengerti apa yang Ia maksud. Tangan Langit terangkat dan membalas pelukan Senja tak kalah erat. "Dia harus membay
Senja memaku ketika melihat seseorang datang menolongnya. Dengan cepat Langit menutup tubuh Senja menggunakan selimut. "Brengsek lo!!" Benji menendang perut Han dengan brutal. Pria yang biasanya kalem, berubah bringas bak hewan buas. Han tak berkutik karena tiba-tiba mendapatkan serangan bertubi-tubi. Sementara Langit melepaskan ikatan tali di kaki dan tangan Senja. Setelah itu mengangkat tubuh calon istrinya untuk keluar dari sana. "Tolong bawa dia pergi, Rik," kata Langit pada Riki. Setelah itu ia langsung berlari menuju ke dalam untuk melampiaskan amarahnya. Mobil polisi datang setelah mobil Senja bergerak pergi meninggalkan tempat kejadian. Di dalam mobil, Senja menangis dalam pelukan Melly. Melly tak kuasa menahan air matanya melihat adik iparnya yang nampak berantakan. Tangan Riki mencengkeram erat kemudinya, merasakan amarah yang membuncah ketika melihat adiknya disakiti untuk yang kedua kali dengan pria yang sama. "Akan aku pastikan dia
Sementara di tempat kerja, perasaan Langit mendadak tidak tenang. Entah kenapa pikirannya hanya tertuju pada Senja. Terlebih pagi ini Senja sama sekali belum menghubunginya sekedar menanyakan sudah sarapan atau belum seperti biasanya. "Bapak kenapa? Atau perlu sesuatu?" tanya Benji yang melihat gelagat Langit yang aneh menurutnya. Langit hanya menggeleng. Lantas ia meraih ponselnya untuk menghubungi Senja sekedar menanyakan kabarnya hari ini agar hatinya bisa kembali tenang. Tapi sayangnya ponsel Senja tidak aktif. "Kenapa ponselnya tidak aktif? Tumben!!" "Kenapa, Pak?" Benji yang tengah duduk di depan Langit mendengarnya bergumam. "Aku telepon Senja tapi kenapa nomornya tidak aktif." "Bapak bisa menghubungi pak Riki untuk menanyakan kabar bu Senja. Siapa tahu Pak Riki bisa menjawab kegelisahan anda hari ini." Langit segera menghubungi Riki untuk menanyakan kabar Senja. Dan Riki mengatakan jika Senja sedang ke pasar serta membawa ponselnya. "Sial, kenapa pe