Dengan bujukan Senja, hanya beberapa bando yang Bina beli pada akhirnya. Senja sendiri sempat berdebat kecil dengan Langit yang bersikukuh akan memberikan semua bando yang diinginkan oleh Bina. Tentu ia sebagai ibu akan melarang itu karena hampir semua koleksi sudah Bina memiliki. Hanya beberapa yang belum dimiliki oleh putrinya dan itu yang ia beli sekarang. Meski begitu, Bina sangat bahagia karena Langit mau membeli untuknya. "Terima kasih, Ayah. Bando-bando yang cantik. Akhirnya Bina memiliki semua koleksinya." Langit berjongkok untuk mensejajarkan tubuhnya dengan Bina. Ia mengangkat tangannya dan mengusap puncak kepala Bina dengan penuh perasaan. "Ayah akan menuruti semua yang Bina inginkan. Asalkan Bina bahagia bersama Ayah." Bina mengangguk polos. "Bina sangat bahagia saat bersama Ayah." Cupp.. Bina memberikan kecupan hangat di pipi Langit. Yang sempat membuat Senja maupun Langit terkejut. Sebelumnya Bina tidak pernah berbuat demikian pada orang baru seperti Langit. It
"Senja." Tapi tiba-tiba suara bariton menghentikan segalanya. Reflek keduanya menoleh ke sumber suara. Seketika jantung Senja seakan berhenti berdetak saat itu juga. "Mas Han." Senja sempat terkejut. Setelah itu dia berhasil menormalkan deru hatinya yang sudah bergejolak tak karuan saat melihat mantan suaminya. Senja bangkit dari duduknya. Diikuti oleh Langit. Tangannya di genggam erat oleh pria itu, seolah meminta untuk tetap tenang dalam menghadapi mantan suaminya dan juga mantan sahabatnya. "Kita bertemu lagi, Nja. Bagaimana kabarmu?" tanya Han. Tatapan yang dulu menggebu ingin berpisah, sudah lenyap. Yang ada tatapan teduh seperti sebelum Sherly datang ke kehidupan mereka. "Baik," jawab Senja tanpa menatap ke arah Han. Entah kenapa masih ada rasa benci dan dendam di hatinya pada mantan suaminya. Meski iya sudah ikhlas dengan apa yang terjadi, tapi dendam dalam hatinya masih tersisa di sana. "Mas, ayo kita pergi!!" Senja tidak ing
Setelah pertemuan dengan Han yang mengharu biru bagi Bina, mereka kembali melanjutkan makan malam bersama. Kebetulan mereka ada di restoran yang sama tapi berbeda tempat duduk. Awalnya Senja tidak ingin makan di sana, tapi Bina terus merengek karena ingin makan sushi seperti temannya di sekolah. Mau tidak mau Senja menurunkan egonya dan menuruti kemauan sang anak walau ia sendiri tidak nyaman saat ini. Ia merasa bahwa mata Han selalu memperhatikan gerak-geriknya, hingga ia tidak leluasa bergerak. Merasa seolah tengah diintai. "Kamu kenapa seperti tidak nyaman begitu?" tanya Langit seraya menggenggam erat tangan Senja. Sejak pesanan mereka datang, Senja tidak tampak terlalu antusias. Hanya Bina dan Vivi dan yang sampai tepuk tangan kegirangan saat melihat dragon sushi pesanan sudah datang. Senja menggeleng dan memaksa senyumnya. Jangan sampai Langit tau apa yang dia rasakan. Bisa-bisa Langit cemburu dan mengajak Han ribut. Langit mendekatkan wajahnya dan
"Apa kamu bilang, janda?" Mama Langit terduduk di sofa dengan lemas. Lututnya bergetar tak karuan ketika mendapatkan informasi jika putra satu-satunya berkencan dengan seorang janda. "Janda beranak satu?" tanya Yuke lagi dengan nada lirih. Ia menghela nafasnya dalam-dalam agar sesak di dadanya sedikit berkurang. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa kecewanya ketika putranya itu mengabaikan pilihan darinya dan lebih memilih wanita janda beranak satu sebagai kekasihnya. Sedangkan wanita yang ia pilih sudah memenuhi kriteria menantu idaman keluarganya yang berasal dari bibit, bebet, dan bobot dan juga dari keluarga terpandang. "Apakah Langit benar-benar buta saat memilih wanita itu? Atau_" Yuke menoleh ke arah Melly yang duduk di sampingnya dengan wajah bertanya-tanya. "Atau wanita itu memakai pelet untuk menarik simpati anakku?" Melly mengangguk cepat, seolah membenarkan apa yang dipikirkan oleh mama Langit. "Bisa jadi, Tante. Dia itu wanita biasa dan janda b
Byur... Senja memejamkan matanya saat merasakan siraman air yang datang dengan tiba-tiba. Botol air mineral itu terjatuh saat dengan senyum puas seorang wanita menyiramkan pada wajahnya. "Kamu yang bernama Senja, bukan?" Senja membuka matanya. Terlihat wanita parubaya dengan rambut tersanggul rapi. Tas branded tergantung di tangannya serta pakaian rapi berharga fantastis. Senja sudah menebak wanita itu siapa. Tapi ia tidak ingin gegabah dalam mengambil tindakan. "Benar. Ada perlu apa ya, Bu?" tanya Senja mencoba berusaha sopan setelah apa yang wanita itu lakukan. Mencoba menekan dalam-dalam gejolak yang ia rasakan. Meski terkesan kurang ajar, tapi wanita itu lebih tua darinya. Mungkin sebaya dengan sang ibu. Sehingga membuatnya harus lebih bersabar. "Pelet apa yang kamu pakai sampai anakku buta seperti itu? Seharusnya kamu sadar diri kamu siapa? Janda beranak satu saja bertingkah. Apa kamu tidak laku di luaran sana sampai anakku kamu goda? Dasar wanita
Makan siang telah tiba. Rasa was-was menghantui Langit karena kejadian pagi tadi. Ia sudah pasrah jika nantinya Senja menolak datang karena hinaan yang dilayangkan oleh sang mama pada wanita itu. Sebagai anak, ia juga kecewa dengan kelakuan bar-bar mamanya yang membuatnya malu tak karuan. Dengan cemas serta mondar-mandir Langit menunggu kedatangan Senja. Hingga suatu deheman mampu membuat langkahnya terhenti dan wajahnya menoleh. "Senja," Langit bahagia bukan kepalang ketika melihat Senja mau datang makan siang bersamanya terlepas kejadian mengerikan tadi pagi. Senja mengikuti kemana Langit membawanya. Meski ia sampai di restoran ini tidaklah mudah karena di setiap langkahnya terdengar kata-kata sumbang yang menghinanya janda tak berkelas dan sebagainya. Apakah Senja perduli? Meski ia mencoba tak menghiraukan, tapi tetap saja hatinya tergores mendengar hinaan itu. Mereka tidak tau bagaimana ia berjuang dari keterpurukan ketika diselingkuhi dan bercerai.
Senja hanya bisa duduk terdiam di pinggir trotoar dengan tatapannya kosong. Apa yang ia alami barusan membuat jiwanya terguncang hebat. Bahkan, hanya untuk berdiri saja rasanya lemas bagai tak bertulang. Bagaimana tidak, dia hampir saja menjadi korban tabrakan jika saja Riki tidak menarik tangannya, hingga membuatnya lolos dari maut yang mengintai. Luka lecet di kaki tidak ia rasakan. Suara mobil yang menabrak pembatas jalan masih terngiang di telinganya. Membuatnya merinding seakan tidak percaya jika Tuhan masih melindunginya. Lamunannya tersentak saat mendengar suara pria yang tengah berusaha membelah kerumunan yang mengepung tubuh Senja. "Senja, kamu tidak apa-apa, Sayang?" Langit tiba-tiba datang dan dengan raut wajah cemas dan penuh rasa khawatir. Senja hanya membisu. Sorot matanya menerangkan segalanya. Langit memeluk tubuh Senja erat setelah mendapatkan kabar dari Riki yang mengatakan Senja yang hampir celaka. Seketika jantungnya berhent
Cup... "Apa yang kalian lakukan??" Tiba-tiba suara mengagetkan mereka. Sontak Senja langsung mendorong tubuh Langit menjauh. Ia menarik kakinya yang berada dipangkuan Langit dengan serampangan dan menjatuhkannya begitu saja. Sungguh, jantungnya berdetak tak karuan setelah ketahuan. "Vivi. Kamu baru pulang?" Senja tersenyum pelik untuk menyembunyikan rasa gugup yang luar biasa. Ia tidak ingin Vivi salah paham dengannya. Vivi melangkah mendekat dan duduk di depan sofa yang di duduki keduanya. Matanya memicing penuh curiga pada Senja dan Langit secara bergantian. "Kalian tadi ngapain?" "Ciuman.." "Kelilipan." Bersamaan mereka menjawab tapi dengan jawaban yang berbeda. Plak... Senja memukul lengan Langit karena jawaban ngawurnya. Memang jawaban jujur, tapi tak seharusnya Langit mengatakan itu pada Vivi. Itu privasi mereka berdua. Makin memicing tajam mata Vivi menatap Senja. "Kalian ciuman? Di depan aku?" "Lagian siapa yang menyuruh kam