“SAYA NGGAK BERSALAH! PEREMPUAN GILA ITU YANG BERSALAH! LEPAS! SAYA NGGAK MAU DIPENJARA! LEPASSS!!”
Teriakan Nindi terus menggema setelah hakim membacakan putusan akhir dari persidangannya.
“DIA YANG HARUSNYA DIPENJARA! DIA JEBAK SEMUA KELUARGANYA! DIA JUGA PASTI SUDAH SOGOK SEMUA ORANG TERMASUK HAKIM!”
Tuk. Tuk.
Hakim kembali mengetuk palu untuk membuat kebisingan di ruang sidang kembali kondusif.
Dua orang petugas polisi langsung menarik paksa tangan Nindi yang meronta-ronta seperti orang gila. Keluarganya yang ikut hadir dari kampung menangis di kursi pengunjung, tapi tidak bisa berbuat apa pun. Bukti-bukti tentang perzinahan Nindi dan upaya penyerangannya sangat kuat. Kini ia harus mendekam di penjara sembari menjalani hidup sebagai pasien HIV Aids yang ditularkan oleh Dandy.
“LEPASSSS!!!!” Nindi terus memberontak keras. “MAS TOLONG AKU!!! AKU NGGAK MAU DIPENJARA! MAS!” teriak Nindi, memanggil Dandy yang kini bertuga
Beberapa saat yang lalu, ketika Mario menangkap tubuh Bianca, untuk beberapa saat Bianca sempat berpikir bahwa itu adalah Indra. Sebuah perasaan lega yang muncul tiba-tiba menguap secepat kehadirannya. Indra tidak datang, ia sudah memberikan kesaksiannya di persidangan bagian pertama. Dan Bianca mulai membenci dirinya sendiri yang belum juga terbiasa dengan ketidak beradaan Indra. Selama ini, pria itu selalu ada untuk menggenggam tangan Bianca, menjaga tubuhnya saat mulai terhuyung, atau membantunya membereskan semua masalah yang ada. Kini, pria itu tak lagi ada di sisinya, dan Bianca harus membiasakan diri untuk mengurus masalahnya sendiri. Ia harus mulai membiasakan diri hidup tanpa seorang Indrawan Bimasena. Bianca berdeham pelan, lalu menatap lalu lintas yang padat di hadapannya tanpa berkedip. “Kita ke kantor dulu, saya harus periksa berkas-berkas urgent.” Mario dan Haris saling melempar pandang dalam diam. ***
Langkah Indra berhenti di balik lorong rumah sakit saat mendengar isak tangis samar yang begitu asing di telinganya. Wajahnya sedikit tertunduk, kedua tangannya terkepal erat. Suara isakkan itu mengingatkan Indra pada air mata Bianca yang mengalir saat ia terlelap beberapa waktu yang lalu. Air mata yang mengalir tanpa persetujuan dan kesadaran Bianca, karena dalam keadaan sadar, Bianca takkan pernah menunjukkan lukanya di hadapan siapa pun. Selama ini, setelah kematian ibunya 18 tahun yang lalu, Bianca berubah drastis. Ia berubah menjadi gadis pembuat masalah yang terlihat begitu ceria, dan penuh canda tawa. Seiring berjalannya waktu, Bianca kembali berubah menjadi sosok yang begitu kuat dan dingin. Siapa sangka di balik senyuman menawannya, Bianca menyimpan lautan luka yang begitu dalam. Seluruh kesedihan yang selama ini tersembunyi, luka, ketakutan, kekecewaan, keputus asaan, kesepian, akhirnya pecah berantakan, menghancurkan pertahanan yang
“Mama!!! Aku mau Mama!! Mama mana???” Tangisan itu menggema di seluruh penjuru rumah. Semua orang tampak sibuk menghibur dan mencoba mengalihkan perhatian gadis kecil itu, berharap ia akan segera berhenti menangis dan mau melahap makanannya. Bianca duduk di tepi ranjangnya yang megah. Tidak peduli sekeras apa ia menutup telinga, isak tangis itu terus terdengar. Bianca mengambil ponsel di sampingnya, lalu memasang earphone, memutar musik secara acak dengan suara maksimal. Kepalanya terasa pening karena suara yang memenuhi telinganya, tapi entah mengapa suara tangis itu tak juga memudar. Sekarang justru terdengar semakin kencang. Dengan langkah lemah, Bianca berjalan ke pintu balkon yang kini terkunci rapat, bahkan mereka menggemboknya agar Bianca tidak pergi ke balkon dan mengingat kejadian naas itu. Namun, agaknya semua orang dewasa itu lupa jika Bianca tidak perlu datang ke balkon yang sama untuk mengenang kejadian menyeramk
“Sekarang mungkin dia benar-benar terluka karena kejadian ini, Kak. Dan aku bahkan nggak tau cara buat menghiburnya. Aku nggak tau apa aku berhak bahagia karena ibuku masih hidup, sedangkan ibunya sudah mati.” Sheila tertunduk menatap lantai rumah sakit di bawah kakinya. Selama ini, tidak pernah sekalipun Sheila melihat kakaknya menangis. Bahkan saat mereka berdua terjatuh dari sepeda yang dikendarai Bianca, wanita itu tidak pernah menangis. Padahal ia memiliki luka yang lebih dalam, dengan darah yang menetes lebih banyak, tapi ia sama sekali tidak menangis. Sama seperti ketika mereka menghadiri pemakaman sang ibu, Sheila menangis meraung melihat tanah melalap sosok ibunya yang perlahan-lahan menghilang, tapi Bianca hanya menitikkan air mata tanpa isakkan. Bahkan ketika ia menceritakan perselingkuhan Dandy dulu, Bianca sama sekali tidak menunjukkan air matanya. Wanita itu selalu tampak kuat di mata Sheila. Ia adalah tombak runcing yang tak pernah terpatahkan,
“Kamu pasti capek.” Bianca membelai kepala Sheila yang kini tersembunyi di dalam rangkulannya. “Sudah nangisnya?” tanya Bianca lembut.Sheila mengerucutkan bibirnya pada pertanyaan itu. Wajahnya bengap karena menangis tanpa henti selama satu jam penuh. Ia meraung di lorong rumah sakit, sampai beberapa perawat berdatangan untuk memeriksa jika sesuatu terjadi kepada pasien di dalam ruangan.Sheila mempererat rangkulannya di pinggang Bianca, seperti yang ia lakukan ketika mereka masih kecil. Kedua mata indahnya menatap tubuh lemah di atas ranjang rumah sakit dengan dada yang semakin sesak.“Tante akan baik-baik aja kan, Bi?” tanya Sheila.“Aku nggak tau, Shei,” jawab Bianca jujur. Setelah ratusan rasa sakit yang mereka alami, Bianca bahkan sudah tidak berani berharap terlalu tinggi lagi.“Aku… aku minta maaf, Bi….”Bianca menghela napas panjang. Sheila sudah mengata
“Kamu juga berhak bahagia, Bi,” bisik Sheila tulus. “Apa, sih?” gerutu Bianca sambil melepas pelukan adiknya. Sheila tersenyum penuh arti, lalu menoleh kepada Indra. “Jaga Bian ya, Kak. Kalau Kakak sampai macam-macam, apalagi mendua, Kakak akan berurusan langsung sama aku.” Sheila meletakkan ibu jarinya di leher, menirukan gerakan menyayat leher dengan wajah serius. “Sheila!” Indra menyentuh tengkuknya sambil berdeham berkali-kali. “Udah sana pergi, aku mau istirahat.” Sheila melambaikan tanganya penuh semangat, tapi Bianca tetap mematung di tempat dengan tatapan ragu. “Kak Indra, sekarang tolong bawa orang ini pergi, aku benar-benar mau istirahat! Udah sana, Bi. Ampun deh. Kalau kamu nggak pergi sekarang aku akan tunjukin isi buku harianmu ke Kak Indra!” “Sheila!” “Hahahaha.” “Mmm… memang apa isinya?” tanya Indra yang langsung mendapat tatapan tajam dari Bianca. “Ehm, selamat pagi.” Bianca dan Indra men
“Kamu apa?!” Indra mencengkram tangan Bianca dengan sangat erat. “Kamu bilang apa?” Tatapan datar Bianca membuat dada Indra semakin bergemuruh marah.Bianca melepaskan cengkraman tangan Indra dengan perlahan.“Kakak bisa pergi sekarang.”“BI!”“Kakak bisa suruh Mario buat jemput aku nanti.”“BIANCA!”Tanpa menggubris panggilan Indra, Bianca masuk ke dalam rumahnya, lalu menutup rapat pintu itu di hadapan wajah Indra.“Bianca, ini semua pasti nggak benar! Kita harus periksa lagi! Aku akan cari dokter yang terbaik! Kamu pasti akan baik-baik aja, Bi!”Di balik pintu itu, Bianca menyandarkan punggungnya yang terasa sangat letih. Matanya menatap kesekeliling ruang tamu yang begitu sepi. Lampu-lampu yang dibiarkan padam, kursi-kursi yang tertutup debu, bahkan lantai yang tak lagi terinjak, kini hanya menyisakan perasaan hampa yang menyesakkan.
“Kakak seharusnya nggak di sini.” Bianca menyentuh luka Indra yang sudah ia balut dengan kasa bersih seadanya. Meski berkali-kali ia mengatakan hal yang sama, tapi ia tetap tidak bisa melepaskan dekapannya pada pria itu.Indra mengecup kening Bianca dengan lembut. “Aku nggak akan ke mana-mana, Bianca,” bisik Indra. Jemarinya menelusuri jejak luka Bianca di pelipis, lalu menuruni tulang pipinya, dan menyentuh bibir bawah wanita itu. Sekali lagi, ia menundukkan kepala untuk mencium Bianca.Bianca tak lagi memberontak, ia justru membalas ciuman Indra dengan kelembutan yang sama.“Bi….” Indra menyeka air mata Bianca yang kembali menetes. “Aku nggak apa-apa. Kita akan baik-baik aja. Kita akan cari jalan keluarnya sama-sama.” Indra mempererat dekapannya. Menghapus sisa jarak di antara tubuh mereka berdua di bawah selimut.Bianca sama sekali tidak menjawab. Dadanya nyeri dan bahagia dalam waktu yang bersamaa
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski