“Kamu pasti capek.” Bianca membelai kepala Sheila yang kini tersembunyi di dalam rangkulannya. “Sudah nangisnya?” tanya Bianca lembut.
Sheila mengerucutkan bibirnya pada pertanyaan itu. Wajahnya bengap karena menangis tanpa henti selama satu jam penuh. Ia meraung di lorong rumah sakit, sampai beberapa perawat berdatangan untuk memeriksa jika sesuatu terjadi kepada pasien di dalam ruangan.
Sheila mempererat rangkulannya di pinggang Bianca, seperti yang ia lakukan ketika mereka masih kecil. Kedua mata indahnya menatap tubuh lemah di atas ranjang rumah sakit dengan dada yang semakin sesak.
“Tante akan baik-baik aja kan, Bi?” tanya Sheila.
“Aku nggak tau, Shei,” jawab Bianca jujur. Setelah ratusan rasa sakit yang mereka alami, Bianca bahkan sudah tidak berani berharap terlalu tinggi lagi.
“Aku… aku minta maaf, Bi….”
Bianca menghela napas panjang. Sheila sudah mengata
“Kamu juga berhak bahagia, Bi,” bisik Sheila tulus. “Apa, sih?” gerutu Bianca sambil melepas pelukan adiknya. Sheila tersenyum penuh arti, lalu menoleh kepada Indra. “Jaga Bian ya, Kak. Kalau Kakak sampai macam-macam, apalagi mendua, Kakak akan berurusan langsung sama aku.” Sheila meletakkan ibu jarinya di leher, menirukan gerakan menyayat leher dengan wajah serius. “Sheila!” Indra menyentuh tengkuknya sambil berdeham berkali-kali. “Udah sana pergi, aku mau istirahat.” Sheila melambaikan tanganya penuh semangat, tapi Bianca tetap mematung di tempat dengan tatapan ragu. “Kak Indra, sekarang tolong bawa orang ini pergi, aku benar-benar mau istirahat! Udah sana, Bi. Ampun deh. Kalau kamu nggak pergi sekarang aku akan tunjukin isi buku harianmu ke Kak Indra!” “Sheila!” “Hahahaha.” “Mmm… memang apa isinya?” tanya Indra yang langsung mendapat tatapan tajam dari Bianca. “Ehm, selamat pagi.” Bianca dan Indra men
“Kamu apa?!” Indra mencengkram tangan Bianca dengan sangat erat. “Kamu bilang apa?” Tatapan datar Bianca membuat dada Indra semakin bergemuruh marah.Bianca melepaskan cengkraman tangan Indra dengan perlahan.“Kakak bisa pergi sekarang.”“BI!”“Kakak bisa suruh Mario buat jemput aku nanti.”“BIANCA!”Tanpa menggubris panggilan Indra, Bianca masuk ke dalam rumahnya, lalu menutup rapat pintu itu di hadapan wajah Indra.“Bianca, ini semua pasti nggak benar! Kita harus periksa lagi! Aku akan cari dokter yang terbaik! Kamu pasti akan baik-baik aja, Bi!”Di balik pintu itu, Bianca menyandarkan punggungnya yang terasa sangat letih. Matanya menatap kesekeliling ruang tamu yang begitu sepi. Lampu-lampu yang dibiarkan padam, kursi-kursi yang tertutup debu, bahkan lantai yang tak lagi terinjak, kini hanya menyisakan perasaan hampa yang menyesakkan.
“Kakak seharusnya nggak di sini.” Bianca menyentuh luka Indra yang sudah ia balut dengan kasa bersih seadanya. Meski berkali-kali ia mengatakan hal yang sama, tapi ia tetap tidak bisa melepaskan dekapannya pada pria itu.Indra mengecup kening Bianca dengan lembut. “Aku nggak akan ke mana-mana, Bianca,” bisik Indra. Jemarinya menelusuri jejak luka Bianca di pelipis, lalu menuruni tulang pipinya, dan menyentuh bibir bawah wanita itu. Sekali lagi, ia menundukkan kepala untuk mencium Bianca.Bianca tak lagi memberontak, ia justru membalas ciuman Indra dengan kelembutan yang sama.“Bi….” Indra menyeka air mata Bianca yang kembali menetes. “Aku nggak apa-apa. Kita akan baik-baik aja. Kita akan cari jalan keluarnya sama-sama.” Indra mempererat dekapannya. Menghapus sisa jarak di antara tubuh mereka berdua di bawah selimut.Bianca sama sekali tidak menjawab. Dadanya nyeri dan bahagia dalam waktu yang bersamaa
Ketika kembali dengan dua cangkir kopi yang mengepulkan uap panas, Bianca masih terlelap dengan damai. Indra meletakkan cangkir kopi di atas nakas, lalu duduk di sisi ranjang sepelan mungkin. Jemarinya terulur, menyentuh helai rambut Bianca yang menutupi wajahnya. Indra membungkukkan badan, mencium lembut kening wanita itu. Sekarang, setelah semua yang terjadi kepada mereka, ia semakin teguh berjanji untuk terus melindungi wanita itu, apa pun harganya. Bianca menggeliat pelan karena sentuhan Indra. Kedua mata indahnya mengerjap, mencoba menyingkirkan kantuk. Aroma tubuh Indra kini membaur dengan wangi kopi yang membuat Bianca sedikit terjaga. “Kak…,” gumam Bianca, masih separuh sadar. Matanya terasa begitu berat terbuka, entah karena kelelahan atau karena tangis yang tak kunjung usai. Namun, samar-samar akhirnya ia bisa kembali melihat sosok Indra yang berada di sampingnya. Senyum Bianca terkulum otomatis. Ternyata sebahagia itu menemukan orang paling kau say
Wajah Bianca terangkat tinggi, kedua tangannya terlipat di dada sambil menenteng tas Hermes mungil seharga mobil mewah.“Apa kata kamu? Perbaiki semuanya? Kamu pasti bercanda. Kamu lupa siapa aku?” Bianca tersenyum begitu anggun. “Aku Bianca Peruka, aku bukan orang yang akan perbaiki barang-barang rusak, Dandy. Aku akan buang dan beli yang baru, semudah itu.”Dandy menggeram marah. Andai tangannya tidak sedang terikat, dan tidak ada orang-orang di sekitar mereka semua, Dandy pasti sudah mengoyak mulut Bianca. Ia akan memberikan pelajaran yang pantas untuk membungkam keangkuhan wanita itu.“Sombong kamu, Bianca! Kamu pikir kamu hebat?!”Bianca tersenyum tipis. “Kamu sudah punya jawaban sendiri sekarang, kan? Silakan bandingin aku sama perempuan selingkuhan kamu itu. Ah! Kalau dipikir-pikir kalian jadi semakin cocok dengan seragam yang sama. Dan sepertinya aku belum bilang terima kasih ya sama kamu?” Bianca ma
Sebuket anggrek tersemat indah di atas makam bertuliskan nama Calistia Sandra. Embusan angin sore membuat aroma anggrek itu samar-samar membaur dengan aroma bunga kamboja yang tumbuh subur di area pemakaman.Kelopak putih dan merah mudanya berguguran di atas pusara makam, seakan menjadi taburan bunga otomatis untuk makam yang jarang dikunjungi.Lagi-lagi, Bianca harus berdiri di samping makam orang yang disayanginya. Ia bahkan sudah tidak tau bagaimana caranya menceritakan apa yang ia rasakan kini. Karena sejujurnya, seluruh hidup Bianca sudah terlalu menyakitkan.“Bi….” Tini meremas tangan Bianca di sampingnya, tapi Bianca tetap bergeming.“Semuanya sudah selesai dengan baik, Bi, dan berhenti menyalahkan dirimu sendiri.”Kedua mata Bianca mengerjap perlahan. Hatinya terasa kebas. Kematian Sandra kembali mengurung Bianca dalam lautan rasa bersalah tanpa dasar.“Justru dia pasti berterima kasih sama kamu, Bi
Senja memudar, cahaya jingganya membias dari jendela ruang perawatan Damian. Betapa ajaibnya takdir, padahal beberapa waktu yang lalu, tidak akan ada orang yang berani berpikir jika Damian akan terjatuh. Pria itu berdiri terlalu gagah di atas singgasananya, hingga mereka pikir ia takkan mungkin mengalami hal buruk, meski ia terus melakukan hal menjijikan.Namun hari ini, ia hanya seorang pria yang bahkan tak bisa menggerakan seujung jari pun di hadapan putrinya. Dulu sekali, Bianca sangat takut kepada malam. Ia tidak takut gelap, ia tidak takut hantu. Ia hanya gadis kecil yang takut terlelap. Karena saat ia jatuh tertidur, maka ia akan tersedot masuk ke dalam pusaran mimpi buruk yang sangat mengerikan.Usianya 11 tahun saat mendengar permintaan sang ibu untuk menutup mata, dan ketika ia kembali membuka mata, ibunya sudah menghilang. Wanita itu menjatuhkan diri dengan seluruh kesadarannya, lalu tewas di depan mata Bianca.Jiwa kecil Bianca san
Malam ku terjaga, berganti hari, berganti pagi.Akankah datang malamku tanpa mimpi buruk lagi?Jika kau di sini, di hariku yang tak pasti.Selamatkan Aku, dan peluklah Aku.Night Flower (Ind Vers) Yeeun Ahn.***Malam datang perlahan. Lambat tapi pasti. Kini lampu-lampu mulai menyala, mencoba menghalau kelam yang dibawa malam. Namun, tidak peduli sebanyak apa lampu yang menghiasi kehidupan Bianca, jiwanya tetap terjebak dalam sebuah pusaran hitam yang gelap.Ia menatap ayahnya dengan mata yang sembab. Luka yang terpendam belasan tahun kini pecah berantakan. Tidak ada darah, tidak ada luka ternganga, tapi jiwa Bianca aus dilalap pedih.Bertahun-tahun ia terus menanyakan hal yang sama, lalu tenggelam dalam jawaban menyakitkan yang sama juga.“Apa Ayah benar-benar benci kami?”Bagi seorang anak, pertanyaan itu meny
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski