“Jadi sekarang kamu mau pindah ke apartmentnya si Jess?” Pertanyaan itu mengandung dengusan tak percaya.
Nindi mengibaskan rambut panjangnya yang kini lebih terawat. “Iya, kita nanti jadi tetangga, iya kan, Jess?”
Jessica tersenyum tipis. “Mungkin,” katanya sambil mengangkat bahu tak acuh.
Mereka berempat sudah berteman sejak pertama kali masuk ke kampus, dan baik Jessica maupun Vira tau betapa miskinnya Nindi, ia mengandalkan beasiswa untuk kuliah. Tapi bagaimana mungkin tiba-tiba saja ia bisa pindah ke apartment yang lumayan mahal seperti tempat tinggal Jessica.
“Ah, kamu memang hebat, Nin!” sorak Risti riang.
Nindi tersenyum lebar. Sebentar lagi ia bisa membalas tatapan sebelah mata orang-orang atas label kemiskinannya.
“Eh, tunggu ada telepon.” Nindi mengangkat ponselnya yang bergetar.
“Cieee dari pacarmu, ya?” goda Risti, yang hanya dijawab dengan kedipan centil oleh Nindi.
Ia mengangkat teleponnya sambil berjalan menuruni tangga. Suara baritone pria di seberang sana menyapanya penuh kasih, membuat Nindi tidak bisa berhenti tersenyum lebar. Ia menelusuri lorong-lorong kampus yang cukup ramai, lalu memasuki restoran cepat saji di depan kampusnya, memesan segelas kopi.
“Jadi Mas nggak bisa ke tempatku lagi sekarang?” Suaranya berubah panik saat mendengar penuturan pria itu. Jangan sampai kejadian kemarin membuat hubungan mereka merenggang sekarang. Ia sudah mengatakan kepada teman-temannya jika ia akan pindah ke apartment Jessica. Kalau sampai tidak jadi mereka pasti akan semakin menertawainya.
“Kamu tenang aja, Sayang, kalau kita nggak bisa ketemu di luar jam kantor, kenapa kita nggak ketemu di dalam kantor?”
“Maksud kamu?”
“Kamu selalu bilang mau magang di perusahaan besar, kan? Apa kantorku sudah cukup besar?”
“Astagaa! Aku boleh magang di sana?!” Nindi melompat kegirangan, membuat gadis di balik kasir dengan kopi pesanannya menaikkan alis kaget.
Ini jauh lebih baik dari perkiraannya. Terbayang betapa iri teman-temannya jika tau ia bisa magang di kantor sebesar itu. Nindi mengambil kopinya, lalu memberikan kartu kredit dari pria itu kepada kasir.
Hidupnya benar-benar berubah jauh lebih baik sekarang. Tidak rugi ia pergi ke luar kota untuk mencari peruntungan yang baru. Gadis cantik dan pintar sepertinya memang tidak seharusnya terkurung di dalam kampung kecil tanpa harapan itu.
“Aku juga kangen kamu, Mas. Sampai ketemu nanti!” ujar Nindi manja. Namun, ketika ia berbalik, wajah cantik yang tadinya begitu riang kini mulai memucat.
Perempuan itu…
Nindi mengerut ngeri saat menyadari keberadaan seorang wanita di meja belakangnya. Wanita itu menggunakan kaca mata hitam yang trendi, dengan dandanan yang begitu elegan dan cantik. Ia menyesap perlahan teh di gelasnya, seakan menikmati setiap tetesan tehnya dengan begitu nikmat.
Ketika bibirnya tersenyum miring, Nindi tau mata di balik kaca hitam itu terus memperhatikannya sejak tadi.
Nindi menggenggam erat ponselnya. Detak jantungnya mulai berlompatan tak karuan. Bagaimana mungkin wanita itu tau kampusnya?
“Good girl, have a seat.” Tangan wanita itu terulur, meminta Nindi duduk di depan mejanya yang kosong.
Menimbang sejenak, haruskah ia lari atau menuruti kata-kata wanita itu.
Padahal kemarin, saat pertama kali mereka bertemu, ia terlihat begitu rapuh dan bodoh. Namun mengapa hari ini penampilannya sangat jauh berbeda? Ada aura misterius yang muncul setiap kali wajah itu tersenyum.
Nindi duduk di kursi kosong di hadapan wanita itu dengan tangan sedikit gemetar.
“Lumayan juga kampusmu,” ujar wanita itu sambil menatap keluar jendela besar restoran.
“Kenapa kamu cari aku?”
Wanita itu mendengus sinis. “Saya cuma jalan-jalan, siapa sangka saya ketemu kamu di sini.”
Itu adalah kebohongan yang sangat nyata. Apa wanita itu pikir Nindi begitu bodoh?
“Kalau kamu mau bahas soal malam itu, silakan tanya suamimu, aku nggak mau ikut campur.” Nindi bangkit berdiri, tapi wanita itu langsung mengangkat telunjuknya, meminta gadis itu diam di tempat.
Bianca tersenyum sinis. Bisa-bisanya ia bilang tidak mau ikut campur.
“Ups, mungkin saya salah orang, seharusnya video itu nggak perlu diblur.”
Nindi tersentak. Itu jelas sebuah ancaman.
Bianca tersenyum puas saat Nindi duduk kembali.
“Jadi sejauh apa hubunganmu dengan suami saya?”
Nindi terdiam.
“Kamu nggak bisa jawab? Saya pikir anak yang mendapat beasiswa pasti pintar bicara.”
Nindi melotot, wanita itu pasti sudah menyelidiki latar belakangnya sekarang.
“Apa suami saya setampan itu? Padahal saya lihat banyak banget mahasiswa-mahasiswa yang jauh lebih tampan dari suami saya. Atauu… jangan-jangan apa karena isi dompet suami saya?”
Bianca tersenyum sinis melihat kemarahan di mata gadis itu.
“Padahal kamu cantik, pintar, dan berprestasi. Tapi ternyata kamu nggak jauh lebih baik dari sampah.”
Wajah Nindi mulai memerah marah. Ia meremas gelas kopinya. “Kayaknya aku tau kenapa Mas Dandy benci kamu. Kamu sombong, dan jahat.”
Bianca mendengus. Bagaimana mungkin ia menjadi pihak yang jahat padahal gadis itu yang merebut suaminya.
“Kalau kamu mau tau semuanya silakan tanya suami kamu sendiri. Dan kalau kamu marah sama hubungan kami, ceraikan saja Mas Dandy. Gampang kan?” Nindi kembali berdiri. “Karena asal kamu tau, bukan aku yang merayu Mas Dandy terlebih dulu, tapi Mas Dandy yang datang sendiri. Dan sekarang, setelah lihat kamu secara langsung, aku tau, sampai kapan pun Mas Dandy nggak akan bisa kembali sama kamu, karena kamu benar-benar nggak bisa menghargai orang lain.”
Omongan tidak masuk akal macam apa itu?
“Oke, aku akan belajar menghargai orang lain. Jadi, berapa harga untuk masuk ke balik rokmu?”
Byur!
Nindi menyiram kopinya ke wajah Bianca dengan marah. Beberapa orang yang melihat langsung membeku, terkejut bukan main.
“Wow.” Bianca berdiri, membiarkan tetesan kopinya menetes perlahan ke lantai.
Seorang pramusaji berlari menghampiri meja mereka, bersiap melerai kalau-kalau ada perkelahian.
Nindi mengentakkan kaki, lalu berjalan ke pintu, tapi belum sempat ia membuka pintu restoran itu, Bianca memanggilnya kembali.
“Hei!” teriak Bianca, menghentikan langkah Nindi.
Dalam sekali gerakan, Bianca menyiramkan seember air bekas mengepel lantai yang berwarna dan beraroma pekat. Teriakkan langsung terdengar saat cairan bau itu membasahi seluruh tubuh Nindi.
“Ups, maaf, kepeleset.” Bianca bersidekap puas melihat hasil karyanya yang sempurna. Ia meletakan ember itu, lalu meraih beberapa lembar uang berwarna merah dari tas tangannya, memberikan kepada pelayan yang ternganga di sampingnya. “Buat tip untuk orang yang akan membersihkan sampah ini. Maaf ya sudah mengganggu kalian, dan terima kasih,” ujarnya dengan senyuman manis yang anggun.
Ia berjalan melewati Nindi yang kini mematung malu di tempatnya. Langkah wanita itu terhenti sejenak, lalu menatap tajam gadis itu. “Watch your mouth, b*tch!” desis Bianca sebelum melenggang ke luar restoran dengan dagu terangkat tinggi.
***
PLAK! Tamparan itu sangat keras, hingga membuat tubuh Bianca terpelanting ke ujung ranjang. Bianca bisa merasakan amis di ujung mulutnya. “B*NGS*T! Aku nggak main-main dengan ancamanku, Bi. Kalau kamu ganggu Nindi lagi, kamu akan berurusan denganku!” Pria itu menarik rambut istrinya dengan kasar, lalu mengempaskannya sekali lagi. Air mata Bianca jatuh berurai. “Aku minta maaf, Mas!” Cih! Pria itu meludahi lantai. Ia mendengus sinis. “Aku masih bersabar sama kamu karena Ibu. Kalau bukan karena ibu, sudah kutinggalin perempuan sampah kaya kamu!” Sampah? Susah payah Bianca tetap mempertahankan isak tangisnya saat yang ia ingin lakukan sekarang adalah menusuk belati ke dada pria itu. “Aku cuma mau kasih pelajaran sama dia, Mas! Dia sudah rebut kamu dari aku!” PLAK! Tamparan lagi. Kini membuat Bianca sedikit pening karena tamparan itu mengenai pelipisnya dengan keras. “PEREMPUAN GILA
“Maaf, Kak, kartu ini sudah tidak bisa digunakan,” ujar seorang gadis muda yang berdiri di belakang meja resepsionis. “Nggak bisa? Mbak salah kali. Kartu ini masih aktif kok, dan nggak akan expired!” ujar Dinda kesal. Ia menatap gadis resepsionis itu dengan tatapan sinis. Bisa-bisanya pegawai rendahan mencoba untuk mempermalukannya. Rissa menghela napas pelan, lalu mencoba kembali. “Maaf Kak, tetap tidak bisa,” ujar Rissa sesopan mungkin. “Heh, kamu anak baru, ya?! Kok nggak becus banget! Coba panggil pegawai lainnya yang lebih kompeten! Saya langganan di sini loh! Nggak mungkin kartu ini tiba-tiba nggak bisa dipakai!! Atau panggil manager kamu sekalian. Anak nggak becus kok ditaro di resepsionis. Nyusahin aja!” runtuk Dinda kesal. Salah satu temannya datang mendekat. “Kenapa, Din?” tanyanya bingung. “Nih, resepsionisnya b*go, begini aja nggak bisa!” maki Dinda kesal. Sena melirik ke meja resepsionis yang kosong. Tampaknya resepsionis
“Kamu mau kemana, Dan?” Langkah Dandy berhenti di depan ruang makan. Ia memperbaiki dasinya dengan santai, lalu menoleh ke meja makan, tempat Laksmi dan Bianca sarapan. “Aku mau ke kantor, Bu.” “Sepagi ini?” “Sarapan dulu, Mas,” panggil Bianca manis. Ia mengangkat piring Dandy, mengambil beberapa sendok nasi goreng buatan Lia untuk sarapan. Dandy menghela napas panjang. “Ada meeting, aku akan sarapan di kantor,” jawab Dandy seraya melanjutkan langkahnya. Wajah Bianca berubah sendu, lalu meletakan piring itu kembali ke atas meja. “Bi, Dandy kan lagi sibuk kerja, kamu jangan sedih, ya.” Laksmi menyentuh tangan menantunya, menunjukan empati yang terlalu berlebihan. “Yang penting kan sekarang Dandy sudah berubah. Dia selalu pulang ke rumah tepat waktu. Dia pasti sudah nggak ketemu sama perempuan murahan itu lagi. Jadi kamu nggak perlu cemas.” Bianca tersenyum tipis kepada kata-kata ibu mertuanya. “Iya, Bu, Bian ben
Beberapa tahun yang lalu.Sebuah keluarga bahagia menjalani sebuah pemotretan untuk menjadi sampul majalah. Ibu yang cantik, ayah yang gagah, dan dua putri yang begitu mempesona. Mereka menggunakan gaun berwarna emas, senada dengan sapu tangan yang tersemat di kantong jas sang ayah. Keempatnya tersenyum lebar di hadapan kamera, pun ketika masuk ke sesi wawancara.Tidak ada sedikitpun celah dari keluarga bahagia itu.Semuanya tampak sempurna.Setidaknya, sampai suatu hari si ibu ditemukan tewas setelah bunuh diri, melompat dari istananya sendiri.***Siang itu kantor mendadak riuh oleh kedatangan seorang anak magang yang baru. Belum apa-apa orang-orang sudah sibuk membicarakannya. Ia memang cantik dan s*ksi, tapi bukan itu yang membuat gunjingan mereka tak berhenti terdengar, melainkan kenyataan bahwa gadis itu turun dari mobil yang sama dengan manager manajemen mereka.Sera yang bertugas untuk menjelaskan r
BRAK!Indra menggebrak meja dengan kasar. “Apa kamu bilang? Si b*ngsat itu selingkuh?!” desis Indra marah. Beberapa pengunjung kafe melirik ke meja mereka, tapi Bianca tetap acuh dengan wajah sinisnya.“Si b*ngsat? bagus juga,” gumam Bianca senang. Akhirnya ia menemukan panggilan yang cukup pantas untuk pria itu.Indra mencengkram bahu Bianca. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?! Kenapa kamu diam aja?!”“Aku nggak diam aja, Kak.”Indra mendesis, bagaimana mungkin wanita itu bisa begitu tenang di saat seperti ini?“Dan kenapa aku nggak bilang sama Kakak, karena aku tau Kakak akan begini. Sikap Kakak bisa saja akan merusak rencanaku.”Suara tenang Bianca membuat Indra terdiam. Kedua tangannya kembali jatuh, melepaskan sosok cantik itu.“Kakak pikir aku akan diam aja diselingkuhi dia?” Bianca bersidekap di kursinya, menatap jauh ke luar jendela. Lalu sebu
“Bi, Ibu sudah di mall.” Laksmi menelepon menantunya saat ia baru sampai di pintu mall. Bianca menerima telepon itu dengan wajah datar. “Oke, Bu, sebentar lagi Bian sampai, Ibu pilih-pilih aja dulu,” ujar Bianca padahal ia sudah ada di dalam parkiran mall sejak 10 menit yang lalu. Dinda mengerjakan tugasnya dengan cukup baik kali ini. Gadis itu bahkan sampai mengirim letak parkir mobil kakaknya, hingga Bianca bisa menemukan dengan sangat mudah. Bianca memarkirkan mobilnya tepat di depan mobil itu, sambil menimbang haruskah ia menabrakkan mobilnya sekarang? Atau mengempiskan seluruh bannya? Bianca bersidekap sinis di depan mobil Dandy, memainkan pisau kecil di tangannya. Lalu, ia berjalan ke samping mobil Dandy, membuat goresan dalam di sepanjang sisi mobil itu sebelum berjalan menuju lift yang mengantarnya ke dalam mall. Namun tentu saja itu tidak membuatnya puas sama sekali. Bianca melirik sedeikit ke belakang punggungnya. Ia bisa mende
Kening Laksmi berkerut saat melihat kerumunan di depan toko pakaian dalam yang disebutkan menantunya tadi. Orang-orang tampak berkerumun dengan ponsel terbuka lebar, merekam sebuah keributan. “Hah! Nggak tau malu banget ribut di muka umum begini,” gerutu Laksmi sambil mengambil ponsel dari dalam tas. Ia harus menghubungi Bianca. “Parah, itu suaminya ngebelain pelakor?” bisik seorang gadis muda yang sedang merekam kejadian di dalam toko. Laksmi melirik sekila, tapi tidak peduli. Toh itu bukan urusannya, hingga akhirnya ia mendengar suara teriakan Bianca. Wajah Laksmi membeku, ia langsung mendorong kerumunan itu, membuat jalan untuknya. Dan betapa terkejutnya Laksmi saat melihat Dandy melindungi seorang gadis asing di belakang punggungnya. “MAS AKU ISTRI SAH KAMU!” teriakan Bianca terdengar sangat keras. Desisan penonton terdengar tidak setuju atas apa yang sudah dilakukan sang suami. Untuk beberapa saat Laksmi hanya mampu membeku. Ia me
“Ma?” Usia bianca 11 tahun saat itu. Ia terbangun karena angin kencang yang berembus dari jendela kamarnya. Sheila masih terlelap di sampingnya, mengkerut kedinginan. “Mama?” panggil Bianca. Ada syal ibunya di kaki ranjang, sebuah tas tangan, dan dua gelas minuman yang dibawa ibunya untuk ia dan Sheila. “Ma?” Bianca melongokan kepala ke luar pintu. Mengapa rumahnya mendadak sehening itu? Ke mana ibunya? Ayahnya? Para pelayan? Bianca harus mencari mereka. Tapi sebelum itu, ia berjalan ke jendela kamarnya yang terbuka. Jendela kamar itu terhubung dengan balkon, dan tepat di bawahnya adalah kolam renang mereka yang besar. bianca menarik salah satu pintu gesernya, mencoba menutup jendela itu, tapi ketika ia mendengar suara di luar balkon, ia bergerak perlahan. Tubuh Bianca membeku di balkon. Matanya menatap balkon lain yang terhubung dengan kamar orang tuanya.
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski