BRAK!
Indra menggebrak meja dengan kasar. “Apa kamu bilang? Si b*ngsat itu selingkuh?!” desis Indra marah. Beberapa pengunjung kafe melirik ke meja mereka, tapi Bianca tetap acuh dengan wajah sinisnya.
“Si b*ngsat? bagus juga,” gumam Bianca senang. Akhirnya ia menemukan panggilan yang cukup pantas untuk pria itu.
Indra mencengkram bahu Bianca. “Kenapa kamu baru bilang sekarang?! Kenapa kamu diam aja?!”
“Aku nggak diam aja, Kak.”
Indra mendesis, bagaimana mungkin wanita itu bisa begitu tenang di saat seperti ini?
“Dan kenapa aku nggak bilang sama Kakak, karena aku tau Kakak akan begini. Sikap Kakak bisa saja akan merusak rencanaku.”
Suara tenang Bianca membuat Indra terdiam. Kedua tangannya kembali jatuh, melepaskan sosok cantik itu.
“Kakak pikir aku akan diam aja diselingkuhi dia?” Bianca bersidekap di kursinya, menatap jauh ke luar jendela. Lalu sebu
“Bi, Ibu sudah di mall.” Laksmi menelepon menantunya saat ia baru sampai di pintu mall. Bianca menerima telepon itu dengan wajah datar. “Oke, Bu, sebentar lagi Bian sampai, Ibu pilih-pilih aja dulu,” ujar Bianca padahal ia sudah ada di dalam parkiran mall sejak 10 menit yang lalu. Dinda mengerjakan tugasnya dengan cukup baik kali ini. Gadis itu bahkan sampai mengirim letak parkir mobil kakaknya, hingga Bianca bisa menemukan dengan sangat mudah. Bianca memarkirkan mobilnya tepat di depan mobil itu, sambil menimbang haruskah ia menabrakkan mobilnya sekarang? Atau mengempiskan seluruh bannya? Bianca bersidekap sinis di depan mobil Dandy, memainkan pisau kecil di tangannya. Lalu, ia berjalan ke samping mobil Dandy, membuat goresan dalam di sepanjang sisi mobil itu sebelum berjalan menuju lift yang mengantarnya ke dalam mall. Namun tentu saja itu tidak membuatnya puas sama sekali. Bianca melirik sedeikit ke belakang punggungnya. Ia bisa mende
Kening Laksmi berkerut saat melihat kerumunan di depan toko pakaian dalam yang disebutkan menantunya tadi. Orang-orang tampak berkerumun dengan ponsel terbuka lebar, merekam sebuah keributan. “Hah! Nggak tau malu banget ribut di muka umum begini,” gerutu Laksmi sambil mengambil ponsel dari dalam tas. Ia harus menghubungi Bianca. “Parah, itu suaminya ngebelain pelakor?” bisik seorang gadis muda yang sedang merekam kejadian di dalam toko. Laksmi melirik sekila, tapi tidak peduli. Toh itu bukan urusannya, hingga akhirnya ia mendengar suara teriakan Bianca. Wajah Laksmi membeku, ia langsung mendorong kerumunan itu, membuat jalan untuknya. Dan betapa terkejutnya Laksmi saat melihat Dandy melindungi seorang gadis asing di belakang punggungnya. “MAS AKU ISTRI SAH KAMU!” teriakan Bianca terdengar sangat keras. Desisan penonton terdengar tidak setuju atas apa yang sudah dilakukan sang suami. Untuk beberapa saat Laksmi hanya mampu membeku. Ia me
“Ma?” Usia bianca 11 tahun saat itu. Ia terbangun karena angin kencang yang berembus dari jendela kamarnya. Sheila masih terlelap di sampingnya, mengkerut kedinginan. “Mama?” panggil Bianca. Ada syal ibunya di kaki ranjang, sebuah tas tangan, dan dua gelas minuman yang dibawa ibunya untuk ia dan Sheila. “Ma?” Bianca melongokan kepala ke luar pintu. Mengapa rumahnya mendadak sehening itu? Ke mana ibunya? Ayahnya? Para pelayan? Bianca harus mencari mereka. Tapi sebelum itu, ia berjalan ke jendela kamarnya yang terbuka. Jendela kamar itu terhubung dengan balkon, dan tepat di bawahnya adalah kolam renang mereka yang besar. bianca menarik salah satu pintu gesernya, mencoba menutup jendela itu, tapi ketika ia mendengar suara di luar balkon, ia bergerak perlahan. Tubuh Bianca membeku di balkon. Matanya menatap balkon lain yang terhubung dengan kamar orang tuanya.
Pukul 9 pagi, Nindi itu masih asyik membeli kopi di kafe lantai satu Abraham Inc Tower, tempat kantor mereka berada. Kaki jenjangnya berhias sepatu hak tinggi berwarna hitam yang seksi, sewarna dengan rok pensil yang membalut pahanya dengan ketat. Ia tersenyum tipis kepada gadis di belakang kasir saat mendapatkan minumannya, lalu melangkah sambil terus menatap ponsel. Biasanya di jam-jam seperti ini kafe akan lebih sepi karena orang-orang sudah masuk ke kantor masing-masing. Namun entah mengapa hari itu ada beberapa anak kecil yang berlarian di dalam kafe. Dua wanita berpakaian necis asyik mengobrol, menempati salah satu meja kafe yang berhiaskan bunga mawar dalam vas. Nindi memutar bola matanya saat melihat keributan itu. Ia jengah melihat anak-anak dan segala kekacauan yang bisa ditimbulkan mahluk-mahluk berisik itu. Sialnya, saat Nindi baru akan membuka pintu kafe, salah satu bocah berkucir dua menabraknya. Praktis ia langsung tersan
“Apa saya terlambat?”Elegan, berkelas, dan jelas begitu mengancam. Karena selangkah kaki itu memasuki ruang meeting, aura di dalam ruangan itu langsung berubah. Wajah para pemegang saham dan sekretarisnya masing-masing tampak membeku dalam keterkejutan. Termasuk Damian dan Dandy. Mungkin hanya Nindi yang tidak mengenali siapa wanita cantik itu. Namun, wajah Nindi tetap ikut memucat saat melihat sosok lain yang berdiri di samping wanita itu.Clara Vivian Peruka adalah putri kedua keluarga Peruka, adik dari pendiri salah satu dari lima perusahaan kosmetik kenamaan di Indonesia, Claire Veline Peruka. Secara sekilas, orang tidak akan bisa membedakan Clara dan Claire, mereka kembar identik tapi dengan dua kepribadian yang sangat jauh berbeda.Claire yang juga seorang dosen bedah kulit dan kosmetologi Fakultas Kedokteran salah satu universitas di Indonesia, pada awalnya mendirikan sebuah laboratorium kecantikan yang ia namai se
“Secara otomatis, jabatan saya sebagai presiden direktur akan dialihkan kepada Bianca, keponakan saya. Dan saya akan mundur.” Deg. Ruangan itu membeku dalam keterkejutan yang lain. Semua wajah menunjukkan ekspresi yang sama, bahkan Indrawan Bimasena. Kedua tangannya terkepal erat. Dadanya bergemuruh, dan matanya menatap tajam sosok gadis bergaun merah di meja presiden direktur. Ini pasti lelucon. Bianca pasti sudah gila, batin Indra panik. Ia melirik ayah gadis itu yang memasang wajah begitu dingin. mulutnya memang terkatup rapat, tapi entah apa yang sudah ia persiapkan di dalam kepalanya yang keji. “Tapi ini tidak bisa diputuskan semudah itu!” ujar Dandy, baru saja terbebas dari keterkejutannya. Clara tersenyum tipis. “Anda bahkan tidak punya hak suara di sini, Pak Wakil Direktur,” senyum Clara membungkam Dandy dengan raut memerah marah dan malu. Ia menatap tajam Bianca yang duduk dengan angkuh di kursi itu.
“SIALAN!” Dandy menyapu bersih seluruh benda di atas mejanya dengan sekali gerakan. Beberapa benda langsung pecah saat terbentur lantai di bawah kakinya. “SIALAN! B*NGSAT KAMU BIANCA!” makinya keras. Wajah tampannya memerah marah. Rambut yang tadi tersisir rapi kini berantakan tak beraturan. Bahkan pakaiannya sudah sangat kusut. Jas yang ia kenakan terongok di lantai, habis ia lempar dan injak-injak. Kenapa jadi seperti ini?! Kenapa harus Bianca?! Kenapa ia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya?! Kenapa Damian tetap diam?! “SIALAN KAMU BIANCA!” Dandy meninju dinding di belakangnya, membuat ruas jemarinya memerah. Tapi itu tidak mengurangi rasa marahnya sama sekali. Di luar ruangan Nindi tampak cemas. Ia bisa mendengar barang-barang yang pecah dan samar makian Dandy. Ia sendiri tidak berani masuk untuk menemui pria itu. Bisa saja kemarahannya akan tercurah kepada Nindi jika ia masuk sekarang. Di sampi
“Lembur?” Pertanyaan itu menyentak Nindi yang tengah berdiri di depan lobi kantor, menghindari gerimis yang datang bersama embusan angin malam. Pria yang sama seperti yang ditemuinya pagi ini berdiri dengan sebuah senyuman. Wajah ramahnya terlihat jauh lebih tampan. Aroma parfum langsung tercium harum saat ia mendekat. “Harusnya anak magang nggak perlu ikut lembur,” desah Indra, menatap langit yang masih menaburkan rintik gerimis, yang agaknya tidak akan berhenti dalam waktu singkat. “Ah, nggak apa-apa, Pak, justru saat seperti ini saya menjadi merasa melakukan kewajiban saya dengan maksimal.” Contohnya dengan melayani pria itu sebelum ia pulang, dan meninggalkan pria itu karena segudang pekerjaan yang masih menggunung di mejanya Indra tersenyum tipis. “Oya, Pak, ini jasnya akan saya cuci dulu. Terima kasih banyak bantuannya pagi tadi.” Nindi menunjukkan goodie bag tempat ia menyimpan jas Indra. “Lho, itu nggak perlu.”
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski