“Secara otomatis, jabatan saya sebagai presiden direktur akan dialihkan kepada Bianca, keponakan saya. Dan saya akan mundur.”
Deg.
Ruangan itu membeku dalam keterkejutan yang lain. Semua wajah menunjukkan ekspresi yang sama, bahkan Indrawan Bimasena. Kedua tangannya terkepal erat. Dadanya bergemuruh, dan matanya menatap tajam sosok gadis bergaun merah di meja presiden direktur.
Ini pasti lelucon. Bianca pasti sudah gila, batin Indra panik.
Ia melirik ayah gadis itu yang memasang wajah begitu dingin. mulutnya memang terkatup rapat, tapi entah apa yang sudah ia persiapkan di dalam kepalanya yang keji.
“Tapi ini tidak bisa diputuskan semudah itu!” ujar Dandy, baru saja terbebas dari keterkejutannya.
Clara tersenyum tipis. “Anda bahkan tidak punya hak suara di sini, Pak Wakil Direktur,” senyum Clara membungkam Dandy dengan raut memerah marah dan malu. Ia menatap tajam Bianca yang duduk dengan angkuh di kursi itu.
“SIALAN!” Dandy menyapu bersih seluruh benda di atas mejanya dengan sekali gerakan. Beberapa benda langsung pecah saat terbentur lantai di bawah kakinya. “SIALAN! B*NGSAT KAMU BIANCA!” makinya keras. Wajah tampannya memerah marah. Rambut yang tadi tersisir rapi kini berantakan tak beraturan. Bahkan pakaiannya sudah sangat kusut. Jas yang ia kenakan terongok di lantai, habis ia lempar dan injak-injak. Kenapa jadi seperti ini?! Kenapa harus Bianca?! Kenapa ia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya?! Kenapa Damian tetap diam?! “SIALAN KAMU BIANCA!” Dandy meninju dinding di belakangnya, membuat ruas jemarinya memerah. Tapi itu tidak mengurangi rasa marahnya sama sekali. Di luar ruangan Nindi tampak cemas. Ia bisa mendengar barang-barang yang pecah dan samar makian Dandy. Ia sendiri tidak berani masuk untuk menemui pria itu. Bisa saja kemarahannya akan tercurah kepada Nindi jika ia masuk sekarang. Di sampi
“Lembur?” Pertanyaan itu menyentak Nindi yang tengah berdiri di depan lobi kantor, menghindari gerimis yang datang bersama embusan angin malam. Pria yang sama seperti yang ditemuinya pagi ini berdiri dengan sebuah senyuman. Wajah ramahnya terlihat jauh lebih tampan. Aroma parfum langsung tercium harum saat ia mendekat. “Harusnya anak magang nggak perlu ikut lembur,” desah Indra, menatap langit yang masih menaburkan rintik gerimis, yang agaknya tidak akan berhenti dalam waktu singkat. “Ah, nggak apa-apa, Pak, justru saat seperti ini saya menjadi merasa melakukan kewajiban saya dengan maksimal.” Contohnya dengan melayani pria itu sebelum ia pulang, dan meninggalkan pria itu karena segudang pekerjaan yang masih menggunung di mejanya Indra tersenyum tipis. “Oya, Pak, ini jasnya akan saya cuci dulu. Terima kasih banyak bantuannya pagi tadi.” Nindi menunjukkan goodie bag tempat ia menyimpan jas Indra. “Lho, itu nggak perlu.”
“Mulai sekarang, sesuaikan semua pengeluaran dengan SOP yang ada. Blokir seluruh ATM atas nama kantor kecuali yang di gunakan oleh divisi masing-masing sebagai dana darurat. Semua uang keluar harus berdasarkan budgeting tahunan per divisi. Di luar itu, harus melalui Permintaan Uang Keluar yang jelas sesuai SOP keuangan perusahaan. Dan pastikan laporan uang keluar harus sesuai dengan penggunaan.” titah Bianca, sambil terus menatap layar komputer di depannya. “Ta…tapi Bu.” Yoshie, sang manager keuangan mendadak tergagap di hadapan atasan barunya. Selama ini, meski perusahaan mereka mempunya SOP dalam mengeluarkan uang perusahaan, tapi SOP itu tidak pernah berlaku untuk Damian dan Dandy. “Kenapa? Ibu takut dipecat Pak Dandy atau Pak Damian?” tebak Bianca tenang. Wajah wanita 49 tahun itu semakin memucat. “Saya sudah lihat data audit dan pencapaian Ibu selama ini. Kinerja Ibu bagus, kenapa saya harus lepas? Dan lagi pula, Ibu lupa seluruh be
Beberapa jam yang lalu.Laksmi duduk gelisah di ruang tamu rumah Dandy dan Bianca. Ia menggenggam erat ponsel di tangannya. Lima menit sekali ia menelepon Dandy yang masih di perjalanan pulang.“KAMU MASIH DI MANA SIH, DAN?”“Aku sudah di jalan, Bu,” jawab Dandy kesal. Ia mengantuk, ia lelah, dan kepalanya sudah hampir pecah karena penat. Ditambah lagi sejak pagi ibunya sudah sibuk menelepon meminta Dandy segera pulang. Andai Dandy tidak harus mengganti pakaian, mungkin ia takkan menemui ibunya sekarang.“DI JALAN MANA? DARI TADI DI JALAN MULU BILANGNYA TAPI NGGAK SAMPAI-SAMPAI!”Arghhh. Dandy memukul kemudinya kesal.“Ini sudah di gerbang!” katanya ketus lalu memutus sambungan telepon.Laksmi langsung berlari ke luar saat mendengar suara mobil putranya. Lalu menyerbu dengan gerombolan pertanyaan yang membuat Dandy semakin geram.“DA
“Apa-apaan ini? Mana mobil saya?!” teriak Dandy kesal saat tidak menemukan mobilnya di parkiran VIP gedung kantor. “SECURITY!” panggil Dandy.Tak lama, seorang pria berseragam keamanan datang menghampiri.“Ada yang bisa dibantu, Pak Dandy?” tanya petugas keamanan gedung Abraham Inc Tower dengan sopan.“MOBIL SAYA HILANG! BR*NGSEK! GIMANA SIH KALIAN KERJANYA?!”Petugas keamanan bernama Tiar itu mengerutkan kening bingung, lalu berbicara kepada seseorang melaluihandy talkydi tangannya. Sejurus kemudian ia kembali menghadap Dandy. “Maaf, Pak, tadi orang-orang dari kantor Bapak yang memindahkan mobilnya,” jelasnya, sesuai informasi yang didapatkan.“JANGAN BERCANDA KAMU! NGGAK ADA LAPORAN APA PUN KE SAYA. MANA MUNGKIN MEREKA BERANI AMBIL MOBIL SAYA TANPA LAPOR DULU?!” teriak Dandy marah. Lagi pula kunci mobil itu ada padanya. “
"Tabrakan beruntun yang melibatkan sebuah tronton dan tiga mobil terjadi di pertigaan Jl. Majapahit, Rabu malam. Akibatnya, tiga orang dilaporkan meninggal dunia dalam peristiwa naas tersebut, dan empat orang lainnya dikabarkan kritis. Kasat Lantas Polresta menjelaskan, peristiwa tersebut bermula saat truk tronton melaju dengan kecepatan cukup tinggi dan mengalami rem blong saat di lampu merah pertigaan, hingga hilang kendali dan menabrak tiga mobil yang berhenti di depannya.” “DANDY!!!!!” BUK! BUK! BUK! “DANDY BANGUN!” Dandy mengerang pelan saat mendnegar suara gebrakan ibunya di depan pintu kamar. “DANDY!!!!! BANGUN!!!” “YA!” jawab Dandy balas berteriak. Ia menyingkap selimut tebalnya, lalu berjalan tanpa alas kaki ke pintu kamar. “Apa sih, Bu, pagi-pagi begini sudah ribut?!” ujar Dandy kesal sambil menguap beberapa kali. “MANA BIANCA?” Argh. Dandy mengera
“Bianca damian peruka.”Petugas polisi itu mengernyit, membaca satu-persatu KTP korban tewas yang sudah ia kumpulkan untuk didata.“Maaf, Pak, tapi tidak ada nama korban itu di sini.”Deg. “Apa?” Indra menatap bingung.“Tidak ada korban atas nama Bianca di sini.” Polisi itu menunjukan empat KTP yang ada di tangannya kepada Indra. “Bapak yakin keluarga Bapak terlibat kecelakaan ini?” tanya polisi itu lagi.Indra sudah memastikan jika mobil yang ringsek itu adalah milik Bianca. Ia hafal betul mobil kesayangan wanita itu. Mobil berwarna merah darah dengan plat seunik kepribadiannya.“Ta… tapi ada mobil dia di sana,” ujar Indra tak mengerti.“Silakan Bapak bisa periksa jasadnya,” ujar petugas polisi itu, memberi jalan tengah saat melihat wajah Indra yang sudah sepucat mayat.Indra men
Rapat Direksi darurat diadakan dua hari kemudian untuk membahas masalah kecelakaan yang menimpa Bianca. Seluruh pemegang saham datang dengan wajah tidak nyaman, kecuali Masaid, yang seakan sudah memperkirakan kejadian seperti ini sebelumnya. “Publik memang belum tau jika saham Bianca akan diberikan ke badan amal jika sesuatu terjadi kepadanya, tapi jika sampai publik tau, jelas harga saham kita akan turun. Sejak keluar berita mengenai kecelakaan Bianca, harga saham kita sudah mulai turun,” jelas Dandy, berdiri di muka ruang rapat, menunjukan grafik di layar. “Untuk mencegah penurunan yang lebih parah, kita harus menunjuk presiden direktur yang baru dan mengumumkannya di acara ulang tahun perusahaan sesuai jadwal yang sudah ditentukan.” “Tapi Bianca masih hidup!” Jeremy menatap tajam sosok Damian. “Keadaannya terus memburuk, Pak Jeremy, dia bahkan masih belum sadarkan diri sampai sekarang,” ujar Dandy. “Kita tidak bisa men
“Apa harus sampai begitu?” tanya Sheila sebal kepada pria yang dengan santai berjalan di sampingnya.“Apa?” tanya pria itu tak acuh.Sheila bersidekap kesal, bahkan sampai saat ini sikapnya tidak pernah berubah. “Kalau begini, Anda bisa ke kamar sendiri. Saya mau tetap di sini,” ancam Sheila sungguh-sungguh, dan seketika wajah pria itu berubah tidak suka.Ia menghentikan langkahnya, menoleh sambil berkacak pinggang. Namun, Sheila sama sekali tidak berniat mundur. Ia bersidekap, wajahnya terangkat tinggi penuh ancaman.“Shei....”“Saya nggak sendiri di sini. Ada Amara dan teman-temannya, bahkan keluarga kita di hotel ini. Dan… semua pengawal Anda ada di sini.” Sheila melirik beberapa pria berpakaian hitam yang berdiri bagai patung di koridor hotel. Dan ia yakin bukan hanya di sini, tapi di setiap sudut hotel, pria itu sudah menempatkan orang-orangnya. Rasanya sekarang lebih tepat dikatakan sebagai ajang pertemuan mafia dibanding malam sebelum pernikahan kedua mempelai.Pria itu menarik
“Oh my God! Selamat, Amara!”Plop.Seseorang baru saja menembakkan confetti popper ke udara. Serpih warna warni potongan kertasnya menghujani sang calon pengantin dengan dramatis. Di dalam kamar hotel yang sudah dihias sedemikian rupa dengan taburan mawar dan balon berwarna merah muda, gema tawa gadis-gadis terdengar begitu renyah.“YEAAAYYYYYYY, FINALLY, AMARA!!!” Seorang gadis berambut pirang sebahu memasangkan sebuah tiara ke kepala gadis cantik itu. “Selamaat! Akhirnya kamu bisa meluluhkan dinding es Simmons.”“Dia bukan dinding es lagi, Cik, tapi dinding batu! Hahahaha.”“Iya, hahahaha!”Amara, yang hari itu menjadi pemeran utama, hanya mampu tersenyum bangga sambil mengangkat gelas sampanyenya.“Kalau aku jadi kamu, aku sih sudah mundur dari dulu. Males banget deh lihat muka datarnya Simmons!” komentar salah satu sahabat Amara yang lain, yang juga memiliki rambut sebahu tapi berwarna biru.“Heh, Simmons itu sadar diri, dia paham betul siapa Amara ini!” gadis lain yang menggunaka
Halo, semuanya…. Saya Zia. ^^ Terima kasih karena sudah membaca kisah ini sampai akhir. Huhuhuhuhuhuhuhu. Terharu, karena akhirnya saya bisa menamatkan cerita ini. T___T Dan kalau kalian tanya kenapa cerita ini lama sekali sampai bab tamat, karena sejujurnya… saya masih mencari celah untuk memperbaiki hubungan Sheila dan Anggara! Setiap bab di kisah mereka, saya tulis sambil berderai air mata. (Lebay banget ya, hahahhaha). Tapi memang begitulah. Saya mau menggambarkan betapa besarnya cinta mereka, tapi di saat yang sama, mereka juga putus asa, kecewa dengan apa yang terjadi, dan menemui jalan buntu. Sejujurnya, saya pribadi nggak setuju dengan akhir dari cerita ini. Tapi saat menulis kadang saya nggak bisa mengontrol karakter itu sepenuhnya. Walaupun saya sudah membuat plot dari awal, tapi kadang karakter tsb berkembang menjadi sosok yang tidak direncanakan, pun dengan pilihan yang diambil karakter tsb. (Ini mungkin kedengaran aneh, tapi mereka benar-benar hidup di dalam benak s
10 tahun kemudian. “Jadi? Akhirnya pangeran itu m*ti, Tante?” tanya seorang gadis 11 tahun. Suara deburan ombak mengalun merdu bersama hembusan angin beraroma garam. Mendung di luar sana mengubur cahaya rembulan dan bintang sepenuhnya. Kini yang terlihat hanyalah hamparan gelap dan suara ombak yang saling bersahut-sahutan. “Tante?” Salah satu gadis mungil mengguncangkan tangan wanita yang tengah melamun itu, memintanya melanjutkan akhir dari kisah yang dibacakannya. Mata indahnya mengedip lucu penuh penantian. “Ah, ya?” Akhirnya, wanita itu kembali. “Jadi gimana akhirnya? Pangeran itu benar-benar m*ti?” desak gadis yang 3 tahun lebih tua dari adiknya. Wanita itu menghela napas panjang, lalu menatap lembar buku di pangkuannya. “Ya, dan… nggak,” jawab wanita itu lembut. “Lho, gimana deh? Aku nggak ngerti!” “Aku juga!” “Sudah, sekarang kalian harus tidur.” “Ahhh! Selesain dulu ceritanya, Tante!” “Hm…” Wanita itu tersenyum tipis. Ia mengecup kening kedua keponakannya, lalu memp
Sheila?Seluruh indra Anggara tersentak sadar ketika ia mendengar suara Sheila. Rasanya seperti baru saja ditarik keluar dari dalamnya lautan. Ia tergagap mencari udara dalam kepanikan, tapi semua ketakutan itu enyah seketika saat mendengar suara yang paling dirindukannya.Dia hidup, dia baik-baik saja, batin Anggara. Kelegaan melebur di dalam jiwanya.Anggara ingin segera membuka mata, ia ingin memastikan keadaan Sheila dengan kedua matanya sendiri. Ia ingin melihat binar mata indah itu, ia ingin menggenggam jemarinya, ia ingin meneriaki seluruh ketakutannya saat ia pikir akan kehilangan gadis itu selamanya.Ia ingin meminta maaf karena sudah menyakitinya sedemikian dalam. Ia ingin mengatakan betapa ia sangat mencintai gadis itu, lebih… lebih dari pada yang pernah ia bayangkan.“Dia datang.”Namun, nada dingin di suara Sheila membekukan seluruh indranya kembali. Kebahagiaan yang sebelumnya merekah hangat, kini meredup sedikit demi sedikit.“Haruskah saya membiarkan dia masuk? Anda mu
“Bolehkah saya bertemu dengan Nona Sheila?”PLAK!Seperti sebuah opera sabun dengan kisah klise, wanita miskin itu ditampar oleh orang tua kekasihnya yang kaya raya. Dihujani makian, direndahkan bagai sampah, dicaci seperti pel*cur, bahkan tertuduh sebagai dalang kematian orang yang bahkan tidak dikenalinya secara langsung.“BUAT APA KAMU DATANG KE SINI?! APA KAMU MASIH BELUM PUAS MERUSAK KELUARGA SAYA?! DASAR PEREMPUAN SAMPAH!”Namun, meski mendapat penghiaan sekeras itu, ia tetap bergeming. Teguh pada pendiriannya yang salah di mata orang lain. Dan itu membuat Patricia semakin murka.Hatinya dipenuhi amarah. Bagaimana mungkin wanita yang menjadi akar dari seluruh masalah itu muncul begitu saja di hadapannya?!“PERGI! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE RUMAH INI! PERGI!”“Saya datang untuk menemui Nona Sheila.”PLAK!Tamparan lain melayang tanpa peringatan. “BERANI-BERANINYA KAMU SEBUT NAMA ITU DENGAN MULUT KOTORMU! PERGI! JANGAN PERNAH BERHARAP KAMU BISA TEMUI DIA! SAYA NGGAK AKAN MEMBIAR
Apakah ini surga?Ataukah neraka?Apakah ia sudah mati?Apakah akhirnya takdir sedikit berbaik hati dengan menghadirkan sosok itu di saat-saat terakhirnya?Apakah semuanya sudah selesai sekarang?Pertanyaan-pertanyaan itu menemani Sheila melayang di udara. Apakah ini sebuah mimpi? Apakah ia berhalusinasi? Jika iya, mengapa rasanya sangat nyata? Mengapa tatapan pria itu seakan menunjukkan keputus asaan yang sama dengannya? Mengapa ia ikut melompat? Mengapa ia mendekap erat seakan melindunginya?Bukankah kematiannya akan menjadi kabar yang indah untuk pria itu?BRUK!Sebuah benturan kencang menghantam tubuh Sheila. Seketika, rasa sakit memenuhi tubuhnya, seiring suara patahan tulang dan rembesan anyir darah.Sheila terhenyak, tubuhnya terhempas di atas bebaPak halaman rumah pria itu. Dengung mengisi telinganya, membuat suara lain tak terdengar satu pun. Pandangannya seakan berputar, ia bahkan tidak yakin bagian mana dari tubuhnya yang paling merasa sakit saat ini.“NONA SHEILA!”“SHEIL
“Ugh. B*ngsat!” Anggara mencengkram kepalanya yang nyeri. Mabuk selalu menyisakan jejak yang mengerikan di kepalanya. “Anda baik-baik saja, Pak? Apa kita harus ke rumah sakit sebelum pulang?” tanya Davin, yang ditelepon Anggara saat terbangun pagi ini untuk menjemputnya di rumah Arianto. Anggara menggeleng sambil terus memejamkan mata di kursi penumpang. Berharap nyeri di kepalanya segera enyah. “Berapa lama saya di rumah Ari?" tanya Anggara sambil menahan sakit. “Argh! Br*ngsek!” Anggara meminum air yang disediakan Davin di dalam mobil. “Sejak kemarin malam, Pak,” jawab Davin hati-hati. “Saya minta maaf karena sudah lancang menghubungi Pak Ari. Tapi kondisi Anda kemarin sangat…” Davin tidak mampu menemukan kata yang bisa menggambarkan keadaan atasannya kemarin. Ia sendiri sudah mempersiapkan diri kalau-kalau Anggara melampiaskan seluruh amarahnya karena keputusan lancangnya. “Terima kasih.” “Ya?” Davin ternganga tak percaya. Apakah pria itu b
Sehari sebelumnya.Sudah berapa lama waktu berlalu? Apakah sekarang tengah malam? Atau hari yang lain? Mengapa tidak ada bedanya? Mengapa tidak ada hal lain kecuali kegelapan di matanya?Di tengah ranjangnya yang luas, Anggara duduk dengan pandangan nyalang. Ia menenggak anggur di tangannya, lalu ketika tak menemukan tetes yang lain, ia melemparkan botol itu hingga pecah berantakan, lalu membuka botol lain, menenggaknya hingga tandas, lalu membantingnya lagi.Siklus yang sudah terjadi entah berapa lama.Kamar itu gelap, berantakan, dan hening. Anehnya, di setiap sudut ruangan itu, Anggara bisa melihat bayangan istrinya. Ketika ia berbaring di ranjang, ketika ia berjalan mengitari walk in closet, atau ketika ia berdiri menatap rembulan.Semakin lama, kenangan itu terasa semakin nyata. Setiap bayangannya mulai memudar, Anggara kembali menenggak minumannya, memaksa pikirannya untuk menghadirkan kembali sosok Sheila, meski