“Dexlicas, ini pertanyaan terakhir. Kenapa loh cari gue?” tanya Aras berusaha untuk tetap santai.Dexlicas terdiam, ia tidak merespon pertanyaan Aras, melainkan terus memberontak untuk membebaskan diri. Aras tidak tinggal diam, ia terus mengunci Dexlicas dengan jurusnya.“Rupanya, loh lebih milih dibakar dari pada jujur,” tawa Aras dengan sinis.Rindi melemparkan sebuah borgol yang biasa ia bawa. Ia mencurinya dari seorang polisi yang gagal menangkapnya.Dengan sigap Aras menekukkan lutut Dexlicas hingga jatuh tersungkur, dan memborgol tangan Dexlicas dibelakang punggungnya,lantas menendangnya ke tengah aspal bersatu bersama anak buahnya.“Rindi, pecahkan salah satu motor mereka. Ambilkan bensin dari sana!” perintah Aras. Rupanya ia serius dengan ucapannya.“Baik,” balas Rindi sembari berjalan menuju kumpulan motor Honda CB 100 gelatik milik
“Kamu kenal siapa orang itu?” tanya Irishena yang tampak sama dengan Binar juga.Binar hanya menggeleng, tidak tahu. Mereka pun tampak acuh dengan hal tersebut.“Dunia ini ada-ada saja,” celetuk Irishena.“Iya Mah. Andai saja Binar Youtuber, pasti video tadi udah viral,” tambah Binar dengan jalan sempoyongan, sudah kehabisan tenaga karena lapar.Mereka pun tiba di rumah dan segera membersihkan diri sebelum akhirnya mulai sarapan. “Oh ya Mah, Binar dapat uang lima ratus juta dari hadiah lomba itu,” ujar Binar, ia lupa menceritakan hal itu kepada ibunya. Sebenarnya Binar akan menyimpannya sendiri, namun ia melihat difilm-film yang ditontonnya bahwa orang tua akan senang jika anaknya membagikan berita yang baik.“Serius? Wah selamat ya Nak. Mama yakin kok kamu berhak mendapatkannya,” Irishena mengucapkan selamat atas prestasi a
Amaz mematikan micnya. Binar yang tahu itu adalah wartawan, pun memilih untuk mundur dan bergabung bersama anggota seksi sound. Ruangan itu seketika menjadi tambah riuh. Untuk saja panggung itu tidak berantakan cuman karena mereka ingin tayang di depan kamera.“Selamat siang, kami dari Peduli Media, bisa kami mewawancara anda sekarang?” ujarnya.“Maaf kita sedang sibuk,” tolak Amaz ramah.“Kami hanya butuh tiga menit waktu anda, di luar sudah banyak wartawan dari berbagai media yang ingin melaporkan tentang keadaan di sini saat ini.” Ujarnya memohon-mohon.Amaz pun menyerah, ia berpikir alangkah lebih baik ia melayani mereka dari pada harus menghadapi seribu orang diluar.“Ok. Silakan. Oh ya itu penanggung jawab utama kegiatatan ini,” ujar Amaz yang menunjuk kepada Aras.Aras tampak sama dengan reaksi Binar. Keduanya sama-sama alergi kamera dan sosial media. Apalagi jika muka
Tiar sedikit berpikir mendengar anjuran Rindi. Anjuran Rindi ada benarnya. Kalau ia yang harus mengunjungi basecamp, mungkin saja ia akan dicegat oleh Dexlicas dan anak buahnya. Tentu itu bukan ide yang bagus. Percuma saja mereka bersusah payah menyita barang penting itu jika tak mendapatkan apa-apa dari sana."Ok. Nanti gue kabari anak-anak yang lain. Loh tunggu saja di rumah. Ingat kita datang kamar itu sudah harus rapi," tegas Tiar yang tampak prihatin dengan kamar yang pernah dikunjunginya dulu, sebelum ia koma dan harus rawat di luar negeri.Rindi sedikit lega beban otaknya berkurang satu. Ia beranjak dari kursi putar itu, dan membuka pintu di arah kiri dari posisinya sekarang. Sebuah kamar mandi yang tak beda jauh dengan kamar tidur. Bedanya cuman di sini ada airnya. Kalau untuk baju dan barang yang berserakan mungkin tidak jauh berbeda. Sebelum mandi ia memungut baju itu dan menghubungi loundry langganannya. Ia mengemas semua pakaia
Sepasang kakek dan Nenek itu tampak berpikir-pikir menerima undangan dari Binar. Bisa mendampingi Binar semasa sisa hidup mereka adalah kebahagiaan hakiki yang mereka dambahkan sejak awal pernikahan. Mereka tidak dikaruniai anak, namun kehadiran Binar ke tengah hidup mereka membuat mereka merasa mendapatkan karunia terbesar Tuhan itu. Di sisi lain, mereka tak tegah meninggalkan rumah sederhana ini. Di sini separuh hidup telah mereka habiskan dan lalui bersama. Bersama hangatnya pantai, lezatnya binatang laut, kicauan burung dan juga derunya ombak. Rasanya hal itu telah melekat dalam nadi mereka. Meskipun rumah itu tidak begitu megah dan mewah seperti kebanyakan rumah orang diluar sana, tetapi mereka menganggapnya istana.“Bagaimana Kek?” tanya Irishena memastikan.Binar sangat menaruh harapan besar akan jawaban yang akan keluar dari mulut mereka.“Demi Non, Binar,” jawab Kakek mantap.Binar berhamburan, meme
Suasana nampak tegang. Kedua kubu tampak saling tidak percaya.“Bagaimana bisa kami percaya, kalau kalian tidak punya maksud lain?” tanya Ziyo yang masih terdiam di tempatnya.“Loh boleh call salah satu penghianat Raygem,” tegas Aras tenang.Ziyo menghubungi kontak Dexlicas, ponsel yang baru saja Jaya letakan tadi pun berbunyi.“Percayakan sama kita?” ujar Aras.“Its ok. Cuma itu?” balas Ziyo.“Iya,” lanjut Aras.“Apa sudah ada kemajuan?” tanya Ziyo lagi.“Gak. Dia sudah delete semua riwayat kegiatan operasi ponselnya,” jawab Aras.“Apa yang perlu kami bantu?” potong Ziyo.“Sebelumnya gue ucapkan terima kasih kalian sudah membiarkan kami berada di sini sekarang, tetapi tenang saja biar ini jadi urusan kita saja. Gue saranin tolong loh beri pelajaran bangsat satu itu,” kali ini Rindi yang angkat bicara.
Ishad dan semua penghuni Rumah Ketan menunggu Binar dan Amaz pulang. Mereka sangat tidak sabar mendengarkan kabar terbaru soal gedung itu.Beberapa detik kemudian suara motor Amaz membuat mereka segera berlari keluar rumah."Panjang umur, baru juga tadi diomongin, " ujar Ishad bersemangat."Ehh bukan baru diomongin tapi emang dari tadi," sergah Prank.Mereka semua tertawa mendengar Prank yang berani membalas Ishad."Ada apa sih ramai benar?" Ujar Binar setelah turun dari motor."Gak kok kak," ujar Prank yang takut Ishad akan marah besar karena canda nya."Sudah pada masuk gih, ada berita besar," ujar Binar kemudian."Ada apa? Gimana? Jadi gak belinya?" tanya Ishad bertubi-tubi sudah tidak sabar lagi."Santai. Semuanya saya minta diam dulu. Biar tidak salah paham," sergah Amaz yang tidak tahan mendengar riuh teriakan mereka.Beberap
“Aku desa di pantai utara sana,” jawab Binar berusaha mengendalikan bicaranya. Ia sedang minum.“Wah kayaknya dekat,” balas Amaz.“Kapan-kapan aku ajak ke sana deh,” canda Amaz. Binar menanggapinya biasa. Itu adalah kalimat hoaks yang ia temui dalam hidupnya. Tidak jauh berbeda dengan orang mengucapkan selamat ulang tahun, kadonya nyusul. Itu adalah kalimat terfiktif di dunia pertemanan.“Oh, ayahku nelayan, namun ia tidak sering melaut,” ujar Amaz kemudian.“Sama. Papaku juga. Cuman beliau sering melaut. Mengarungi lautan itu adalah hobinya. Ia mendapatkan kebahagiaan yang sempurna dengan berada di tengah air asin itu,” balas Binar yang ingin mengulas soal ayahnya.“Dia galak?” canda Amaz sekaligus menyipkan mental untuk bertemu calon mertuanya.“Papaku itu orang yang sangat pendiam. Tidak banyak ngomong, kalau bicara sama dia itu harus bicara yang pen