Sebuah pesan bergambar masuk ke ponsel Amaz. “Maaf bro, tadi kita gagal. Lagi-lagi cewek ini yang tolongi dia,” itulah kalimat keterangan pada gambar itu.
Amaz menatap geram ketika membaca pesan itu, sebelum ia melihat isi gambar itu. Mata Amaz terbelalak saat netranya menatap gambar gadis cantik difoto itu. Seseorang yang sangat tidak asing baginya. Gadis yang akhir-akhir ini mengisi hatinya. Menempati ruang hampa disela kekosongan hidup yang ia rasa. Wajah dengan penuh ketegasan itu tampak sangat serius tanpa sedikitpun mengumbarkan senyumnya. Tidak sedikit berbeda dengan tampilan asli sejauh yang Amaz kenal.
Dalam benak Amaz timbul sejuta pertanyaan yang satu pun belum ada yang terjawab. Hari ini ditambah sosok yang ia cintai menambah sebuah masalah dihidupnya. Amaz pun mengikuti Binar dengan diam-diam.“Hei,” ujar Binar akhirnya setelah hampir satu menit mereka saling tak mengenal.
Aras tak sedikitpu
Saking sibuknya mereka hampir lupa untuk mengisi kembali tenaga, apalagi kalau bukan makan. Waktu sudah menunjukkan pukul 14:00 sudah lewat dari jadwal makan siang. Binar, Amaz dan juga Aras sepakat patungan untuk membayar mereka semua makan siang. Mereka semua jumlah hampir seratus orang tertambah orang-orang yang ikut mengambil bagian dalam membawakan acara untuk dipentaskan.Amaz membagikan makanan yang telah mereka pesan. Mereka menikmati makan siang bersama-sama dengan penuh canda tawa, meskipun makanan mereka cuma sekedar nasi ikan tapi itu terasa sangat nikmat karena dinikmati bersama-sama.Setelah makan mereka lanjut dengan mendekorasi ruangan. Mereka mendekorasi cuma dengan bahan yang seadanya. Selebihnya untuk baground, tampilan layar slide dari komputerlah yang mereka gunakan. Semuanya benar-benar beres, tinggal melakukan geladi resik bagi pembawa acara. Binar dan Amaz mereka percayakan untuk menjad
“Dexlicas, ini pertanyaan terakhir. Kenapa loh cari gue?” tanya Aras berusaha untuk tetap santai.Dexlicas terdiam, ia tidak merespon pertanyaan Aras, melainkan terus memberontak untuk membebaskan diri. Aras tidak tinggal diam, ia terus mengunci Dexlicas dengan jurusnya.“Rupanya, loh lebih milih dibakar dari pada jujur,” tawa Aras dengan sinis.Rindi melemparkan sebuah borgol yang biasa ia bawa. Ia mencurinya dari seorang polisi yang gagal menangkapnya.Dengan sigap Aras menekukkan lutut Dexlicas hingga jatuh tersungkur, dan memborgol tangan Dexlicas dibelakang punggungnya,lantas menendangnya ke tengah aspal bersatu bersama anak buahnya.“Rindi, pecahkan salah satu motor mereka. Ambilkan bensin dari sana!” perintah Aras. Rupanya ia serius dengan ucapannya.“Baik,” balas Rindi sembari berjalan menuju kumpulan motor Honda CB 100 gelatik milik
“Kamu kenal siapa orang itu?” tanya Irishena yang tampak sama dengan Binar juga.Binar hanya menggeleng, tidak tahu. Mereka pun tampak acuh dengan hal tersebut.“Dunia ini ada-ada saja,” celetuk Irishena.“Iya Mah. Andai saja Binar Youtuber, pasti video tadi udah viral,” tambah Binar dengan jalan sempoyongan, sudah kehabisan tenaga karena lapar.Mereka pun tiba di rumah dan segera membersihkan diri sebelum akhirnya mulai sarapan. “Oh ya Mah, Binar dapat uang lima ratus juta dari hadiah lomba itu,” ujar Binar, ia lupa menceritakan hal itu kepada ibunya. Sebenarnya Binar akan menyimpannya sendiri, namun ia melihat difilm-film yang ditontonnya bahwa orang tua akan senang jika anaknya membagikan berita yang baik.“Serius? Wah selamat ya Nak. Mama yakin kok kamu berhak mendapatkannya,” Irishena mengucapkan selamat atas prestasi a
Amaz mematikan micnya. Binar yang tahu itu adalah wartawan, pun memilih untuk mundur dan bergabung bersama anggota seksi sound. Ruangan itu seketika menjadi tambah riuh. Untuk saja panggung itu tidak berantakan cuman karena mereka ingin tayang di depan kamera.“Selamat siang, kami dari Peduli Media, bisa kami mewawancara anda sekarang?” ujarnya.“Maaf kita sedang sibuk,” tolak Amaz ramah.“Kami hanya butuh tiga menit waktu anda, di luar sudah banyak wartawan dari berbagai media yang ingin melaporkan tentang keadaan di sini saat ini.” Ujarnya memohon-mohon.Amaz pun menyerah, ia berpikir alangkah lebih baik ia melayani mereka dari pada harus menghadapi seribu orang diluar.“Ok. Silakan. Oh ya itu penanggung jawab utama kegiatatan ini,” ujar Amaz yang menunjuk kepada Aras.Aras tampak sama dengan reaksi Binar. Keduanya sama-sama alergi kamera dan sosial media. Apalagi jika muka
Tiar sedikit berpikir mendengar anjuran Rindi. Anjuran Rindi ada benarnya. Kalau ia yang harus mengunjungi basecamp, mungkin saja ia akan dicegat oleh Dexlicas dan anak buahnya. Tentu itu bukan ide yang bagus. Percuma saja mereka bersusah payah menyita barang penting itu jika tak mendapatkan apa-apa dari sana."Ok. Nanti gue kabari anak-anak yang lain. Loh tunggu saja di rumah. Ingat kita datang kamar itu sudah harus rapi," tegas Tiar yang tampak prihatin dengan kamar yang pernah dikunjunginya dulu, sebelum ia koma dan harus rawat di luar negeri.Rindi sedikit lega beban otaknya berkurang satu. Ia beranjak dari kursi putar itu, dan membuka pintu di arah kiri dari posisinya sekarang. Sebuah kamar mandi yang tak beda jauh dengan kamar tidur. Bedanya cuman di sini ada airnya. Kalau untuk baju dan barang yang berserakan mungkin tidak jauh berbeda. Sebelum mandi ia memungut baju itu dan menghubungi loundry langganannya. Ia mengemas semua pakaia
Sepasang kakek dan Nenek itu tampak berpikir-pikir menerima undangan dari Binar. Bisa mendampingi Binar semasa sisa hidup mereka adalah kebahagiaan hakiki yang mereka dambahkan sejak awal pernikahan. Mereka tidak dikaruniai anak, namun kehadiran Binar ke tengah hidup mereka membuat mereka merasa mendapatkan karunia terbesar Tuhan itu. Di sisi lain, mereka tak tegah meninggalkan rumah sederhana ini. Di sini separuh hidup telah mereka habiskan dan lalui bersama. Bersama hangatnya pantai, lezatnya binatang laut, kicauan burung dan juga derunya ombak. Rasanya hal itu telah melekat dalam nadi mereka. Meskipun rumah itu tidak begitu megah dan mewah seperti kebanyakan rumah orang diluar sana, tetapi mereka menganggapnya istana.“Bagaimana Kek?” tanya Irishena memastikan.Binar sangat menaruh harapan besar akan jawaban yang akan keluar dari mulut mereka.“Demi Non, Binar,” jawab Kakek mantap.Binar berhamburan, meme
Suasana nampak tegang. Kedua kubu tampak saling tidak percaya.“Bagaimana bisa kami percaya, kalau kalian tidak punya maksud lain?” tanya Ziyo yang masih terdiam di tempatnya.“Loh boleh call salah satu penghianat Raygem,” tegas Aras tenang.Ziyo menghubungi kontak Dexlicas, ponsel yang baru saja Jaya letakan tadi pun berbunyi.“Percayakan sama kita?” ujar Aras.“Its ok. Cuma itu?” balas Ziyo.“Iya,” lanjut Aras.“Apa sudah ada kemajuan?” tanya Ziyo lagi.“Gak. Dia sudah delete semua riwayat kegiatan operasi ponselnya,” jawab Aras.“Apa yang perlu kami bantu?” potong Ziyo.“Sebelumnya gue ucapkan terima kasih kalian sudah membiarkan kami berada di sini sekarang, tetapi tenang saja biar ini jadi urusan kita saja. Gue saranin tolong loh beri pelajaran bangsat satu itu,” kali ini Rindi yang angkat bicara.
Ishad dan semua penghuni Rumah Ketan menunggu Binar dan Amaz pulang. Mereka sangat tidak sabar mendengarkan kabar terbaru soal gedung itu.Beberapa detik kemudian suara motor Amaz membuat mereka segera berlari keluar rumah."Panjang umur, baru juga tadi diomongin, " ujar Ishad bersemangat."Ehh bukan baru diomongin tapi emang dari tadi," sergah Prank.Mereka semua tertawa mendengar Prank yang berani membalas Ishad."Ada apa sih ramai benar?" Ujar Binar setelah turun dari motor."Gak kok kak," ujar Prank yang takut Ishad akan marah besar karena canda nya."Sudah pada masuk gih, ada berita besar," ujar Binar kemudian."Ada apa? Gimana? Jadi gak belinya?" tanya Ishad bertubi-tubi sudah tidak sabar lagi."Santai. Semuanya saya minta diam dulu. Biar tidak salah paham," sergah Amaz yang tidak tahan mendengar riuh teriakan mereka.Beberap
Azerus sedikit lebih pulih setelah ditangani. Dokter yang menanganinya tampak sedikit ragu untuk mendiagnosis Azerus, pasalnya tidak ada bagian tubuh yang mengalami masalah. Dokter itu berterus terang bahwa, mungkin Azerus sedang mengalami tekanan batin. Itu berdampak pada konsentrasinya. Dokter menyarankan agar Azerus perlu terbuka pada seseorang yang paling dipercayainya yang dianggap bisa membantu dia menyelesaikan persoalannya. Amaz sangat khawatir dengan keadaan ayahnya, padahal saat ia datang tadi beliau baik-baik saja, dan setelah ketemu Aras, ayahnya menjadi tidak terkendali. Konsentrasi Amaz menjadi kacau, urusannya dengan Binar belum selesai, sekarang kesehatan ayahnya menambah beban di pikirannya. Amaz tidak henti bertanya perihal masalah kesehatan ayahnya."Mungkin benar apa kata dokter tadi, ayah cuman kecapean atau nggak karena banyak pikiran. Tapi kenapa bisa ya? Ayah pikir apa? Bukankah selama ini
Aras menghentikan laju motornya, sementara Binar masih melaju. Sesaat kemudian Binar menyadari jika Aras tidak ada di belakangnya. “Oi, thanks ya,” ujar Binar sedikit menoleh dengan wajah datar. Kemudian melambaikan tangan dan kembali melaju. Pagar gerbang rumahnya terbuka secara otomatis ketika ia menekan sebuah remot. Amaz mengurungkan niatnya untuk menahan Binar. Panggilannya tidak mendapat respon apa-apa dari Binar. Dalam hati Amaz menduga jika Binar sudah tahu soal penyerangan itu. Amaz tak bergeming dari tempatnya bahkan saat jelas-jelas ia tahu kalau kekasihnya baru saja berjalan dengan lelaki lain. Aras memutar balik kendaraannya, dan melesat, meninggalkan tempat itu.Binar masuk ke dalam rumahnya, ia langsung ke kamarnya, mengabaikan sapaan hangat dari Bi Imba dan juga sang kakek. Mereka bertiga tampak panik dan bingung, “Tadi waktu pergi mukanya ceria, sekarang kok malah gitu,” ujar sang Nenek sekaligus mewakili pertan
Dexlicas tidak menggubris pertanyaan Rindi, ia berhasil meloloskan diri ditengah kebingungan ketiga orang itu.“Sialan!” umpat Aras kecewa.“Tunggu, tadi dia bilang, gak ada yang bisa masukin dia ke penjara?” Binar sekali lagi memastikan bahwa yang ia dengar itu tidak salah.Aras dan Rindi mengangguk, mengiyakan apa yang ucakan Binar.“Tunggu, itu terjadi jika ada yang menyogok atau gak mereka punya hubungan keluarga,” gumam Rindi menebak.Mereka bertiga terdiam, “Ah apa mungkin jika mereka bersaudara? Saya ingat waktu itu Afra bilang, itu saudaraku.” ucap Aras setelah berhasil mengingat.“Aku gak tahu kalau soal itu. Cuman dulu Afra pernah bilang kalau ia punya saudara tiri, apa mungkin Dexlicas, yang ia maksud?” tambah Binar.“Kita harus cari tahu ini, dan juga perihal Amaz yang mencurigakan itu. Aku yakin ia terlibat,” gumam Rindi.“A
Satu jam sebelumnya…. POV: ARAS……Aku seakan asing lagi saat berada diantara sepasang kekasih itu. Aku pun memutuskan untuk pergi dari pada harus menjadi obat nyamuk untuk pasangan itu. Baru saja aku dalam perjalanan, tiba-tiba Rindi mengirimiku pesan, kalau ia mendapat petunjuk dari pesan Dexlicas yang diduplikatnya. Tak sabar aku pun langsung tancap gas, menuju lokasi yang dikirim oleh Rindi. Setelah beberapa menit kemudian, aku melihat Dexlicas dalam perjalanan, ia tidak jauh dari sebuah rumah makan yang sekilas aku melihat ada Amaz di sana. Entahlah kenapa tiba-tiba ia ada di sana, bukannya tadi ia sedang bersama Binar? Tapi terserah, tujuanku sekarang adalah Dexlicas.Dexlicas menuju tempat yang sampai kapanpun tidak bisa aku lupakan. Ini adalah tempat yang aku tinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Rasanya aku ingin pulang saja karena ku pikir Dexlicas aka
Kedai hari ini menghadirkan sesuatu yang berbeda bagi Binar. Biasanya, ia akan lebih tenang jika berada di sini, namun yang terjadi sekarang, ia merasa seakan ada sebuah tekanan yang mengalir dalam pikirannya.Amaz duduk termangu di hadapannya. Mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Binar menatap kosong nasi ikan di hadapannya, begitu pula Amaz. Tidak ada lagi kalimat yang dilontarkan semenjak kepergian Aras tadi. Sesungguhnya Amaz, masih memikirkan masalahnya. Sesuatu yang cemerlang pun tiba-tiba muncul dalam pikirannya.Ia pun dengan gesit, mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan kepada Dexlicas atau yang sering dipanggil dengan nama Gefol olehnya. Menurut Amaz, Gefol lebih singkat dari pada Dexlicas. Binar sedikit menaruh rasa curiga terhadap sikap Amaz sekarang. Ia sangat tahu Amaz, jika Amaz selalu diam, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya."Kenapa?" tanya Binar akhirnya. Ia melihat sesuatu yan
Sosok yang berjalan dengan langkah gontai itu, tersungkur ke dalam dekapan Aras. Aras tampak terkejut. Ziyo melihat mereka terlibat percakapan yang tidak lama. Hasil rekaman itu tidak menghasilkan suara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Ziyo memutuskan untuk selebihnya percaya kepada Aras. Ziyo cukup puas dengan penyelidikannya sekarang, meskipun belum semuanya terbongkar, setidaknya satu dari sekian banyak langkah sudah bisa ditapaki. Ziyo meminta izin untuk menyalin hasil rekaman itu.“Kasus sebesar ini, baru diselidiki sekarang?” gumam salah seorang petugas di sana.“Emangnya dulu belum ada yang mengusut hal ini?” Ziyo malah balik tanya, dulu ia sangat terpukul akibat kepergian Afra, sehingga tidak sempat untuk menyelidiki semuanya. Ia mengira pihak keluarga yang mengurusnya, namun pernyataan tadi cukup menjanggal pikirannya. Berbagai argumen mulai timbul dalam pikirannya. Tentang mengapa keluarga membiarkannya begitu saja, dan terle
Mereka kembali ke pantai setelah menyaksikan matahari benar-benar tenggelam. Aras telah mengambil banyak gambar dengan menggunakan kamera milik Binar. Mereka tampak sangat menikmati petualangan tadi, begitu pula dengan Trea, rupanya ya mulai bersahabat dengan laut meskipun selalu muntah."Wah, Nar, enak benar jadi kamu." seru Jaya kegirangan. Binar hanya tersenyum kecil membalasnya. Baginya itu hal yang biasa, namun aliran mereka kali ini membuat kebiasaannya itu agak sedikit tidak biasa melainkan luar biasa. Dia biasanya mengarungi lautan dengan beberapa nelayan yang sudah tua.Aras menghantarkan Binar pulang ke rumahnya dan langsung pamit pulang setelah memastikan Binar masuk dengan selamat. Binar segera menghampiri orang tuanya di kamar mereka, dia tidak memberi kabar selama seharian ini."Eh kamu sudah pulang Nak," Azerus berbasa basi."Iya. Oh iya, gimana maksud Mama yang bilang kondisi Papa naik turun gitu?" serga
Aras menarik nafas panjang sebelum menyampaikan berita super penting itu kepada rekannya,”Ini tentang Afra,” desisnya hampir tak terdengar. “Afra?” Rindi mengulangi ujaran Aras.“Ternyata Ziyo adalah sahabatnya dan Binar adalah mantan kekasihnya,” ujar Aras kembali serius dan dengan berat menyebut nama Binar sebagai mantan kekasih Afra. Rindi tampak tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Fakta barusan seakan membungkam mulutnya dan menarik semua kata-kata dari pikirannya sehingga ia kehabisan kata-kata.“Itulah bro. Aku juga tidak ngerti. Semua seperti sangat berhubungan. Saling terkait,” tutur Aras kemudian.“Berarti penyerangan selama ini, bisa dipastikan karena Afra alasan utamanya. Mungkin saja orang terdekat Afra yang tidak terima hingga mau balas dendam,” Rindi menambahkan.“Boleh juga sih. Kata Ziyo, Afra orang yang cukup berpengaruh. Dia pintar, keren dan kaya. Populer sema
Binar membiarkan kamera besarnya terkalung pada lehernya, sementara tangannya yang sedikit berlumur pasir dengan gesit menggeser layar ponselnya. Ia memperbesar ukuran gambar yang dikirim Amaz lantas tersenyum haru melihatnya. Anak-anak rumah ketan terlihat sangat bahagia melayani pembeli yang ramai, itulah foto yang dikirim Amaz.“Kamu lagi di sana?” dengan cepat Binar menyentuh papan keyboar dan mengirimnya segera. Beberapa detik kemudian sebuah panggilan video call dari Amaz masuk ke ponselnya. Binar segera menggeser ikon berwarna hijau untuk menjawabnya. Panggilan pun terhubung.“Hei,” sapa Amaz yang masih terlihat berada di Rumah Ketan. Binar hanya tersenyum membalasnya. “Nah gini dong, mentang-mentang di kampung halaman, senyumnya diumbar-umbar,” sambung Amaz.“Apaan sih? Biasa aja” celetuk Binar malu.“Idih, gitu aja baper,” gumam Amaz.“Yah sudah, ngapain telpon?” rup