“Aku desa di pantai utara sana,” jawab Binar berusaha mengendalikan bicaranya. Ia sedang minum.
“Wah kayaknya dekat,” balas Amaz.
“Kapan-kapan aku ajak ke sana deh,” canda Amaz. Binar menanggapinya biasa. Itu adalah kalimat hoaks yang ia temui dalam hidupnya. Tidak jauh berbeda dengan orang mengucapkan selamat ulang tahun, kadonya nyusul. Itu adalah kalimat terfiktif di dunia pertemanan.
“Oh, ayahku nelayan, namun ia tidak sering melaut,” ujar Amaz kemudian.
“Sama. Papaku juga. Cuman beliau sering melaut. Mengarungi lautan itu adalah hobinya. Ia mendapatkan kebahagiaan yang sempurna dengan berada di tengah air asin itu,” balas Binar yang ingin mengulas soal ayahnya.
“Dia galak?” canda Amaz sekaligus menyipkan mental untuk bertemu calon mertuanya.“Papaku itu orang yang sangat pendiam. Tidak banyak ngomong, kalau bicara sama dia itu harus bicara yang pen
Ziyo dan Amaz sudah bersahabat sejak memasuki kelas satu sekolah menengah pertama. Mereka satu klub tim bola kaki. Makanya mereka menjadi dekat. Dan ketika masuk sekolah menengah pertama mereka satu sekolah. Hubungan keduanya sudah seperti saudara kembar. Jika sebelun berangakt sekolah Amaz sarapan di rumah Ziyo berarti pulangnya Ziyo yang makan siang di rumah Amaz. Begitu terus setiap hari. Mereka juga punya seorang sahabat lagi. Namun usianya dua tahun diatas mereka. Mereka sangat akrab meski beda usia dan juga beda sekolah. Dia adalah Afra Konath, kapten tim bola kaki mereka. Afra menjadi panutan bagi Amaz dan Ziyo kecil. Afra seorang yang sangat perfeksionis. Ia selau menjadi juara kelas di sekolahnya. Selain itu juga ia seorang kapten tim bola kaki remaja SMP yang terkenal pada masa itu. Afra juga seorang idola di sekolahnya. Namun ia tidak memperkenalkan pacarnya kepada dua orang sahab
Ok, Tan. Kita ketemuan dimana?, balas Binar.Sebuah alamat tertera di ponsel Binar. Venya yang menentukkan tempatnya.“Maaf ya, Binar gak bisa ikut lama-lama. Soalnya ada meeteng dadakan,” ujar Binar kecewa.“Oh gak apa,” balas Kakek santai.Mereka terdiam tanpa banyak tanya lagi. Sebenarnya ada yang ingin mereka tanyakan. Apa itu meeting? Namun tidak mereka tanyakan. Mereka mengira meeteng itu adalah kuliah, karena sekarang memang Binar lagi kuliah. Mereka tak sempat memikirkan hal lain.Binar menghabiskan waktu satu jamnya untuk membantu Kakek mengurus kebun. Setelah itu ia bersiap-siap untuk menemui Venya yang telah mengajaknya ketemuan.Binar pergi dengan motornya. Belakangan ini ia lebih sering menghabiskan perjalanannya dengan motor. Nyanan aja.Venya keluar dengan mobil kuningnya. Ia melaju dengan kecepatan sedang. Dalam perjalan ia merasa a
Rindi pergi ke rumah sakit dengan mengendarai motor milik Aras. Setelah memarkirkan motornya dia mendatangi petugas bagian resepsionis. Ia terlibat beberapa percakapan kecil yang alhasil ia pun memperoleh alamat kamar Aras dirawat. Ia melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Rindi masuk ke dalam ruangan tempat Aras dirawat tanpa mengetuk pintu. Dia mendapati Aras yang sedang terbaring di atas tempat tidur pasien sedangkan Venya tidur di sofa. Rindi keluar dan mencari tandu yang tidak terpakai. Ia mendapatkannya dari seorang petugas di sana. Katanya, roda tandu itu sudah tidak berfungsi lagi, makanya tidak digunakan lagi.Rindi membawanya masuk ke dalam ruangan tempat Aras dirawat.Dengan pelan ia membangunkan Venya, agar Aras tidak terganggu."Tante ini saya, Rindi. Tante tidur di atas saja, biar Rindi saja yang di sini," tawar Rindi berbisik."Kamu dapat
"Apa kita berteriak saja? Siapa tahu mungkin nanti ada orang yang lewat," usul seorang anak buahnya. "Gak bakal ada yang mendengar," bantah Dexlicas. "Apa salahnya kita mencoba. Kita kan sepuluh orang, kalau suara kita digabungkan pasti ada yang mendengar," tambahnya lagi. Mereka pun menuruti sarannya. "Tolongggg....... tolong.... tolong...." Teriak mereka ramai-ramai. Masih belum ada yang menyahut. Beberapa orang yang lewat mendengarkan suara mereka, namun enggan untuk mencari sumber suara itu. "Tolong....." teriak mereka sekali lagi. Beberapa orang warga berinisiatif untuk mencari tahu sumber suara itu. Mereka terus berteriak dan warga itu pun bisa mengetahui dari mana sumber suara itu.Mereka tiba di depan sebuah gedung yang mana gedung itu adalah markas baru Dexlicas.Beberapa orang warga itu akhirnya pulang setelah membaca sebuah tulisan yang ditempel di plang gerbang gedung itu.
“Kejadian apa?” Ziyo semakin tidak sabar menunggu Aras mengungkapkan kembali soal kejadian itu dari sudut pandangnya.“Mau pesan apa, Kak?” ujar seorang anak kecil yang bertugas melayani di warteg ini.“Pisang goreng dengan kopi aja, dua.” Balas Ziyo yang tidak ingin berlama-lama dengan bocah dua belas tahun itu.“Gimana tadi?” tutur Ziyo.“Jadi waktu itu sekitar dua tahun yang lalu saat malam ketika gue baru pulang dari markas Raygem, saat itu loh belum bergabung dengan mereka, gue didatangi pria sebaya dengan gue,” Aras terjeda.“Loh ngapain di markas Raygem?” tanya Ziyo.“Gue waktu itu mau peringatin Dexlicas. Dia dan anak buahnya palak uang dari pedagang kecil di komplek perkantoran. Saat gue samperin dia, anak buahnya bilang jika ia sedang keluar. Ada urusan katanya. Dan malam itu, andai saja gue tidak tolongin tuh orang pas
"Hei Nak. Ada yang lupa?" Azerus sengaja mengelak."Iya, Pah. Handphone Binar ketinggalan," Binar sengaja mengikuti permainan ayahnya, agar Azerus tidak mencurigai jika Binar sedang menyelidikinya."Dimana ya ponselnya" gumam Binar."Oh itu dia," gumamnya lagi setelah mendapati ponselnya di atas meja."Oh ya Pah, tadi telepon sama siapa?" Binar sengaja tidak melihat ayahnya, ia berlagak hanya fokus pada Handphone di genggamannya."Gak sama siapa-siapa. Teman lama Papa," elak Azerus."Oh kirain siapa, tapi kok tadi kayak Binar dengar Papa sebut diri Papa, Ayah." bantah Binar sengaja. Ia masih memfokuskan pandangannya dengan ponselnya.Azerus terdiam, ucapan Binar tadi membuatnya kehabisan kata-kata."Hei Pah," ujar Binar yang membuyarkan Azerus."Serius amat," tambah Binar. Sengaja ia memberikan senyuman terbaiknya agar Azerus tidak down lagi.
“Guys, kita sudah sepakat untuk ke pantai saja,” ujar Aras memulai pembicaraan, sementara semua anggota dari kedua kubu segera mengalihkan fokus mereka dari ponsel karena sedari tadi mereka sedang memainkan game yang cukup populer. Mereka main berregu. Mabar, mereka biasa menyebutnya demikian.“Besok jam berapa berangkat?” potong Jaya bersemangat.“Sory bro, gue ada usul. Gimana kalau kita bahas dulu mengenai perlengkapannya,” Ziyo angkat bicara.“Boleh juga itu,” Rindi turut menambahkan.“Kalau untuk masalah tenda, kita gak perlu khawatir. Kazuo punya tiga buah, apa kurang?” tutur Aras yang menyepakati ide Ziyo dan Rindi.“Oh bagus itu. Raygem punya satu tenda jenis ridge, yang kayak camping anak pramuka,” tambah Chal yang sudah tidak mau ikut Dexlicas lagi.“Bagus itu, tapi saya rasa kita butuh satu lagi,” tambah Aras. Jumlah mereka hampir mencapai lima pul
Irishena keluar dari mobil. Binar sedikit mengucek matanya yang belum bisa melihat dengan sempurna."Mama..." teriaknya kemudian."Good morning sayang, jangan kencang-kencang ngomongnya, yang lain masih tidur." ujar Irishena sedikit berbisik."Papa di mana?" tanya Irishena setelah Binar membukakan pintu untuknya."Masih tidur, Mah" jawab Binar tidak jelas karena sementara menguap kecil."Pasti kamu gak tidur karena jagain Papa, ya?" tanya Irishena kemudian setelah melihat kantong mata Binar yang membengkak."Ah tidak begitu juga," elak Binar.Ia membantu Irishena membawakan barang-barangnya. "Mah, Binar siapkan sarapan dulu," ujar Binar yang segera balik kanan setelah menghantarkan ibunya sampai di depan pintu kamar Azerus."Mama temanin," tawar Irishena."Jangan. Mama pasti capek. Biar aku saja," tolak Binar."Ga
Azerus sedikit lebih pulih setelah ditangani. Dokter yang menanganinya tampak sedikit ragu untuk mendiagnosis Azerus, pasalnya tidak ada bagian tubuh yang mengalami masalah. Dokter itu berterus terang bahwa, mungkin Azerus sedang mengalami tekanan batin. Itu berdampak pada konsentrasinya. Dokter menyarankan agar Azerus perlu terbuka pada seseorang yang paling dipercayainya yang dianggap bisa membantu dia menyelesaikan persoalannya. Amaz sangat khawatir dengan keadaan ayahnya, padahal saat ia datang tadi beliau baik-baik saja, dan setelah ketemu Aras, ayahnya menjadi tidak terkendali. Konsentrasi Amaz menjadi kacau, urusannya dengan Binar belum selesai, sekarang kesehatan ayahnya menambah beban di pikirannya. Amaz tidak henti bertanya perihal masalah kesehatan ayahnya."Mungkin benar apa kata dokter tadi, ayah cuman kecapean atau nggak karena banyak pikiran. Tapi kenapa bisa ya? Ayah pikir apa? Bukankah selama ini
Aras menghentikan laju motornya, sementara Binar masih melaju. Sesaat kemudian Binar menyadari jika Aras tidak ada di belakangnya. “Oi, thanks ya,” ujar Binar sedikit menoleh dengan wajah datar. Kemudian melambaikan tangan dan kembali melaju. Pagar gerbang rumahnya terbuka secara otomatis ketika ia menekan sebuah remot. Amaz mengurungkan niatnya untuk menahan Binar. Panggilannya tidak mendapat respon apa-apa dari Binar. Dalam hati Amaz menduga jika Binar sudah tahu soal penyerangan itu. Amaz tak bergeming dari tempatnya bahkan saat jelas-jelas ia tahu kalau kekasihnya baru saja berjalan dengan lelaki lain. Aras memutar balik kendaraannya, dan melesat, meninggalkan tempat itu.Binar masuk ke dalam rumahnya, ia langsung ke kamarnya, mengabaikan sapaan hangat dari Bi Imba dan juga sang kakek. Mereka bertiga tampak panik dan bingung, “Tadi waktu pergi mukanya ceria, sekarang kok malah gitu,” ujar sang Nenek sekaligus mewakili pertan
Dexlicas tidak menggubris pertanyaan Rindi, ia berhasil meloloskan diri ditengah kebingungan ketiga orang itu.“Sialan!” umpat Aras kecewa.“Tunggu, tadi dia bilang, gak ada yang bisa masukin dia ke penjara?” Binar sekali lagi memastikan bahwa yang ia dengar itu tidak salah.Aras dan Rindi mengangguk, mengiyakan apa yang ucakan Binar.“Tunggu, itu terjadi jika ada yang menyogok atau gak mereka punya hubungan keluarga,” gumam Rindi menebak.Mereka bertiga terdiam, “Ah apa mungkin jika mereka bersaudara? Saya ingat waktu itu Afra bilang, itu saudaraku.” ucap Aras setelah berhasil mengingat.“Aku gak tahu kalau soal itu. Cuman dulu Afra pernah bilang kalau ia punya saudara tiri, apa mungkin Dexlicas, yang ia maksud?” tambah Binar.“Kita harus cari tahu ini, dan juga perihal Amaz yang mencurigakan itu. Aku yakin ia terlibat,” gumam Rindi.“A
Satu jam sebelumnya…. POV: ARAS……Aku seakan asing lagi saat berada diantara sepasang kekasih itu. Aku pun memutuskan untuk pergi dari pada harus menjadi obat nyamuk untuk pasangan itu. Baru saja aku dalam perjalanan, tiba-tiba Rindi mengirimiku pesan, kalau ia mendapat petunjuk dari pesan Dexlicas yang diduplikatnya. Tak sabar aku pun langsung tancap gas, menuju lokasi yang dikirim oleh Rindi. Setelah beberapa menit kemudian, aku melihat Dexlicas dalam perjalanan, ia tidak jauh dari sebuah rumah makan yang sekilas aku melihat ada Amaz di sana. Entahlah kenapa tiba-tiba ia ada di sana, bukannya tadi ia sedang bersama Binar? Tapi terserah, tujuanku sekarang adalah Dexlicas.Dexlicas menuju tempat yang sampai kapanpun tidak bisa aku lupakan. Ini adalah tempat yang aku tinggalkan sejak dua tahun yang lalu. Rasanya aku ingin pulang saja karena ku pikir Dexlicas aka
Kedai hari ini menghadirkan sesuatu yang berbeda bagi Binar. Biasanya, ia akan lebih tenang jika berada di sini, namun yang terjadi sekarang, ia merasa seakan ada sebuah tekanan yang mengalir dalam pikirannya.Amaz duduk termangu di hadapannya. Mereka tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Binar menatap kosong nasi ikan di hadapannya, begitu pula Amaz. Tidak ada lagi kalimat yang dilontarkan semenjak kepergian Aras tadi. Sesungguhnya Amaz, masih memikirkan masalahnya. Sesuatu yang cemerlang pun tiba-tiba muncul dalam pikirannya.Ia pun dengan gesit, mengambil ponsel dan mengirimkan sebuah pesan kepada Dexlicas atau yang sering dipanggil dengan nama Gefol olehnya. Menurut Amaz, Gefol lebih singkat dari pada Dexlicas. Binar sedikit menaruh rasa curiga terhadap sikap Amaz sekarang. Ia sangat tahu Amaz, jika Amaz selalu diam, itu artinya ada sesuatu yang mengusiknya."Kenapa?" tanya Binar akhirnya. Ia melihat sesuatu yan
Sosok yang berjalan dengan langkah gontai itu, tersungkur ke dalam dekapan Aras. Aras tampak terkejut. Ziyo melihat mereka terlibat percakapan yang tidak lama. Hasil rekaman itu tidak menghasilkan suara. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Ziyo memutuskan untuk selebihnya percaya kepada Aras. Ziyo cukup puas dengan penyelidikannya sekarang, meskipun belum semuanya terbongkar, setidaknya satu dari sekian banyak langkah sudah bisa ditapaki. Ziyo meminta izin untuk menyalin hasil rekaman itu.“Kasus sebesar ini, baru diselidiki sekarang?” gumam salah seorang petugas di sana.“Emangnya dulu belum ada yang mengusut hal ini?” Ziyo malah balik tanya, dulu ia sangat terpukul akibat kepergian Afra, sehingga tidak sempat untuk menyelidiki semuanya. Ia mengira pihak keluarga yang mengurusnya, namun pernyataan tadi cukup menjanggal pikirannya. Berbagai argumen mulai timbul dalam pikirannya. Tentang mengapa keluarga membiarkannya begitu saja, dan terle
Mereka kembali ke pantai setelah menyaksikan matahari benar-benar tenggelam. Aras telah mengambil banyak gambar dengan menggunakan kamera milik Binar. Mereka tampak sangat menikmati petualangan tadi, begitu pula dengan Trea, rupanya ya mulai bersahabat dengan laut meskipun selalu muntah."Wah, Nar, enak benar jadi kamu." seru Jaya kegirangan. Binar hanya tersenyum kecil membalasnya. Baginya itu hal yang biasa, namun aliran mereka kali ini membuat kebiasaannya itu agak sedikit tidak biasa melainkan luar biasa. Dia biasanya mengarungi lautan dengan beberapa nelayan yang sudah tua.Aras menghantarkan Binar pulang ke rumahnya dan langsung pamit pulang setelah memastikan Binar masuk dengan selamat. Binar segera menghampiri orang tuanya di kamar mereka, dia tidak memberi kabar selama seharian ini."Eh kamu sudah pulang Nak," Azerus berbasa basi."Iya. Oh iya, gimana maksud Mama yang bilang kondisi Papa naik turun gitu?" serga
Aras menarik nafas panjang sebelum menyampaikan berita super penting itu kepada rekannya,”Ini tentang Afra,” desisnya hampir tak terdengar. “Afra?” Rindi mengulangi ujaran Aras.“Ternyata Ziyo adalah sahabatnya dan Binar adalah mantan kekasihnya,” ujar Aras kembali serius dan dengan berat menyebut nama Binar sebagai mantan kekasih Afra. Rindi tampak tidak percaya dengan ucapan sahabatnya itu. Fakta barusan seakan membungkam mulutnya dan menarik semua kata-kata dari pikirannya sehingga ia kehabisan kata-kata.“Itulah bro. Aku juga tidak ngerti. Semua seperti sangat berhubungan. Saling terkait,” tutur Aras kemudian.“Berarti penyerangan selama ini, bisa dipastikan karena Afra alasan utamanya. Mungkin saja orang terdekat Afra yang tidak terima hingga mau balas dendam,” Rindi menambahkan.“Boleh juga sih. Kata Ziyo, Afra orang yang cukup berpengaruh. Dia pintar, keren dan kaya. Populer sema
Binar membiarkan kamera besarnya terkalung pada lehernya, sementara tangannya yang sedikit berlumur pasir dengan gesit menggeser layar ponselnya. Ia memperbesar ukuran gambar yang dikirim Amaz lantas tersenyum haru melihatnya. Anak-anak rumah ketan terlihat sangat bahagia melayani pembeli yang ramai, itulah foto yang dikirim Amaz.“Kamu lagi di sana?” dengan cepat Binar menyentuh papan keyboar dan mengirimnya segera. Beberapa detik kemudian sebuah panggilan video call dari Amaz masuk ke ponselnya. Binar segera menggeser ikon berwarna hijau untuk menjawabnya. Panggilan pun terhubung.“Hei,” sapa Amaz yang masih terlihat berada di Rumah Ketan. Binar hanya tersenyum membalasnya. “Nah gini dong, mentang-mentang di kampung halaman, senyumnya diumbar-umbar,” sambung Amaz.“Apaan sih? Biasa aja” celetuk Binar malu.“Idih, gitu aja baper,” gumam Amaz.“Yah sudah, ngapain telpon?” rup