Rindi pergi ke rumah sakit dengan mengendarai motor milik Aras. Setelah memarkirkan motornya dia mendatangi petugas bagian resepsionis. Ia terlibat beberapa percakapan kecil yang alhasil ia pun memperoleh alamat kamar Aras dirawat. Ia melirik jam tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Rindi masuk ke dalam ruangan tempat Aras dirawat tanpa mengetuk pintu. Dia mendapati Aras yang sedang terbaring di atas tempat tidur pasien sedangkan Venya tidur di sofa. Rindi keluar dan mencari tandu yang tidak terpakai. Ia mendapatkannya dari seorang petugas di sana. Katanya, roda tandu itu sudah tidak berfungsi lagi, makanya tidak digunakan lagi.
Rindi membawanya masuk ke dalam ruangan tempat Aras dirawat.Dengan pelan ia membangunkan Venya, agar Aras tidak terganggu."Tante ini saya, Rindi. Tante tidur di atas saja, biar Rindi saja yang di sini," tawar Rindi berbisik."Kamu dapat
"Apa kita berteriak saja? Siapa tahu mungkin nanti ada orang yang lewat," usul seorang anak buahnya. "Gak bakal ada yang mendengar," bantah Dexlicas. "Apa salahnya kita mencoba. Kita kan sepuluh orang, kalau suara kita digabungkan pasti ada yang mendengar," tambahnya lagi. Mereka pun menuruti sarannya. "Tolongggg....... tolong.... tolong...." Teriak mereka ramai-ramai. Masih belum ada yang menyahut. Beberapa orang yang lewat mendengarkan suara mereka, namun enggan untuk mencari sumber suara itu. "Tolong....." teriak mereka sekali lagi. Beberapa orang warga berinisiatif untuk mencari tahu sumber suara itu. Mereka terus berteriak dan warga itu pun bisa mengetahui dari mana sumber suara itu.Mereka tiba di depan sebuah gedung yang mana gedung itu adalah markas baru Dexlicas.Beberapa orang warga itu akhirnya pulang setelah membaca sebuah tulisan yang ditempel di plang gerbang gedung itu.
“Kejadian apa?” Ziyo semakin tidak sabar menunggu Aras mengungkapkan kembali soal kejadian itu dari sudut pandangnya.“Mau pesan apa, Kak?” ujar seorang anak kecil yang bertugas melayani di warteg ini.“Pisang goreng dengan kopi aja, dua.” Balas Ziyo yang tidak ingin berlama-lama dengan bocah dua belas tahun itu.“Gimana tadi?” tutur Ziyo.“Jadi waktu itu sekitar dua tahun yang lalu saat malam ketika gue baru pulang dari markas Raygem, saat itu loh belum bergabung dengan mereka, gue didatangi pria sebaya dengan gue,” Aras terjeda.“Loh ngapain di markas Raygem?” tanya Ziyo.“Gue waktu itu mau peringatin Dexlicas. Dia dan anak buahnya palak uang dari pedagang kecil di komplek perkantoran. Saat gue samperin dia, anak buahnya bilang jika ia sedang keluar. Ada urusan katanya. Dan malam itu, andai saja gue tidak tolongin tuh orang pas
"Hei Nak. Ada yang lupa?" Azerus sengaja mengelak."Iya, Pah. Handphone Binar ketinggalan," Binar sengaja mengikuti permainan ayahnya, agar Azerus tidak mencurigai jika Binar sedang menyelidikinya."Dimana ya ponselnya" gumam Binar."Oh itu dia," gumamnya lagi setelah mendapati ponselnya di atas meja."Oh ya Pah, tadi telepon sama siapa?" Binar sengaja tidak melihat ayahnya, ia berlagak hanya fokus pada Handphone di genggamannya."Gak sama siapa-siapa. Teman lama Papa," elak Azerus."Oh kirain siapa, tapi kok tadi kayak Binar dengar Papa sebut diri Papa, Ayah." bantah Binar sengaja. Ia masih memfokuskan pandangannya dengan ponselnya.Azerus terdiam, ucapan Binar tadi membuatnya kehabisan kata-kata."Hei Pah," ujar Binar yang membuyarkan Azerus."Serius amat," tambah Binar. Sengaja ia memberikan senyuman terbaiknya agar Azerus tidak down lagi.
“Guys, kita sudah sepakat untuk ke pantai saja,” ujar Aras memulai pembicaraan, sementara semua anggota dari kedua kubu segera mengalihkan fokus mereka dari ponsel karena sedari tadi mereka sedang memainkan game yang cukup populer. Mereka main berregu. Mabar, mereka biasa menyebutnya demikian.“Besok jam berapa berangkat?” potong Jaya bersemangat.“Sory bro, gue ada usul. Gimana kalau kita bahas dulu mengenai perlengkapannya,” Ziyo angkat bicara.“Boleh juga itu,” Rindi turut menambahkan.“Kalau untuk masalah tenda, kita gak perlu khawatir. Kazuo punya tiga buah, apa kurang?” tutur Aras yang menyepakati ide Ziyo dan Rindi.“Oh bagus itu. Raygem punya satu tenda jenis ridge, yang kayak camping anak pramuka,” tambah Chal yang sudah tidak mau ikut Dexlicas lagi.“Bagus itu, tapi saya rasa kita butuh satu lagi,” tambah Aras. Jumlah mereka hampir mencapai lima pul
Irishena keluar dari mobil. Binar sedikit mengucek matanya yang belum bisa melihat dengan sempurna."Mama..." teriaknya kemudian."Good morning sayang, jangan kencang-kencang ngomongnya, yang lain masih tidur." ujar Irishena sedikit berbisik."Papa di mana?" tanya Irishena setelah Binar membukakan pintu untuknya."Masih tidur, Mah" jawab Binar tidak jelas karena sementara menguap kecil."Pasti kamu gak tidur karena jagain Papa, ya?" tanya Irishena kemudian setelah melihat kantong mata Binar yang membengkak."Ah tidak begitu juga," elak Binar.Ia membantu Irishena membawakan barang-barangnya. "Mah, Binar siapkan sarapan dulu," ujar Binar yang segera balik kanan setelah menghantarkan ibunya sampai di depan pintu kamar Azerus."Mama temanin," tawar Irishena."Jangan. Mama pasti capek. Biar aku saja," tolak Binar."Ga
Mereka segera berpisah setelah Aras mengumpulkan mereka semua untuk makan siang. Siang ini tidak perlu repot untuk masak, mereka sudah menyiapkan bekal untuk langsung dimakan saat tiba. Sekali lagi Aras mengingatkan mereka semua untuk tidak boleh berpencar dan membuat kerusuhan. Seperti biasa ia juga menekankan agar tidak ada yang boleh memposting di sosial media segala kegiatan yang mereka lakukan.Ziyo akan membuangnya ke laut jika sampai kedapatan, begitu ancamnya. Tentu saja, Trea dan gengnya sangat tidak nyaman dengan hal itu. Mereka bersepakat akan menghabiskan waktu satu jam setelah makan untuk beristirahat, bebas dari skenario yang sudah mereka sepakati bersama.Tenda yang mereka dirikan cukup teduh. Di bawah sebuah pohon asam yang sangat besar dan rimbun. Aras, Rindi, Tiar, dan Ziyo memilih untuk mengobrol di saat anak-anak lain sibuk mencoba tenda mereka masing-masing."Gimana?" ungkap Aras yang memulai pembicaraan sebab sedari tadi
Binar segera menjalankan tugasnya. Pergi tanpa pamit kepada ibunya, Azerus sengaja melarang dia untuk melakukan hal itu. Binar berangkat hanya bersenjatakan sebatang kayu. Itu adalah pendayung perahu yang berukuran kecil. Mainannya sewaktu masih kecil, namun masih sangat kuat. Itu adalah kayu asli.Binar terus menelepon ayahnya, agar bisa mendengar bunyi nada panggilannya. Ponsel itu tergeletak di dekat pondok, tempat biasa Azerus menyimpan barangnya sebelum melaut. Aras yang ketika hendak membuang air kecil Mendengar suara dering itu. Ia melangkah kecil ke arah sumber suara. Awalnya ia tidak peduli, namun karena ponsel itu masih terus berbunyi, makanya ia berinisiatif untuk mencarinya. Aras mendapati ponsel yang tergeletak begitu saja tanpa ada tuannya. Ia pun menerima panggilan tersebut, khawatir jika pemiliknya sedang mencari. Sekilas ia membaca nama pemanggil yang tersimpan di kontak itu. Putriku, tulisnya."Halo," ujar Binar ketika pa
"Orangnya ada," tegas Aras."Dia ikut? Terus Tiar mau kamu ke mana kan?" umpat Binar."Itu kan. Kamu salah paham lagi. Kita cuman teman. Tiar itu sahabat kecil aku," balasnya polos."Tiar kayaknya punya sesuatu yang lebih terhadap kamu. Kamu gak sadar sih?" elak Binar."Biasa aja tuh" bantahnya."Emang sih orang yang diberi perhatian tidak akan sadar. Hanya orang lain yang melihat yang tahu," gumam Binar. Aras terdiam mendengarkannya. Ucapan Binar tadi mengundang seribu harapan dalam hatinya. Itu terlihat jelas dari sorot matanya."Kamu sedang di fase itu ya?" goda Aras."Tidak," elaknya."Terus tadi senyum sendiri. Masa senyum mendapat sms tawaran pulsa telkomsel." Aras terus menggodanya."Gak tahu juga sih, menurut kamu definisi cinta itu kayak apa?" tanya Binar.Waktu kian bergulir. Mereka masih bergelayut dalam indahnya cerita yang tak berujung. Mengikuti ke mana