Keesokan harinya, Erin terkejut setengah mati. Ia merasakan kepalanya tidur dengan menggunakan bantal lengan. Saat menatap ke arah pemilik lengan ternyata Edward. Erin segera bangkit dari posisinya. Ia tertidur di meja dengan lengan Edward sebagai bantal. Betapa malunya Erin menyadari hal itu. Ia kemudian mengingat kejadian semalam. Semalam Erin sempat bertanya soal ketakutan Edward. Ternyata ketakutan Edward adalah soal rasa tidak percaya diri akan kemampuannya dan takut diambil alih oleh kepribadian lain saat momen penting terjadi. Erin akhirnya membuat Edward harus berlatih berkali-kali dalam mengelola pikirannya dan mengulang poin penting yang akan disampaikan dalam presentasi. Rasa tidak percaya diri Edward timbul akibat semua pekerjaan kantor biasanya atas perintah sang ayah. Namun sekarang kakek Edward tidak membiarkan ayah Edward ikut campur. Karena perusahaan yang akan diserahkan merupakan perusahaan kakek Edward. Erin melihat ke arah jam dinding. Kelegaan terpancar dari
"Aku tergeser lagi dengan Arkan. Dia mendahuluiku." Edward bercerita pada Erin dengan wajah kusut. "Arkan itu siapa?""Sepupuku. Jadi, kakekku membuat aku dan Arkan harus berkompetisi mendapatkan perusahaan kakek. Selama ini dia selalu saja mendahuluiku.""Apa tidak dihentikan oleh kakekmu? Harusnya kan adil kesempatannya.""Kalau hanya soal didahului tentu saja tidak ditentukan oleh kakek. Yang penting bisa meraih hati klien terbanyak untuk kerja sama. Aku tidak mungkin datang ke kantor."Erin cukup kesal melihat semangat Edward meredup. Apalagi Edward menyiapkan semuanya hingga kurang tidur. Erin tahu semua proses yang dilalui Edward. "Kita tetap ke kantor saja. Karena kan, yang memiliki janji adalah kau. Tidak bisa begitu saja diambil Arkan. Rapatnya tidak akan dimulai sebelum jamnya. Karena klien pasti orang sibuk."Edward yang masih terlihat lesu, hanya diam saja. "Ayo!" Erin menarik Edward untuk segera
Erin penasaran dengan apa yang diperlihatkan Arkan pada Edward. Tidak mungkin Erin meminta Arkan memberikan ponselnya hanya untuk melihat isinya. "Aku tau kalau dia adalah temanmu semasa SMA. Tapi, janji temunya denganku." Edward tampak kesal dengan keputusan sepihak dari Arkan dengan menelepon terlebih dahulu pada klien. Sialnya klien tidak profesional dengan menyetujui jika berpindah bertemu Arkan."Memang begitu. Tapi, apa boleh buat? Kau baca sendiri kan? Kalau klien bersedia bertemu denganku. Dan aku, membawakan hal yang lebih menguntungkan daripada milikmu. Selesai sudah urusannya kan?" Arkan semakin menyombongkan diri."Sama saja itu bukan sikap profesional. Siapa yang akan memilih CEO sepertimu?""Tentu saja banyak. Ingat! Dunia bisnis hanya memikirkan keuntungan. Cara mendapatkan keuntungan itu? Ya ... bervariasi. Semakin banyak keuntungan yang diraih, maka semakin bagus kemampuan pemimpinnya. Permisi." Arkan pergi dari hadapan Edward be
Wajah Vije berubah murung. Erin tidak bisa memaksa Vije. Menunggu Vije bercerita adalah pilihan terbaik sekarang. "Erin!" panggil pak Edo dari luar jendela mobil."Eh, Pak. Anda di sini?""Iya. Aku tadi sempat lewat dan melihat mobil ini.""Pak Edo!" sapa Vije sembari melambaikan tangan dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya.Pak Edo membalas lambaian tangan Vije. "Tuan Muda kebasahan?""Iya, Pak. Tapi, Vije tidak ingat penyebabnya. Vije hanya tahu kalau terkunci di kamar mandi.""Kalau begitu ... sebentar Pak Edo ambilkan baju Tuan Muda.""Yang gambar thomas kereta api kan, Pak?""Aduh! Pak Edo tidak bawa. Yang tersisa cuma baju kak Edward.""Yah ... ya sudah kalau begitu. Vije tidak perlu ganti baju!" Vije menyilangkan kedua tangannya di dada sembari menggembungkan pipinya. Erin cukup gemas melihat ekspresi Vije. Tangan Erin gatal rasanya ingin mencubit pipinya. Namun ditahan."Vije ... pakai baju kak Edward dulu, ya. Biar tidak masuk angin. Nanti setelah ini Kak Erin janji
Erin menatap ke arah yang ditunjuk oleh Vije. Rupanya badut yang melambaikan tangan pada Vije. Erin tersenyum seraya membalas lambaian tangan badut dengan menggerakkan tangan Vije. Sedangkan Vije tampak ketakutan dan kaku."Tidak apa-apa, itu hanya badut." Erin menggandeng tangan Vije untuk memberi semangat. Bahkan Erin perlahan menarik Vije untuk mendekat."Vije tidak mau dekat-dekat, Kak. Takut. Nanti badutnya nyulik Vije.""Ya sudah. Diam di situ, ya. Kak Erin mau foto dulu." Erin meninggalkan Vije. Jarak Vije dan Erin berdiri dengan badut sebenarnya hanya tiga meter. Seperti ucapannya pada Vije, Erin berfoto bersama badut. Namun Erin berpura-pura kesulitan selfie. Ia kemudian mendekati Vije."Mau jadi anak baik tidak?" tanya Erin pada Vije."Mau, Kak." Vije menjawab dengan tatapannya tidak lepas dari badut. Bukan tatapan antusias, melainkan takut jika didekati oleh badut. "Kalau begitu ... tolong fotokan Kak Erin sama badutnya. Karena fotonya dari tadi jelek. Badutnya cuma kelia
"T ... Tante Desi." Erin menyapa dengan kaku lidahnya. Tante Desi segera mendekati Erin. "Kenapa kabur dari Tante? Kau belum membayar hutangmu!"Erin rasanya malu mendengar ucapan tante Desi yang cukup lantang hingga membuat orang sekitar menatap Erin. Memang tidak memiliki hati Tante Desi pada Erin hingga tidak mengerti posisi."Iya, Tante. Erin pasti segera membayar.""Ingat! Bunganya terus bertambah perharinya.""Kak Erin!" teriak Vije dari kejauhan.Erin menoleh ke arah Vije yang berada pada jarak lima belas meter dari posisi Erin. Ada sebuah keuntungan bagi Erin dipanggil oleh Vije. Erin segera meninggalkan tante Desi. "Eh! Anak kurang ajar! Main pergi saja!" "Maaf, Tante. Erin sibuk." Erin berbicara sembari membalikkan badan, lalu kembali berjalan lurus. Langkah cepat Erin membuatnya sampai di hadapan Vije. Vije tanpa permisi menggandeng tangan Erin. Ingin rasanya Erin melepaskan tangan Vije, agar tante Desi tidak memanfaatkan Vije untuk menagih hutang Erin. Karena Andi yang
Erin berjalan lebih cepat dari sebelumnya. Ia tidak ingin kehilangan Vije. Walaupun Vije seorang pria, bisa saja kalau orang yang bersamanya sekarang orang jahat."Permisi, maaf. Anda siapa?" tanya Erin yang berhasil menyamai langkahnya dengan Vije dan pria tak dikenal."Kau siapa?""Ini Kak Erin, Om. Pengasuh baru Vije." Vije berbicara pada pria yang bersamanya."Maaf kalau saya tadi kurang sopan." Erin langsung merasa tidak pantas memperlakukan anggota keluarga Vije dengan pertanyaan sebelumnya."Tidak apa-apa. Aku senang Vije mendapatkan pengasuh baru yang terlihat seumuran dan waspada. Ayo pergi bersamaku!"Om Vije mengajak Erin untuk pergi bersama. Erin kira akan keluar dari mall. Ternyata om Vije hanya mengajak makan bersama di mall yang menyediakan aneka burger. Erin merasa canggung saat ada anggota keluarga Vije yang lain. Ia tidak mengenal dengan baik, sehingga hanya membiarkan Vije bercanda dengan omnya. "Erin mau pesan apa?" tanya om Vije. "Saya pesan minum saja, Om.""T
Langkah kaki Erin tidak sanggup lagi melangkah lebih dekat. Sedangkan Edward telah berbincang dengan seseorang yang ditemuinya. Jarak antara Erin dan Edward sekarang sekitar lima belas meter. Erin menahan tangis sejak tiba di lokasi. Ada rasa berat yang mendera di pikiran Erin. Berbagai kenangan terputar di kepala Erin. "Erin? Kenapa masih di sini?" Edward menghampiri Erin."Eh, iya. Maaf. Aku hanya ingin melihat rumahku sebentar.""Rumah?" Edward tampak bingung. Karena di sekitar telah rata dengan tanah. "Iya, bekas rumah kontrakanku maksudnya.""Kontrakanmu dulu di sini?""Iya. Bahkan aku tidak menerima pemberitahuan kalau ternyata digusur. Aku sudah membayar penuh untuk setahun ini."Edward akhirnya mengerti arti dari ekspresi wajah Erin yang tampak sedih. "Kalau begitu nanti aku bantu mendapatkan nomor dari pemilik kontrakan. Agar kau nanti bisa menuntut uangmu dikembalikan."Erin hanya mengangguk lemah. Pikirannya blank saat mengetahui apa yang terjadi sekarang. Namun langkah
"Apa permintaanmu?" Elisa terdengar penasaran dari seberang telepon.Alex memperbesar volume suara, agar Erin bisa mendengarnya. Walaupun Erin berusaha menjauh agar tidak mendengar percakapan Alex dan Elisa. Namun Alex menahan tangan Erin agar tetap mendengar pembicaraannya dengan Elisa."Aku tau kalau kau hanya ingin harta dari iblis itu. Jadi, aku akan mewujudkannya. Asalkan kau menjamin semua yang aku inginkan terwujud."Erin tampak terkejut dengan ucapan Alex. Ia tidak pernah terpikirkan kalau Elisa menginginkan harta Xander ayah dari Edward. Padahal dari luar Elisa terlihat seperti ibu peri bagi Edward. "Apa yang kau inginkan?""Semua yang aku lakukan tercukupi. Tidak ada hambatan.""Apa semua yang kau dapatkan masih kurang hingga meminta sesuatu lagi padaku?"Erin yang awalnya masih tidak percaya, begitu mendengar ucapan Elisa yang berbeda seratus delapan puluh derajat. Hal itu membuat Erin berpikir ulang. "Kalau begitu, ya sudah. Kau jangan ganggu aku. Kita hidup pada masing-
Alex menutup mulut Erin. Ia kemudian menarik Erin untuk memasuki mobil. Walaupun Erin terlihat kesakitan, Alex tidak peduli."Kemari kau anak bangst!" Xander berteriak. Alex tak mendengarkan Xander yang mengejarnya. Ia terus menancap gas dengan cukup gila, mobil sampai sedikit terangkat saat keluar dari gerbang. Erin berpegangan erat. Ia pikir Xander akan berhenti mengejar Alex. Rupanya dugaan Erin salah. Sebuah mobil tampak keluar dari rumah dengan mengikuti Alex."Sialan! Dia benar-benar ingin mati!" Alex berniat membalikkan mobilnya, lalu beradu bagian depan mobil."Alex! Kau jangan gila! Aku tidak ingin mati!" ucap Erin dengan gemetar saat melihat mobil Alex berbalik, lalu seakan-akan ingin menabrak mobil yang mengikutinya."Alex!" teriak Erin sembari menutup mata. Ia pasrah terhadap apa yang akan terjadi. Jika memang Erin nanti mati, hanya bisa memasrahkan ayahnya pada Sang Pencipta saja untuk menjaga sang ayah.Perlahan Erin membuka mata akibat tidak mendengar suara tabrakan.
Brraaaaakkk!Xander melemparkan lampu hias pada tubuh Alex saat mulai bangkit. Hal itu tak membuat Alex gentar. Walaupun rasa sakit yang dirasakannya tidak hanya tubuh saja, melainkan batinnya juga sakit.Bugh! Alex menyerang Xander dengan menyeruduk dengan kepalanya hingga Xander terjatuh. Ketika Xander terjatuh, Alex langsung menerjangnya. Dug!Tubuh Alex dijatuhkan dengan keras pada bagian perut Xander. Pukulan diberikan Alex pada Xander. Sayangnya tangan Xander dengan sigap menangkis. "Anak sialan! Tidak tahu diri!" Xander mendorong Alex hingga oleng ke kanan. Namun tidak bisa menjatuhkan Alex, karena kaki Alex mengunci tubuh Xander. "Aku tidak minta dilahirkan bangst! Kenapa kau menginginkan aku ada!" Alex berteriak di wajah Xander. Bugh!Pukulan keras diberikan Xander pada Alex. Erin dan Elisa tidak tahan dengan pemandangan ayah dan anak yang saling menyiksa. Elisa menahan Xander. Sedangkan Erin menahan Alex. Mereka kemudian masing-masing menarik Xander baik Alex agar bisa
"Kak Erin, ini bukan jalan ke rumah Vije."Perkataan Vije membuat Erin bisa fokus kembali. Namun memang Erin tidak bisa membawa Vije pulang ke rumah. Ponsel Erin berdering kembali. Kali ini ayah Edward yang menelepon. Keringat dingin dirasakan Erin saat sempat mengintip nama yang tertera. Erin menepikan mobil. Ia tidak mungkin mengabaikan panggilan dari ayah Edward. Bisa tamat riwayat Erin jika melakukannya."Halo, Pak. Ada apa?""Ada apa katamu? Di mana Edward!" tanya ayah Edward dengan nada kesal.Erin sampai menjauhkan ponselnya demi meredam suara ayah Edward. "Ada bersama saya, Pak." Erin tidak bisa berbohong. Kalau suatu hal diawali dengan kebohongan, maka seterusnya akan memerlukan kebohongan untuk menutupinya. "Bawa ke hadapanku sekarang!" "Tapi, Tuan Muda Edward ada rapat setengah jam lagi, Pak." "Tidak perlu datang! Lebih penting datang ke hadapanku sekarang!""Maaf, Pak. Anda ada di mana?""Di rumah."Klik!Sambungan telepon terputus secara tiba-tiba. Erin dilema. Elisa
Hari buruk Erin berlalu kemarin. Namun bukan berarti hari ini Erin akan bahagia. Masih ada misteri yang akan dijalani hari ini. Semalam Alex tidak melakukan hal buruk, melainkan hanya memasak kembali menu yang dimasak Erin. Rasa masakannya jauh lebih enak daripada milik Erin. Perbedaannya Erin bumbu versi rempah Indonesia. Sedangkan Alex memasak dengan bumbu yang sama dengan masakan Western.Erin terbangun dari tidurnya. Ia tidak sadar jika tertidur di meja minibar yang ada di dapur. Anehnya Erin tidur dengan berbantalkan tangan Alex. Alex yang tertidur dimanfaatkan oleh Erin untuk mencari ponsel. Terakhir kali Erin tahu jika ponselnya disembunyikan Alex di dalam sakunya. "Kalau aku mengambil dari dalam sakunya, apa nanti tidak membuatnya bangun?" gerutu Erin. Erin akhirnya membiarkan Alex tertidur. Sepanjang malam Erin dan Alex hanya bercerita. Terkadang Erin mengerti perasaan Alex. Rupanya Alex tidak hanya merugikan saja. Alex sama seperti manusia biasa. Tangan Erin perlahan ing
Erin menelan ludahnya susah payah. Ia seakan dikunci oleh tatapan dari Alex. Tak disangka ucapan asal yang dilontarkan Erin membuat Alex tampak bersungguh-sungguh."Kenapa tidak menjawab?""Maaf. Aku tadi asal bicara. Jangan jadikan dirimu pembunuh. Jika itu terjadi, sampai kau masuk neraka pun ... aku akan tetap membalasmu.""Ck! Kau di dunia saja lemah seperti ini. Percaya diri sekali kalau di akhirat lebih hebat?" "Biarkan saja!" Cup!Alex mencium bibir Erin. Selanjutnya Erin menipiskan bibirnya agar tidak bisa terhisap kembali oleh bibir Alex. "Alex, jangan perlakukan aku seenaknya. Kau tidak menyukaiku. Jadi, tolong jangan jadikan aku jalangmu.""Aku tidak menjadikan kau sebagai jalangku. Kau memang milikku." Alex beralih mencium pipi Erin. Ia tidak menyerah kalau hanya bagian bibir saja yang ditutup aksesnya oleh Erin."Alex, tolong jangan meninggalkan kesan buruk di benakku. Aku ingin berteman denganmu layaknya aku bersama Edward dan Vije.""Aku tidak mau disamakan dengan me
Darwin sempat menoleh ke belakang. Ia ingin memastikan kalau Alex tidak muncul secara tiba-tiba. Karena cerita kelam Alex merupakan hal yang dibenci untuk disebarkan pada orang lain."Om?" Erin tanpa sadar lancang memanggil Darwin agar meneruskan ceritanya."Oh, iya! Maaf. Om tadi hanya ingin memastikan ada Alex atau tidak. Cerita ini sebenarnya tidak bisa disebarkan. Berhubung kau sempat terseret kasus Revan. Makanya Om beritahu.""Kalau memang privasi tidak apa-apa disimpan saja, Om. Erin tidak mau Om nanti dimusuhi oleh Alex.""Tenang saja. Tidak akan terjadi. Alex tidak bisa hidup tanpa, Om. Dia meskipun terlihat arogan, hanya Om yang diandalkan dan dipercaya oleh Alex." Darwin terlihat membanggakan diri.Erin hanya tersenyum kecil menanggapi Darwin. Cukup unik keluarga besar Vijendra. Mulai dari ayah yang kejam, anak yang memiliki kepribadian ganda dan paman yang terlihat berbeda dentan tampilan luarnya."Sampai mana tadi ceritanya?""Sampai Alex bertemu Revan dengan membawa paca
Tidak seperti dugaan Erin, Alex tidak melakukan sesuatu yang membahayakan bagi bibi Surti. Alex hanya merebut ponsel bibi Surti agar tidak mengangkat telepon."Bi, saya pulang!""Lo, Nak Alex. Kenapa pulang? Ini sudah malam."Alex tak menjawab. Ia justru menarik tangan Erin. Sementara Erin memberikan permintaan maaf secara halus pada bibi Surti. Kini Alex dan Erin berada di dalam mobil. Langsung saja Alex menancap gas dengan kecepatan tinggi setelah keluar dari halaman rumah. Erin sempat memperhatikan Alex. Tatapan Alex sempat memperlihatkan ada aura ketakutan meskipun hanya sekilas. Erin menghargai Alex yang menyembunyikan sesuatu."Rumahmu di mana?" tanya Alex di sela-sela mengemudinya."Tidak ada.""Kau aslinya gelandangan?""Hei! Bukan berarti aku gelandangan.""Kan gelandangan saja yang tidak memiliki rumah.""Ya, memang benar. Tapi, kenyataanya rumahku sudah tidak ada. Sudah diratakan menjadi tanah.""Kenapa boleh diratakan begitu saja? Biasanya kan, rumah menyimpan kenangan?"
Alex masih tak menjawab pertanyaan Erin. Ia fokus mengemudi. Tujuan Alex entah akan membawa Erin kemana.Perjalanan yang cukup panjang membuat Alex berhenti di depan sebuah klinik. Ia meminta Erin turun dari mobil. "Kenapa kita datang ke klinik?""Sejak tadi darahmu selalu keluar. Itu terlihat menjijikkan. Jadi, aku membawamu kemari."Erin mengartikan kalau Alex gengsi mengatakan kalau peduli pada luka Erin. Namanya juga wanita pasti cenderung berprasangka lebih jauh dari kenyataan."Ayo!" Alex berdiri tepat di depan pintu mobil dekat Erin. "Sabar sedikit." Erin keluar dari mobil dengan langkah yang hampir terjatuh. Rupanya Erin baru merasakan kalau kepalanya pusing. Mungkin lebih tepatnya baru dirasakan, meskipun sejak tadi kepala Erin pusing. Di dalam klinik Erin diberi penanganan agar darah di dalam hidungnya tidak keluar terus-menerus. Sementara Alex menunggu di luar ruangan. Terlihat jelas jika Alex enggan masuk ke dalam ruangan. Pengobatan pada luka di hidung Erin terganggu