“Dewa ada di mana, Pandu? Cepat berikan teleponnya!” teriak seorang wanita dari dalam ponsel.
Sedangkan Pandu terheran-heran, sebab telepon genggam ini miliknya. Kenapa juga harus diserahkan kepada sang atasan yang juga punya ponsel. Memang aneh, tetapi … ya, sudahlah. Asisten berambut klimis ini memberikannya kepada Dewa. “Ini Pak. Nyonya Claudya menelepon.” Dewa mengangguk dengan santai sambil menyantap sekotak makan siang yang telah dingin karena terlewat. Ia terpaksa menunda jam makan, demi menyelesaikan rapat selama dua jam. Supaya semua pekerjaan tuntas dan tidak lembur hari ini. “Halo, Bu ini Dewa. Ada apa?” Kalimat sapaan itu terdengar merdu di telinga. Siapa sangka, Claudya akan membalasnya dengan intonasi tinggi. Bahkan cenderung menghardik putra sulung. “Cepat ke pusat medis kota! Kamu ini gemana jadi suami malah abai?!” cerca wanita paruh baya itu. “Suami? Aku ini DeTerjadi perdebatan menegangkan antar dua pria mapan dan tampan di depan pintu kamar rawat pasien.Sorot mata abu-abu menatap tajam kepada seseorang yang sedari tadi memaksa masuk. Kedua tangan pria ini mengepal, jika menuruti kata hati sudah pasti melayangkan tinju pada orang di depannya. Namun, otaknya masih waras sehingga menahan kepalan tinju di samping tubuh. “Aku mau menjenguk teman baikku. Kenapa tidak boleh?!” “Rosalyn tidak menerima tamu pria! Sebaiknya kamu pulang saja! Cepat!” usir pria yang rambutnya agak gondrong. “Tapi istriku, ada di dalam. Dewa!” protes orang itu. “Heh, Fabian. Sudah kubilang istriku tidak menerima tamu pria!” Dewa memelotot dan Fabian mendengkus kasar. Pasalnya sudah lebih dari 20 menit tertahan di depan pintu. Sebagai tamu yang memiliki niat baik, kedatangan Bos Mauer Corp tidaklah disambut baik oleh tuan rumah. “Biar saja Anna diantar sopir!” ketus
“Dewa ….” Alis Rosalyn mengerut dalam memperhatikan wajah garang sang suami. Ia tidak mengerti mengapa sikap pria itu seolah ingin memuntahkan lahar panas dari dalam dada.Sepasang tungkai tanpa alas kaki melangkah masuk. Ia menaruh bubur di atas meja, lantas melihat ke atas sofa.“Di mana Devendra dan Daneswara?” tanya Ibu empat anak itu seraya mengalihkan pandangan kepada pria bertubuh tinggi tegap.“Kenapa kamu gegabah meniggalkan mereka di pinggir sofa? Gemana kalau jatuh? Tulang bayi masih rawan, Rosalyn!” protes pria itu.Seketika tubuh lelah Rosalyn bagai terhempas ganasnya ombak di laut lepas. Pupil wanita itu bergetar dan bola matanya mengembun dipenuhi cairan bening nan hangat. Ia merasa dihakimi tanpa sebab.“Lagi pula kamu ke mana sampai meninggalkan anak-anak di kamar tanpa pengawasan?” Lagi, mulut pedas itu menyembur menyakiti hati.Rosalyn menghela napas lantas melangkah m
Tangan Dewa menggantung di udara. Selain tersayat kata-kata tajam sang istri yang menunjukkan seberapa mandirinya wanita itu, ia juga tertusuk dinginnya angin dari celah jendela terbuka.Tubuh kekar yang terbalut handuk putih sebatas pinggang sampai di bawah lutut itu bergeming. Dewa tahu penyebabnya, tetapi ia juga tidak membenarkan perbuatan sang istri meninggalkan kedua bayi kembar begitu saja di atas sofa.“Sayang … mereka rewel, biar aku gendong,” tawar pria itu lagi.Akan tetapi, Rosalyn bersikukuh. Ia menggeleng lemah lantas mengayunkan kedua tangan secara lembut agar tangis buah hati mereda. Sial, Devendra dan Daneswara tetap gelisah dalam pangkuan sang ibu.Bayi mungil yang baru saja berumur beberapa hari itu seolah mengetahui suasana hati sang ibu. Suara tangisnya pun terdengar lemah sekarang.“Sayang, maaf. Aku enggak bermaksud marah, Cuma takut mereka jatuh. Itu saja,” jelas pria itu.“Dulu ju
Dewa menggeram. “Itu spontanitas!” Dewa mengepalkan tangan sampai buku jarinya memutih. Semua ini karena ia mendengar tawa pria di hadapannya. Bukannya bertenggang rasa, mantan rival itu malah mengejek kemalangan yang menimpa. “Diam!” sentak Dewa dengan mata menyala-nyala. “Seorang presdir yang terkenal cerdas dan disegani banyak orang ternyata bodoh juga,” ejek Fabian begitu puas karena temannya mendapat masalah. Mendengar kabar Rosalyn telah pulang ke vila, Anna dan Fabian menggebu membesuk temannya. Pasangan itu membawa beragam hadiah untuk si kembar serta beberapa potong pakaian khusus menyusui. Anna bersama Rosalyn di lantai dua. Sedangkan Fabian tetap dilarang mendekati ibu empat anak, alhasil menemani Dewa di ruang kerja. “Sekarang kamu juga yang susah. Bukannya kamu tahu, kalau wanita sudah marah itu menyeramkan, Bro.” Fabian menahan tawa. Ia berkata lagi, “Apalagi Rosalyn baru melahirkan, memangnya belum pernah dengar baby blues?” Dewa menggeleng dan mendengkus kasar l
Satu minggu ini kesibukan Dewa berubah. Ia memiliki tugas tambahan penting yang harus dilaksanakan demi mendapat maaf dari sang istri. Selama tujuh hari ini juga ia terpaksa berpuas diri menatap dua bayi kembar dan paras manis belahan jiwa dari ambang pintu. Ya, Rosalyn tidak mengizinkan pria itu masuk kamar. Ucapan Dewa beberapa hari lalu dimanfaatkan oleh ibu empat anak sebagai hukuman terhadap suami. “Apa katanya?” tanya Dewa melihat Pandu masuk ke dalam ruang kerja presdir. “Pak Kevin menolak karena pekerjaannya tidak dapat ditinggal.” Ucapan Pandu membuat punggung kokoh Dewa berubah layu. “Kalau tidak bisa dibujuk, culik saja!” “Tapi Pak … itu illegal, Anda bisa dijebloskan ke penjara dengan tuduhan menculik kakak ipar,” kilah Pandu. “Mau bagaimana lagi Pandu?! Istriku masih marah, jika aku gagal mendatangkan Kevin ke vila.” Dewa meremas rambut dan mendengkus kasar. Pandu meringis melihat atasannya menggerutu. Asisten itu tidak terkejut mendapati sikap emosional Dew
Satu jam sebelumnya. Rosalyn terburu-buru mengganti pakaian, pelayan menyampaikan ada tamu istimewa yang menunggunya di ruang tamu. Wanita itu merapikan penampilan diiringi detak dada melebihi kecepetan dari biasanya. Ketika melewati setiap anak tangga, ia mendengar tawa renyah Ibu mertua bersama seorang pria dan anak kecil. Ya, Rosalyn hapal pemilik suara itu. Bola matanya langsung mengembun dan kedua kakinya berlari kecil menuju ruang tamu. “Kakak?” panggil wanita itu. Air mata sudah tak terbendung lagi, Rosalyn terisak sambil menatap pria tampan berkupluk hitam. “Ya, ini aku. Maaf … aku terlambat.” Kevin berdiri, lalu mengikis jarak dengan adiknya. Meskipun ingin memeluk, pria itu urung mengingat betapa sangar sikap posesif adik ipar. “Jangan menangis, Dik. Kakak minta maaf, ya,” ucapnya lagi. Rosalyn mengangguk berkali-kali membuat bulir bening berjatuhan kian deras. Ia menyeka air matanya dan mengajak K
“Kenapa mereka melihatku begitu? Apa yang aneh?” gumam pria itu.Fabian menggeleng dan mengabaikan tatapan tak lazim dari beberapa orang. Sebagian melihatnya dengan terkejut dan sisanya lagi mengulum senyum. Ia memilih berbaik sangka, mungkin … mereka turut merasakan kebahagiaannya.Beberapa saat kemudian seorang perawat membuka pintu ruang bersalin. “Silakan masuk, Pak. Bayinya sudah lahir dengan selamat.”Detik itu juga Fabian tak kuasa membendung rasa syukur bercampur haru. Ia menengadahkan kedua tangan mengucap terima kasih kepada Sang Pencipta.Setelah memasuki ruangan, Fabian melihat mahkluk mungil sedang menelungkup di atas dada Anna yang terbuka. Bayi itu bergerak pelan seakan berhati-hati karena ini kehidupan baru baginya. Bibir merah nan mungil terbuka, hanya saja sepasang matanya masih tertutup rapat.Anna mengulurkan tangan. “Kenapa diam di sana? Ayo mendekat.” “Dia sangat cantik, Anna. Mirip sekali denganm
“Maaf, ya, Rosalyn. Fabian kekanakan,” lirih Anna. Wanita itu tidak enak hati melihat suami dari temannya duduk di teras sendirian. “Tidak apa. Lagi pula supaya kita lebih leluasa mengobrol bukan?” Tawa Rosalyn terdengar renyah membuat Anna tersenyum. Pandangan Anna tertuju kepada batita bulat yang duduk di pangkuan Rosalyn. Melalui garis wajah, ia dapat menebak siapa orang tua anak perempuan itu. Kepekaan Rosalyn membuatnya mudah memahami tatapan lekat Anna pada keponakannya. Ia tersenyum, lalu berkata, “Ini Janeta. Sudah satu minggu dia menginap di vila.” “Oh … memangnya Kak Kevin ke mana?” tanya istri Fabian Arnold ragu-ragu. “Sebagai kepala gudang, kegiatannya belakang ini padat. Dia harus memastikan semua barang Bma tersimpan rapi tanpa cacat. Mungkin … tiga atau empat hari lagi Janeta dijemput.” Anna mengangguk. “Aku tidak menyangka anak ini tumbuh dengan baik. Dia pasti senang disayangi Bibi dan Pamannya,” timpal Anna sambil meraba pipi berisi Janeta yang tersenyum merek
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh