Satu jam sebelumnya.
Rosalyn terburu-buru mengganti pakaian, pelayan menyampaikan ada tamu istimewa yang menunggunya di ruang tamu. Wanita itu merapikan penampilan diiringi detak dada melebihi kecepetan dari biasanya. Ketika melewati setiap anak tangga, ia mendengar tawa renyah Ibu mertua bersama seorang pria dan anak kecil. Ya, Rosalyn hapal pemilik suara itu. Bola matanya langsung mengembun dan kedua kakinya berlari kecil menuju ruang tamu. “Kakak?” panggil wanita itu. Air mata sudah tak terbendung lagi, Rosalyn terisak sambil menatap pria tampan berkupluk hitam. “Ya, ini aku. Maaf … aku terlambat.” Kevin berdiri, lalu mengikis jarak dengan adiknya. Meskipun ingin memeluk, pria itu urung mengingat betapa sangar sikap posesif adik ipar. “Jangan menangis, Dik. Kakak minta maaf, ya,” ucapnya lagi. Rosalyn mengangguk berkali-kali membuat bulir bening berjatuhan kian deras. Ia menyeka air matanya dan mengajak K“Kenapa mereka melihatku begitu? Apa yang aneh?” gumam pria itu.Fabian menggeleng dan mengabaikan tatapan tak lazim dari beberapa orang. Sebagian melihatnya dengan terkejut dan sisanya lagi mengulum senyum. Ia memilih berbaik sangka, mungkin … mereka turut merasakan kebahagiaannya.Beberapa saat kemudian seorang perawat membuka pintu ruang bersalin. “Silakan masuk, Pak. Bayinya sudah lahir dengan selamat.”Detik itu juga Fabian tak kuasa membendung rasa syukur bercampur haru. Ia menengadahkan kedua tangan mengucap terima kasih kepada Sang Pencipta.Setelah memasuki ruangan, Fabian melihat mahkluk mungil sedang menelungkup di atas dada Anna yang terbuka. Bayi itu bergerak pelan seakan berhati-hati karena ini kehidupan baru baginya. Bibir merah nan mungil terbuka, hanya saja sepasang matanya masih tertutup rapat.Anna mengulurkan tangan. “Kenapa diam di sana? Ayo mendekat.” “Dia sangat cantik, Anna. Mirip sekali denganm
“Maaf, ya, Rosalyn. Fabian kekanakan,” lirih Anna. Wanita itu tidak enak hati melihat suami dari temannya duduk di teras sendirian. “Tidak apa. Lagi pula supaya kita lebih leluasa mengobrol bukan?” Tawa Rosalyn terdengar renyah membuat Anna tersenyum. Pandangan Anna tertuju kepada batita bulat yang duduk di pangkuan Rosalyn. Melalui garis wajah, ia dapat menebak siapa orang tua anak perempuan itu. Kepekaan Rosalyn membuatnya mudah memahami tatapan lekat Anna pada keponakannya. Ia tersenyum, lalu berkata, “Ini Janeta. Sudah satu minggu dia menginap di vila.” “Oh … memangnya Kak Kevin ke mana?” tanya istri Fabian Arnold ragu-ragu. “Sebagai kepala gudang, kegiatannya belakang ini padat. Dia harus memastikan semua barang Bma tersimpan rapi tanpa cacat. Mungkin … tiga atau empat hari lagi Janeta dijemput.” Anna mengangguk. “Aku tidak menyangka anak ini tumbuh dengan baik. Dia pasti senang disayangi Bibi dan Pamannya,” timpal Anna sambil meraba pipi berisi Janeta yang tersenyum merek
[Kita eksekusi rencana hari ini. Kebetulan suamiku perjalanan bisnis ke Jenewa. Kalau kamu bisa enggak?]Isi pesan singkat itu dikirim kepada seseorang.Seorang wanita berambut panjang dan hitam berdiri di balkon kamar. Mata almondnya memperhatikan lambaian tangan pria berjambang tipis di bawah sana.Bertepatan dengan mobil sport meninggalkan halaman vila, satu pesan teks diterima oleh ibu empat anak. Ia langsung memeriksa deretan kalimat pada layar pipih ponsel.[Bisa. Fabian memang ada di mansion. Tapi dia sibuk meeting daring.][Kita harus berhasil, Anna. Kesempatan ini jarang terjadi.]Setelah mengirim pesan, ibu empat anak langsung berjalan menuju ruang kerja suami. Ia mengakses CCTV seluruh ruangan di vila ini. Wanita itu memicingkan mata, menatap satu per satu layar berukuran 20 inchi. Ia mencari seseorang.“Ketemu, ternyata Kakak ada di taman bersama Ibu,” gumam wanita itu. Sudut bibirnya melengkung manis ke atas.
“Yang mana, Tuan?” tanya Mark sambil mengikis jarak mendekati Kevin.“Di sana. Apa dia kerabat pemilik peternakan?” desak Kevin tak sabar menemukan jawaban bahwa perempuan itu adalah ….Mark memperhatikan Kevin yang tidak melepas arah pandangan dari sosok itu. Rambut sebahunya tertiup angin sehingga menutupi wajah. Bahkan pemuda itu kebingungan harus memberikan penjelasan apad.Kevin menghela napas panjang sebab tidak ada jawaban apa pun dari Mark. Tanpa berpikir panjang ia kembali naik ke bukit dan berlari menuju perempuan dan sapi cokelat.“Lily?” panggil Kevin setelah tersisa kurang dari sepuluh langkah dengan gadis itu.Entah mengapa tidak ada respon, padahal Kevin berteriak. Tidak menyerah, ia kembali memanggil, “Lily?”Lagi, tidak ada reaksi apa pun, membuat Kevin memberanikan diri menyentuh bahu gadis itu yang tertutup kemeja putih dan celana jeans belel.Sontak sang gadis
Belajar dari pengalaman hari sebelumnya, kali ini Kevin lebih tenang. Ia mendekati dua orang perempuan tanpa menimbulkan kebisingan.“Apa ini sapi kesayanganmu?” tanya Kevin sambil menggunakan bahasa isyarat sebisanya.Gadis cantik dengan rambut panjang sebahu mengangguk dan membalasnya melalui gerakan tangan.Sementara seorang perempuan di belakang mereka menjatuhkan ember kecil, dan airnya mengalir melewati alas kaki Kevin. Perlahan pria itu mengikuti arah air mengalir, hingga sorot matanya berhenti pada sepasang sepatu boots yang dihasi rumput serta jerami.“Jangan takut, Lily. Aku tidak akan menyakitimu,” kata Kevin sambil mengamati tubuh perempuan itu yang gemetaran.Perempuan itu memberanikan diri untuk bertanya, “M-mau apa Anda ke sini?”Kevin tersenyum tipis. Ia mengalihkan pandangan pada kepala sapi, lalu mengelus dengan lembut. Pria itu berkata pelan, “Truk pengantar barang Bma menghilang. Sekarang jadi tanggung jawabku, karena Dewa sedang perjalanan bisnis ke Jenewa.”Tidak
“Kamu sengaja mempertemukan kami, ya?” tanya Kevin kepada seseorang melalui panggilan suara.“Umm … iya. Aku melakukannya karena Kakak selalu mencari Lily, benar bukan?”Hening selama beberapa saat, tidak ada sahutan atau tanggapan apa pun dari Kevin. Pria itu menghela napas panjang, sebab sang adik mengetahui isi pikirannya. “Kak, bagaimana hasilnya?” tanya suara wanita itu dengan nada penuh keraguan.“Maksudmu truk Bma yang hilang?”Terdengar dengkusan kasar dari dalam ponsel. Tampaknya wanita itu merasa kesal sebab Kevin mempermainkan percakapan mereka.“Kamu bukan anak kecil lagi, Kak. Gemana hubunganmu dengan Lily?” Bukannya langsung menjawab, justru Kevin terkekeh-kekeh mendengar pertanyaan itu. Haruskah ia memberitahu adiknya tentang kemalangan beberapa hari ini? Ah, rasanya tidak mungkin, mau diapakan harga dirinya kelak?Akhirnya Kevin menjawab, “Masih sama. Sudah dulu, ya. Aku mau rapi-rapi barang, h
Tanpa berpikir panjang, Kevin mengikuti jejak merah yang agak mengering. Bahkan saat ini kedua kakinya sudah terendam air sebatas tulang kering. Ia terus melangkah, walaupun noda darah tidak lagi terlihat di tengah sungai. Entah mengapa sekelebat bayangan muncul, dipenuhi oleh senyuman manis Lily saat keduanya pertama kali bertemu. Kevin menggeleng, sebab ini bukanlah waktu yang tepat tenggelam dalam kenangan masa lalu.Kevin tetap melangkah di tengah arus sungai. Ia berteriak, memanggil nama Lily. Besar harapan gadis itu menyahut dan melambaikan tangan padanya. Sayang, untuk ke sekian kali tidak ada respon apa pun selain suara air serta angin yang bersahutan.“Sedang apa Anda di sana, Pak?” teriak seorang pria yang disusul beberapa pria lainnya. “Cepat kembali, ini berbahaya!” perintahnya.Namun Kevin seolah menulikan telinga. Bahkan ia tak menoleh, kakinya terus menerjang arus air mencari korban lain yang mungkin ditemukannya juga. “K
Malam ini, Lily duduk di atas kursi roda. Sepasang netranya menatap kosong ke luar jendela. Gadis itu seolah tidak memiliki gairah menjalani hidup.Meskipun tubuhnya terkulai lemas, kepala gadis itu dipenuhi dengan beragam kenangan manis dan pahit. Termasuk beberapa hari lalu, saat memperlakukan Kevin dengan buruk.“Apa yang harus kulakukan?” tanya Lily sembari terisak ditemani pekatnya malam.Satu tangan yang terpasang saluran infus menyentuh bagian kepala belakang. Masih terasa sakit bekas jahitan di sana.Andai saja Kevin tidak datang tepat waktu, mungkin … nyawa Lily tidak tertolong lagi. Namun, pria itu sangat gigih dan percaya akan menemukan Lily.“M-maafkan aku, Pak Kevin,” gumam bibir pucat yang bergetar.Kala perasaan bersalah menggerogoti diri, Lily tercengang mendengar pintu kamar terbuka. Gadis itu menoleh dan melihat Rosalyn berjalan masuk ke arahnya.“Apa Pak Kevin sudah ditemukan?” tanya Lily.Rosalyn tersenyum tipis, tetapi mata indahnya memancarkan luka. Kemudian wanit
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh