Ya ampun Lily T.T
Setelah susah payah menenangkan Lily, Pandu meninggalkan rumah sakit jiwa. Ia bergegas kembali ke kantor. Pria itu juga meragu untuk melaporkan kondisi terbaru Lily. Apalagi, semenjak pagi hari atasannya tidak dapat dihubungi.Kala Pandu sedang melamun sambil menghadap layar laptop, mendadak ponselnya berdering di atas meja. Ia terperanjat, lantas melirik siapa penelepon itu.“Pak Dewa,” gumamnya.Buru-buru Pandu menerima panggilan suara, mungkin ini sudah saatnya ia bicara mengenai keadaan temannya.“Bagaimana kabar gadis itu? Kamu masih di rumah sakit atau kantor?” berondong Dewa setelah Pandu menggulir ikon hijau pada layar.“Pak … Nona Lily sedang hamil,” bisik Pandu benar-benar pelan.“Apa?!” sembur Dewa, membuat Pandu langsung menjauhkan telepon seketika. “Kamu serius?” katanya lagi.“Iya Pak,” balas Pandu tanpa keraguan sedikit pun.Pria itu m
“Sakit? Apa maksudnya, Sayang?” Dewa mengerutkan alis menatap gulungan tisu dengan noda darah.Dalam hati, pria itu memaki diri sebab sembarangan membuang sampah. Ia benar-benar lupa melenyapkan barang bukti itu.“Iya kamu sakit apa, Dewa? Kamu mimisan lagi?” desak ibu hamil.“Rosalyn aku—”“Jangan membohongiku lagi, Dewa. Kamu sudah janji tidak ada rahasia di antara kita,” sela bibir merah muda nan tipis.Tiba-tiba aura kamar ini berubah mencekam, Dewa berdiri dan menyambar gulungan tisu dari tangan Rosalyn lalu melemparnya. Pria itu meluapkan kekesalan yang menumpuk akibat permasalahan belakangan ini membuat kepalanya pusing.“Apa kamu tahu apa penyebabnya? Ini karena aku mengurusi keluargamu itu, Rosalyn!” Intonasi Dewa meninggi menjadikan Rosalyn tergugu dan tubuh agak berisinya bergetar hebat lantaran mendengar bentakan. “Salahmu berbaik hati kepada Bibi Mathilda da
“Hubungi ambulan sekarang!” teriak Pandu dari dalam ruang presdir. Sekretaris yang berada di depan ruangan pun mengangguk dan gelagapan, sebab inilah pertama kali atasan mereka tidak sadarkan diri. Pengacara dan Pandu menjadi panik. Mereka merapikan berkas dengan cepat lantas menunggu ambulan datang.Beberapaa saat kemudian tubuh atletis Dewa terbaring lemah di atas brankar. Ditemani Pandu dalam ambulan, Dewa sempat membuka mata dan menggerakkan tangan dengan lemah.“Iya, Pak?” Pandu menunduk mendekati mulut atasannya.“Jangan beritahu istriku!” perintah Dewa.Meskipun terdengar lirih, tetap saja pria itu mengucapkannya dengan nada tak terbantahkan.“Baik, Pak.” Pandu mengangguk diliputi perasaan gundah gulana.Sesampainya di pusat medis, Dewa dilarikan ke IGD. Di sana ia menerima penanganan selama dua jam. Barulah setelah hasil laboratorium diketahui, Dewa diizinkan menempati kamar rawat. Menurut dokter, Dewa harus menjalani observasi selama dua hari. Sekarang ia sedang kebingunga
Di Vila Caldwell. “Ruang rawat inap suamiku? Memangnya Dewa ada di rumah sakit?” Telepon genggam dalam pegangan tangan Rosalyn berguncang dan lelehan bening melintasi kulit pipi dengan cepat. Beberapa menit lalu, sebelum bertukar kata bersama Anna, Rosalyn mendapat pesan teks dari Pandu. Isinya menyatakan bahwa Dewa sedang melakukan perjalanan bisnis ke luar kota. Ibu hamil ini kehabisan kata, ia tidak mengerti apa yang terjadi sebenarnya. Padahal tadi pagi sang suami baik-baik saja. Meskipun ia menemukan gulungan tisu bernoda darah. “Aku tidak tahu suamimu sakit apa. Mungkin Fabian tahu. Memangnya Dewa tidak bilang?” Suara Anna terdengar berbisik. Suasana hati ibu hamil kian mendung mendengar informasi dari temannya. Ia menggeleng pelan sebagai jawaban. Bahkan Rosalyn menutup mulut agar isak tangisnya tidak sampai ke telinga Anna. “Halo, Rosalyn? Kamu … baik-baik saja bukan?” tuntut Anna. Selama beberapa detik Rosalyn hanya mampu terdiam tanpa berniat mengeluarkan sepatah ka
“Kenapa kamu diam saja Pandu?!” sentak Dewa tanpa mengindahkan anjuran dokter bahwa ia diharuskan istirahat selama dua hari ini. “Begini, Pak—” “Apa Lily kabur dari rumah sakit jiwa? Bagaimana bisa?” berondong Rosalyn dari balik punggung Dewa. Raut wajah wanita cantik dipenuhi kecemasan luar biasa. Dewa menempelkan jari telunjuk pada bibirnya, dan menatap lekat sepasang netra hazel. Rosalyn mengangguk paham, ia mengunci bibir sambil menanti Pandu melanjutkan penjelasan. “Ya, bagaimana Pandu?” “Lily sudah ditemukan. Pak Dewa jangan cemas, biar saya yang tangani Lily.” Jawaban Pandu memberi percikan ketenangan kepada sepasang suami istri. “Baiklah, urus dia! Katakan padanya, jangan membuat ulah lagi!” “Dimengerti, Pak.” Pecakapan berakhir, Dewa menoleh dan bersipandang dengan Rosalyn. “Jangan khawatir, Sayang. Ada Pandu di sana dan Lily juga sudah ketemu.” Ucapan Dewa diangguki Rosalyn. Keduanya duduk di tepi ranjang. Satu tangan Dewa membelai permukaan perut buncit, lalu m
“Oh, Rosalyn belum tahu kebiasaanmu sewaktu kecil, ya?” Claudya menoleh kepada Dewa tanpa dosa sedikit pun.“Jangan, Bu. Itu ‘kan masa lalu,” pinta pria tampan berjanggut halus.“Baiklah, aku tidak akan cerita apa pun pada Rosalyn.”Pernyataan Claudya membuat Dewa mengusap dada, tetapi tidak dengan Rosalyn yang merengut karena penasaran seperti apa manjanya sang suami saat masih kecil.Akan tetapi, Claudya mendekati menantu dan berbisik, “Dia suka sekali tidur di ketiak Ibu. Sewaktu kecil, hampir setiap hari berantem sama Ayah. Mereka itu rebutan ketiak.”Saat ini juga Rosalyn ingin menyemburkan tawa, tetapi menahannya. Sungguh ia tak menyangka suami gagahnya hobi bersemayam di ketiak sang ibu mertua. Ibu hamil ini melirik sembari mengulum senyum kepada Dewa.Merasa ada yang tidak beres, Dewa berdecak, “Kenapa melihatku seperti itu?”“Memangnya nggak boleh, ya?&rd
“Aduh … kita ketahuan petugas keamanan, gemana ini?” panik Rosalyn terus menatap ke belakang.Bukannya cemas, justru Dewa menarik tangan Rosalyn ke tempat minim pencahayaan. “Ayo, Sayang. Ikut aku,” ajak pria itu.Sekarang keduanya bersembunyi di balik pilar bangunan sambil mengamati dua orang penjaga yang memeriksa taman.“Kalau ketahuan gemana? Kamu, sih, nakal banget,” keluh bibir merah muda.“Memangnya nggak boleh nakal sama istri sendiri?” Pria itu mengkerling sebelah mata, membuat Rosalyn bertambah kesal. “Aku suka wajahmu yang ketus gini, makin cantik, Sayang,” sambungnya.Ternyata di tempat gelap tidak menjadikan pergerakan Dewa terbatas. Pria itu memiliki segudang cara bermesraan bersamaan sang istri. Saat ini, ia memagari tubuh Rosalyn menggunakan kedua tangannya, lalu mencondongkan tubuh dan mencuri kecupan dari bibir merah muda.“Dewa …,” lenguh
“Aku ini kakak ipar bos kalian. Kenapa tidak boleh masuk?” teriak seorang pria di luar pagar tinggi.“Sebaiknya Pak Kevin pergi saja. Tuan dan Nyonya tidak dapat diganggu.” Kepala pengawal turun tangan secara langsung mengusir Kevin dari vila. Tentunya hal ini atas perintah seseorang.Kevin mengepalkan tangan hingga buku jarinya memutih. “Baik, tapi sampaikan kepada Dewa atau Rosalyn, aku ingin tahu keberadaan Lily!”Kepala pengawal hanya diam saja tanpa memberi tanggapan apa pun. Sehingga kekesalan Kevin semakin menjadi, pria itu merangsek maju, berusaha menerobos pertahanan ketat Vila Caldwell. Nahas, dengan mudah para pengawal menyingkirkan tubuhnya.Keriuhan terjadi di depan pagar.Tiba-tiba saja pintu kecil pada pagar terbuka, seorang pria berkacamata keluar dan menatap tajam kepada kakak kandung Rosalyn.“Tidak akan kubiarkan kamu menemui Lily!” sergah seorang pria.“Memangny
“Bagaimana kondisi Lily, Kak?” tanya Rosalyn sesampainya di rumah sakit.“Air ketubannya pecah. Dia kesakitan.” Kevin tampak gelisah, pria itu masih mengenakan piama dan menutupi tubuh dengan selimut.Rosalyn menuntun Kevin supaya duduk di bangku logam depan ruang bersalin. “Kita berdoa saja semoga Lily dan bayinya selamat.”Ketiga orang itu menanti dengan gelisah. Setelah hampir setengah jam berjalan, seorang dokter menghampiri Kevin dan menjelaskan, “Bayi Nyonya Lily sebentar lagi lahir, jika suaminya ingin melihat proses persalinan, kami persilakan.”Kevin menggeleng. Justru ia mendorong Rosalyn supaya menemani Lily di dalam sana. Sebagai wanita yang pernah melahirkan, ia mencebik melihat dua pria duduk gelisah di kursi. Ia pun mendampingi Lily di ruang bersalin.Rosalyn segera menggenggam tangan iparnya. Lily sedang kesakitan setelah pembukaan jalan lahir melebar sempurna.“Semangat Lily, kamu pasti bisa,” bisik Rosalyn diangguki iparnya.Dengan bimbingan dokter spesialis kandungan
“Kenapa, Bro?” sapa Fabian sambil menyodorkan sekaleng minuman. “Orang bilang ini bagus dan tahan lama,” kata pria itu.Dewa memelotot dan menyambar kaleng, lalu membuangnya ke tempat sampah.“Tidak butuh!” sentak Dewa dengan tatapan menghunus tajam.Fabian menepuk bahu temannya dan berujar, “Jangan marah-marah, kamu bisa darah tinggi!”Dewa mendengkus kasar, baginya kalimat Fabian bukan menenangkan melainkan sebuah ejekan. Pria itu menepis kasar tangan temannya, lalu berjalan mencari Rosalyn ke dalam mansion.Pagi ini, keluarga kecil itu sengaja mengunjungi Mansion Arnold. Tentu saja, karena Tuan Jack dan Feli menitipkan beberapa hadiah untuk Lily dan calon bayinya.Akan tetapi, kening Dewa mengerut dalam ketika melihat Rosalyn berjalan sendirian tanpa keempat anak mereka.“Di mana Brahma, Arimbi, Devendra dan Daneswara?” tanya Dewa dengan tatapan menyelidik.Mendengar pertanyaan itu tentunya Rosalyn mengulum senyum. Ah, ia memang sengaja menyiapkan kejutan istimewa ini untuk suami p
“Halo, Sayang … Papa datang. Janeta sudah mandi, ya? Harum banget.” Kevin menggendong putri kecilnya yang menyambut di balik pintu. Pria itu menciumi puncak kepala Janeta dan mengayun tubuhnya, membuat putri kecil tertawa riang. Namun, di ujung lorong, seorang wanita sedang cemberut menatap ke arah Kevin.“Terima ka—” Ucapan Kevin menggantung karena wanita itu melengos saja ke dapur tanpa mengelurkan sepatah kata.Kevin menurunkan tubuh Janeta dan membiarkannya bermain, lalu ia menyusul pujaan hati yang entah kenapa memasang wajah ketus.“Kamu kenapa?” tanya Kevin.“Menurutmu, kenapa?” ketusnya.“Aku tidak tahu, Lily. Ayo, bilang,” ucap Kevin lagi.Lily menatap tajam ke arah Kevin dan berujar, “Aku bosan seharian di rumah. Aku ini biasa kerja, bukan diam di rumah. Apalagi … ka-mu lebih memperhatikan Janeta dibanding aku.” Pascadinyatakan hamil, Lily diberhentikan oleh Dewa. Wanita itu pun ikut tinggal di Milan. Dia tidak lagi sibuk mengurusi peternakan, karena Dewa berhasil mencari
“Astaga apa-apaan mereka ini?!” geram Fabian. Ia menatap layar ponsel yang tidak berhenti berpendar sedari tadi. Itu bukan masalah pekerjaan kantor, tetapi … masalah rumah tangga, terutama ranjang. Demi kelangsungan masa depannya. Meskipun sudah mengetahui isinya, tetap saja Kevin mengintip melalui pop up. Dia terbelalak ketika satu pesan kembali masuk dari adik ipar. [Tutorial posisi hubungan intim untuk memiliki keturunan secepatnya.] “Dia pikir aku pria polos? Aku ini lebih berpengalaman darinya!” Kevin melempar telepon genggam ke atas sofa, lantas berdiri sambil memandangi foto pernikahan di atas meja. Lagi, Kevin tetap membaca pesan adik iparnya. Sebagai seorang pria berpengalaman, tentu saja posisi itu tidak asing lagi. Ia pun mereguk saliva, pikirannya berfantasi liar membayangkan Lily. Gairah pria itu tersulut. Hanya saja, ia bingung menyalurkannya, sebab Lily tidak ada di sini. Pasangan itu menjalani hubungan jarak jauh. Terpaksa Kevin bertahan sampai Dewa menemukan p
“Kevin … anakku apa kabar? Ibu selalu menunggumu setiap hari, Nak. Kenapa baru datang sekarang?” berondong Mathilda dari balik partisi kaca tebal.Wanita paruh baya itu menempelkan tangannya pada penghalang, lalu menggerakkan jemari—seolah membelai pipi putra tunggalnya.“Aku datang ke sini ada perlu. Kuharap Ibu menerimanya,” kata Kevin dengan intonasi dingin dan ekspresi datar.Mathilda mengangguk dan menyahut penuh kasih, “Pasti, Nak. Ibu menerima apa pun yang terbaik untukmu.”Kulit keriput Mathilda tertarik ke atas, ia tersenyum merekah sambil meneteskan bulir bening.Lebih dari semenit keduanya terdiam saling memandangi. Entah apa yang dipikirkan kedua orang itu. Hanya saja Mathila tidak menjauhkan tangannya dari kaca tebal. Kevin pun bisa melihat tangan ibunya berkeringat.“Aku sudah menikah.”Sorot mata Mathilda berbinar. “Benarkah? Siapa gadis beruntung itu? B
“I-ini masih siang,” gugup Lily. Perempuan itu mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Ada ranjang besar yang disiapkan khusus pengantin baru, sofa panjang serta meja kaca dan cermin besar menggantung di depannya. Sekilas, ini kamar hotel pada umumnya. Namun, Lily dibuat asing dengan status baru ini.Sejak masuk kamar, Kevin memeluk erat tubuh sang istri dari belakang. Pria itu menggesek puncak hidungnya pada tengkuk harum. “Memangnya kenapa kalau siang? Bukahkah itu bagus, kita bisa menikmati siang dan malam di hari yang sama?” Lily mereguk saliva. Walaupun bukan pengalaman pertama berhubungan intim, tetapi … ini pertama kali bersama pria berstatus sebagai suami.“Tapi—”Ucapan Lily tertahan karena Kevin memutar tubuh wanita itu dengan cepat. “Tidak ada tapi. Kamu milikku sekarang dan selamanya.” Lily hendak menunduk, tetapi Kevin mencegahnya. Pria itu menahan dagu sang istri, lalu meraup bibir tipis yang ia rinduka
Kevin menghela napas melihat tanggapan Lily. Haruskan ia menyerah dan tenggelam ke dasar lautan patah hati? Ya, mungkin … karena ini bukanlah kali pertama gadis itu menolaknya. Pria itu menarik tangannya. Namun ….“Cincinya kebesaran. Enggak sesuai ukuran jariku,” kata gadis itu menggunakan bahasa informal . Lily mengulurkan tangan kanan, yang menampilkan jemari ramping dan mungil.Seketika Kevin memperhatikan jemari gadis itu, dan pikirannya mencerna maksud ucapan Lily barusan. Bagi seorang pria, tentunya ini merupakan teka-teki. “Umm … maksudmu?” Alis tebal Kevin terangkat.Lily tersenyum jengah mendengar pertanyaan itu. Tanpa banyak bicara, gadis itu mengambil cincin dari tangan Kevin, lalu menyematkan sendiri pada jari manisnya.“Ini kebesaran, lihat bukan?” keluh gadis itu dengan bibir merengut yang sangat menggoda.Melihat cincin pilihannya melingkar pada jari manis sang gadis pujaan hati, membuat pria itu kegirangan. Kevi
Untuk sesaat keduanya membeku di tempat. Tidak ada aksi apa pun selain saling memandang lekat-lekat dengan isi pikiran masing-masing.Lily mereguk saliva karena saat ini tubuhnya hanya tertutupi sehelai handuk putih saja. Ia meremas kain handuk dengan erat, khawatir terjadi hal yang tidak seharusnya.“Maaf, aku lancang ….” Kevin berbalik badan dan menutup pintu.Pria itu bersandar pada pintu sambil mengatur napas. Melihat kemolekan seorang wanita, ditambah memiliki kenangan ranjang membuat nalurinya sebagai lelaki tersulut gairah. Ia ingin menyentuh, membelai dan mengecup setiap jengkal kulit mulus itu. Hanya saja, tidak! Kevin melawan egonya.Pria itu kembali ke kamar. Ia menemani Janeta, dan berupaya menenangkan batita itu.Sedangkan Lily masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Namun, napasnya tidak tegang lagi. Ada kelegaan setelah Kevin pergi.“Dia …,” gumam gadis itu sambil mengangguk.Lily menggunakan pakaian serba panjang. Entah mengapa ia teringat pada tatapan Kevin tadi. Set
Beberapa hari berlalu, Lily tampak kesulitan berpamitan dengan Janeta. Gadis itu selalu menahan diri untuk pulang ke peternakan. Pada akhirnya ia menemani Janeta di vila atau rawat jalan ke rumah sakit. Seperti hari ini, Lily mengantar Janeta bertemu dokter.Akan tetapi, gadis itu tidak menduga Kevin datang menjemputnya. Bahkan mereka makan bertiga di restoran.Setelahnya Kevin membawa Lily dan Janeta pulang.“Kamu yakin bisa sendirian? Janeta berat. Biar aku saja yang gendong,” ujar Kevin.“Saya kuat, Pak.” Lily tidak menggubris ucapan Kevin. Gadis itu merengkuh tubuh batita yang terlelap tidur dari jok belakang, menggendongnya dan membawa ke kamar.Dengan hati-hati, Lily membaringkan Janeta, lantas mengecup kening batita itu. Ia tersenyum sambil menatap wajah polos bocah kecil yang agak mirip dengan Vinsensia.“Mama sayang kamu, Janeta,” gumam Lily.Hingga derit pintu terbuka membuat Lily menoleh