Satu hari setelahnya, Rosalyn bangun lebih awal. Ia sengaja menghubungi Lily untuk menanyakan kondisi perusahaan. Sayang, gadis itu berdusta, penjelasannya berbanding terbalik dengan sejumlah fakta yang ditunjukkan oleh Dewa.
“Tega sekali dia membohongiku. Apa Lily lupa bagaimana aku mendirikan perusahaan itu?” geram Rosalyn sambil mengepalkan tangan di atas selimut abu-abu.
Sepasang netra hazel melirik ke samping, Dewa masih terlelap dalam buaian mimpi. Ya, memang ini pukul lima pagi, siapa juga yang sudah bangun?
Rosalyn tidak berhenti, gegas ia menghubungi Kevin. Panggilan suara darinya tidak diterima, dan pesan teks yang semalam dikirim tak kunjung mendapat balasan. Namun, ia terus menelepon sang kakak hingga akhirnya tepat 11 kali mencoba, Rosalyn bisa mendengar suara Kevin.
“Apa yang terjadi, Kak? Kenapa Kakak menghilang? Apa Janeta baik-baik saja?” berondong bibir tipis tanpa basa-basi.
“Maaf, Dik. Aku sibuk, ba
[Terima kasih cincinnya, Dewa. Ngomong-ngomong, kapan kamu menceraikan dia?] Jantung Rosalyn seketika merosot setelah membaca pesan di ponsel sang suami, dari seseorang wanita yang sudah jadi duri dalam pernikahannya. Dadanya semakin sakit seperti tertusuk ribuan jarum ketika melihat foto profil wanita itu. Di foto itu terlihat sang wanita sedang memamerkan cincin berlian yang melingkar elok di jari manis. "Jadi, cincin itu untuknya?" Rosalyn mungkin terlalu polos. Semula, ia pikir Dewa mengingat hari ulang tahunnya dan telah menyiapkan sebuah kado berupa cincin berlian. Namun, kini ia tahu ... Cincin itu untuk wanita kedua suaminya. Rosalyn meremas ponsel milik suaminya. Bibirnya melengkungkan senyum nelangsa. Mata almondnya memandang nanar sertifikat cincin yang ia temukan diantara tumpukan pakaian. “Apa yang kamu lakukan?” Tiba-tiba suara dingin seorang pria menusuk gendang telinga Rosalyn dan membuyarkan lamunan. “Ada pesan di ponselmu," tutur Rosalyn lemah, dengan suara
“Cerai katamu?!” ucap Dewa. Seketika pria itu langsung memutar tubuh menghadap Rosalyn dan memancarkan aura dingin yang menyelimuti kamar. “Apa yang harus dipertahankan, Dewa?" Rosalyn menahan sesak dalam dada. Ia mengepalkan tangan dengan kuat hingga kuku cantik menusuk telapaknya. "Kamu tidak mencintaiku. Kamu juga tidak menginginkan anak di pernikahan ini." Pria itu berjalan mendekati Rosalyn, lalu duduk di tepi ranjang. Jemari lentik Dewa menyapu halus kulit lengan seputih susu istrinya. Meskipun lembut, tidak ada kehangatan pada sentuhan itu. Rosalyn merinding dibuatnya. Ia tahu sentuhan ini pertanda suaminya sedang marah besar bukan sebuah ungkapan kasih sayang. Satu sudut bibir Dewa terangkat. Ia berkata, “Sepertinya kamu mulai gila, Rosalyn.” Sepersekian detik, Rosalyn terkesiap. Bukankah seharusnya Dewa senang atas permintaan cerai ini? Lagipula, mungkin pernyataan Dewa ada benarnya. Dia mungkin sudah gila. Orang waras mana yang akan terus mengejar cinta suami hasil da
"Kamu ... Fabian?!" Rosalyn nyaris tidak percaya melihat sosok pria yang dulu begitu dekat dengannya, kini muncul di hadapannya setelah sekian lama tak berjumpa. Fabian tersenyum lebar. “Kebetulan sekali kita bertemu. Bagaimana kabarmu?” Wajah tampan pria itu tampak menyejukkan di bawah sinar matahari musim semi. “Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?” Rosalyn tersenyum hangat, sejenak melupakan rasa lelahnya. Fabian menyahut dengan suara lembut, “Secara fisik aku sehat.” Sesaat kemudian Rosalyn merasakan Fabian memperhatikannya. Ia tahu pria itu sedang menunjukkan ketertarikan dan kekaguman yang tidak berubah sedari dulu. Tiba-tiba Fabian mengeluarkan kartu nama dan memberikannya kepada Rosalyn. Membuat wanita itu mengerutkan alis serta bertanya, “Ini untuk apa?” “Aku tahu kamu sangat berbakat. Kebetulan perusahaan kami sedang mencari seorang arsitek andal.” Sorot mata Fabian terlihat tulus ketika mengucapkannya. Pria itu menambahkan, “Datanglah besok, kami mengadakan wawacar
Sementara Rosalyn telah menghilang dari pandangannya, Dewa justru kini sedang dirundung perasaan aneh. Pria itu langsung mengajak sang kekasih meninggalkan kafe tersebut. "Ayo pulang, Vinsensia. Kamu harus beristirahat." Vinsensia mengangguk pelan. "Kamu tidak ingin menemui istrimu dulu?" Gadis itu menyeringai tipis, karena upayanya sebentar lagi membuahkan hasil. Namun, Dewa hanya terdiam, memasang wajah dingin dengan tatapan menghujam ke arah Rosalyn menghilang. “Biasanya sikap perempuan berubah karena memiliki pria idaman lain.” Wajah Vinsensia tampak seperti berpikir, tetapi kemudian berubah menjadi sedikit berempati. “Aku pikir, Rosalyn bisa menjadi istri yang baik.” Dewa menggeram sembari mengepalkan tangan. Kalimat yang diutarakan Vinsensia saat ini sungguh cocok dengan perubahan istrinya yang drastis kemarin. Melihat ekspresi marah Dewa, Vinsensia semakin menjadi-jadi merendahkan Rosalyn. “Seandainya itu benar, citramu bisa rusak andai kata media mengetahuinya. Menurutku
"Apa Dewa sudah pulang?" Rosalyn pulang ke vila ketika langit mulai gelap. Langkahnya untuk mengajukan cerai semakin matang setelah mengetahui Dewa menahannya hanya karena alasan ibunya yang sakit. Jadi, setelah bertemu Vinsensia di hotel wanita itu, Rosalyn mengunjungi pengacaranya untuk mendapatkan surat gugatan. "Tuan Caldwell belum pulang, Nyonya." Wajah-wajah pelayan itu menatap Rosalyn dengan wajah khawatir. Senyum yang biasa muncul di bibirnya yang merah, kini menghilang. Wajahnya pun terlihat pucat dan lelah. Belum lagi, suara wanita itu yang terdengar tidak begitu bersemangat. Menghela napas panjang, Rosalyn kemudian bergegas ke kamar. Ia berencana pergi malam ini juga. Tidak lupa, ia menaruh surat gugatan perceraian yang telah ia tanda tangani di atas nakas, agar Dewa mudah menemukannya. Bukan hanya itu, wanita itu juga mengembalikan seluruh pemberian Dewa, termasuk kartu, juga cincin pernikahan mereka. Wanita itu hanya membawa sedikit pakaian ke dalam koper kecilnya
“Rosalyn?” panggil Dewa dalam tidurnya. Saat ini, ia sedang terbaring di atas ranjang pasien. Sudah lima jam paska mendapat perawatan tetapi pria itu belum siuman.“Dewa, ini aku. Buka matamu!” Seorang wanita menangis sembari menggenggam tangan Dewa.Ketika membuka mata, samar-samar Dewa melihat wanita cantik sedang menatap ke arahnya. Pria itu berpikir bahwa Rosalyn telah berubah pikiran. Ia tersenyum kecil karena wanita manja itu hanya merajuk.Setelah penglihatanya berubah jelas seketika Dewa tertegun. Ternyata ….“Vinsensia … kamu di sini?” Dewa memperhatikan tangannya yang digenggam oleh perempuan itu. Kemudian ia mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan lalu bertanya, “Di mana Rosalyn?”Vinsensia menangis tersedu-sedu. “Tidak ada Rosalyn di sini. “Bukankah kehadiranku juga sudah cukup?” Vinsensia mencondongkan tubuhnya mendekati Dewa. “Aku bisa merawatmu … menggantikan Rosalyn.”“Jangan menangis lagi,” kata Dewa dengan lemah lembut. Pria itu menyeka air mata Vinsensia. “Kalau be
‘Katakan kamu memilihku!’ Jiwa Rosalyn bergejolak.Bagaimanapun Rosalyn menginginkan kelak anaknya memiliki keluarga utuh dan mendapat kasih sayang dari kedua orang tua. Namun … melihat keterdiaman Dewa, ia tertawa miris. Bahkan melalui bahasa tubuh pria itu Rosalyn sudah mendapat jawaban.“Kenapa diam? Apa pertanyaanku salah?” Suara Rosalyn bergetar karena menahan tangis.Lagi, tidak ada jawaban dari mulut Dewa. Pria itu hanya menatap lekat wajah Rosalyn yang terlihat mengenaskan.Awalnya ia sempat tersentuh dengan kelembutan suaminya, merasa pria itu telah berubah setelah mengetahui kehamilannya. Ternyata … Rosalyn terlalu percaya diri. Ia mendorong pelan dada bidang Dewa untuk memberi jarak.“Rosalyn ….” Tatapan Dewa yang semula hangat berubah dingin. “Itu tidak mungkin.”“Kamu tidak bisa menjadi ayah yang baik karena mendahulukan orang lain dibanding darah dagingmu sendiri!”Sesudah mengatakan itu Rosalyn beranjak dari hadapan Dewa. Di saat bersamaan, telepon genggam miliknya berde
‘Dewa sudah membawanya ke sini.' Hati Rosalyn tercubit perih. Bahkan harga dirinya sebagai Nyonya Caldwell tidak dihargai lagi.Meskipun dadanya terasa sesak, ia tidak mau memperlihatkannya. Rosalyn bersikap tak acuh menatap kemesraan dua insan menjijikkan di hadapannya.Ekspresi wajah Rosalyn sangat tenang Ketika Dewa memandang sekilas ke arahnya. Ia melihat bagaimana pria itu menepuk pelan tangan wanita lain yang bergelayut manja pada lengan kekar.“Kenapa tidak istirahat di hotel?” Suara lembut Dewa terdengar menggelikan di telinga Rosalyn.Sebelum menjawab, Vinsensia menempelkan kepalanya ke bahu kokoh Dewa. Gadis itu mendongak dan berkata manja, “Aku takut terjadi sesuatu denganmu. Kamu tidak menjawab teleponku.”Dewa mengernyit kemudian memeriksa ponselnya. Manik abu-abu pria itu mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Vinsensia.“Tentu saja dia tidak menerima teleponmu. Memangnya kamu tidak lihat kami sedang bersama?” Rosalyn menunjukkan senyum lebar membuat Vinsensia t