Jaka udah curiga sejak kapan tahu pernikahannya hari ini bakal disabotase. Tiba-tiba saja penghulunya menghilang tanpa kabar. Sementara bapaknya Erna nggak pede buat nikahin anaknya sendiri, tapi ogah nyerahin perwakilannya ke Wali Hakim. Jadwal akad nikahnya jadi molor jauh dari waktunya.
“Kita tunggu sampai penghulu datang!” kata bapaknya Erna sok tenang. Padahal keringetnya lagi banjir ngeliat tenda birunya udah penuh sama orang-orang yang kepingin menyaksikan pernikahan sakral ini. Undangan yang datang membludak diluar dugaan. Soalnya orang sekampung telanjur kepo. Soalnya drama pernikahan puterinya ini berbalut rumor yang kerap melibatkan kisah masa lalunya si calon mantu dengan si mantan.
Ibunya Erna mohon-mohon kepada si bapak supaya memberanikan diri nikahin anaknya, soalnya penghulunya nggak datang-datang padahal udah menjelang siang. Bapaknya Erna kekeuh nggak mau. Tapi karena tamunya udah pada ngumpul ramai, Pak Botak nekat maju juga. Ngomongnya jadi berbe
Nuning memegangi jantungnya yang nyaris melompat ke langit saking senangnya. "Vincent? Betulan ini kamu?" tanyanya yang tak perlu, sebab dari desah napasnya saja, Nuning tahu ini memang dia. "K-kamu di Milan kan?" tanyanya. Lalu terdengar suara tawa merdu Vincent yang rasanya sanggup merontokkan seluruh bulu keteknya yang lupa belum dicabutin."Iya, aku masih di Milan. Kamu?"Nuning tersenyum sembari berjalan menjauhi janur kuning yang melambai-lambai di belakangnya. Kalau si janur bisa ngomong, pasti udah manggiin dia, 'Woooy jangan kabur! Tanggung jawab lo, udah bikin rusuh pernikahan mantan!'"Aku sekarang di kampung. Ehm, ada apa meneleponku?" jawab Nuning masih dengan senyumnya yang malu-malu senang. Jantungnya masih terasa jeladugan tak menentu.Tapi kemudian, jantungnya serasa berhenti berdetak saat terdengar suara perempuan lain dalam telepon Vincent, tapi itu bukanlah suara Nyonya Rose..."Sayaaang, ayo lekas
Nuning lekas menyadari situasi yang baru saja terjadi. Gempa bumi. Bencana alam. Lalu buru-buru menelepon untuk mengecek kondisi keluarganya. Tapi mendesah kecewa karena masih nggak ada sinyal. Lalu ia berlari pulang ke rumah secepat yang ia bisa. Sudah lama ia nggak nyolong mangga. Mbah Surip juga udah lama meninggal. Nggak ada lagi yang mengejar-ngejarnya. Jadi Nuning udah lama nggak melatih kemampuan larinya. Napasnya jadi mudah tersengal. “Niiing!” Tiba-tiba ia melihat Bambang melambai-lambai di atas motor bebeknya. Nuning balas melambai. “Maaaas!” jeritnya lega ngeliat bantuan datang. “Buruan naik! Kita harus ke Rumah Sakit, Emak pingsan... Kepalanya bocor ketimpa tiang," kata Bambang sambil ngasih kode adiknya agar lekas melompat ke atas boncengannya lalu ngegas ng
Jaka merasakan kedamaian yang menyembul dalam hatinya selama menemani Nuning menjaga Bu Parmi di Rumah Sakit. Jaka mengenal Bu Parmi bukan baru kemarin sore, tapi sejak kecil. Sejak ia mulai bersahabat dengan Nuning, Bu Parmi menerimanya seperti seorang anak. Rumah Nuning sudah seperti rumah keduanya di kampung. Meja makan Bu Parmi sudah seperti meja makannya sendiri. Bu Parmi tak pelit berbagi lauk pauk untuknya. Juga tak pernah kapok meski Jaka suka bikin ludes isi magic comtiap habis makan bareng Nuning. Ketulusan Bu Parmi yang mengalir deras kepadanya, terasa menyirami kegersangan hatinya yang saat itu jauh dari buaian kasih ibu kandungnya sendiri. Syukurlah Emak amnesia... Aku jadi punya kesempatan merawat Emak. Dipandanginya Bu Parmi yang tidur sepulas bayi lagi dibedong. Garis-garis kelelahan terlihat jelas dalam wajahnya yang mulai menua. Meski hobi ngomel dan marah-marah khas emak-emak, tapi Bu Parmi memiliki senyum meneduhkan, yang kel
"Apa-apaan kamu, Jak..." desis Erna di ambang pintu dengan tatapan nyalang. Jaka meringis menahan kesemutan yang terasa merambati kakinya karena semalaman menahan kepala Nuning yang tertidur di pangkuannya. Tapi ia memaksakan bangkit dan beranjak dari sofa. Menyambut Erna dengan manis demi menghindari keributan sepagi ini. "Kamu sama siapa, Er? Masuk, yuk?" bisik Jaka setenang mungkin. Baru kali ini Jaka mendapati wajah Erna semurka ini. Biasanya kekasihnya ini jarang marah dan selalu manis kepadanya. Sepelik apapun masalah yang mereka hadapi selama berpacaran, Erna lebih memilih menyelesaikannya dengan sedikit emosi yang tampak. "Kita harus bicara," desis Erna dengan tatapan berkaca-kaca. Jaka mendekat dan menggandeng lengan Erna. "Iya, tapi temuilah Bu Parmi dulu, setidaknya demi kesopanan," bisiknya. Erna yang tadinya ingin menolak, mau tak mau menurut juga setelah menyadari keadaan dan lingkungannya. Apalagi Bu Parmi dan susternya
Erna menginjak pedal gas mobilnya dengan emosi. Bersama tangisnya yang membanjiri pipi. Dadanya bagai dihantam gada tak kasat mata yang menghancurkan hatinya dengan telak. Sakittt, tapi... tak berdarah. Begitu mobilnya sudah keluar dari ramainya jalanan perkotaan, Erna mulai menambah kecepatannya. Suasana jalanan menuju kampungnya masih begitu sepi pagi ini. Membuat adrenalinnya berpacu deras bersama amarahnya yang meluap-luap. Xenia putihnya melesat cepat. Erna sengaja membuka kaca jendela. Membiarkan angin menampari wajah sembabnya dan mengibarkan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. “Apa sih yang kamu lihat darinya, Jak! Padahal kamu tahu sejak dulu gimana bodohnya dia. Bahkan dia selalu mencontekmu habis-habisan. Tanpamu, Nuning nggak bakal punya ijazah sampai SMA. Dia idiot. Cakep juga nggak! Kelakuannya juga nggak pernah beres di sekolah. Apa coba yang kamu lihat darinya? Apaaaa?!” makinya sambil menekan pedal gas. "Tapi bodohnya aku... selalu saja m
Bu Parmi memandangi Nuning yang kembali ke kamar perawatannya dengan tertunduk lesu. "Ada apa, Nduk? Jaka kenapa sih tadi sampai lari-lari begitu?" selidiknya sambil kedip-kedip penasaran. Tapi Nuning menjawabnya dengan segaris senyum tipis. Jenis senyum yang nggak enak menurut Bu Parmi. Rasanya lebih baik Nuning datang sambil ngomel-ngomel aja ketimbang senyum-senyum penuh misteri kayak gini. Tanda-tanda ada yang nggak beres. Bu Parmi jadi gelisah karena Nuning belum juga kasih bocoran tentang apa yang tadi terjadi. Puteri satu-satunya itu malah sibuk menonton TV dengan tatapan kosong, entah sedang mengembara ke mana pikirannya sekarang. Bu Parmi berusaha mengajaknya ngobrol, tapi cuma dijawab oleh angin, alias dicuekin. "Assalamualaikum..." Suara ramai di ambang pintu mengejutkan Bu Parmi dan Nuning yang sejak tadi melamun. Nuning dan Bu Parmi pun menjawab bersamaan, "Waalaikumsalam..." "Permisi..." Rombongan emak-emak berkerudung memasuki kam
Erna tersenyum melihat Jaka keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambutnya yang basah sehabis keramas. Diam-diam Erna berpikir cedera dan rasa sakit dialaminya sekarang terasa sepadan. Sebab dengan begini, pria yang dicintainya itu selalu berada di sisi. Jaka merawatnya dengan sangat baik sejak hari pertama ia dirawat karena kecelakaan. Erna menyesal pernah menampar dan memutuskan Jaka karena dibakar cemburu. Demi Tuhan, bukan itu yang ia inginkan. Anggap saja aku tak pernah melakukannya... Iaingin merajut kembali hubungan mereka dalam kesempatan ini. "Enak ya keramas siang-siang, segar?" tegur Erna dengan senyum lebar. Jaka membalasnya dengan senyum tipis. "Sudah makan?" Lalu mengecek meja yang dipenuhi makan siang Erna yang masih utuh. "Gimana mau cepat sembuh kalau makan aja malas kayak gini," gumamnya sambil membuka satu per satu plastik wrap dari piring dan mangkuk-mangkuk Erna. Lalu menuangkan sayur dan lauk pauk untuk
Bu Parmi manyun memandangi makanannya. Sama sekali nggak selera. "Masakanmu nggak enak!" omelnya kepada Nuning yang ngelap keringet, gempor ngurusin emaknya yang super cerewet. "Ya wajarlah nggak enak .... Kan belum boleh pake garam," oceh Nuning sambil mengambil alih piring dari tangan Bu Parmi lalu menyuapinya. Bu Parmi mangap, bukan untuk makan, tapi buat ngomong. "Jaka mana sih, kok nggak kelihatan? Harusnya kan dia di sini ..." gumamnya. Lalu mingkem ogah disuapin. "Jaka lagi ngurusin Erna," jawab Nuning cepat, dan secepat itu pula Bu Parmi memegangi kepalanya. "Kenapa kamu biarin pelakor itu dekat-dekat sama suamimu sih?" "Siapa yang pelakor?" "Erna!" "Dia bukan pelakor, Mak .... Dia itu calon istri Jaka!" "Maksudmu, kamu rela dipoligami?" "Siapa yang rela dipoligami .... Aku dan Jaka udah cerai kok!" "Cerai gundulmu! Aku nggak ingat kalian pernah cerai, bohong kamu!" Bu Parmi mewek terus nan
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m