Nuning lekas menyadari situasi yang baru saja terjadi. Gempa bumi. Bencana alam. Lalu buru-buru menelepon untuk mengecek kondisi keluarganya. Tapi mendesah kecewa karena masih nggak ada sinyal. Lalu ia berlari pulang ke rumah secepat yang ia bisa. Sudah lama ia nggak nyolong mangga. Mbah Surip juga udah lama meninggal. Nggak ada lagi yang mengejar-ngejarnya. Jadi Nuning udah lama nggak melatih kemampuan larinya. Napasnya jadi mudah tersengal.
“Niiing!” Tiba-tiba ia melihat Bambang melambai-lambai di atas motor bebeknya.
Nuning balas melambai. “Maaaas!” jeritnya lega ngeliat bantuan datang.
“Buruan naik! Kita harus ke Rumah Sakit, Emak pingsan... Kepalanya bocor ketimpa tiang," kata Bambang sambil ngasih kode adiknya agar lekas melompat ke atas boncengannya lalu ngegas ng
Jaka merasakan kedamaian yang menyembul dalam hatinya selama menemani Nuning menjaga Bu Parmi di Rumah Sakit. Jaka mengenal Bu Parmi bukan baru kemarin sore, tapi sejak kecil. Sejak ia mulai bersahabat dengan Nuning, Bu Parmi menerimanya seperti seorang anak. Rumah Nuning sudah seperti rumah keduanya di kampung. Meja makan Bu Parmi sudah seperti meja makannya sendiri. Bu Parmi tak pelit berbagi lauk pauk untuknya. Juga tak pernah kapok meski Jaka suka bikin ludes isi magic comtiap habis makan bareng Nuning. Ketulusan Bu Parmi yang mengalir deras kepadanya, terasa menyirami kegersangan hatinya yang saat itu jauh dari buaian kasih ibu kandungnya sendiri. Syukurlah Emak amnesia... Aku jadi punya kesempatan merawat Emak. Dipandanginya Bu Parmi yang tidur sepulas bayi lagi dibedong. Garis-garis kelelahan terlihat jelas dalam wajahnya yang mulai menua. Meski hobi ngomel dan marah-marah khas emak-emak, tapi Bu Parmi memiliki senyum meneduhkan, yang kel
"Apa-apaan kamu, Jak..." desis Erna di ambang pintu dengan tatapan nyalang. Jaka meringis menahan kesemutan yang terasa merambati kakinya karena semalaman menahan kepala Nuning yang tertidur di pangkuannya. Tapi ia memaksakan bangkit dan beranjak dari sofa. Menyambut Erna dengan manis demi menghindari keributan sepagi ini. "Kamu sama siapa, Er? Masuk, yuk?" bisik Jaka setenang mungkin. Baru kali ini Jaka mendapati wajah Erna semurka ini. Biasanya kekasihnya ini jarang marah dan selalu manis kepadanya. Sepelik apapun masalah yang mereka hadapi selama berpacaran, Erna lebih memilih menyelesaikannya dengan sedikit emosi yang tampak. "Kita harus bicara," desis Erna dengan tatapan berkaca-kaca. Jaka mendekat dan menggandeng lengan Erna. "Iya, tapi temuilah Bu Parmi dulu, setidaknya demi kesopanan," bisiknya. Erna yang tadinya ingin menolak, mau tak mau menurut juga setelah menyadari keadaan dan lingkungannya. Apalagi Bu Parmi dan susternya
Erna menginjak pedal gas mobilnya dengan emosi. Bersama tangisnya yang membanjiri pipi. Dadanya bagai dihantam gada tak kasat mata yang menghancurkan hatinya dengan telak. Sakittt, tapi... tak berdarah. Begitu mobilnya sudah keluar dari ramainya jalanan perkotaan, Erna mulai menambah kecepatannya. Suasana jalanan menuju kampungnya masih begitu sepi pagi ini. Membuat adrenalinnya berpacu deras bersama amarahnya yang meluap-luap. Xenia putihnya melesat cepat. Erna sengaja membuka kaca jendela. Membiarkan angin menampari wajah sembabnya dan mengibarkan rambut panjangnya yang dibiarkan terurai. “Apa sih yang kamu lihat darinya, Jak! Padahal kamu tahu sejak dulu gimana bodohnya dia. Bahkan dia selalu mencontekmu habis-habisan. Tanpamu, Nuning nggak bakal punya ijazah sampai SMA. Dia idiot. Cakep juga nggak! Kelakuannya juga nggak pernah beres di sekolah. Apa coba yang kamu lihat darinya? Apaaaa?!” makinya sambil menekan pedal gas. "Tapi bodohnya aku... selalu saja m
Bu Parmi memandangi Nuning yang kembali ke kamar perawatannya dengan tertunduk lesu. "Ada apa, Nduk? Jaka kenapa sih tadi sampai lari-lari begitu?" selidiknya sambil kedip-kedip penasaran. Tapi Nuning menjawabnya dengan segaris senyum tipis. Jenis senyum yang nggak enak menurut Bu Parmi. Rasanya lebih baik Nuning datang sambil ngomel-ngomel aja ketimbang senyum-senyum penuh misteri kayak gini. Tanda-tanda ada yang nggak beres. Bu Parmi jadi gelisah karena Nuning belum juga kasih bocoran tentang apa yang tadi terjadi. Puteri satu-satunya itu malah sibuk menonton TV dengan tatapan kosong, entah sedang mengembara ke mana pikirannya sekarang. Bu Parmi berusaha mengajaknya ngobrol, tapi cuma dijawab oleh angin, alias dicuekin. "Assalamualaikum..." Suara ramai di ambang pintu mengejutkan Bu Parmi dan Nuning yang sejak tadi melamun. Nuning dan Bu Parmi pun menjawab bersamaan, "Waalaikumsalam..." "Permisi..." Rombongan emak-emak berkerudung memasuki kam
Erna tersenyum melihat Jaka keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambutnya yang basah sehabis keramas. Diam-diam Erna berpikir cedera dan rasa sakit dialaminya sekarang terasa sepadan. Sebab dengan begini, pria yang dicintainya itu selalu berada di sisi. Jaka merawatnya dengan sangat baik sejak hari pertama ia dirawat karena kecelakaan. Erna menyesal pernah menampar dan memutuskan Jaka karena dibakar cemburu. Demi Tuhan, bukan itu yang ia inginkan. Anggap saja aku tak pernah melakukannya... Iaingin merajut kembali hubungan mereka dalam kesempatan ini. "Enak ya keramas siang-siang, segar?" tegur Erna dengan senyum lebar. Jaka membalasnya dengan senyum tipis. "Sudah makan?" Lalu mengecek meja yang dipenuhi makan siang Erna yang masih utuh. "Gimana mau cepat sembuh kalau makan aja malas kayak gini," gumamnya sambil membuka satu per satu plastik wrap dari piring dan mangkuk-mangkuk Erna. Lalu menuangkan sayur dan lauk pauk untuk
Bu Parmi manyun memandangi makanannya. Sama sekali nggak selera. "Masakanmu nggak enak!" omelnya kepada Nuning yang ngelap keringet, gempor ngurusin emaknya yang super cerewet. "Ya wajarlah nggak enak .... Kan belum boleh pake garam," oceh Nuning sambil mengambil alih piring dari tangan Bu Parmi lalu menyuapinya. Bu Parmi mangap, bukan untuk makan, tapi buat ngomong. "Jaka mana sih, kok nggak kelihatan? Harusnya kan dia di sini ..." gumamnya. Lalu mingkem ogah disuapin. "Jaka lagi ngurusin Erna," jawab Nuning cepat, dan secepat itu pula Bu Parmi memegangi kepalanya. "Kenapa kamu biarin pelakor itu dekat-dekat sama suamimu sih?" "Siapa yang pelakor?" "Erna!" "Dia bukan pelakor, Mak .... Dia itu calon istri Jaka!" "Maksudmu, kamu rela dipoligami?" "Siapa yang rela dipoligami .... Aku dan Jaka udah cerai kok!" "Cerai gundulmu! Aku nggak ingat kalian pernah cerai, bohong kamu!" Bu Parmi mewek terus nan
Erna menggeleng saat Jaka pamit mau berangkat ke Jakarta. "Tapi aku kan masih sakit," rengeknya dengan air mata berlinang. "Pekerjaan kan bisa kamu urusi dari sini, apa gunanya si Doni asistenmu itu? Suruh aja dia." "Ada hal-hal yang nggak bisa diurusi sama Doni. Aku harus ke Jakarta malam ini, besok pagi ada rapat penting dengan investor. Sebagai owner aku harus datang. Ayolah, Er ... Kamu tahu sendiri soal ini, kan? Mestinya aku nggak perlu jelasin, kamu pasti udah tahu," tegas Jaka tak ingin dicegah. Erna manyun. Dia sebenarnya paham, tapi ingin sekali-kali bersikap egois. Ingin menjadi prioritas Jaka yang nomor satu. Sementara Jaka masih menahan diri, padahal ingin segera mempertegas hubungannya dengan Erna yang baginya sudah berakhir pagi itu, saat Erna memutuskannya. Perasaannya terhadap Nuning yang semula samar dan abu-abu pun sudah terkuak jelas. Ia ingin rujuk dengan Nuning. Tapi tak tega membahasnya dulu, mengingat kondisi Erna yang belum pulih sep
Jaka mengendarai mobilnya menuju rumah Nuning, menjemput Bambang yang sudah siap menunggunya di teras. Jaka keluar mobil untuk menyapa Bu Parmi dan Pak Priyo. "Saya ke Jakarta dulu ya, Mak... Pak..." pamitnya sambil menjabat tangan kedua orang tua itu dengan hormat. Lalu mencari-cari sosok Nuning dengan tatapannya yang memindai ke dalam rumah."Hati-hati di jalan ya. Semoga lancar semua urusanmu di Jakarta," ujar Bu Parmi sambil mengusapi pundak Jaka."Terima kasih doanya, Mak. Emak juga semoga lekas sembuh," jawab Jaka dengan tersenyum."Yuk, berangkat," kata Bambang sambil membuka pintu mobil.Jaka menganguk lalu melongok ke dalam rumah. Tersenyum melihat Nuning yang baru muncul, berpakaian rapi dengan sebuah tote bag di bahunya. "Aku ikut," kata perempuan itu sebelum Jaka sempat bertanya. Membuat Jaka tambah berseri-seri, senang Nuning mengantarnya ke bandara.Sepanjang perjalanan, Jaka yang duduk di sebelah Bambang tak hentinya mena