Nuning lagi asyik-asyiknya ngemplok makanan ndeso yang dahsyat banget nikmatnya kala bel pintu berbunyi. Terpaksa menyudahi acara makan siang dan mematikan video rekamannya karena bunyi belnya tak kunjung henti. Tak mungkin itu Vincent karena masih di Italia, dia tak bakal pencet bel segala karena ini kan rumahnya sendiri.
Nuning mengintip siapa tamunya lewat lubang pintu, terperanjat begitu melihat penampakan Nyonya Rose di sana. Demi tuyul gundul yang nggak pernah gondrong... Apa pula yang membawa mertuanya kemari?! Iapun ngibrit mencuci mukanya. Untung mukanya udah terawat, meski cuma dibedakin dan pakai lipstik aja udah kelihatan segar, padahal belum mandi. Rambutnya juga udah lama pamitan sama ketombe karena tak luput dari perawatan. Jadi sekarang rambutnya pada kalem dan nurut aja pas disisir, nggak kaku kayak sapu ijuk lagi.
Nyonya Rose bersedekap dan memandanginya dengan masam saat Nuning membuka pintu. “Lama amat?” ketusnya sambil memasuki
Nuning termangu di jendela ruang tamu. Memandangi hujan yang nggak kelar-kelar. Hujan badai yang mengguyur Jakarta biasanya bikin Nuning senang. Tapi itu dulu, saat ia masih jadi ojek payung. Sekarang ia justru cemas bukan kepalang, sebab Nyonya Rose memaksa mereka menginap saja, artinya ia harus sekamar dengan Vincent. Dan bukannya menolak, Vincent malah setuju. Alasannya, jarak pandang yang pendek akibat lebatnya curah hujan bisa membahayakan saat menyetir.“Ngapain masih di sini?” tegur Vincent ngagetin. “Ayo,” ajaknya seraya meraih pergelangan tangan Nuning dan membawanya ke kamar yang fasilitasnya nggak kalah nyaman dengan kamar hotel berbintang.Vincent sudah mengganti pakaiannya dengan piyama. “Tidurlah duluan, aku masih ada kerjaan. Ganti bajumu dengan piyama yang di lemari,” katanya sembari membuka dan menyalakan laptop, lalu larut dalam pekerjaannya.“Mau kubuatin susu atau teh?” tanya Nuning menawari. Da
Vincent nganterin dokter Jinot yang super tampan sampai teras rumah. Para asisten rumah tangga yang berpapasan dengan mereka lekas memasang kacamata hitamnya lalu mengangguk hormat. Ketampanan dokter Jinot memang semenyilaukan itu.Dokter Jinot memberitahu apa saja hal yang harus dilakukan terkait kesehatan Nuning. "Tolong dijaga baik-baik makanan dan pola olahraganya ya? Tapi, apa kamu yakin nggak apa-apa mencium bau kentutnya yang seperti itu? Kalau emang nggak kuat, jangan memaksakan diri tetap tidur sekamar, setidaknya sampai bau kentutnya normal. Nanti yang ada pas istrimu sembuh, ganti kamu yang pingsan karena lemas," nasihat dokter Jinot setengah bercanda, yang disahuti Vincent dengan tawa."Nggak masalah kok, Dok. Saya sudah pesan masker khusus untuk mengatasinya. Istri sedang sakit, masa malah ditinggal sendirian..."Dokter Jinot manggut-manggut salut. "Hebat, kamu pasti sangat mencintainya, sampai sanggup menanggung bau sebusuk itu,"
Nuning uring-uringan karena Vincent menambah masa tinggal di rumah orangtuanya. Jadi udah lebih dari sebulan ini nggak bebas mau ngapa-ngapain. Jadwal makan dan porsinya jadi diatur oleh si koki, sesuai arahan dokter Jinot katanya. Padahal mana kenyang Nuning makan cuma seuprit. Percuma digaji banyak kalau buat makan aja disusah-susahin macem sekarang. Belum lagi jadwal therapy yang wajib dilakoninya. Bahkan Vincent mendatangkan Personal Trainer untuk mendampinginya olah raga bareng Nyonya Rose. Nuning tiba-tiba kepingin kabur sebentar. Tapi Vincent yang rencananya mau ada rapat di luar, malah nggak jadi. Padahal Nuning lagi suntuk-suntuknya. Maka saat Vincent lagi asyik-asyiknya terbuai grafik dan gambar balok dalam laptopnya, Nuning menyelinap keluar rumah naik ojek yang dipesannya secara online, tapi abang ojeknya disuruh nungguin aja di pengkolan. Orang rumah nggak ada yang curiga dia mau nge-mall karena cuma pakai kaos oblong, celana pendek, sandal jepitan, dan
“Kamu dimana sih?!” tanya Vincent terdengar marah saat Nuning mengangkat teleponnya. Setelah 99 panggilan sebelumnya ia abaikan. “Kantor Polisi,” sahut Nuning lugas. “Hah? Kantor apa? P-polisi?!” pekik Vincent di telepon sampai Nuning harus menjauhkan ponselnya dari kuping. “Dimana itu? Kujemput sekarang. Jangan kemana-mana!” perintahnya, lalu menutup telepon setelah Nuning memberitahu lokasinya. Nuning ketiduran di pojokan saat Vincent tergopoh-gopoh datang bersama pengacara untuk menjemputnya sejam kemudian. “Ayo pulang,” katanya dengan wajah sedingin es. Lalu melepas jas dan memakaikannya kepada Nuning. “Urusanmu sudah beres. Jangan diulangi. Bisa-bisanya kamu meninju dan menggigit Satpol PP? Emangnya kamu_? Ck. Sudahlah!” cecarnya sebelum menggandeng Nuning menuju mobil. Nuning memang habis berantem. Orang-orang melaporkan dirinya kepada petugas, mengira ada orang gila lepas dari RSJ Grogol nyasar ke Monas. K
Nuning terpukau begitu mobil yang menjemput mereka di bandara memasuki halaman luas sebuah villa kuno yang katanya punya Opa Daniel, sesepuh keluarga Rain. Ia akan tetap mematung di ambang pintu kalau saja Vincent tak buru-buru merangkul dan menggandengnya masuk. Opa Daniel yang sudah menunggu, menyambut kedatangan mereka dengan senyum hangat kebapakan. “Jadi, inilah istri dari pernikahan rahasiamu itu?” ujarnya kepada Vincent, lalu menoleh kepada Nuning. “Siapa namamu, Nak?” tanyanya sambil mengamati Nuning yang lekas menyebut namanya. “Baiklah, Nyonya Vincent. Selamat datang dan nikmati saja pestanya. Berbaurlah dengan yang lain,” katanya sembari terkekeh pergi. Nuning menggigit bibir begitu melirik hidangan yang sudah tersaji. Perutnya seketika mulai dangdutan ngajak makan. Tapi ia harus bersabar karena menunggui Vincent yang sedang berbasa-basi dulu dengan orang-orang. Tak peduli berapa kali Nuning telah menyebut namanya, mereka selalu tanya lagi karena cepat lup
Opa Daniel menyampaikan pidato ulang tahunnya dengan mata berkaca-kaca. “Aku bangga dengan pejuangan kalian hari ini, anak-anak, cucu-cucuku, dan semua menantuku. Kalian semua pemenangnya, nggak ada yang kalah dalam permainan tadi... kecuali mereka yang menyerah. Dan seperti itulah pernikahan. Kalian hanya akan menang jika bisa melaluinya hingga akhir, kala maut memisahkan. Ketiga misi tadi menggambarkan rangkaian proses pernikahan yang sedang dan akan kita lalui. Analogi dari misi pertama, persis menggambarkan kondisi kalian di awal-awal pernikahan. Antar pasangan mungkin masih perlu waktu untuk saling mengenal lebih baik di tahap ini. Akan ada banyak pertanyaan yang bisa memicu persoalan, tapi percayalah, jawaban demi jawaban atas persoalan antara kalian itu akan muncul dengan sendirinya di tengah jalan. Kalian hanya perlu bersabar melaluinya bersama-sama. Saling terbuka dan saling percayalah. Cobalah saling mengisi kekurangan satu sama lain. Misi kedua, menggambar
Jaka menjemput Nuning di bandara Radin Inten seorang diri. Lalu mengadu banyak hal kepada Nuning tentang semua kekisruhan yang menimpa persiapan pernikahannya sembari nyetir. “Ujianku buat nikahin Erna kok banyak banget tho ya?” keluhnya terdengar lelah. “Salah sendiri mau nikahin dia. Balikan lagi aja sama aku, kan aman...” ledek Nuning bikin Jaka senewen. Nuning jadi ngiri melihat semangat perjuangan Jaka yang tiada habis demi Erna. Mulai saat ini, dia nggak boleh baper lagi sama Jaka. Sebab Jaka sudah menarik batas yang tegas. Hubungan mereka sudah sangat jelas. Mantan, tapi tetap teman. Tanpa secuil pun perasaan yang tertinggal. "Setelah ini, apa rencanamu? Mau balik ke Jakarta lagi, apa menetap di kampung?" tanya Jaka mengganti topik setelah curcol panjangnya. "Entahlah. Tapi aku kepikiran ingin jadi youtuber." Jaka ketawa lirih. "Youtuber apaan?" Akhirnya kepo juga. "Youtuber tukang makan-makan." Lalu Nuning menceritakan tentang koleksi
Meski Jaka sudah minta maaf dan pada akhirnya mengembalikan Nuning secara baik-baik, Pak Priyo dan Bu Parmi masih belum bisa terima. Apalagi setelah itu si mantan mantu langsung siap-siap menikah dengan Erna, anaknya Pak Botak yang masih satu kampung dengan mereka. Kalau Jaka nikah dengan orang jauh sih mereka nggak akan semalu ini. Hal itu serasa mencoreng-moreng wajah mereka dengan arang yang paling kelam. Harga diri mereka sebagai orangtua Nuning bagai diinjak-injak dan diringsek sampai habis. Tiada yang tersisa dalam hati Bu Parmi selain kemarahan. “Huh. Dasar si Botak matre... mau terima Jaka jadi mantunya karena udah sukses aja sekarang. Coba dulu? Saat Jaka masih jadi orang susah? Emangnya dia mau kalau anaknya dikasih mas kawin tiket Damri kayak anak kita dulu?” Bu Parmi diam-diam masih menyimpan dendam kesumatnya. Kenyataan kalau puteri mereka sebenarnya telah diceraikan Jaka sejak 5 tahun lalu tersebar cepat ke seantero kampung. Jadi berita paling nge
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m