Kalau Jaka mengira Nuning bakal nyasar dan hilang di Jakarta, salah besar! Nuning memang wong ndeso. Gadis kampung. Gadis lugu yang baru pertama sungkeman sama ibukota. Tapi Jaka lupa kalau Nuning nggak selugu itu. Otaknya memang cekak buat menjangkau pelajaran semasa sekolah, apalagi kalau ketemu logaritma dan aneka teori matematika lainnya. Jelas Nuning milih kabur lompat pagar. Mendingan ngitung kebo di sawah. Tapi ada satu yang paling Nuning ingat tentang matematika, yaitu probabilitas. Cabang matematika yang paling tricky. Kelihatan sederhana tapi sebenarnya sulit dipecahkan dan butuh pola pikir strategis memecahkan persoalan. Karena sebenarnya nggak ada pattern matematis yang langsung untuk menyelesaikan tebak-tebakan yang diberikan. Dalam hal ini mirip tebak-tebakan tentang kehidupannya di ibukota dengan berbagai kemungkinan.
Nuning telanjur melempar dadu permainan kehidupannya di ibukota, nggak ngarep bisa langsung dapat titik enam dalam sekali lempar. Apalagi di lemparan pertamanya. Satu per satu titik yang didapat pun nggak masalah selama tetap bisa melangkah. Selama masih menjadi pemain, Nuning akan terus mengocok dan melempar dadunya dengan ringan.
Singkat cerita, Nuning mendapatkan peruntungannya gara-gara iseng lari pagi ngiterin kampung. Ngelewatin kebon yang ada pohon mangganya sedang berbuah lebat. Bikin tangannya gatel kepingin nyerampang. Eh, ternyata orang yang punya lagi ngelongokin buahnya di bawah pohon. Nuning pun melipir mendekat, sok kenal sok dekat. “Wah mangganya sudah bisa dipanen ya, Bu?” sapanya basa-basi.
“Iya nih, Neng. Ibu lagi mau nyari orang buat metik.”
“Saya juga bisa petikin kok, Bu. Gampang ini mah.” Nuning mendongak mencari-cari tempat pijakan yang pas.
“Yang bener aja, Neng? Masa cantik-cantik gini mau manjat pohon?” kata si ibu sembari ketawa nggak percaya.
“Ibu orang pertama yang bilang saya cantik,” katanya seraya menggulung lengan kaus oblongnya lalu mulai memamerkan keahliannya manjat pohon.
“Aduh, awas Neng ntar jatuh!” pekik si ibu rada ngeri.
“Ini mau diambil semua, apa yang mateng pohon aja, Bu?” tanyanya nggak peduli sama tatapan si ibu yang keheranan memandanginya dari bawah.
“Semuanya, Neng... tapi yang masih pentil mah jangan,” jawab si ibu ragu-ragu tapi kemudian bersemangat menyiapkan wadah dan karung setelah melihat sendiri kelincahan Nuning nangkring dari cabang ke cabang memetiki mangga.
Dua jam kemudian, Nuning kelar memetik mangga dan membantu si ibu merapikan karung-karungnya. Si ibu yang ternyata bernama Murni terus-terusan memujinya karena takjub, baru tumben liat orang memetik mangga selincah itu. Lebih kaget lagi karena Nuning enggan dibayar.
“Saya cuma bantuin kok, Bu. Kebetulan lagi nggak ada kerjaan,” katanya dengan mendorong tangan Bu Murni agar menyimpan kembali uangnya.
“Aduh, saya jadi nggak enak, Neng.”
“Nggak apa-apa kok, Bu...” sahut Nuning tulus. Padahal niatnya tadi kepingin nyolong. Namun melihat kebaikan dalam wajah Bu Murni, mengingatkannya pada Emak di kampung, seketika hati Nuning melumer insaf.
Saat keduanya asyik ngobrol sambil kenalan, seseorang datang menyela, “Bik, mana pohon yang mau dipanen?”
“Eh, Jimin? Ngagetin aja datang-datang nggak pake salam. Ah, telat kamu! Tuh, udah beres... dapat tiga karung.”
“Loh, kok? Siapa yang metikin?” tanya Jimin keheranan.
“Nih, Nuning...” kata Bu Murni mengenalkan.
Jimin garuk-garuk kepala heran mengetahui kalau ternyata seorang cewek yang melakukannya. “Beneran ini kamu sendirian yang memetik semuanya?” tanyanya gak percaya.
“Iyalah, emangnya dibantuin jin? Aku kan bukan Roro Jongrang.”
“Wah, hebat... Mau nggak kamu bantuin aku petikin buah mangga lagi? Aku lagi kewalahan nih gak ada yang bantuin, padahal ada beberapa pohon yang mesti dipanen dan diantar ke pasar ntar malam,” kata Jimin, kemudian menyebut jumlah bayarannya.
Mata Nuning pun jadi ijo mendengar keahlian manjatnya ternyata bisa juga jadi duit. “Mau, mau!” katanya antusias. Lalu tanpa basa-basi ia pun membantu mengangkut tiga karung mangga ke sebuah mobil bak.
Mereka kenalan sambil ngobrol. Ternyata Jimin keponakannya Bu Murni, kerjaannya tiap hari keliling kampung ngumpulin buah-buahan yang dibeli dan dipetiknya sendiri lalu dijual ke pasar induk di Jakarta. “Aku kerja kayak gini sejak lulus SMA tiga tahun lalu, bantuin Bapak. Tapi tetap dapat bagian bayaran. Yaah, ketimbang buat bayar orang lain? Hitung-hitung sekalian ngajarin aku usaha,” oceh Jimin sambil menyusun karung-karung buah di mobilnya dibantuin Nuning yang bercucuran keringat. Lalu mengajak Nuning nangkring di atas karung sebelum mobil mulai melaju menuju kebun selanjutnya yang siap dipanen.
“Kok kamu nggak duduk di depan aja menemani Bang Agus nyetir?”
“Terus kamu sendirian gitu?”
“Nggak masalah kok sendirian, santai aja.”
“Nggak ah, bosen duduk sebelahan sama Bang Agus mulu. Orangnya kelewat diem, enakan ngobrol aja sama kamu,” sahut Jimin sambil nyengir. “Lain kali, bawa handuk kecil buat lap keringatmu,” katanya lagi saat melihat Nuning sibuk menyeka keringat dengan lengan kausnya.
“Eh, lain kali? Kalau gitu artinya aku boleh kerja lagi sama kamu?” tanya Nuning dengan bola mata membesar.
Jimin mengangguk. “Kalau kamu mau ya boleh ajalah, kebetulan aku lagi butuh tenaga tetap,” katanya sembari mengangguk.
“Mau!” sahut Nuning cepat.
Jimin ketawa ngeliat semangat Nuning yang tak menyurut sejak tadi pagi, meski pakaiannya basah kuyub oleh keringat dan kulitnya gosong disengat panasnya sinar mentari. Jarang-jarang ada gadis yang cuek banget sama penampilannya kayak gini.
“Pantesan kamu gesit banget manjat dan memetik buah di pohon, jadi gitu ceritanya?” ujarnya di tengah gelak tawa, usai mendengar kisah hidup Nuning di kampung yang hobi nyolong buah di pohon sejak kecil.
“Jadi, buah-buahan ini akan langsung dikirim ke pasar induk di Jakarta? Aku boleh ikut?” tanya Nuning menawarkan diri.
“Kamu nggak capek apa?”
Nuning buru-buru menggeleng. “Nggaklah! Aku udah lama banget kepingin jalan-jalan lihat Jakarta!”
Jimin ketawa. “Tapi pulang dan mandilah dulu, lihat aja kamu basah kuyup kayak gitu.”
“Ah, nggak usah. Biarin aja...”
“Ntar kamu dicariin loh, kan belum sempat pamit sama orang rumah? Sejak pagi kamu belum pulang.”
Nuning menghela napas. “Nggak akan ada yang nyariin aku,” ucapnya masa bodoh.
Nggak tahu aja dia, Jaka kelimpungan setengah mampus nyariin keliling kampung sampai dengkulnya gemetaran, antara capek sekaligus ketakutan kalau-kalau Nuning bakalan hilang. Bisa dipentungin habis dia sama Pak Priyo kalau anak monyetnya alias Nuning beneran hilang. “Kamu di mana sih, Ning...” bisik Jaka putus asa setengah menangis. Dia belum pernah seputus asa dan selelah ini dalam hidupnya. Tapi sepertinya mulai detik ini Jaka harus mulai terbiasa dengan perasaan itu.
Sementara Nuning malah asyik ketawa-tawa sama Jimin di atas bak mobil sambil mengupas mangga dengan mulutnya lalu melahapnya dengan rakus.
“Oooh jadi kayak gitu caranya?” kata Jimin sambil menirunya. “Wow...” desah Jimin merasa seru, disahuti gelak tawa Nuning yang kesenangan karena bisa jalan-jalan melihat suasana Jakarta, meski berakhir di sebuah pasar induk yang becek, bukannya di sebuah mall megah impiannya.
***
Sebetulnya, bukannya Nuning nggak hormat sama mertua. Meski mantu jadi-jadian, tapi Nuning masih punya hati. Apalagi Bu Lilis ibunya Jaka, sahabat sekaligus suaminya. Tapi seringkali ia merasa kalau mertuanya tuh sengaja banget ngajakin gelut. Seneng bener cari-cari masalah macam kucing ngorekin kotak sampah. Bikin Nuning kepingin belajar vodoo sekalian. Biar bisa bikin tangan Bu Lilis joged-joged ketimbang buat ngelemparin tutup pancinya yang masih kreditan. Saban hari muka mertuanya berlipat-lipat kayak kertas origami. Masih mendingan juga kertas origami ada warna-warninya, kalau muka mertuanya mah pucet sepet.
Kalau habis jadi bulan-bulanan mertua, siapa lagi yang jadi sasaran empuk omelan Nuning kalau bukan Jaka? Ya iyalah, siapa lagiiii?
“Aduuuh. Kamu kan tahu ibuku emang gitu!” erang Jaka sambil nutupin kupingnya pake bantal karena Nuning masuk-masuk kamar langsung ngoceh. Sementara di luar, samar-samar suara ibunya masih ‘nyanyi’ diiringi musik perkusi dari tutup panci dan alat dapur apapun yang bisa nimbulin bunyi : klontang-klonteng-jederrr!
“Sebenernya mau ibumu tuh apa sih? Kalau ditanya baik-baik bukannya jawab tapi malah macem orang kesurupan lempar-lempar tutup panci. Kasihan pancinya tauuu. Kalau tutupnya penyok terus nggak bisa dipake lagi, ntar pancinya gimana? Kesian kan melompong sendirian.”
“Sempet-sempetnya kamu mikirin nasib panci. Nasib kita sendiri aja masih nggak jelas kok,” sahut Jaka sambil menggeliat di balik selimutnya.
“Nggak jelas? Sorry ya... Aku sih jelas udah dapat kerja, kamu tuh yang belum. Jangan-jangan ibumu stress karena ngiri aku duluan yang dapat kerja ketimbang kamu.”
“Dih! Jadi kuli buah doang sombong,” dengus Jaka senewen mengingat seharian kemarin dia capek-capek ngiderin kampung nyariin Nuning, eh yang dicariin malah pulang larut malam dianterin cowok... Untung ibunya nggak lihat! Bisa geger dunia persilatan.
“Biarin, yang penting bisa dapet duit!” sahut Nuning senyum-senyum senang.
“Sampai kapan maau kerja jadi kulinya si Jimin itu?”
“Sampai aku dapat duit banyak!” sahut Nuning seenaknya.
“Mana bisa jadi kuli doang bisa dapat duit banyak?”
“Terus? Mau nyariin kerja buatku? Nah, kamu sendiri aja masih nganggur?”
Skakmat! Jaka mati kutu.
“Bisa nggak sih, Ning... Kamu hargai perasaanku dikit aja?”
“Oke, mau harga berapa? Lima ribu? Sepuluh ribu?”
Jaka menghela napas ngumpulin kesabaran. “Kalau sampai orang-orang tahu kamu itu istriku, tapi tetap kerja sama Jimin kayak gitu, apa nanti kata orang?”
“Sejak kapan kamu sibuk sama pikiran orang? Sejak kapan kamu malu karena aku?”
“Sejak sekarang! Apalagi ini bukan kampung kita. Semuanya berbeda, Ning. Ini semua nggak sesederhana seperti yang kita pikirin sebelumnya. Apalagi kita tinggal sama ibuku sekarang.”
“Ya udah, kita pindah aja dari rumah ibumu. Kita pindah ke Jakarta! Yuk?”
Lalu terdengar suara panci dilempar lagi, bikin keduanya mencelat kaget. Nuning buru-buru ngusap-ngusap pantat, bukannya dada letak jantungnya berada. Soalnya kalau kaget dia suka refleks kentut. Dan kentutnya berbahaya bagi orang di sekitarnya, sama bahayanya dengan efek gas beracun yang bisa bikin orang langsung pingsan menghirup baunya.
“Yakin... jantungmu bakalan kuat dengerin suara bom panci meledak kayak gini tiap hari?” bisik Nuning memprovokasi.
“Tapi, dia ibuku. Aku nggak bisa ninggalin ibuku sendirian. Tujuanku balik ke sini kan buat menemani beliau sampai hari tuanya.”
“Kalau gitu, aku yang akan pergi sendiri.”
“Kamu nggak bisa seenaknya minggat dari rumahku. Atau kupanggil bapak sama emakmu ke sini buat jemput kamu!”
Nuning manyun lalu menginjak kaki Jaka seenaknya. Bikin cowok itu kelojotan sakit, tapi Nuning nggak peduli. Dia terlalu jengkel sama kenyataan harus jadi istri Jaka betulan, sementara di luar sana ada kegembiraan bersama Jimin yang menantinya. Pertemanannya dengan Jimin seharian kemarin mengingatkannya akan kebersamaannya dengan Jaka semasa di kampung dulu yang bebas apa adanya. Sekarang, Jaka nggak asik kayak dulu lagi sejak kembali ke pangkuan ibunya.
***
Setelah dapat kerja, meski cuma kuli dan tukang petik buah, Nuning pikir hidupnya bakalan baik-baik saja. Ternyata Jakarta nggak sehoror yang orang-orang bilang. Tingginya pengangguran dan tingkat kriminalitas memang kudu diwaspadai tapi bukan untuk ditakuti. Nuning nggak mau pikirannya diintimidasi sama hal-hal yang belum tentu terjadi. Waspada itu wajib, tapi parnoan jangan. Seringkali kenyataan nggak seangker isi pikiran. Jangan sampai rumor buruk tentang ibukota merusak impiannya.Impian Nuning kepingin menghabiskan masa mudanya dengan senang, kenyang, tapi tetap banyak uang. Gimana caranya? Nggak tau. Nuning masih belum mikirin. Yang ada aja dijalanin dulu. Step by step, kira-kira gitulah bahasa Inggrisnya. Tapi kalau bahasa bapaknya, alon-alon asal kelakon. Sementara bahasa Nuning sendiri, “Selow... santai... santai... jodoh nggak akan kemana,” kayak lagu dangdutnya Via Valen.Omong-omong soal jodoh, baginya jodoh bukan
"Jangan lupa makan ya, Nduk?""Iya, Mak. Emak juga jangan lupa masak yang banyak. Biar Bapak sama Mas Bambang kenyang, nggak kelaparan."Tapi Bu Parmi malah nangis kejer. Nuning sampai menjauhkan speaker ponselnya. "Mak, lupa umur ya? Nggak pantes nangis macem bayi kayak gitu... Mau es krim? Beli gih yang banyak, nanti duitnya Nuning transfer lagi lewat rekeningnya Mas Bambang."Bambang yang ikut menyimak percakapan itu ngumpetin air matanya. Diam-diam dalam hatinya ikutan bangga. Nyesel selama ini keseringan memandang sebelah mata pada adiknya. Dulu, adiknya memang kayak ulat bulu yang suka nggerogoti daun sampai bikin gundul tanaman, tapi setelah berubah jadi kupu-kupu, barulah terlihat manfaat dan keindahannya."Ya Allah... Anakku udah bisa nyari duit tho?" isak Bu Parmi terharu. Meski cuma ditransfer tiga ratus ribu, tapi kebahagian emaknya bagai menerima tiga juta. Soalnya ini duit dari Nuning! Tapi jelas bakalan beda lagi ceritanya kalau em
Nuning bersiul-siul menuju rumah Bu Murni mau ketemu Jimin. Sudah janjian mau keliling panen rambutan hari ini. Kemudian siulannya terhenti kala berpapasan dengan seorang nenek yang jalan tergopoh-gopoh dengan tongkatnya. “Mau kemana, Mbah?” sapanya dengan mengangguk ramah.“Memangnya aku mbahmu?” balas nenek tua itu sewot.Nuning meringis keki, lalu geleng-geleng kepala melaluinya.“Eh, gadis muda!” panggil nenek itu tiba-tiba.Nuning menoleh malas-malasan karena sikapnya yang kurang bersahabat tadi. “Ya, ada apa nenek tua?” sahutnya sekenanya.“Hei, aku punya nama! Jangan sebut aku nenek tua ya?!” bentak nenek itu sambil menuding dengan tongkatnya.Meski jengkel, Nuning berbaik hati meladeninya dengan menjawab, “Iya, saya juga punya nama. Jadi jangan juga sebut saya Hei.”“Ya sudah, mari kita bertukar nama,” ajak si nenek akhirnya mau akur.&l
“Ngapain melamun? Kangen kampung?” sapa Jaka sambil menyesap kopi susunya. Duduk di sebelah Nuning yang memandangi bulan purnama di teras rumah. Nuning agaknya lagi ogah menyahut, menoleh barang sedikit juga tidak. “Kalau kangenmu sama kampung segitu beratnya, kuanterin pulang yuk?” godanya, lalu menyesap lagi kopinya, kemudian terbatuk-batuk usai kena tabok. Nuning kan paling senewen dengan ancaman satu itu. “Siapa juga yang kepingin pulang kampung?” Mata Nuning melotot segede jengkol. “Becanda doang keleus. Galak beut sih jadi orang?” “Lagian becandanya nggak tepat waktu. Tuman!” “Iya, ampun deh ....!” Jaka meringis dicubiti Nuning. Nuning mendesah. “Aku ketemu sama nenek-nenek aneh!” “Aneh mana sama kamu?” seloroh Jaka tak sanggup menahan mulut, untung saja Nuning cuma melotot. Sudah biasa dipelototin sama Nuning mah, ditabokin juga biasa. “Oke, oke .... Emang seaneh apa sih?" Nuning tancap gas bercerita, mulai jadi
Pikiran Nuning dan Jaka tentu saja langsung travelling kemana-mana. Bayar utang pakai tubuhnya Jaka tuh bagaimana coba? Ternyata maksudnya si mbah nggak sama mesumnya dengan yang mereka sangka. “Ooooohh,” ujar keduanya lega saat Mbah Sum menyuruh Jaka jadi tukang pijatnya selama sebulan. “Soalnya istrimu nggak bisa memijat, makanya aku maunya sama kamu aja,” kata Mbah Sum sarat modus. Nuning derdecak. “Kemarin Mbah sendiri yang bilang pijatan saya enak!” protesnya. “Ah. Masa? Salah dengar kamu tuh!” Mbah Sum mengelak selicin belut. “Mbah, sebulan kelamaan. Dua ratus ribu dibagi sebulan cuma lima ribu lebih dikit dong? Mana ada upah tukang pijat segitu sekarang ini? Kalau nggak percaya, coba Mbah keliling kampung tanyain orang-orang,” oceh Nuning membalikkan omongan Mbah Sum soal ongkos pijat. “Tapi Minggu dan tanggal merah kan libur,” sahut si mbah masih aja ngeles. “Seminggu aja ya, Mbah?” Nuning ngajak akur. Mbah Sum tetap me
Bu Lilis nangis sesenggukan saat Jaka mengabari dirinya sudah menjadi mahasiswa. Meski bukan terdaftar di kampus negeri dan bukan pula kampus swasta yang elit, sebodo amat. Toh yang penting saat lulus nanti gelarnya sama-sama Sarjana. Yang beda cuma soal nasib! Ada Sarjana yang nasibnya bagus bisa langsung diterima kerja di perusahaan elit, atau jadi PNS yang gajinya aman sampai tua. Ada juga yang masih menganggur meski sudah wawancara kerja sana-sini sampai ndelusur. Bagi Bu Lilis, biarlah anaknya menjadi Sarjana saja dulu. Soal nasib bisa diperjuangkan lagi nanti. Obsesi Bu Lilis ingin foto bareng anaknya di hari wisudanya yang memakai toga, buat dipamerkan ke mendiang suaminya. Sesuai janjinya dulu kalau dia saggup mengurus Jaka sampai jadi Sarjana meski dirinya bukan orang berpendidikan tinggi. Jadi saat menengok Pak Ujang ke kuburan nanti, dia tak perlu menebar bunga lagi, tapi menebar foto-fotonya sama Jaka yang lagi wisuda. Hiii ... kok malah serem. Semenjak a
Hubungan Nuning dan Jaka menjadi renggang sejak ketiadaan Bu Lilis. Mereka memang sudah berkomunikasi seperti biasa, tetapi rasanya tak sama lagi seperti dulu. Keakraban mulai memudar. Meski tiada yang saling menghindar. Secara fisik mereka memang berdekatan, tapi Nuning merasa jiwa Jaka menjauhinya. Nuning memahami Jaka dengan membalik sudut pandangnya, 'Andai aku menjadi Jaka, pasti bakal marah juga. Aku memang nggak becus jagain ibunya, sampai harus berujung kematian,' pikirnya direjam rasa bersalah yang menyengat. Namun Jimin membesarkan hatinya. “Sudahlah, Ning. Jangan kebangetan nyalahin dirimu sendiri. Memangnya kamu bisa ngumpetin mertuamu dari malaikat maut? Kalaupun kamu tetap di rumah hari itu, mertuamu tetap bakalan meninggal juga dengan cara dan sebab yang beda." Demi menghibur Jaka, Nuning rajin menyontek resep dan menu masakan yang biasa dibuat Bu Lilis agar Jaka semangat makan. Akan tetapi, Jaka selalu mengurung diri di kamar tiap pulang
Mulanya, Nuning enggan pulang kampung usai perceraiannya. Akan tetapi, takdir lebih berkuasa atas dirinya, tiba-tiba saja Bambang menelepon, mengabari kalau emaknya sedang sakit dan ingin dijenguk. Mau tak mau memanggilnya pulang dengan sendirinya. Meski berat bagi Nuning untuk meninggalkan Citayem yang sudah tujuh tahun menjadi bagian hidupnya. Bahkan Jimin ikut menangis harus kehilangan tukang petik buah terbaiknya. Nuning menyempatkan diri ke makam Bu Lilis seorang diri untuk pamitan. Menabur kembang, lalu memanjatkan doa. Hatinya sungguh terasa berat. Ia pun memeluk nisan Bu Lilis sambil menangis, tapi kemudian memekik kaget saat kepalanya tiba-tiba saja dipentung orang. “Memangnya kamu nggak tahu ya? Jangan nangisin orang mati di atas kuburannya!” omel seorang nenek-nenek yang memelototinya galak. Nuning bergegas berdiri sambil meringis, mengusapi kepalanya. “Ngapain Mbah Sum di sini?” tanyanya keheranan ada orang selain dirinya yang berani menyambangi k
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m