"Jangan lupa makan ya, Nduk?"
"Iya, Mak. Emak juga jangan lupa masak yang banyak. Biar Bapak sama Mas Bambang kenyang, nggak kelaparan."
Tapi Bu Parmi malah nangis kejer. Nuning sampai menjauhkan speaker ponselnya. "Mak, lupa umur ya? Nggak pantes nangis macem bayi kayak gitu... Mau es krim? Beli gih yang banyak, nanti duitnya Nuning transfer lagi lewat rekeningnya Mas Bambang."
Bambang yang ikut menyimak percakapan itu ngumpetin air matanya. Diam-diam dalam hatinya ikutan bangga. Nyesel selama ini keseringan memandang sebelah mata pada adiknya. Dulu, adiknya memang kayak ulat bulu yang suka nggerogoti daun sampai bikin gundul tanaman, tapi setelah berubah jadi kupu-kupu, barulah terlihat manfaat dan keindahannya.
"Ya Allah... Anakku udah bisa nyari duit tho?" isak Bu Parmi terharu. Meski cuma ditransfer tiga ratus ribu, tapi kebahagian emaknya bagai menerima tiga juta. Soalnya ini duit dari Nuning! Tapi jelas bakalan beda lagi ceritanya kalau emaknya sampai tahu anak perempuan satu-satunya itu nyari duitnya sebagai kuli dan tukang petik buah. Bukannya senang terima duit, emaknya dijamin kejang-kejang sedih.
"Ya bisalah, Mak! Orang yang kakinya buntung aja bisa nyari duit, masa tubuhku yang sehat komplit nggak bisa?"
"Nduuuk. Emak nggak nyangka kamu jadi dewasa kayak gini..."
"Aku kan udah nikah, Mak! Bukan anak-anak lagi."
"Iya ya, kamu bukan anak-anak lagi. Tapi calon ibu yang akan punya anak dan Emak calon Mbah. Aduhhh jebul wis tuo yo aku, Nduuk."
Nuning jadi gugup saat ibunya menyinggung soal anak. Pikirannya tiba-tiba menclok pada adegan ciuman pertamanya sama Jaka kemarin. Nyaris saja. ‘Huh. Apa-apaan sih Jaka?’ pikirnya dongkol. Untung Bu Lilis tiba-tiba menginterupsi masuk, kalau nggak... apa kabar nasib persahabatan mereka selanjutnya? Nuning menggelengkan kepala. Nggak siap mikir macem-macem. Persahabatannya dengan Jaka jauh lebih penting ketimbang pernikahan jadi-jadian mereka. Pernikahan ini suatu saat boleh berakhir, tapi persahabatan mereka tidak. Nuning nggak mau menciderai keutuhan persahabatan mereka dengan hal-hal yang bakal mereka sesali di kemudian hari.
Nuning mengakhiri telepon lalu siap-siap ke rumah Bu Murni, tempatnya menunggu jemputan Jimin setiap hari.
"Sarapan dulu, Ning..." sapa Bu Lilis mengejutkan. Setelah hampir setahun jadi menantunya, baru kali ini ibu mertua menyapa selembut itu.
"Eh, i-iya..." Nuning sampai speechless kebingungan.
"Ibu masak pindang bandeng yang kamu beliin kemarin, beneran enak ternyata. Ikannya masih segar dan nggak bau tanah. Pinter banget kamu milihnya," puji Bu Lilis bikin Nuning tambah heran. Lalu dia pegangan meja kuat-kuat, khawatir tiba-tiba gempa dan buminya terguling karena perubahan sikap mertuanya yang terlalu mendadak sebesar 180 derajat.
Lalu gugup saat Bu Lilis memanggil Jaka dan mereka harus sarapan bertiga. Kerongkongannya mendadak kering saat tanpa sengaja bertemu tatap dengan cowok itu dan membuatnya hampir cegukan. Melihat bibir Jaka yang menyesapi kuah pindang membuat ingatannya menclok lagi pada kecupannya yang panas semalam. Nuning menghela napasnya yang terasa berat sehingga menarik perhatian Jaka. Tatapan mereka kembali beradu. Cuma sekejab, tapi bikin Nuning terbatuk dan buru-buru meneguk isi gelasnya. Suhu tubuhnya tiba-tiba terasa naik beberapa derajat.
"Makanya kalau makan pelan-pelan," kata Jaka sambil menuangkan segelas air lagi untuknya. Lalu menepuki leher belakang Nuning dengan lembut.
Nggak habis pikir, bagaimana bisa cowok itu bersikap sesantai itu setelah yang semalam? ‘Dasar laknatt,’ pikir Nuning sebal.
Bu Lilis justru tersenyum kecil melihat kecanggungan yang terjadi antara anak dan menantunya yang tampak malu-malu meong. Ingatannya melayang kembali pada masa-masa indahnya dahulu kala. Dia juga pernah sebahagia itu saat bapaknya Jaka masih waras, sebelum ketemu janda gatel yang merusak rumah tangganya. Kebetulan Nuning mengingatkannya pada Sari, sekilas perawakan mereka mirip. Sebenarnya Bu Lilis berparas cantik, hidungnya mancung, dan berkulit putih. Tipikal wanita idaman lelaki pada umumnya. Tapi bapaknya Jaka justru lebih milih Sari yang manisnya nggak ngebosenin kayak Nuning. Bapak dan anak kok kompakan sama-sama suka yang manis. Diabet tahu rasa! Kebencian pun merayapi hatinya sejak pertama kali ngeliat Nuning. Ditambah kelakuan Nuning yang absurd di awal pertemuan. Meneriakinya penculik lalu ngejar-ngejar macam orang gila. Bikin Bu Lilis syok di hari pertamanya nyambut mantu.
Sejak saat itu, pikiran piciknya yang berupa kecewa, marah, benci, dendam, sedih, lama-lama menggumpal jadi satu kesatuan yang utuh dan tak terpisahkan lagi dalam keseharian. Keadaan psikologis semacam itu pada awalnya merusak organ otaknya sendiri yang bikin dia suka uring-uringan tanpa sebab. Kemudian, otak yang rusak meneruskan kerusakan itu ke organ-organ yang lain. Efek berantai itu terlebih dahulu merusak organnya yang paling lemah sebelum melemahkan organ tubuhnya yang lain. Nggak heran kalau Bu Lilis mulai penyakitan, entah itu sakit maag, sakit gigi, sakit pinggang, nyeri otot, gampang kram... Badannya sakit semua, nggak kalah sakit sama hatinya. Seakan jiwa raganya balap-balapan sakit, tapi nggak ada yang balapan sembuh. Sampai kemudian perhatian Nuning yang kecil-kecil itu melunakkan hati dan menyembuhkannya secara diam-diam.
Nuning berbeda dengan Sari. Bu Lilis bisa merasakan ketulusan Nuning saat memberikan berbagai buah tangannya itu. Lagipula, istri mana lagi coba yang rela kerja keras sampai jadi kuli demi tak ingin merepotkan suaminya yang tak lain Jaka, anak semata wayangnya. Ternyata Nuning bukanlah istri parasit seperti yang semula ia pikirkan. Dan kebahagiannya seakan bertambah karena Jaka bilang mau lanjut kuliah dengan uang hasil keringatnya sendiri.
***
"Kenapa sih, Jak? Kok dari tadi manyun melulu?" tegur Nuning menjelang tidur.
Jaka mendesah sambil merebahkan tubuhnya yang lelah di kasur. Memandangi plafon dengan tatapan sedih. "Aku habis ditipu, Ning..." ujarnya.
Nuning melompat ke kasur dan menepuk-nepuk Jaka biar cerita, "Ditipu gimana?" desaknya nggak sabar pengen dengerin.
"Aku dapat orderan fiktif. Ceritanya tadi dapat orderan yang minta dibeliin makanan senilai 200 ribu. Tapi giliran udah kubeliin malah di-cancel. Pas kuanterin ke alamatnya biar duitnya diganti, malah disambut sama lagu dangdutnya Ayu Ting Ting, alamat palsu, alias... zonk!"
“Minta ganti aja ke kantormu?"
"Nggak bisa kalau udah di-cancel, Ning. Kan ada prosedurnya, kebetulan kasus yang kayak gini nggak bisa dapet gantian. Niatku ambil orderan kuliner kan karena poinnya lebih gede ketimbang angkut penumpang. Eh, bukannya untung malah buntung."
"Ya udah sih, yang penting kamu kan udah usaha. Nyantai aja napa? Rezeki mah nggak bakal ketuker. Kirain ada apa gituuu, nggak taunya cuma soal ginian tho."
"Cuma? Kayak gini kamu bilang cuma?!" Jaka nggak terima.
"Selow dong... Jangan ngegas. Ntar nabrak, benjut. Santai... Dilarang ngamuk malem-malem, ntar dikira kesurupan loh!" Nuning ngajak becanda, tapi Jaka malah tambah manyun masih bete.
"Terus makanannya mana?” tanya Nuning kemudian.
"Tuh, di kulkas."
"Sini aku beli aja.”
Jaka menoleh dengan cepat. "He? Apa? Kamu... beli?" tanyanya sangsi.
“Tapi ngutang ya?” Nuning nyengir kuda. Tapi diluar dugaan Jaka mengangguk aja nggak pake debat.
“Makanan apa sih sampai segitu mahalnya?”
"Kue kekinian gitulah, yang jual artis jadinya mahal... pake ngantre pula.”
“Wah, artis jualan kue? Kamu ketemu langsung gitu? Cakep nggak artisnya? Cakepan mana sama pas lagi di TV?” desak Nuning sambil mengguncang lengan Jaka.
“Ya nggak gitu juga kaliii. Tuh artis emang yang punya toko kuenya, tapi yang bikin dan yang jagain tokonya ya bukan artisnya langsung.”
Nuning manggut-manggut, sampai di sini dia paham. “Ya udah ambil gih kuenya sekarang,” suruhnya tak sabar kepingin makan kuenya artis.
Antusiasme Nuning bagai energi positif yang nyetrum ke Jaka. Memompa kembali semangatnya yang sempat loyo. Jaka pun tersaruk-maruk ke dapur, diikuti Nuning yang tak sabar kepingin nyicipin.
"Waaah, enak banget kayaknya?" kata Nuning dengan tatapan penuh ‘love-love’ kala Jaka meletakkan si kue artis di meja makan.
"Panggil ibumu." Nuning memotong-motong kue mahalnya dengan hati-hati.
"Ibuku lagi pusing, memangnya nggak eneg makan ginian?"
"Bawain aja ke kamarnya, kali aja mau nyicip."
Jaka nurut. Mengambil sepiring yang sudah disediakan Nuning untuk ibunya dan mengantar ke kamar. Lama Jaka tak kembali ke luar. Mungkin sedang menyuapi ibunya yang sedang sakit. Galak-galak gitu, Bu Lilis berubah manja bukan main kalau sakit. Nuning sih sebodo amat. Tenggelam bersama kenikmatan si kue artis yang memenuhi mulutnya. Lidahnya bergoyang dombret saat mencecapi paduan rasa keju, susu, vanila, dan stroberi. “Lembutnya...” desisnya betul-betul menikmati. Ah, dia jadi makin semangat nyari duit biar bisa beli lagi yang enak-enak kayak gini!
“Segitu enaknya apa?” suara Jaka bikin Nuning tersedak karena kaget. Ia menyahut hanya dengan mengangguk-angguk, karena mulutnya masih dipenuhi si kue artis.
Usai menelan, Nuning buru-buru menyahut, “Enak banget sumpah! Buruan gih, makan punyamu.” Lalu menyodorkan bagian Jaka yang sudah disiapkannya dalam piring. Tapi Jaka mendorong piring itu kembali ke hadapan Nuning.
“Buat kamu aja,” sahut Jaka bikin Nuning mendelik kesenangan. Jaka mengangguk saat Nuning masih menatapnya ragu. "Sebagai suami, aku ikut seneng ngeliat istriku seneng kayak gini," ujarnya sambil mengedip.
Nuning ngakak. "Suami apaan, kita kan cuma__" Mendadak terdiam saat Jaka mendekatkan wajahnya secara tiba-tiba. Nuning seketika memejamkan mata dengan panik. Bisa ia rasakan napas hangat Jaka yang menyapu salah satu sisi pipinya dan bikin jantungnya seketika jumpalitan. Tapi setelah cukup lama tak terjadi apa-apa.
"Ngapain kamu nutup mata segala?" Jaka keheranan.
Nuning membuka kembali matanya lebar-lebar. Terkaget-kaget saat bertemu tatap dengan Jaka yang melotot padanya selebar piring.
"Soalnya kamu tiba-tiba kayak mau__" Nuning menelan ludah malu sendiri.
"Mau apa?" desak Jaka ngeselin.
"Kamu kayak mau menciumku!" omel Nuning jengkel.
Jaka ngikik. "Bah! Aku tadi cuma mau bisikin aja, kalau makan jangan sampai lupa napas. Tapi kamu malah memejamkan matamu rapat-rapat kayak gitu, bikin aku bingung aja..." omel Jaka balik, tapi kemudian cowok itu nyengir jahat. "Atau jangan-jangan... diam-diam kamu ngarep aku cium lagi ya?"
Nuning menjawab dengan menginjak kakinya keras-keras, bikin cowok itu meringis kesakitan. "Awas ya, berani-beraninya kayak gitu lagi bukan kuinjak lagi kakimu, tapi kupatahin!" ancamnya dengan tatapan membara sebelum bergegas pergi.
Jaka buru-buru mengejarnya ke kamar, tapi Nuning keburu menutup pintu dan menguncinya. "Ning, keluar dong... kan kuenya belum habis?” bujuknya kepingin ngajak damai. Perang dingin sama Nuning tuh bikin capek sodara-sodara, Jaka buru-buru mau nyerah ajalah.
“Simpen sana di kulkas!” jawab Nuning galak.
“Memangnya kamu nggak mau lagi?”
“Mau! Buat besok lagi! Awas kalau kamu makan, kusumpahin mencret!”
Jaka meringis sambil garuk-garuk kepala. “Ning, buka dong... Aku ngantuk, masa tega sih biarin aku bobok di luar? Kan banyak nyamuk?" bujuknya sekali lagi.
"Bodo amat!" jawab Nuning super tega.
Jaka pun melangkah gontai menuju sofanya yang sudah nggak empuk lagi. Merenungi kesalahan apa yang sudah dilakukannya sampai bikin Nuning semarah ini.
***
Nuning bersiul-siul menuju rumah Bu Murni mau ketemu Jimin. Sudah janjian mau keliling panen rambutan hari ini. Kemudian siulannya terhenti kala berpapasan dengan seorang nenek yang jalan tergopoh-gopoh dengan tongkatnya. “Mau kemana, Mbah?” sapanya dengan mengangguk ramah.“Memangnya aku mbahmu?” balas nenek tua itu sewot.Nuning meringis keki, lalu geleng-geleng kepala melaluinya.“Eh, gadis muda!” panggil nenek itu tiba-tiba.Nuning menoleh malas-malasan karena sikapnya yang kurang bersahabat tadi. “Ya, ada apa nenek tua?” sahutnya sekenanya.“Hei, aku punya nama! Jangan sebut aku nenek tua ya?!” bentak nenek itu sambil menuding dengan tongkatnya.Meski jengkel, Nuning berbaik hati meladeninya dengan menjawab, “Iya, saya juga punya nama. Jadi jangan juga sebut saya Hei.”“Ya sudah, mari kita bertukar nama,” ajak si nenek akhirnya mau akur.&l
“Ngapain melamun? Kangen kampung?” sapa Jaka sambil menyesap kopi susunya. Duduk di sebelah Nuning yang memandangi bulan purnama di teras rumah. Nuning agaknya lagi ogah menyahut, menoleh barang sedikit juga tidak. “Kalau kangenmu sama kampung segitu beratnya, kuanterin pulang yuk?” godanya, lalu menyesap lagi kopinya, kemudian terbatuk-batuk usai kena tabok. Nuning kan paling senewen dengan ancaman satu itu. “Siapa juga yang kepingin pulang kampung?” Mata Nuning melotot segede jengkol. “Becanda doang keleus. Galak beut sih jadi orang?” “Lagian becandanya nggak tepat waktu. Tuman!” “Iya, ampun deh ....!” Jaka meringis dicubiti Nuning. Nuning mendesah. “Aku ketemu sama nenek-nenek aneh!” “Aneh mana sama kamu?” seloroh Jaka tak sanggup menahan mulut, untung saja Nuning cuma melotot. Sudah biasa dipelototin sama Nuning mah, ditabokin juga biasa. “Oke, oke .... Emang seaneh apa sih?" Nuning tancap gas bercerita, mulai jadi
Pikiran Nuning dan Jaka tentu saja langsung travelling kemana-mana. Bayar utang pakai tubuhnya Jaka tuh bagaimana coba? Ternyata maksudnya si mbah nggak sama mesumnya dengan yang mereka sangka. “Ooooohh,” ujar keduanya lega saat Mbah Sum menyuruh Jaka jadi tukang pijatnya selama sebulan. “Soalnya istrimu nggak bisa memijat, makanya aku maunya sama kamu aja,” kata Mbah Sum sarat modus. Nuning derdecak. “Kemarin Mbah sendiri yang bilang pijatan saya enak!” protesnya. “Ah. Masa? Salah dengar kamu tuh!” Mbah Sum mengelak selicin belut. “Mbah, sebulan kelamaan. Dua ratus ribu dibagi sebulan cuma lima ribu lebih dikit dong? Mana ada upah tukang pijat segitu sekarang ini? Kalau nggak percaya, coba Mbah keliling kampung tanyain orang-orang,” oceh Nuning membalikkan omongan Mbah Sum soal ongkos pijat. “Tapi Minggu dan tanggal merah kan libur,” sahut si mbah masih aja ngeles. “Seminggu aja ya, Mbah?” Nuning ngajak akur. Mbah Sum tetap me
Bu Lilis nangis sesenggukan saat Jaka mengabari dirinya sudah menjadi mahasiswa. Meski bukan terdaftar di kampus negeri dan bukan pula kampus swasta yang elit, sebodo amat. Toh yang penting saat lulus nanti gelarnya sama-sama Sarjana. Yang beda cuma soal nasib! Ada Sarjana yang nasibnya bagus bisa langsung diterima kerja di perusahaan elit, atau jadi PNS yang gajinya aman sampai tua. Ada juga yang masih menganggur meski sudah wawancara kerja sana-sini sampai ndelusur. Bagi Bu Lilis, biarlah anaknya menjadi Sarjana saja dulu. Soal nasib bisa diperjuangkan lagi nanti. Obsesi Bu Lilis ingin foto bareng anaknya di hari wisudanya yang memakai toga, buat dipamerkan ke mendiang suaminya. Sesuai janjinya dulu kalau dia saggup mengurus Jaka sampai jadi Sarjana meski dirinya bukan orang berpendidikan tinggi. Jadi saat menengok Pak Ujang ke kuburan nanti, dia tak perlu menebar bunga lagi, tapi menebar foto-fotonya sama Jaka yang lagi wisuda. Hiii ... kok malah serem. Semenjak a
Hubungan Nuning dan Jaka menjadi renggang sejak ketiadaan Bu Lilis. Mereka memang sudah berkomunikasi seperti biasa, tetapi rasanya tak sama lagi seperti dulu. Keakraban mulai memudar. Meski tiada yang saling menghindar. Secara fisik mereka memang berdekatan, tapi Nuning merasa jiwa Jaka menjauhinya. Nuning memahami Jaka dengan membalik sudut pandangnya, 'Andai aku menjadi Jaka, pasti bakal marah juga. Aku memang nggak becus jagain ibunya, sampai harus berujung kematian,' pikirnya direjam rasa bersalah yang menyengat. Namun Jimin membesarkan hatinya. “Sudahlah, Ning. Jangan kebangetan nyalahin dirimu sendiri. Memangnya kamu bisa ngumpetin mertuamu dari malaikat maut? Kalaupun kamu tetap di rumah hari itu, mertuamu tetap bakalan meninggal juga dengan cara dan sebab yang beda." Demi menghibur Jaka, Nuning rajin menyontek resep dan menu masakan yang biasa dibuat Bu Lilis agar Jaka semangat makan. Akan tetapi, Jaka selalu mengurung diri di kamar tiap pulang
Mulanya, Nuning enggan pulang kampung usai perceraiannya. Akan tetapi, takdir lebih berkuasa atas dirinya, tiba-tiba saja Bambang menelepon, mengabari kalau emaknya sedang sakit dan ingin dijenguk. Mau tak mau memanggilnya pulang dengan sendirinya. Meski berat bagi Nuning untuk meninggalkan Citayem yang sudah tujuh tahun menjadi bagian hidupnya. Bahkan Jimin ikut menangis harus kehilangan tukang petik buah terbaiknya. Nuning menyempatkan diri ke makam Bu Lilis seorang diri untuk pamitan. Menabur kembang, lalu memanjatkan doa. Hatinya sungguh terasa berat. Ia pun memeluk nisan Bu Lilis sambil menangis, tapi kemudian memekik kaget saat kepalanya tiba-tiba saja dipentung orang. “Memangnya kamu nggak tahu ya? Jangan nangisin orang mati di atas kuburannya!” omel seorang nenek-nenek yang memelototinya galak. Nuning bergegas berdiri sambil meringis, mengusapi kepalanya. “Ngapain Mbah Sum di sini?” tanyanya keheranan ada orang selain dirinya yang berani menyambangi k
Nuning membaca daftar belanja titipan emaknya. Menuju lapak ikan dan melihat Parman berjualan. Ingin pindah lapak, tapi Parman yang congornya tk kalah ramai dari toa masjid itu keburu memanggilnya, “Nuning! Apa kabar? Wah ..., udah lama banget nih nggak ketemu. Kamu masih aja kayak dulu, kirain bakal ada perubahan yang gimanaa gitu,” candanya rese. Nuning pura-pura sibuk memilih ikan. Ia sudah lama kenal Parman, cowok menyebalkan itu akan stop sendiri mengoceh kalau tak ditanggapi. Tapi, bukan Parman namanya kalau mulutnya nggak nyap-nyap menggali dan mengumbar berita, tak peduli rumor atau fakta. Bakat terpendamnya jadi presenter gosip, tak didukung saja oleh nasib. “Eh, aku ketemu Jaka waktu itu, katanya dia cuma mau nganterin kamu pulang, terus balik lagi ke Jakarta sendirian. Kok gitu? Emangnya kamu nggak betah hidup di sana, terus ogah lagi ikut dia? Mau tinggal misah, gitu? Cuma buat sementara atau seterusnya?” “Yang ini berapa sekilo?” Nuning mengabaik
“Kamu jadi gelandangan dong?” komentar Hobbie usai mendengar cerita Nuning saat mereka udah akur, tentang kartu nama Ayu yang hilang dan ranselnya yang raib diambil orang. “Yang penting kamu punya duit kan? Tenang aja, selagi ada duit pasti ada solusinya! Cari aja kos-kosan murah. Kalau soal baju ganti, beli aja di Tanah Abang banyak kok harga grosiran, yang bekas juga murah cuma lima ribuan,” ujar Hobbie menyemangati teman barunya. Tapi kemudian tepok jidat begitu Nuning memperlihatkan isi dompetnya. “Astaganaga. Nekat amat kamu ke Jakarta cuma berbekal duit segini doang?” katanya sambil geleng-geleng. “Sudahlah. Aku bisa numpang tidur di stasiun Gambir, pura-pura jadi penumpang nungguin jadwal kereta. Yang penting bukan di kolong jembatan atau emperan toko, biar nggak diciduk Satpol PP dikira gembel,” ujar Nuning miris kepada diri sendiri. “Lah, tampilanmu sekarang aja nggak ada bedanya sama gembel kok. Yang ada kamu ntar diciduk satpam stasiun terus diseto
Jaka menyematkan cincin, yang dikeluarkannya dari kotak Tiffany Blue, ke jari manis Nuning. Kemudian keduanya saling memandang penuh cinta. “Menikahlah denganku, Ning?” pinta Jaka. Nuning mengangguk cepat. Tiada keraguan lagi yang menggelayuti hatinya. Segala kegalauannya tentang pernikahan pupus sudah. Tak perlu menunduk takut menghadapi pernikahannya yang ketiga kali ini. Dia siap menikahi Jaka, pria yang sejak kecil sudah menunjukkan loyalitas persahabatannya pada Nuning. Lelaki itu menyenangkan dengan segenap kekurangan dan kelebihannya. Nuning sudah memahaminya luar-dalam, demikian pula sebaliknya, Jaka pun memahami Nuning. Mereka hanya perlu mengikat lebih erat hatinya dengan saling percaya. Kenyamanan dan kedamaian dalam jiwa yang tenang, adalah wujud nyata dari cinta sejati yang mereka rasakan. Tuan Rain dan Nyonya Rose yang mendengar rencana pernikahan mereka, berbesar hati menerimanya. Nyonya Rose menjadikan momen itu sebagai latihan
Akhirnya Nuning dapat tertidur pulas. Kesedihan, duka, dan tangis telah menguras energinya sejak kemarin. Tidur akan sangat membantu proses pemulihannya nanti.Dan ditengah tidur lelapnya, Nuning memimpikan sosok Jaka. Lelaki itu duduk di tepi ranjangnya sambil tersenyum. Mengamati dirinya sambil membelai-belai wajahnya yang bersimbah tangis.Dia masih sesosok Jaka yang tampan, tiada sedikitpun luka yang tampak dalam dirinya. Jaka tampak sehat dan baik-baik saja.“Ning? Sudah bangun?” sapanya dengan teramat lirih. Senyum tak lepas dari wajah indahnya.Nuning terdiam dan menatap lelaki itu cukup lama. Dan dalam mimpinya ini, Nuning teringat Jaka sudah mati.Nuning mengulurkan tangan. “Jak?” panggilnya. Kemudian Lelaki itu menundukkan wajahnya.Nuning membelai-belai ketampanan yang terpampang di depannya. Nuning tak peduli ini nyata atau bukan. Tak peduli lelaki itu mati atau tidak. Dia hanya ingin tetap bisa menyentuhn
Jaka meninggal.Cuma dua kata. Tapi butuh waktu dua puluh jam bagi Nuning untuk sanggup mencerna maknanya, di sela-sela pingsannya yang tak berkesudahan.Wanita itu mengedarkan pandang di saat sadarnya, dia menemukan Vincent yang tak lepas menggenggam tangannya. “Dennis lagi sama opa dan omanya. Mereka sedang menenangkan Dennis. Papa dan Mama langsung terbang ke sini begitu mengetahui kabar itu dari berita. Mereka mencemaskanmu dan Dennis. Mereka turut berduka sedalam-dalamnya, termasuk Opa Daniel,” bisik Vincent dengan kelembutan yang biasanya menenangkan, tetapi tidak dalam situasi Nuning saat ini.Ungkapan belasungkawa itu justru menambah luka dalam dada Nuning yang kian menganga lebar. Tentu semua orang bisa begitu mudah menerima kematian Jaka. Karena mereka tak terlibat emosi sedalam ini dengan lelaki yang teramat berarti baginya.Nuning menggeleng. Tidak. Dia belum siap dengan ini!Akan tetapi, siapa yang betul-betul siap menghada
“Kamu nggak mau nungguin Dennis pulang dulu nih, Jak?”Jaka menggeleng sambil memaksakan diri menarik segaris senyum di bibirnya. Dia enggan bertemu dan berbasa-basi dengan Vincent saat suasana hatinya sedang seburuk ini. Dia masih merasa kesal dan kecewa lelaki itu menggeser posisinya di acara Father Day hari ini, momen pentingnya bersama Dennis, darah dagingnya. Meskipun dia juga paham, Vincent berhak berada di sana.Bagaimanapun Vincent juga ayah Dennis. Vincent juga malaikat mereka. Jaka tak sanggup membayangkan apa jadinya jika Nuning menghadapi kehamilannya seorang diri dengan segala kesulitannya kala itu, tanpa lelaki yang seharusnya bertanggung jawab atas janin yang tengah dikandungnya, yaitu dirinya!Berkat kebaikan Vincent pula Nuning dan Dennis bisa merasakan hidup yang lebih dari sekadar layak. Lelaki itulah yang telah memuliakan wanita yang dicintainya ini. Vincent mengangkat status sosial Nuning setinggi langit, sesuatu yang tak dapat J
“Ayah, besok ada acara Father Day. Ayah mau ikut nggak?” tanya Dennis disela-sela makan siangnya di sebuah hotel bersama Nuning dan Vincent yang baru saja tiba dari Jakarta.“Ayah kan masih capek, Sayang. Dennis ajak Uncle Jack aja, ya?” sahut Nuning sambil mengusap-usap sayang rambut Dennis.“Tapi kan Ayah belum pernah ikut acara Father Day sama Dennis?” bocah tampan itu tampak merajuk.Vincent terlihat ingin mengalah dan menjawab ‘baiklah’. Namun Nuning dengan cepat menangkap kelelahan yang memenuhi wajah tampan pria itu.“Dennis, Uncle Jack pasti sedih kalau Dennis menggantikan posisinya dengan tiba-tiba kayak gini. Padahal Dennis sudah jauh-jauh hari bikin janji sama Uncle tentang acara ini. Uncle pasti sudah bersiap-siap sekarang. Dennis tega bikin Uncle Jack kecewa?”Namun Vincent dengan cepat menyanggahnya, “Nggak apa-apa, Ning. Dennis benar, kok. Aku perlu ikut acara itu seka
Jaka mulai frustrasi. Tak enak makan dan tak nyenyak tidur. Tenggelam dalam kekecewaan yang menggerusnya dengan sesak yang menyakitkan.Ningtyas geram melihatnya!“Kamu tahu konsekuensinya sejak awal kan, Mas? Jatuh cinta itu harus siap-siap sakit. Namanya aja jatuh cinta. ‘Jatuh’ yang artinya bisa saja nyungsep, ngglepar, nyusruk ... dan semuanya itu pasti berujung sakit. Kamu nggak bisa cuma menginginkan cinta dengan mengabaikan kemungkinan sakitnya. Sampai kapan kamu mau terus begini?” Ningtyas mengomelinya. Melihat Jaka senelangsa ini, membuat hatinya ikut nelangsa juga.Jaka menimang-nimang kotak Tiffany Blue di tangannya, yang telah begitu lama ia simpan untuk Nuning dengan segaa kesabaran dan penantiannya. “Kau betul, aku harus tahu kapan saatnya menyerah dan melepaskan mimpiku ini, dan menggantinya dengan mimpi lain yang lebih mungkin,” desahnya sambil mengecup kotak itu, kemudian membukanya.Ningtyas terbelalak
Hari ini, Jaka sedang mewujudkan kado permintaan Dennis. Bocah itu rupanya sedang belajar mendesain layangannya sendiri, tapi dia belum bisa mengeksekusi idenya tersebut menjadi sebuah layangan seperti harapannya. Kemudian meminta Jaka menciptakan untuknya sebagai kado spesial. Tentu dengan senang hati Jaka mengabulkannya.Mereka berdua pun membuat layangan di teras belakang rumah Jaka, di dekat area kolam renang pribadinya. Sebab studionya sedang dipenuhi para pekerja yang sedang memproduksi layangan untuk dijual, maupun untuk memenuhi pesanan para pelanggan.Ayah dan anak itu merakit layangan sambil berbincang santai.“Memangnya, apa sih kado yang Dennis minta dari Ayah Vincent kemarin?” selidik Jaka penasaran.“Cincin.”“Cincin?” Jaka mengerutkan kening. Permintaan yang tak lumrah.“Bukan buat Dennis kok, tapi buat Bunda.”“Loh, kok buat Bunda?”Dennis tertawa kecil
Saat mendengar bunyi langkah kaki di belakangnya, Nuning menoleh dengan cepat. Jaka tampak tersenyum dengan buket bunga mawar merah di tangannya. Nuning mencebik saat menerimanya, tapi sambil mengendusi wanginya yang khas.“Cantik.”“Secantik kamu.”“Gombal.”“Digombalin aja aku masih aja ditolak, apalagi kalau nggak?” goda Jaka sambil mengambil alih pekerjaan Nuning mendekorasi ruang tamu yang akan digunakan untuk perayaan ulang tahun Dennis yang ke-11 secara kecil-kecilan, yang hanya dihadiri keluarga saja.“Dennis mana?” tanya Jaka sambil memompa beberapa balon.“Pergi sama Vincent.”“Ke mana?”“Beli kado.”“Beli kado?”“Dia menolak kado yang dibawa Vincent jauh-jauh dari Amerika, dan bilang mau memilih sendiri kadonya, lalu menyeret Vincent ke kota untuk membeli kado pilihannya sendiri.”
Dua tahun yang lalu,Ningtyas mungkin bukan satu-satunya orang yang merasa terkejut saat mendengar kabar perceraian Nuning. Tetapi, dia adalah orang yang paling ditekan rasa bersalah kala mendengarnya. Saat itu, Jaka dan Nuning masih berada di Lampung, mengurus Pak Priyo yang baru menjalani operasi jantung.Ningtyas merasa bosan dan menelepon Jaka.“Mas, kapan sih pulangnya? Lama banget? Banyak PR desain yang belum kamu beresin nih. Lagipula, nggak ada kamu di sini nggak seru!”“Main aja ke rumah Dennis.”“Loh, Dennis di Buleleng?”“Iya, dia udah balik duluan sama Helda. Soalnya dia harus sekolah.”“Wah, kalau gitu aku main ke sana deh. Kangen juga aku sama lasagna di cafenya.”“Kalau kamu lagi senggang, tolong bantuin Helda antar –jemput Dennis sekolah.”“Mas, kerjaanku di studio kita tuh udah banyak. Ini m