86"Sarapan, Pak?" ujar Mario berbasa-basi.Bram menghentikan langkahnya, dia menatap Mario dengan intens."Mario, segera kamu panggilkan OB, minta dia membeli sarapan nasi kuning seperti yang kamu makan," perintah Bram."Em, maaf, Pak. Nasi ini tidak saya beli, ini pemberian dari teman saya, dia sendiri yang memasaknya," jawab Mario dengan sedikit pamer."Kalau begitu suruh OB itu mencari dimanapun, harus nasi kuning!" jawab Bram masih masuk ruangan dengan kesal."Tahu bos suka nasi kuning, bagian pak Iyan akan kuberikan pada bos," gumam Mario sambil bersungut."Apa kau bilang?" Burliyan jelas mendengar keluhan lelaki di dekatnya ini dengan tidak senang."Nggak ada, aku akan segera memanggil OB."*****Bram meminta OB juga menyiapkan kopi buatnya, sebenarnya sangat tidak sehat meminum kopi dalam kondisi perut kosong, tetapi Bram butuh energi untuk memulai harinya. OB yang diminta membeli nasi kuning sampai saat ini juga belum kembali.Kopi buatan OB ini juga tidak seenak buatan Dhea,
Part 87 Dhea kembali menatap layar komputernya dengan serius, sepertinya hari ini dia akan mulai gila kerja seperti sebelumnya, ketika dia ada masalah dengan Bram. Sudah berkali-kali Bram menyakitinya, namun dengan lapang dada Dhea memaafkannya, tetapi untuk kali ini rasanya sulit, Dhea tidak akan dengan mudah memaafkannya. Suaminya itu sudah terang-terangan membela wanita itu di hadapannya. Walaupun Bram meminta maaf hingga nangis darah, Dhea bertekad untuk tidak mudah goyah, lelaki itu memang harus diberi pelajaran agar bisa sedikit saja menghargai perasaannya. Tring Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya, itu dari Intan, yang mengabarkan dia akan pulang Minggu depan. Dia bilang ayahnya tengah sakit. [Sakit apa Om Muhtar? Kok gak ada yang ngabari aku?] balas Dhea. [Darah tingginya kambuh, dia sempat pingsan tadi. Sekarang dirawat di rumah sakit umum, tadi pagi masuk rumah sakitnya] [Oh, kalau begitu nanti pulang kerja aku langsung ke sana, di rawat di ruang mana?] [Di k
Bab 88 "Pak Hendro? Ya, biasalah ini mumpung ada tamu jadi kami berbincang dengan beliau," jawab Gracia tak kalah ketus. "Tamu?" Hendro langsung memindai pria yang tengah dikerubuti gadis-gadis itu. Seorang pria yang sangat tampan ada diantara mereka, siapa lelaki yang berpakaian non formal itu? Memakai kemeja lengan pendek berwarna hitam dan celana cargo berwarna abu-abu. Wajahnya yang tampan itu memiliki mata elang yang sekali melirik ke arah seorang gadis, bisa membuat gadis itu histeris. "Hei, Bung! Anda ke mari mau menemui siapa?" tanya Hendro dengan nada yang tidak ramah sama sekali. "Pak Hendro, Mas Arjuna ini ke sini mau menemui Dhea, dia ini kakaknya Dhea." Nilam yang menjawabnya. "Hei, Bung! Anda pikir ini rumah kediaman gadis ini? Pakai bertamu segala ke sini. Ini kantor, Bung. Tempat bekerja, bukan tempat bersantai. Ada banyak aturan di kantor ini, kalau anda mau menemui gadis ini, pergi sana ke lobi, di sana ada ruang tunggu untuk tamu. Jangan ke ruangan kerja sepe
Part 89"Arjuna!" panggil seorang lelaki yang kini sudah berdiri di hadapannya.Spontan mata lelaki itu membola, dia sangat terkejut, bukan lantaran seorang lelaki yang kini tengah duduk di sebuah kursi di depan mini bar, tetapi keterkejutannya itu dikarenakan wanita yang duduk di sebelah lelaki itu.Sebenarnya Dhea sudah menyiapkan mental dan jawaban ketika bertemu dengan Bram, secara mereka bekerja dalam lingkup kantor yang sama, kemungkinan akan terjadi pertemuan itu peluangnya sangat besar. Tetapi melihat suaminya berdiri di hadapannya seperti ini, Dhea menjadi sangat panik, semua kata-kata yang sudah dipersiapkan jauh-jauh hari hilang entah kemana. Dalam beberapa detik, suasana begitu hening, setiap orang tidak ada yang berani mengeluarkan suara, tentu apa yang dipikirkan oleh semua orang berbeda-beda, hanya Bram dan Dhea yang tahu apa yang ada dipikiran masing-masing, satu lagi orang yang terkejut melihat wanita yang duduk di sebelah Arjuna, dia adalah Adi, asisten setia Bram
Part 90 Bram mencekal tangan Dhea dengan kuat, sebenarnya Dhea merasakan sakit, tetapi dia masih bisa menahannya di depan rekan kerjanya, tetapi ketika sudah mencapai lift, ternyata pegangan tangan Bram justru semakin kencang. "Bang, ini sakit, jangan kuat-kuat megangnya," ujar Dhea sambil meringis kesakitan. Bram yang melihat wajah Dhea dari pantulan cermin sedikit melonggarkan pegangannya tetapi lelaki itu tidak melepasnya. Dhea hanya menunduk, sesekali wanita itu melirik ke arah cermin di depan mereka, sementara Bram terus saja memandangi istrinya dengan intens. Tidak ada yang bersuara di antara mereka, tetapi tentu saja dalam hati mereka sudah saling merutuki satu sama lain, setalah lift mencapai lantai lima, Bram bergegas keluar, tangannya masih menyeret tangan Dhea dengan kuat. Dhea hanya menurut, dia bahkan penasaran bagaimana reaksi sekretaris suaminya yang ganjen itu ketika melihat bos mereka tengah menggandeng perempuan yang ditamparnya kemarin, tetapi sampai Bram sa
Part 91"Segampang itu kamu mau minta cerai, Dhe? Apa itu hanya alasan kamu saja? Padahal yang sebenarnya kamu mau kembali pada pacarmu itu, Aryan! Pantas saja kamu tidak mau Abang ajak ke Batam dulu, ternyata kamu tidak mau ketahuan kalau ada mantan pacar yang ikut pergi juga. Iya, kan?"Bram bertanya dengan nada sinis, bukan karena dia marah sebenarnya, tetapi karena rasa cemburu yang sudah membakar hatinya sejak tadi, bisa-bisanya dia tidak tahu jika istrinya ini banyak sekali penggemarnya."Kenapa Abang malah memutar balikkan fakta seperti itu? Memang aku dengan Bang Aryan itu memiliki hubungan di masa lalu, tetapi kami sudah selesai, dia bahkan sudah menikah dan memiliki istri yang sangat cantik, begitu juga denganku, aku sudah menikah dengan Abang, kan? Aku pantang mengkhianati seseorang, apalagi suamiku sendiri. Aku memang tidak ingin ikut ke Batam karena Bang Aryan juga ikut, bukan apa-apa, aku hanya ingin menjaga perasaan Abang, tetapi malah Abang yang nggak menjaga perasaank
Part 92"Pak Arjuna, mari kita tunggu di ruang tunggu sebentar, sepertinya yang akan dibahas pak Bram dan Bu Dhea sangat penting," bujuk Adi.Arjuna bisa apa? Dia hanya bisa menuruti perkataan Adi dengan kesal.Dhea yang mendengar ribut-ribut di luar langsung mendorong tubuh suaminya yang tengah memeluknya dengan erat, membuat Bram menatapnya dengan pandangan kecewa. Wanita itu langsung merapikan penampilannya, jilbabnya bahkan sudah tidak terpasang lagi, kancing blouse nya sudah terbuka bagian atasnya."Bang, sudah, ya? Kita lanjutkan saja nanti di rumah, ini masih jam kerja, gak enak dilihat sama karyawan, setidaknya Abang harus memberi contoh sebagai atasan yang profesional," ujar Dhea selagi merapikan pakaiannya.Bram yang tadinya diam saja, hanya mengamati aktivitas Dhea yang sedang rapi-rapi, hanya mengeluh dalam hati, sialan Arjuna! Mengganggu kesenangan orang saja! Buyar sudah gairah yang melingkupi tubuhnya, kini lelaki itu hanya tertunduk lesu dan lemas."Bang, bukankah Ka
Part 93 Dengan sedikit menyentak pintu ruangan Bram, Dhea keluar. Memang jengkel sekali mendengar suaminya perhatian dengan wanita lain sampai segitunya, tentu saja sentakan pintu uang cukup keras itu juga membuat Bram gusar. Apalagi ini? Wanita memang sudah untuk dimengerti, dia mengatakan terserah pada hakekatnya dia mengatakan jangan, stop it! Hanya saja Bram yang tidak peka dengan kode alam seperti itu. Ketika Dhea dengan kesal berjalan ke lorong yang memisahkan ruangan Bram dan ruang administrasi kantor, wanita itu seketika menghentikan langkahnya. Di depan sana, beberapa laki-laki tengah menunggunya keluar dari ruangan Bram. Adi dan Fikri tentu saja wajahnya biasa saja karena mereka mengetahui hubungan antara Bram dan Dhea, tetapi wajah gusar dan cemas jelas tersirat di raut wajah Arjuna, Mario dan Burliyan. "Dhea? Syukurlah kamu segera keluar dari ruangannya, apa yang dia lakukan padamu, Dek?" Arjuna langsung menyongsong ke arah kedatangan Dhea. Mario dan Burliyan hanya sa
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar