"Kata pak Adi tidak apa-apa ibu pergi bersama pak Frans. tapi kami akan tetap membuntuti dan mengawasi dalam jarak aman," ujar Rio. "Pak Frans, mohon untuk menjaga Bu Dhea agar tetap aman," ujar Regan. "Orang yang paling akan saya jaga di dunia ini adalah dia!" tunjuk Frans pada Dhea. "Kalau begitu, saya serahkan keselamatan Bu Dhea kepada anda," ujar Rio dengan sungguh-sungguh. "Ayo, Dhea. ikut mobil saya!" ajak Frans dengan semangat. "Pak Rio, PK Regan. saya ikut Frans, silahkan anda kerjakan tugas anda." "Baik, Bu." Kendaraan Frans meluncur di jalan raya menuju kota Palembang, Dhea melihat ke luar jendela, jalanan ini sangatlah familiar karena dia pernah melalui tempat ini. Sampai dia di depan gerbang masuk kota Palembang. "Antar saya keliling kota Palembang ya, Frans." "Oke, kamu mau ke mana dulu?" "Aku ingin ke tempat-tempat yang pernah aku kunjungi, pertama ke UNSRI. di sana ada tempat makan tekwan yang sangat enak." "Oke." Delapan tahun di kota ini sudah
Pertanyaan Frans dengan menggebu-gebu itu belum sempat Dhea jawab, ternyata dari tangga sudah terdengar suara sepatu hak tinggi yang berjalan cepat menuju ruang bawah. Kedua orang di bawah mendongak melihat ke atas, Suasana butik memang sedang sepi karena jam istirahat makan siang, jadi suara pelan sekalipun bisa terdengar di sana, apalagi suara ketukan sepatu. Wanita itu berhenti di tengah tangga, napasnya masih memburu melihat siapa yang datang, kemudian dia melangkah perlahan menuju ke arah wanita yang tidak asing lagi itu, tetapi lelaki di sampingnya siapa? "Hallo, Bu Dhea ... lama tidak berjumpa," ujar wanita itu dengan senyuman canggung. "Hei, Del ... Jangan panggil aku Dhea, aku Amel, Kamelia temanmu, kau pasti ingat, kan?" Mata Adelia membelalak mendengar perkataan Dhea, tapi dia menguasai perasaan dengan cepat, seulas senyum dia tampilkan, dia sudah menduga jika Kamelia akan mencari jati dirinya, bukankah dia pernah mendatanginya dulu juga untuk mencari tahu semuanya?
"Tidak ada, aku hanya mau mengingatkan jika seberapa kerasnya dirimu memisahkan aku dan Tyo, kalau memang sudah jodoh akhirnya bertemu juga, kan? sudah berapa banyak uang yang kamu tipu sama suamiku itu? bahkan butik ini seluruhnya dimodali suamiku." "Apa kamu ingin mengambil alih butik ini? mana bisa! semua bangunan dan ijin usaha ini atas namaku, sertifikat tanahnya juga atas namaku, bagaimana cara kamu mengambilnya?" "Tentu aja aku tidak akan menyita bangunan ini, silahkan kamu menikmati semua harta suamiku itu. Aku juga tidak kekurangan uang dengan mengambil apa yang kamu miliki sekarang, hanya saja, kamu ingat ... suamiku adalah yang memodali kamu dari awal, uang suamiku adalah uangku juga. Aku juga tidak makan mengambil keuntungan butik ini, hanya saja aku butuh apresiasi, setiap aku datang dan membutuhkan apapun dari butik kamu, maka kamu harus memberikannya padaku. Sekarang aku butuh banyak pakaian dan tas untuk karyawanku." "Ya, silahkan." Adelia juga tidak ingin Dhea
"Bagaimana perasaan anda, Pak?" tanya dokter lJames dengan bahasa Inggris. "Saya merasa lebih baik. Penglihatan saya juga sudah kembali walau agak sedikit kabur. Anda cukup hebat dokter, dalam waktu tiga hari sudah bisa mengembalikan penglihatan saya." "Anda tidak banyak meminum racun itu, jadi bisa cepat dibersihkan. sayang saja saya hanya bisa mengeluarkan racun dengan cara akupuntur, saya belum bisa menganalisis racun apa itu dan belum bisa membuat penawarnya. mungkin mata anda akan mengalami minus, nanti kita periksa, mulai sekarang harus dibantu pakai kaca mata." "Ah, baiklah." Dokter James yang tinggal di sebelah Bram selama masa pengobatan ini sudah selesai memeriksa mata pasiennya ini dan langsung pamit ke apartemennya, mungkin besok atau lusa dia sudah harus kembali ke Jerman, lagipula Bram juga sudah kembali penglihatannya tinggal dipantau dalam satu dua hari ini, ada gejala lain dari racun itu apa tidak, penglihatannya masih bertahan atau tidak. "Adi, kapan Dhea a
"Ini Frans, teman saya di Palembang ini. Dia juga teman suami saya. dia bersedia mengantar aku dengan membawa banyak barang ini." "Ha? ini apa?" "Sekedar oleh-oleh untuk kalian." "Wah ...." Beberapa orang antusias mendapatkan oleh-oleh dari Dhea, tetapi Tania dan Arinda justru antusias melihat sosok tampan berwajah dingin yang dibawa oleh Dhea. "Kenalin dong, Dhea. dia sudah menikah belum?" "Belum, kalian kenalan sendiri aja." "Nggak enak, dong. kenalan sendiri aja." Dhea yang tidak enak dengan dia gadis itu langsung membawa keduanya ke hadapan Frans. Sebenarnya Dhea juga tidak rela melihat dua wanita baik-baik ini akan dekat dengan Frans yang memang adalah lelaki brengsek dalam pandangan Dhea. Mungkin kalau Dhea tidak pernah menyelamatkan nyawa lelaki ini, dia juga bisa menjadi korban pelecehan lelaki ini. "Frans, kenalin ini teman-temanku!" Frans memicingkan mata menatap Dhea, bibirnya mengulas senyum licik, tetapi di mata dua gadis itu senyuman itu dianggap sebagai se
"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Frans dengan rasa kuatir "Tidak apa-apa apanya? kepalaku sakit!" gerutu Dhea sambil memegang kepalanya. "Maaf, ya ...," ujar Frans dengan penuh penyesalan. "Kamu kenapa sih? bahaya tahu ngerem mendadak begini." "Mendnegar ucapanmu aku jadi kepikiran." "Ucapan yang mana?" mata Dhea mendelik manakala mendengar lelaki itu bicara demikian. "Itu ... kamu tadi mengatakan kalau Bram tidak suka aku masuk ke bisnis ini karena dia peduli padaku." "Lah, logikanya memang begitu kan? kalian dulu berteman, kan?" "Ya, bahkan cukup akrab. kami bertiga, aku, lingga dan Bram." "Nah, kalau teman sejati nggak mungkin mau menjerumuskan temannya ke jalan yang salah. Aku yakin kok, kalau Bang Bram orangnya nggak sejahat itu. Aku ini istrinya, aku tahu betul bagaimna wataknya. Kalau dia jahat juga aku nggak bakalan mau sama dia." "Huffhhh." Frans menghela napas berat, pikirannya kini melayang mengingat kejadian 18 tahun lalu, dia bertemu dengan Bram saat a
"Kau yakin Bram tinggal di sini?" tanya Frans tidak percaya "Kok meragukan? aku istrinya, selama dia sakit aku yang merawatnya. bayangkan, aku harus merawat suamiku dan juga merawat perusahaannya. Aku sendiri tidak bisa membayangkan sebenarnya, apakah aku kuat atau tidak, tetapi setelah dijalani aku sendiri tidak percaya kalau aku bisa bertahan sampai saat ini." "Ayo, ikuti aku!" Dhea mengajak lelaki itu untuk mengikuti jalannya. Frans di belakang mengikuti wanita itu dengan menenteng banyak sekali barang, semua itu Dhea beli buat suaminya. Rata-rata isinya adakah makanan dan minuman. Sampai di lantai tempat apartemen Adi itu, Dhea langsung datang dan memasukkan kode sandi ke pintunya. Kode ini hanya diketahui oleh Adi, Bram dan dirinya saja untuk menjaga kerahasiaan. Krettt Mendengar bunyi pintu yang terbuka, Bram yang tengah membaca beberapa dokumen di tangannya menoleh ke arah pintu. Lelaki itu sedang duduk di sofa ruang tamu, di meja tamu ada setumpuk dokumen yang ki
"Hei?!" Bram menatap Frans dengan memicingkan matanya, alisnya bahkan mengangkat sebelah. Dia baru sadar kalau di rumah ini ada makhluk lain yang tidak diharapkannya. "Kenapa kau masih di sini?" tanyanya dengan nada sinis. "Memangnya kenapa? aku diundang istrimu untuk makan siang bersama," jawab Frans acuh dan langsung berjalan menuju meja makan "Benarkah? Sayang, kamu mengundangnya?" "Abang, sudah. Ayo kita makan! sudah ini, aku ingin Abang mengantarku ke rumah Om Muhtar, oke?" Dhea tidak ingin menggubris perselisihan suaminya dan mantan sahabat suaminya itu, biarlah mereka menyelesaikan sendiri. Lagian kehadiran Frans juga tidak membuat Dhea kesulitan apa-apa, jadi dia merasa hubungannya dengan Frans hanya hubungan seperti hubungan komensalisme, tidak merugikan juga tidak menguntungkan. "Ini, aku tahu kamu suka makan dendeng Padang. aku memesannya untukmu tadi," ujar Frans yang sudah mengambilkan dendeng ke piring Dhea. "Jangan sok tahu apa yang disukai istriku. Istrik
Di ruang makan masih terdengar suara riuh saat makan dan beberapa percakapan dan tawa. Dhea menghela napas lega, ternyata begitu ya para pria, mereka nggak mudah baperan. Salah satu sudah minta maaf, ya sudah lah ... gampang banget balik lagi ke masa sebelum konflik. Walaupun ketika melewati masa konflik itu mereka sudah babak belur baik jiwa maupun raganya. Kepribadian Frans dan Bram memang bertolak belakang. Frans sendiri lebih ceria dan lebih ceriwis bahkan sedikit jahil, sementara Bram memang sudah stelan pabriknya bawaannya cool, nggak banyak omong dan cukup menjaga wibawa, tetapi sekali merayu membuat cewek meleleh nggak karuan. Makanya meja makan juga lebih heboh dengan gurauan Frans yang ditanggapi sinis oleh Bram. biar begitu Frans juga nggak peduli dengan tanggapan pria yang sudah membuka diri padanya itu, dia asyik aja membicarakan hal-hal konyol di masa lalu. "Lihat itu suami kamu, kamu jangan ketipu sama tampangnya yang pendiam itu, dia itu kalau ngomong gak kalah sad
"Hei?!" Bram menatap Frans dengan memicingkan matanya, alisnya bahkan mengangkat sebelah. Dia baru sadar kalau di rumah ini ada makhluk lain yang tidak diharapkannya. "Kenapa kau masih di sini?" tanyanya dengan nada sinis. "Memangnya kenapa? aku diundang istrimu untuk makan siang bersama," jawab Frans acuh dan langsung berjalan menuju meja makan "Benarkah? Sayang, kamu mengundangnya?" "Abang, sudah. Ayo kita makan! sudah ini, aku ingin Abang mengantarku ke rumah Om Muhtar, oke?" Dhea tidak ingin menggubris perselisihan suaminya dan mantan sahabat suaminya itu, biarlah mereka menyelesaikan sendiri. Lagian kehadiran Frans juga tidak membuat Dhea kesulitan apa-apa, jadi dia merasa hubungannya dengan Frans hanya hubungan seperti hubungan komensalisme, tidak merugikan juga tidak menguntungkan. "Ini, aku tahu kamu suka makan dendeng Padang. aku memesannya untukmu tadi," ujar Frans yang sudah mengambilkan dendeng ke piring Dhea. "Jangan sok tahu apa yang disukai istriku. Istrik
"Kau yakin Bram tinggal di sini?" tanya Frans tidak percaya "Kok meragukan? aku istrinya, selama dia sakit aku yang merawatnya. bayangkan, aku harus merawat suamiku dan juga merawat perusahaannya. Aku sendiri tidak bisa membayangkan sebenarnya, apakah aku kuat atau tidak, tetapi setelah dijalani aku sendiri tidak percaya kalau aku bisa bertahan sampai saat ini." "Ayo, ikuti aku!" Dhea mengajak lelaki itu untuk mengikuti jalannya. Frans di belakang mengikuti wanita itu dengan menenteng banyak sekali barang, semua itu Dhea beli buat suaminya. Rata-rata isinya adakah makanan dan minuman. Sampai di lantai tempat apartemen Adi itu, Dhea langsung datang dan memasukkan kode sandi ke pintunya. Kode ini hanya diketahui oleh Adi, Bram dan dirinya saja untuk menjaga kerahasiaan. Krettt Mendengar bunyi pintu yang terbuka, Bram yang tengah membaca beberapa dokumen di tangannya menoleh ke arah pintu. Lelaki itu sedang duduk di sofa ruang tamu, di meja tamu ada setumpuk dokumen yang ki
"Kamu tidak apa-apa, kan?" tanya Frans dengan rasa kuatir "Tidak apa-apa apanya? kepalaku sakit!" gerutu Dhea sambil memegang kepalanya. "Maaf, ya ...," ujar Frans dengan penuh penyesalan. "Kamu kenapa sih? bahaya tahu ngerem mendadak begini." "Mendnegar ucapanmu aku jadi kepikiran." "Ucapan yang mana?" mata Dhea mendelik manakala mendengar lelaki itu bicara demikian. "Itu ... kamu tadi mengatakan kalau Bram tidak suka aku masuk ke bisnis ini karena dia peduli padaku." "Lah, logikanya memang begitu kan? kalian dulu berteman, kan?" "Ya, bahkan cukup akrab. kami bertiga, aku, lingga dan Bram." "Nah, kalau teman sejati nggak mungkin mau menjerumuskan temannya ke jalan yang salah. Aku yakin kok, kalau Bang Bram orangnya nggak sejahat itu. Aku ini istrinya, aku tahu betul bagaimna wataknya. Kalau dia jahat juga aku nggak bakalan mau sama dia." "Huffhhh." Frans menghela napas berat, pikirannya kini melayang mengingat kejadian 18 tahun lalu, dia bertemu dengan Bram saat a
"Ini Frans, teman saya di Palembang ini. Dia juga teman suami saya. dia bersedia mengantar aku dengan membawa banyak barang ini." "Ha? ini apa?" "Sekedar oleh-oleh untuk kalian." "Wah ...." Beberapa orang antusias mendapatkan oleh-oleh dari Dhea, tetapi Tania dan Arinda justru antusias melihat sosok tampan berwajah dingin yang dibawa oleh Dhea. "Kenalin dong, Dhea. dia sudah menikah belum?" "Belum, kalian kenalan sendiri aja." "Nggak enak, dong. kenalan sendiri aja." Dhea yang tidak enak dengan dia gadis itu langsung membawa keduanya ke hadapan Frans. Sebenarnya Dhea juga tidak rela melihat dua wanita baik-baik ini akan dekat dengan Frans yang memang adalah lelaki brengsek dalam pandangan Dhea. Mungkin kalau Dhea tidak pernah menyelamatkan nyawa lelaki ini, dia juga bisa menjadi korban pelecehan lelaki ini. "Frans, kenalin ini teman-temanku!" Frans memicingkan mata menatap Dhea, bibirnya mengulas senyum licik, tetapi di mata dua gadis itu senyuman itu dianggap sebagai se
"Bagaimana perasaan anda, Pak?" tanya dokter lJames dengan bahasa Inggris. "Saya merasa lebih baik. Penglihatan saya juga sudah kembali walau agak sedikit kabur. Anda cukup hebat dokter, dalam waktu tiga hari sudah bisa mengembalikan penglihatan saya." "Anda tidak banyak meminum racun itu, jadi bisa cepat dibersihkan. sayang saja saya hanya bisa mengeluarkan racun dengan cara akupuntur, saya belum bisa menganalisis racun apa itu dan belum bisa membuat penawarnya. mungkin mata anda akan mengalami minus, nanti kita periksa, mulai sekarang harus dibantu pakai kaca mata." "Ah, baiklah." Dokter James yang tinggal di sebelah Bram selama masa pengobatan ini sudah selesai memeriksa mata pasiennya ini dan langsung pamit ke apartemennya, mungkin besok atau lusa dia sudah harus kembali ke Jerman, lagipula Bram juga sudah kembali penglihatannya tinggal dipantau dalam satu dua hari ini, ada gejala lain dari racun itu apa tidak, penglihatannya masih bertahan atau tidak. "Adi, kapan Dhea a
"Tidak ada, aku hanya mau mengingatkan jika seberapa kerasnya dirimu memisahkan aku dan Tyo, kalau memang sudah jodoh akhirnya bertemu juga, kan? sudah berapa banyak uang yang kamu tipu sama suamiku itu? bahkan butik ini seluruhnya dimodali suamiku." "Apa kamu ingin mengambil alih butik ini? mana bisa! semua bangunan dan ijin usaha ini atas namaku, sertifikat tanahnya juga atas namaku, bagaimana cara kamu mengambilnya?" "Tentu aja aku tidak akan menyita bangunan ini, silahkan kamu menikmati semua harta suamiku itu. Aku juga tidak kekurangan uang dengan mengambil apa yang kamu miliki sekarang, hanya saja, kamu ingat ... suamiku adalah yang memodali kamu dari awal, uang suamiku adalah uangku juga. Aku juga tidak makan mengambil keuntungan butik ini, hanya saja aku butuh apresiasi, setiap aku datang dan membutuhkan apapun dari butik kamu, maka kamu harus memberikannya padaku. Sekarang aku butuh banyak pakaian dan tas untuk karyawanku." "Ya, silahkan." Adelia juga tidak ingin Dhea
Pertanyaan Frans dengan menggebu-gebu itu belum sempat Dhea jawab, ternyata dari tangga sudah terdengar suara sepatu hak tinggi yang berjalan cepat menuju ruang bawah. Kedua orang di bawah mendongak melihat ke atas, Suasana butik memang sedang sepi karena jam istirahat makan siang, jadi suara pelan sekalipun bisa terdengar di sana, apalagi suara ketukan sepatu. Wanita itu berhenti di tengah tangga, napasnya masih memburu melihat siapa yang datang, kemudian dia melangkah perlahan menuju ke arah wanita yang tidak asing lagi itu, tetapi lelaki di sampingnya siapa? "Hallo, Bu Dhea ... lama tidak berjumpa," ujar wanita itu dengan senyuman canggung. "Hei, Del ... Jangan panggil aku Dhea, aku Amel, Kamelia temanmu, kau pasti ingat, kan?" Mata Adelia membelalak mendengar perkataan Dhea, tapi dia menguasai perasaan dengan cepat, seulas senyum dia tampilkan, dia sudah menduga jika Kamelia akan mencari jati dirinya, bukankah dia pernah mendatanginya dulu juga untuk mencari tahu semuanya?
"Kata pak Adi tidak apa-apa ibu pergi bersama pak Frans. tapi kami akan tetap membuntuti dan mengawasi dalam jarak aman," ujar Rio. "Pak Frans, mohon untuk menjaga Bu Dhea agar tetap aman," ujar Regan. "Orang yang paling akan saya jaga di dunia ini adalah dia!" tunjuk Frans pada Dhea. "Kalau begitu, saya serahkan keselamatan Bu Dhea kepada anda," ujar Rio dengan sungguh-sungguh. "Ayo, Dhea. ikut mobil saya!" ajak Frans dengan semangat. "Pak Rio, PK Regan. saya ikut Frans, silahkan anda kerjakan tugas anda." "Baik, Bu." Kendaraan Frans meluncur di jalan raya menuju kota Palembang, Dhea melihat ke luar jendela, jalanan ini sangatlah familiar karena dia pernah melalui tempat ini. Sampai dia di depan gerbang masuk kota Palembang. "Antar saya keliling kota Palembang ya, Frans." "Oke, kamu mau ke mana dulu?" "Aku ingin ke tempat-tempat yang pernah aku kunjungi, pertama ke UNSRI. di sana ada tempat makan tekwan yang sangat enak." "Oke." Delapan tahun di kota ini sudah