Ibrahim hanya terpaku mendengar pertanyaan anak sulungnya, sementara Viyatan sendiri masih setia menunggu jawaban dari ayahnya. "Ayah?" tanya Viyatan lagi tidak sabaran. Lelaki muda itu langsung masuk ke ruangan ayahnya dan menutup pintu dengan cepat. Dia duduk di hadapan ayahnya dengan tatapan serius. "Ayah begitu perhatian dan sayang pada perempuan itu bukan hanya karena dia mirip Kamelia, kan? katakan padaku! apa yang ayah sembunyikan!" Ibrahim ingin mengatakan sejujurnya pada anak sulungnya ini, tetapi sekali lagi dia ingat pesan Dhea. Fathan yang dari awal begitu sayang pada Dhea saja tidak dia kasih tahu, apalagi anak sulungnya yang jelas-jelas anak pembangkang ini. "Iya, karena dia begitu mirip Kamelia, makanya ayah merasa Kamelia hidup kembali. Ayah menyayanginya, tidak ingin dia pergi seperti Kamelia. Apalagi Dhea juga sudah yatim piatu, hubungan kami seperti simbiosis mutualisme." Akhirnya Ibrahim tidak berani untuk jujur. Sepertinya memang bukan waktu yang tepat
"Sebenarnya apa yang kau kuatirkan, Fathan? apa kamu juga menyukai Dhea?" "Apa?" Roti isi yang akan masuk ke mulut Fathan, tertunda begitu mendengar perkataan kakak sulungnya. Fathan jelas tidak menyangka perkataan seperti itu keluar dari mulut lelaki itu, bahkan senyum lelaki itu tampak begitu meremehkan Fathan, jelas saja Fathan menjadi tidak terima. "Kakak, apa yang kau katakan? bagaimana aku bisa menyukai adik sendiri? Dhea bahkan sudah seperti Kamelia bagiku." "Tapi, dia bukan Kamelia, kan?" "Memang bukan, tetapi selama ini aku tidak pernah kepikiran seperti itu. Aku tulus menyayanginya seperti aku menyayangi Kamelia, bahkan aku juga sangat menghormati suaminya." Viyatan yang mendengar perkataan adiknya itu hanya mencebik tidak percaya. Ketika Kamelia hidup dulu, Viyatan memang menyayangi adiknya itu, bahkan tidak ada yang menyayangi Kamelia seperti Viyatan menyayanginya. Jika Ibrahim menyayangi putrinya hanya di hati saja tanpa tindakan nyata, tetapi Viyatan menyayan
"Tidak ada yang berselingkuh, mereka berpisah karena keadaan. Tetapi suaminya itu juga seorang pengecut, hanya memikirkan diri sendiri daripada membela istrinya." "Maksudnya? jelaskan, sejelas-jelasnya!" Fathan tidak tahu harus memulai bicara dari mana, waktu yang sedikit itu sangat tidak efektif untuk bercerita kisah hidup Dhea yang cukup panjang dan rumit itu. "Kisahnya panjang, tidak cukup waktu untuk menceritakannya." "Poin pentingnya saja!" "Begini, intinya ... Mereka berpisah karena keadaan. Ada yang berniat jahat pada mereka sehingga Dhea dituduh membunuh mertuanya dan berakhir di penjara." "Apa?!" Tentu saja kabar tersebut membuat Viyatan terkejut, dia pikir kisah hidup Dhea hanya seputar kisah hidup biasa, hamil dan diselingkuhi suaminya, akhirnya berpisah hingga wanita itu terdampar di sini. "Ssssttt, jangan keras-keras, nanti Dhea dengar!" Tatapan mata Fathan tertuju pada tangga, dia jelas kuatir Dhea mendengar pembicaraannya ini. Telunjuknya menempel di
Perjalanan ke Palembang kali ini benar-benar menguras tenaga. Mungkin karena kehamilan Dhea yang sudah memasuki trimester terakhir. Tetapi keberadaan Viyatan di sebelahnya cukup membantu, tanpa Dhea sangka, lelaki itu terus saja bertindak seperti suami siaga. Hingga pesawat mendarat di bandara Mahmud, Viyatan yang menyeret dua koper miliknya dan milik Dhea, sementara Dhea juga dipaksa untuk memegang lengan atasnya ketika berjalan. "Kita sudah sampai, langsung ke mana?" tanya Viyatan. "Langsung ke rumah Om Muhtar saja. Aku sudah kangen dengan keluarga mereka. Kita naik taksi nanti di depan." Viyatan berjalan santai, bahkan cenderung pelan-pelan, takut jika Dhea terjatuh. Setelah melalui pintu kedatangan, mereka berjalan ke lobi bandara untuk mencari taksi, tanpa diduga Dhea langsung menghentikan langkahnya, tubuh wanita itu bereaksi keras dan terkejut, bahkan tampak gugup. Viyatan yang menyadari perubahan Dhea, mengikuti arah pandang wanita itu, ternyata Dhea tengah memandang ke
Taksi terus melaju membelah jalanan, namun ketika mereka akan melewati the Arista hotel Palembang, Dhea langsung berubah pikiran. "Pak, kita berhenti di hotel itu saja!" perintah Mutia. "Loh, kita ke hotel? gak jadi ke rumah Om kamu?" tanya Viyatan dengan mimik penasaran. "Baik, Bu," jawab supir taksi. "Sebaiknya kita menginap di hotel saja, setelah check in baru kita mengunjungi keluarga Om Muhtar. Aku tidak mau merepotkan mereka dengan tinggal di sana." Sebenarnya jika Dhea sendirian, fine-fine saja tinggal di sana, lah ini dia membawa seorang lelaki yang tidak jelas statusnya apa. Walaupun dia kemungkinan besar adalah kakak kandungnya, keluarga Om Muhtar tahunya kalau Dhea ini adalah anak sepupu mereka Paramitha. Taksi langsung berhenti di lobi hotel, Dhea dan Viyatan langsung turun dari taksi setelah membayar argo, sementara supir taksi berlari ke arah bagasi untuk mengeluarkan dua buah koper sedang yang mereka bawa. Di lobi mereka sudah di sambut oleh pelayan hotel ya
"DHEA?! INI KAMU, DHE?!" Langkah Dhea berhenti mendengar suara panggilan yang cukup keras itu, ketika menoleh ke belakang, mata wanita itu membulat, tidak menyangka saja akan bertemu dengannya di sini. Dhea tidak tahu musti berkata apa, tetapi tangannya yang memegang dan pegangannya yang semakin erat di lengan Viyatan cukup menunjukkan bagaimana wanita ini memiliki kisah yang tak biasa dengan pria di hadapannya. "Aku pikir hanya halusinasi saja melihatmu di bandara, tenyata memang kamu. Ini benar-benar surprise buat Abang." Lelaki itu melangkah dengan pelan, mata berkaca-kaca tetapi pandangannya terus menelusuri tubuh Dhea dari kaki hingga kepala.Lelaki itu masih memakai pakaian yang dilihat Dhea di bandara, tetapi jaket kulit yang dipakainya diganti dengan jas dengan warna coklat muda sesuai dengan celana gunung yang dia kenakan. "Berhenti! Tetapi di situ!" ujar Dhea dengan suara bergetar. Refleks Bram berhenti melangkah, baru dia memindai lengan Dhea yang bertaut ke len
Dhea berjalan dengan perasaan yang tidak tentu arah, tentu saja dia tidak bisa dibilang baik-baik saja, pegangan tangannya di lengan Viyatan yang mengencang itu menandakan bagaimana perasaannya saat ini. Bulir-bulir bening tidak bisa dicegah untuk meluncur di pipinya, dengan tangan satunya yang bebas dia menghapus dengan kasar pipinya. Viyatan yang mengetahui keadaan wanita di sampingnya tak bisa tinggal diam, lelaki itu langsung merengkuh bahu Dhea agar kekuatan tangannya dapat memeluk dan memberi kekuatan pada wanita hamil itu. Tetapi bukannya semakin tegar, tangis Dhea malah semakin kencang dan terisak-isak. Dengan langkah terseok dan dibimbing oleh Viyatan, akhirnya mereka berdua berhasil menyebrang jalan. Setelah sampai tempat yang dituju, Viyatan langsung memeluk Dhea dengan erat. "Kenapa kau menangisi lelaki seperti itu? biarkan saja dia, dia tidak pantas menjadi suamimu. Kenapa pula kau bisa bersuamikan lelaki seperti itu? Bramantyo, lelaki yang tidak punya hati seperti
Tak berselang lama, mereka sudah tiba di jalan depan rumah Om Muhtar. Rasanya sudah bertahun-tahun Dhea tidak menginjak rumah ini, dengan jalan sedikit kepayahan, Dhea berjalan ke halaman rumah tersebut dan memencet bel dan berada di dekat pintu utama, sementara Viyatan sibuk mengeluarkan bawaan mereka dari bagasi taksi. Ketika pintu terbuka, yang terdengar adakah jeritan suara wanita. Dhea sendiri terkesima dengan kehadiran wanita tersebut di depan pintu. "AAAH! DHEA! DHEA! MA, DHEA DATANG, MA!!" Suara teriakan tersebut mengundang penghuni lain rumah ini untuk berbondong-bondong menuju ke arah pintu. "Dhea! ke mana aja kamu tidak pernah memberi kabar! kamu sedang hamil sekarang, Dhe? wah, senengnya melihat kamu hamil!!" Wanita muda itu langsung memeluk Dhea dengan erat dan enggan untuk melepaskannya. "Dhea? kamu datang, Dhe?! intan, biarkan dia masuk! kasihan pasti kelelahan, mana sedang hamil pula!" ujar lelaki paruh baya Mendnegar Omelan ayahnya, Intan melepaskan p
Sebulan yang lalu ..... "Kakak yakin mau melakukan ini? kalau kita lakukan ini, Amel bisa celaka, Kak." "Kita tabrak dari depan, jadi kemungkinan kecelakaan untuk penumpang belakang tidaklah terlalu fatal." "Baiklah, ini hanya kita saja yang tahu, jika ada yang tahu selain kita berdua, tidak bisa dibayangkan berapa orang yang akan tersakiti." "Makanya kau rahasiakan!" Hari itu, dengan truk pengangkut pasir yang dia beli bekas, dengan kendaraan yang sarat muatan, Viyatan mengendarai mobil itu dengan kecepatan rendah, setelah mendapat telpon dari Fathan jika mobil target dia sedang mendekat, maka dia memacu kendaraan sarat muatan itu dengan kecepatan tinggi, akibatnya mobil oleng dan langsung menabrak mobil sedan di depannya. Viyatan langsung melompat dari dalam mobil, dengan modal kunci inggris di tangan, dia memecahkan kaca jendela mobil sedan itu, dan menghantamkan kunci inggris itu pada dua pria yang duduk di depan, dan menutup hidung pria di bangku belakang dengan saputa
"Acara apa memangnya?" "Lihat itu, dekorasi itu untuk apa?" "Seperti pelaminan ya, Bang?" "Ya, hari ini jam sepuluh kita akan menikah lagi." "Ha? Apa nggak apa-apa?" "Nggak, pernikahan kita dulu kurang sempurna, karena tidak diwali nikahkan ayahmu, padahal ayahmu masih hidup. lagipula aku menikahimu dengan identitas orang lain, sekarang aku akan mengucapkan ijab kabul dengan mengucapkan namamu sendiri." "Apa tidak apa-apa menikah ulang?" "Aku sudah bertanya di KUA, mereka bilang tidak apa-apa. Mereka akan menerbitkan buku nikah yang baru atas namamu yang asli." "Iya, karena ingatanku sudah kembali, aku juga ingin kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, nama Dhea akan ku kembalikan pada pemilik aslinya." "Baiklah, jadi ... apakah aku bisa memanggil istriku dengan nama Lia?" "Maaf, Bang ... karena nama itu sudah pernah dipakai orang lain, aku jadi tidak mau lagi. Panggil nama kecilku seperti ayah dan saudaraku memanggil, yaitu Amel." "Baiklah, Amel. siapapun nama
Setelah sampai di rumah nenek, halaman rumah nenek yang luas sudah terpasang tenda dengan dekorasi yang sangat mewah, dengan dominasi warna biru laut, biru muda dan putih. Perpaduan warna-warna itu tampak begitu indah dan elegan, bahkan ada bunga-bunga segar sebagai dekorasi. "Ini, dekorasi acara peringatan kematian apa kawinan, sih? kok mewah banget begini?" tanya Dhea yang membuka jendela mobil dan menatap ke arah halaman rumah nenek. "Sebentar, aku keluar dulu. Kamu jangan keluar dulu." "Eh, kenapa?" Bram tidak menjawab pertanyaan istrinya, dia bergegas turun dan membuka pintu istrinya, dengan sigap lelaki itu langsung menggendong istrinya ala putri. "Eh, kenapa di bopong? itu Kruk aku ketinggalan di mobil," seru Dhea yang langsung mengalungkan kedua lengannya di leher suaminya takut terjatuh. "Selamat datang, Pak Bram, Bu Kamelia ...." Dhea menatap semua orang yang menyambut kedatangannya di gerbang masuk rumah. Mereka memakai seragam batik yang sama, seperti pelayan di
Setelah seminggu, Dhea dan Bram kembali dari ke tanah suci. Mereka segera kembali ke kediaman Bram, Dhea yang belum bisa berjalan, dengan kekuatan lengan Bram masih dibopong menuju ke kamarnya yang kini berada di lantai bawah. "Sayang, Istirahatlah. Besok kita akan kembali menerapi kakimu agar lebih kuat untuk berjalan. Sania akan bulan madu selama sepuluh hari lagi, nanti setelah dia pulang, kita jiga pulang ke Batam." "Iya, Bang. Aku harus semangat berlatih jalan." Hanya memikirkan Angga membuat Dhea semakin semangat berlatih jalan, seminggu kemudian dia sudah bisa memakai satu Kruk untuk berjalan, dia tidak mau lagi memakai kursi roda. "Dhea! Aku sudah pulang!" teriak Sania sambil berlari memeluk wanita yang tengah berdiri disangga Kruk. "Loh, kok sudah pulang? katanya sepuluh hari di sana? ini baru tujuh hari." "Iya, aku sudah kangen sama tanah air." "Ish, basi banget alasanmu." Sania malah tertawa lebar, kerudung warna hitamnya yang terpasang di kepalanya membuat
"Bang, aku kangen banget sama Angga, kapan aku akan bertemu dengannya?" keluh Dhea ketika malam tiba, dia benar-benar tidak bisa tidur memikirkan anaknya itu. "Sabar, Sayang. Keberadaan Abimanyu belum diketahui, lagian pendukungnya mafia Antonio juga melarikan diri ke Colombia." "Apa Abimanyu juga ikut melarikan diri ke sana?" "Belum bisa dipastikan. Orang-orang GIR akan menyelidikinya. Kamu sabar, ya? Sekalian sembuhkan dulu kaki dan bahumu, biar bisa menggendong Angga." "Ayah nanyain terus, kapan kita ke sana. Mereka akan menyiapkan pesta resepsi pernikahan kita." "Menunggu kepastian dari GIR, ya? kalau memang Abimanyu pergi ke Colombia, tentu situasi akan lebih aman. Kalau dia masih di sini, aku takut terjadi apa-apa pada kalian." "Iya, baik, Bang. Aku akan menuruti apa yang kamu katakan, tapi tolong pikirkan apa yang aku rasakan." "Setiap saat, yang dipikiran Abang hanya kebahagiaan dan keselamatan kamu dan anak kita, Sayang. Maaf, ya? Abang belum bisa memberi kebaha
Sudah sebulan berlalu, luka Dhea sudah mulai sembuh. Wanita itu sudah belajar berjalan satu dua langkah, hanya saja masih terasa sakit akibat patah tulang itu. Dia lebih banyak bergerak dengan kursi roda, jadwal terapi jalan dilakukan seminggu dua kali. Perusahaan juga sudah stabil, dua hari setelah tragedi penyerangan itu, Niko segera memulihkan saham perusahaan, Arjuna kini menjabat sebagai direktur utamanya dan Bram mengambil alih komisaris. Arjuna yang dulu sering menolak diberi wewenang puncak jabatan, kini terpaksa mengambil alih demi keluarga kakaknya yang memang butuh banyak perhatian. Bram juga ke kantor hanya dua kali seminggu, dia lebih banyak menghabiskan waktu untuk menemani istrinya berobat, Arjuna yang masih belajar hanya menghubunginya untuk berkonsultasi jika mengenai pekerjaan dan keputusan yang harus diambil. Kedua keluarga pamannya juga kini tidak meributkan kembali mengenai perusahaan, apalagi Siska sepupunya juga kini sibuk mengurus pernikahannya dengan seora
Tit .... tit ... tit .... Suara monitor terdengar teratur, sepasang mata tiba-tiba membuka, menatap lurus ke arah plafon. Bunyi monitor itu terdengar begitu mengganggu. "Masyaallah! kamu sudah bangun, Sayang?!" Suara itu mengagetkannya, dia menoleh dan mendapati seorang lelaki berpenampilan kuyu dengan sepasang mata yang memerah. di mana ini? "Alhamdulillah, kamu sudah sadar. Aku benar-benar cemas!" Perlahan-lahan kesadaran muncul pada diri wanita ini, bayangan terakhir sebelumnya. Dia berada di dalam mobil bersama lelaki brengsek Abimanyu. Perdebatan di dalam mobil itu membuat lelaki itu murka dan menodongkan pistol ke arahnya, namun belum sempat peluru itu dimuntahkan, mobil tiba-tiba terguncang hebat, seperti terbentur dengan kuat sehingga dia kehilangan keseimbangan dan terpental ke depan dengan kuat, kepalanya bahkan membentur dasbor mobil membuatnya tidak sadarkan diri. "Di mana ini?" akhirnya dengan susah payah dia mengeluarkan suara. "Kamu di rumah sakit, Sayang. Sud
"Niko, cepat kacak ke mana perginya mobil yang membawa Dhea!" perintah Bram melalui sambungan telepon. Untung saja Bram mengingat nomor plat mobil yang membawa Dhea tadi, jadi bisa sekalian meminta Niko untuk melacaknya. "Baik, Bos!" Niko yang selalu stanby di markas langsung melaksanakan perintah Bram. dalam beberapa menit dia sudah mengetahui nomor plat tersebut. "Bos, nomor plat mobil ini palsu. Ini nomor plat mobil keluaran tahun 1978, mobilnya bahkan sudah jadi rongsokan. Plat aslinya mungkin sudah dicopot." "Mobilnya BMW, apa tidak bisa dilacak?" "Iya, mobil keluaran 1978 ini juga BMW. bahkan nama pemiliknya sudah mati." Bram mendengus kesal, sungguh sial sekali nasibnya. Adi yang ada di sampingnya hanya bisa terdiam dan fokus menyetir, semntara Lingga yang duduk di kursi belakang sibuk menjaga Frans. Mobil yang dikendarai Adi dengan cepat sampai di rumah sakit terdekat, paramedis segera membawa blankar dan membawa tubuh Frans ke ruang gawat darurat, ketiga orang
"Sini, Kamu!" Dhea meringkuk ketakutan mana kala tiga orang lelaki mendatangi kamarnya dengan wajah beringas. Dengan kasar tangannya dicengkeram dan ditarik paksa, agar mengikuti langkah lelaki itu. "Mau ke mana?" tanya Dhea dengan suara keras yang dipaksakan. "Jangan banyak tanya!" Dhea hanya pasrah mengikuti langkah cepat lelaki itu, tubuhnya sedikit goyah karena kurang tenaga. Dulu dia mudah saja melawan lelaki seperti ini walaupun hanya sendirian. Tetapi efek tidak diberi makan cukup selama dua Minggu cukup melumpuhkan semua tenaganya, mana bisa dia melawan lagi. Lelaki yang mencekeram tangannya juga tidak peduli apakah dia kesusahan mengikuti langkahnya atau tidak, dia terus saja diseret walaupun kepayahan. Apalagi ketika menuruni tangga, tubuhnya hampir saja terjerembab ke bawah jika saja cengkeraman lelaki itu tidak kuat. "BERHENTI!!!" lelaki itu berteriak ketika sampai di bawah anak tangga. Dhea melebarkan matanya melihat pemandangan di lantai satu, bukan kar