"DHEA?! INI KAMU, DHE?!" Langkah Dhea berhenti mendengar suara panggilan yang cukup keras itu, ketika menoleh ke belakang, mata wanita itu membulat, tidak menyangka saja akan bertemu dengannya di sini. Dhea tidak tahu musti berkata apa, tetapi tangannya yang memegang dan pegangannya yang semakin erat di lengan Viyatan cukup menunjukkan bagaimana wanita ini memiliki kisah yang tak biasa dengan pria di hadapannya. "Aku pikir hanya halusinasi saja melihatmu di bandara, tenyata memang kamu. Ini benar-benar surprise buat Abang." Lelaki itu melangkah dengan pelan, mata berkaca-kaca tetapi pandangannya terus menelusuri tubuh Dhea dari kaki hingga kepala.Lelaki itu masih memakai pakaian yang dilihat Dhea di bandara, tetapi jaket kulit yang dipakainya diganti dengan jas dengan warna coklat muda sesuai dengan celana gunung yang dia kenakan. "Berhenti! Tetapi di situ!" ujar Dhea dengan suara bergetar. Refleks Bram berhenti melangkah, baru dia memindai lengan Dhea yang bertaut ke len
Dhea berjalan dengan perasaan yang tidak tentu arah, tentu saja dia tidak bisa dibilang baik-baik saja, pegangan tangannya di lengan Viyatan yang mengencang itu menandakan bagaimana perasaannya saat ini. Bulir-bulir bening tidak bisa dicegah untuk meluncur di pipinya, dengan tangan satunya yang bebas dia menghapus dengan kasar pipinya. Viyatan yang mengetahui keadaan wanita di sampingnya tak bisa tinggal diam, lelaki itu langsung merengkuh bahu Dhea agar kekuatan tangannya dapat memeluk dan memberi kekuatan pada wanita hamil itu. Tetapi bukannya semakin tegar, tangis Dhea malah semakin kencang dan terisak-isak. Dengan langkah terseok dan dibimbing oleh Viyatan, akhirnya mereka berdua berhasil menyebrang jalan. Setelah sampai tempat yang dituju, Viyatan langsung memeluk Dhea dengan erat. "Kenapa kau menangisi lelaki seperti itu? biarkan saja dia, dia tidak pantas menjadi suamimu. Kenapa pula kau bisa bersuamikan lelaki seperti itu? Bramantyo, lelaki yang tidak punya hati seperti
Tak berselang lama, mereka sudah tiba di jalan depan rumah Om Muhtar. Rasanya sudah bertahun-tahun Dhea tidak menginjak rumah ini, dengan jalan sedikit kepayahan, Dhea berjalan ke halaman rumah tersebut dan memencet bel dan berada di dekat pintu utama, sementara Viyatan sibuk mengeluarkan bawaan mereka dari bagasi taksi. Ketika pintu terbuka, yang terdengar adakah jeritan suara wanita. Dhea sendiri terkesima dengan kehadiran wanita tersebut di depan pintu. "AAAH! DHEA! DHEA! MA, DHEA DATANG, MA!!" Suara teriakan tersebut mengundang penghuni lain rumah ini untuk berbondong-bondong menuju ke arah pintu. "Dhea! ke mana aja kamu tidak pernah memberi kabar! kamu sedang hamil sekarang, Dhe? wah, senengnya melihat kamu hamil!!" Wanita muda itu langsung memeluk Dhea dengan erat dan enggan untuk melepaskannya. "Dhea? kamu datang, Dhe?! intan, biarkan dia masuk! kasihan pasti kelelahan, mana sedang hamil pula!" ujar lelaki paruh baya Mendnegar Omelan ayahnya, Intan melepaskan p
"Oh iya ... Ini__" Dhea sendiri bingung mau menjelaskan dari mana, hal itu tentu saja membuat Viyatan sedikit geram, sehingga lelaki itu berinisiatif untuk memperkenalkan dirinya. "Oh iya, kenalkan saya ini__" "Namanya Kak Viyatan, ya dia ini Kakak angkat aku!" Viyatan menoleh tidak puas ke arah Dhea karena memotong pembicaraannya. Tetapi Dhea yang di sebelahnya tidak merasa bersalah malah kakinya menginjak kaki Viyatan dengan kuat. Dhea jelas tidak ingin membuat keluarga Om Muhtar merasa sedih karena kisahnya yang sempat di penjara. Juga kisahnya yang ternyata sudah diceraikan oleh suaminya, sebisa mungkin dia akan menyembunyikan kabar pahit ini dahulu. "Kakak angkat kamu? terus suami kamu, Abang Sat itu kemana?" tanya Intan yang tidak puas dengan penjelasan Dhea, semua orang juga mengangguk setuju dengan pertanyaan intan. Viyatan sendiri tersenyum simpul mendnegar intan memanggil Bram dengan sebutan Abang Sat, nada suara intan itu seperti tengah mengolok Bram dengan istila
Di dalam taksi, terdapat keheningan yang mencekam kedua penumpang di dalamnya. Viyatan masih tampak begitu kesal dengan ulah Dhea, sementara Dhea juga tidak tahu harus memulai pembicaraan dari mana dengan lelaki itu. "Kak, maaf yang tadi." hanya itu yang bisa Dhea katakan. Viyatan mendengus kesal mendengar permintaan maaf wanita itu yang terdengar sangat enteng dan menggampangkan Masalah. "Kenapa kau melakukan itu?" tanya Viyatan dengan tidak senang. "Maaf, aku harus melakukan itu," jawab Dhea masih menatap jalanan dengan perasaan risau. "Iya, kenapa? kau pasti ada alasannya, Kan?" ujar lelaki itu bertambah kesal. "Keluarga Om Muhtar tidak ada yang mengetahui apa yang terjadi padaku, Kak. Mereka tidak ada yang tahu jika aku pernah dipenjara sementara hubunganku dengan suamiku juga kacau seperti ini. Jika mereka mengetahuinya, maka mereka tidak akan melepaskan aku, mereka akan memaksaku tinggal bersama mereka." "Ya, terus kenapa? mereka memang keluargamu, jadi wajar saj
"Biarkan aku masuk!" perintah lelaki itu. Tangan kekar lelaki itu mendorong pintu dengan kuat, sehingga terbuka dengan lebar. Dhea yang tidak kuat menahan laju pintu terhuyung ke belakang, hampir saja dia terjatuh ke lantai kalau tidak lengan kekar lelaki itu merengkuh tubuhnya dengan kuat. Pelukan lelaki itu masih hangat seperti dulu, tidak disangka Dhea begitu rindu dengan rengkuhan ini, kepalanya bahkan sempat menyender di dada bidang lelaki itu. Tangan kekar itu merengkuh tubuhnya dengan lembut. Tidak ada yang berbicara beberapa saat, hanya suara napas dan degupan jantung yang terdengar berirama di dalam kamar ini. Dengan perlahan kaki Bram mendorong pintu agar tertutup, suara pintu yang tertutup ternyata menyadarkan Dhea, jika mereka tidak lagi menjadi suami istri sekarang. Dengan pelan Dhea mendorong tubuh Bram agar menjauh, kepalanya mendongak menatap wajah lelaki yang belum juga mau melepaskan pelukannya, wajah Bram menunduk hingga tatapan mata mereka bertemu. Ada keri
Karena memang sudah kelelahan akhirnya Dhea tertidur. Bram dengan sabar memeluk wanita itu dan mengelus perutnya yang sudah membuncit dari belakang. Perasaan nyaman ini membuat Dhea cepat terlelap, mungkin bayinya dalam kandungan juga merasa nyaman di beliau oleh ayahnya seperti itu. Ketika pagi menjelang, suara alarm dari ponsel menyadarkan Dhea dari alam mimpinya, dengan spontan dia meraih ponsel diatas nakas, ketika melihat hari sudah jam enam pagi, wanita itu langsung panik. Dengan cepat dia mengambil air wudhu dan salat dua rakaat. Setelah selesai salat, dia baru menyadari ternyata lelaki yang pernah jadi suaminya itu sudah tidak ada lagi di dalam kamar. Dhea hanya menghela napas dengan kecewa, tidak seharusnya dia terlalu berharap pada lelaki itu. Terlalu berharap pada manusia akan menghasilkan kekecewaan dan keputusasaan. Dhea kembalian mengangkat kedua tangannya menghadap kepada tuhan semesta alam untuk menguatkan hati dan perasaannya. "Ya, Allah ... kepasrahan semua hid
"Dhea! Ternyata benar kata Lingga kamu di sini!" "Frans?" Lelaki itu cengengesan melihat ke arah Dhea, sikap tengilnya masih sama seperti dulu, hanya saja sekarang dia memakai jas abu-abu dan celana jeans hitam di dalam jeans ada kemeja putih yang rapi walaupun tanpa memakai dasi. rambut abu-abunya sudah memanjang dan diikat di belakang, anting perak di telinga sebelah kanan juga masih terpasang di sana. "Hmm, ternyata sedang hamil besar seperti itu kamu malah bertambah cantik, my lovely beauty. Apakah anak Bram yang ada di dalam sana?" tanya lelaki itu dengan mata yang jelalatan. "Anak siapa lagi? hanya dia yang pernah menjadi suamiku." "Pernah? what? pernah itu berarti sekarang nggak lagi, kan? benarkah?" tanya lelaki itu dengan sikap terkejut dan sorot mata yang antusias. "Ah, sudahlah ... kamu tidak perlu kepo, aku akan pergi ke kamar dulu." "Eh, mana bisa begitu? sudah bertemu sejauh ini kamu mau pergi begitu saja? sebaiknya kita ngopi-ngopi dulu di cafe, Ayo!" Ta
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m