"Dhea! Ternyata benar kata Lingga kamu di sini!" "Frans?" Lelaki itu cengengesan melihat ke arah Dhea, sikap tengilnya masih sama seperti dulu, hanya saja sekarang dia memakai jas abu-abu dan celana jeans hitam di dalam jeans ada kemeja putih yang rapi walaupun tanpa memakai dasi. rambut abu-abunya sudah memanjang dan diikat di belakang, anting perak di telinga sebelah kanan juga masih terpasang di sana. "Hmm, ternyata sedang hamil besar seperti itu kamu malah bertambah cantik, my lovely beauty. Apakah anak Bram yang ada di dalam sana?" tanya lelaki itu dengan mata yang jelalatan. "Anak siapa lagi? hanya dia yang pernah menjadi suamiku." "Pernah? what? pernah itu berarti sekarang nggak lagi, kan? benarkah?" tanya lelaki itu dengan sikap terkejut dan sorot mata yang antusias. "Ah, sudahlah ... kamu tidak perlu kepo, aku akan pergi ke kamar dulu." "Eh, mana bisa begitu? sudah bertemu sejauh ini kamu mau pergi begitu saja? sebaiknya kita ngopi-ngopi dulu di cafe, Ayo!" Ta
"Kalian kenapa di penjara?" tanya Dhea. "Kalau aku melakukan bisnis ilegal, aku menyelundupkan barang dari Malaysia, tapi malah diseruduk oleh petugas polisi perairan. Pasti semua Bisnisku sudah ada yang melaporkannya, pasti itu mantan suamimu yang melaporkannya, karena saat itu aku juga pernah mengkhianatinya, sampai akhirnya aku di penjara dua tahun, baru saja keluar setahun yang lalu," jawab Frans. "Kamu yakin yang melaporkan dirimu Bang Bram?" tanya Dhea. "Siapa lagi? dia yang mengancam ku dengan mulutnya sendiri akan menghabisi aku." Frans menghabiskan minuman di gelasnya dengan kesal, dia berteriak memanggil pelayan cafe. "Ada apa, Pak?" "Ambilkan whisky!" Pelayan itu pergi dengan terburu-buru "Masih pagi kamu mau mabok? kendalikan dirimu, di sini ada ibu hamil," ujar Lingga dengan nada tidak suka. "Kalau mengingat semua itu ku jadi pengen mabok dan tidak sadarkan diri," jawab Frans dengan acuh tak acuh. "Memangnya kau mengkhianati Abang Bram seperti apa?" tanya Dhea
"Jawab saja pertanyaan ku." "Aku menabrak mobil travel yang melaju di depanku di jalan tol, karena kendaraan yang aku kendarai melaju sangat kencang, jadi mobil itu terguling dan terbakar. Hampir semua penumpangnya tewas, kalau gak salah hanya satu yang masih selamat." Semua orang terdiam mendengar penjelasan Lingga yang disampaikan dengan nada acuh tak acuh, seolah-olah dia tengah membicarakan cuaca yang tidak ada penting-pentingnya sama sekali. "Sebanarnya kejadian itu bukan sepenuhnya karena human eror, mobil yang kukendarai itu remnya blong. Kalian tahu sendiri laju kecepatan di jalan tol itu seperti apa. Yah ... begitulah ceritanya. Akhirnya aku divonis hukuman dua tahun setengah dan denda lima miliyar, untuk menyantuni keluarga korban." "Aku ingat betul dengan kejadian itu, kamu langsung melarikan diri. Dan menyerahkan diri setelah dua hari menghilang, aku dan Bram ikut-ikutan mencarimu ke mana-mana. Tapi brengseknya dirimu itu, Sania yang membantumu melarikan diri malah
Itu adalah taman di tengah kota. Pada pagi hari dan di jam kerja seperti ini, tentu saja tidak ada pengunjung sama sekali. Frans mengajak Dhea duduk di tengah taman. Dengan hati-hati lelaki itu menuntun tangan Dhea dan berjalan sambil menenteng sekantong camilan yang dia beli tadi di perjalanan. Ternyata di taman ada beberapa petugas kebersihan yang tengah menyapu daun-daun kering. Melihat pasangan muda tengah bergandengan tangan di tengah taman dan sang wanita tengah hamil, seorang petugas kebersihan itu menyeletuk pada temannya. "Lihat itu, Mar. Suaminya tampak seperti preman seperti itu, badannya di tatto dan rambutnya dicat seperti itu, tetapi dia sangat sayang sama istrinya. Tidak seperti suamiku, yang tampangnya seperti lelaki baik-baik, tahu-tahunya sering KDRT sekarang bahkan selingkuh." Gerutuan wanita petugas kebersihan yang cukup keras itu tentu saja terdengar oleh Dhea dan Frans. Mereka berdua akhirnya saling berpandangan, Frans bahkan menyeringai dengan puas. "Kau
"Kenapa memangnya? Apa kau tahu alasannya?" "Tentu saja, Kamelia selalu terbuka padaku. Dia rela merawat lelaki itu, karena dia sendiri yang sudah membuat lelaki itu buta." "Adelia! jangan mengarang cerita, kau pikir aku akan percaya padamu? seandainya hal itu benar, apa bisa masuk logika? saat itu Kamelia masih berusia enam belas tahun, apa Bram dan Kamelia sudah bergaul ketika berusia segitu? padahal Bram ada di Jakarta dan Kamelia ada di Batam?" Mendnegar kata-kata Adelia yang tidak masuk akal itu jelas saja Dhea sangat marah. Bisa-bisanya gadis itu mengatakan jika Kamelia yang sudah membuat mata Bram buta. "Aku sudah mengatakan hal yang sebenarnya, jika kamu tidak percaya itu urusanmu sendiri, Mel. Aku juga tidak bisa menyakinkan dirimu, jika ingatanmu memang sudah tidak ada. Jika ingatanmu kembali, kau akan tahu jika yang kukatakan adalah benar." Dhea menatap tajam ke arah gadis di depannya, tetapi anehnya tatapan mata Adelia tidak melawan seperti sebelumnya, mata gadis
"Amel ... Tolong lepaskan aku. Jika tahu kamu masih hidup, mana mungkin aku berani seperti ini. please ... " Adelia menatap Dhea dengan penuh permohonan. Adelia sangat ngeri dengan apa yang bisa wanita di hadapannya ini lakukan, dulu di sekolah ketika ada yang berani membuat konspirasi di belakangnya, wanita ini akan terus mengejarnya, hingga si pelaku di keluarkan dari sekolah. "Aku mohon demi persahabatan kita. Dulu kamu gadis yang manis dan baik hati, yang selalu membantuku dalam keadaan apapun. Ibu tiriku yang jahat, dan ibu tirimu yang jahat selalu membuat kita terpuruk, tetapi kita berdua saling menguatkan dan saling melindungi. Ketika melihat Bram pertama di jakarta dulu, yang langsung terpikir adalah kamu. Aku ingin merawat lelaki yang kau pedulikan, agar kau tenang di alam sana." Adelia tentu menyembunyikan sisi gelap Dhea yang sesungguhnya ketika menjadi Kamelia dulu. Dulu Kamelia itu di didik keras oleh kakeknya sang guru besar sekaligus seorang mantan jenderal TNI itu
Viyatan berdiri dengan memengang buket bunga Lily di tangan kirinya, tangan kanannya masuk ke kantong celana. Cahaya mentari di sore hari memantul di lapisan kaca dan memancarkan cahaya hingga. Lelaki itu terus menatap sebuah nama yang terukir di sana, Elisabeth Natasya. "Eli, lihat lah akibat dari perbuatanmu itu, adikku Kamelia yang menanggung semuanya. Sampai kematiannya tetap menyisakan kisah tragis. Apa semua yang kau lakukan itu berguna?" Suara lelaki itu hanya samar terbawa angin sore, udara terasa lelah walaupun masih meniupkan aroma bunga Kamboja. Lelaki itu meletakkan buket bunga Lily itu diatas papan nama, mengusap papan nama tersebut sebentar dan berdiri kembali. "Istirahatlah dengan damai. Mulai saat ini, aku akan meraih kehidupanku sendiri. Jangan lagi membayangi kehidupanku, karena aku juga berhak meraih kebahagiaan selagi masih diberi waktu oleh Tuhan." Dengan langkah perlahan, Viyatan melangkah meninggalkan peristirahatan terakhir umat manusia, dia menatap d
"Bercerai? kapan kita bercerai?" "Apa maksudmu berkata seperti itu? bukankah kamu sudah membawa surat cerai yang harus kita datangi? di sana kamu juga sudah menandatanginya. Bukankah surat itu dibawa Adi ketika aku di dalam penjara, apakah kamu lupa?" tanya Dhea dengan wajah menyipit antara heran dan bingung. "Dhea, ternyata kamu memang selugu itu. Itu hanya surat perjanjian bercerai, tidak akan sah kalau tidak dibawa ke pengadilan dan disahkan dengan dikeluarkan akta cerai. apa kau menerima akta cerai? tidak kan? sampai saat ini, aku tidak pernah mengajukan surat itu ke pengadilan. Jadi sampai sekarang, kamu masih istriku yang sah, lagipula aku belum pernah mengucapkan kata talak padamu." speechless, Dhea mengerjakan matanya menatap lelaki di hadapannya dengan bingung, tidak tahu harus berkata apa. Selama ini dia sudah menganggap diantara mereka sudah tidak ada hubungan apapun lagi, ternyata mereka masih terikat suami istri yang sah. Apa dia sebodoh itu? hingga proses perceraia
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m