Part 19Akad nikah terucap dari bibir Bram dengan cepat dan akurat, hanya satu kali lafaz semua saksi sudah mengatakan sah. Secepat dia mempersiapkan pernikahan instan ini, membuat Dhea tidak sadar jika dirinya saat ini sudah menyandang gelar seorang istri. Ketika Bram mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengannya, Dhea justru terbengong, hingga deheman lelaki itu menyadarkannya. Cepat-cepat perempuan yang sudah tidak gadis lagi itu menyambut uluran tangan lelaki yang kini sudah menjadi suaminya dan mencium punggung tangannya dengan takjim. Bram hanya mengelus kepala Dhea sambil membisikkan sebuah doa yang entah apa maknanya Dhea juga tidak paham.Bram menyerahkan bingkisan mahar yang sudah disiapkan oleh Adi. Yaitu atau set perhiasan, dari kalung, gelang dan anting, hanya cincin yang dia keluarkan dan menyematkan ke jari manis wanita itu.Semua keluarga bersyukur dan khausuk memanjatkan doa, Intan justru yang paling antusias menyaksikan pernikahan sepupunya itu. Dari awal sampai a
Part 20Setelah mengantar keluarganya ke bandara, Bram langsung membawa Dhea ke rumah kontrakannya. Paramitha sudah pulang sejak tadi, ketika sampai di rumah, Dhea melihat suster Halimah sudah ada di rumahnya. "Suster Halimah datang sekarang?" tanya Dhea dengan rasa penasaran."Iya, besok pagi kita akan langsung membawa ibu ke Jakarta. Kamu harus bersiap-siap, kita akan terbang pada penerbangan pertama," jawab Bram sambil turun dari dalam mobilnya.Dhea menyusul Bram dengan tergesa, karena baju kebayanya belum diganti, dia terpaksa mengangkat kain kebayanya lebih tinggi agar tidak kesulitan berjalan."Kenapa cepat sekali perginya?" protes gadis itu."Apakah kau tidak ingin ibumu cepat sembuh? Lebih cepat lebih baik, bukan?" Dhea tergagap mendengar perkataan lelaki itu, dia sedikit kesal. Lelaki ini benar-benar selalu mengambil keputusan sendiri tanpa memberitahunya terlebih dahulu. Semua serba perintah dadakan, lama-lama Dhea bisa mati muda kalau begini."Lagipula siapa yang tidak ing
Part 21Kecanggungan masih meneyelingkupi interaksi kedua orang yang sudah sah menjadi suami istri itu ketika mereka sudah duduk bersama di kabin pesawat kelas bisnis ini. Bram masih saja membuka tab-nya dan mengerjakan sesuatu dengan benda tersebut, tampak serius dan mengabaikan seseorang yang berada di sampingnya.Dhea yang duduk di dekat jendela hanya sesekali memandang ke luar jendela dan sesekali membaca majalah yang sudah tersedia di sana. Ketika bosan dengan kegiatan tersebut, Dhea hanya menatap dan menekuri wajah suaminya yang tampak dari samping.Lelaki itu terlihat begitu tampan dan maskulin, rahangnya yang keras dan tegas itu mengeluarkan aura pemimpin yang mendominasi, sehingga setiap perintah dan perkataan lelaki itu sulit Dhea bantah. Dhea sebenarnya sudah cukup puas memandangi wajah suaminya ketika dia bangun tadi pagi, mendapati lelaki itu tengah mendengkur dengan lelap di sampingnya. Entah jam berapa dia masuk kamar dan berbaring, tetapi hal itu cukup membuat Dhea le
Part 22"Kau, jangan coba-coba mendekati kamar itu, apalagi membukanya! Siapapun tidak aku izinkan untuk menyentuh gagang pintunya, apalagi membukanya, kau bahkan mau menempatinya?" Bram mengatakan semua itu dengan nada emosi, lelaki itu bahkan mengacungkan jari telunjuknya ke arah Dhea sebagai ancaman. Dhea yang melihat reaksi lelaki itu begitu berlebihan tampak terkejut, matanya bahkan membulat sempurna, awalnya Dhea menyangka kemerahan Bram itu karena Dhea yang berniat pisah kamar dengan Bram, tetapi perkataan lelaki itu jelas-jelas marah karena Dhea yang berniat untuk menempati kamar di sebelahnya. Kenapa lelaki itu semarah itu? Kamar siapa sebenarnya itu? Sepertinya banyak misteri yang melingkupi kehidupan lelaki ini. Melihat gadis ini begitu terkejut, Bram menghela napasnya dengan berat, mengatur kembali emosinya yang tiba-tiba saja tidak terkendali. "Dhea ... Sudah kubilang tadi, sebagai suami istri kita harus tinggal satu kamar, bagaimana hubungan kita ada kemajuan jika kita
Part 23Sore itu, Bram keluar rumah dengan alasan pekerjaan, dia bahkan dijemput asistennya yang lain bernama Fikri, selain Adi ada beberapa karyawan yang merangkap asisten Bram. Fikri ini pekerjaan utamanya adalah seorang sekretaris utama, ada beberapa asisten sekretaris yang juga berjenis kelamin laki-laki di perusahaan. Bram tidak pernah dikelilingi pegawai wanita, pegawai wanita hanya bertugas di departemen lain, jauh dari jangkauannya. Fikri terlihat begitu sopan, Adi memang sopan, tetapi Fikri ini lebih sopan dan ramah, perkataannya halus dan begitu sungkan kepada Dhea, seperti kepada majikannya saja.Hal itu membuat Dhea juga bersikap sama kepadanya, sopan dan segan."Aku ada pekerjaan yang tidak bisa ditunda, mungkin akan pulang malam. Kamu makan dan istirahat, ya? Besok pagi baru kita antar Ibu ke rumah sakit," pamit Bram saat itu.Sepeninggalan Bram, Dhea juga bermaksud untuk menjajal kolam renang tersebut setelah puas menciumi bunga mawar yang begitu harum serta memetiknya
Part 24Dhea kembali terbangun pagi ini tepat pukul lima pagi, dia segera mengecek ponselnya, kemarin dia sudah menyetel aplikasi azan di HP-nya, kenapa tidak berbunyi? Wanita muda itu mendesah, ternyata ponselnya memang dimatikan nada deringnya.Dhea menarik selimutnya, ternyata di sebelahnya suaminya tertidur dengan nyenyak. Kapan lelaki ini pulang ke rumah? Tadi malam Dhea tidur jam sebelas malam, lelaki ini belum pulang ke rumah. Sayangnya Sania tidak bisa menemaninya lebih lama, sehingga adik iparnya itu pulang pukul sepuluh malam.Dhea beranjak ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, ketika keluar kamar mandi, ternyata Bram sudah bangun, dia tengah duduk di pinggir ranjang dengan kakinya menjuntai mengenai lantai."Sudah bangun, Bang? Ayo kita salat subuh berjamaah," ajak Dhea sambil mengambil mukena di lemari."Iya, tunggu sebentar!" Dengan langkah gontai, Bram menuju kamar mandi, sementara Dhea menggelar sajadah untuknya dan suaminya.Bram langsung mengenakan kain sarung da
Part 25"Dhe, Abang sudah membeli tiket pesawat, jam lima sore kamu berangkat dari bandara. Maaf, kamu pulang sendiri, ya? Abang belum bisa ke Palembang dulu, Abang harus menyelesaikan pekerjaan di sini. Kamu nanti diantar sama Fikri."Bram mengatakan itu di mobil tanpa menoleh ke arah Dhea, tatapannya fokus ke jalan raya, dengan tangannya yang terus mengendalikan stir mobil.Tentu saja Dhea menoleh mendengar perkataan lelaki ini, sibuk? Sepertinya suaminya ini selalu saja sibuk."Mas Fikri akan mengantar sampai mana?" Akhirnya hanya itu yang bisa Dhea tanyakan, dia tidak perlu mencampuri urusan 'Pekerjaan' suaminya."Tentu saja diantar sampai Palembang. Dan lagi, kamu jangan memanggil Fikri dengan embel-embel Mas. Panggil namanya saja, Fikri!" decak Bram, menyadari itu Bram sendiri tidak tahu kenapa dia merasa tidak senang."Oh, iya. Baiklah." Dhea tidak paham apa yang dimaksud Bram, Fikri kan usianya pasti lebih tua darinya, apa salahnya memanggilnya 'mas'"Tapi, Bang, cukup antar
Part 26"Fikri! Kenapa kau ke sini? Bukankah aku sudah menyuruhmu mengantar istriku ke bandara?" Bram yang baru keluar dari ruang rapat sangat terkejut mendapatkan sekretaris nya datang menemuinya. "Pak, maafkan saya! Dari tadi saya telpon bapak tidak mengangkat panggilan saya," keluh Fikri. Bram mengernyitkan dahi, dia baru ingat jika ponselnya tertinggal di mobil karena dia harus buru-buru menemui Mr. Xiang Lee. Seorang investor dari China yang akan melakukan kerja sama pembangunan sebuah gedung olah raga di Singapura, perusahaan Bram berperan sebagai desain arsitektur dan bahan bangunan, berupa pasir dan koral. Mereka melakukan rapat di salah satu hotel bintang lima tempat Mr. Xiang menginap di luar Jakarta. "Maaf, HP-ku ketinggalan di mobil. Apa kau bisa mengambilkannya? Ini kunci mobilnya!" perintah Bram melemparkan kunci ke arah Fikri.Sebelum Fikri beranjak, Bram kembali mencecar pertanyaan kepadanya."Jadi, istriku siapa yang mengantar ke bandara?""Tadi sewaktu saya sampai
"Pak!" panggilan itu tidak kuat, tetapi juga tidak terdengar lemah. Bram dan Dhea yang tengah bersembunyi saling memandang, walaupun Bram buta, tetapi gerakan wajahnya menoleh ke arah Dhea yang tengah memeluknya, suara itu terasa sangat familiar. "Pak Bram!" Dhea segera berdiri melihat siapa yang datang, di bawah batu, sekitar lima belas orang tengah berdiri, tetapi pria paling depan adalah pria yang sangat dia tunggu-tunggu sejak semalam. "Pak Adi!" pekik Dhea dengan suara yang sangat gembira. Bram yang mendengar Dhea memanggil nama tangan kirinya, bergegas berdiri juga. "Apakah sejak tadi malam anda berada di sana? Ayo, Bu. Segera turun." "Iya. Aku bisa turun sendiri, tetapi suamiku, tolong bantu dia." "Tentu saja." Dhea dengan hati-hati menuruni batu yang tingginya hampir enam meter, permukaan batu yang kadang kasar dan licin, membuatnya sedikit kesulitan, padahal dia sudah melemparkan sepatu hak rendahnya ke bawah terlebih dahulu. Setelah Dhea turun, beberapa
Rasa sakit itu tidak tertahan, Dhea terus memegangi kepalanya dan mengeluh kesakitan. Bram yang kuatir juga meraba kepala istrinya dan mendapati tangan istrinya di sana tengah memegang kepala dengan erat. "Apa kepalamu sakit?" "Iya, sakit banget!" "Sini, berbaring. Tumpukan kepalamu di paha Abang, biar Abang pijat." Dhea segera merebahkan kepalanya di paha Bram yang kakinya sudah berselonjor, tubuh Bram bersandar pada dinding batu yang sebenarnya tidak rata. Lelaki itu langsung meraba kepala dan pelipis istrinya memijat daerah itu dengan tekanan secara perlahan-lahan. "Masih sakit?" "Iya, sakitnya berdenyut-denyut." "Coba pejamkan tubuhmu." Ketika Bram menekan bagian bawah telinga Dhea rasa sakit terasa begitu menyengat dan kuat membuat wanita itu hilang kesadaran. "Dhea?!" panggil Bram. Dhea yang hilang kesadaran itu seperti halnya orang yang tengah tertidur, terdengar juga napasnya begitu teratur. Siapa yang menyangka jika sebenarnya wanita itu pingsan karena ras
"Berhenti kau betina jalang!" "Dasar perempuan sialan! Mau lari ke mana lagi kau, ha?" "Mau kabur? Kamu pikir bisa, ha?" "Arrhg! Lepaskan! Lepaskan!" "Bang, jangan sakiti perempuan itu." "Diaam kamu Rais!" Penggalan dialog-dialog itu terlintas di kepala Dhea membuat kepalanya sangat sakit. Tetapi tekadnya yang kuat membuatnya terus berlari Jangan sampai tertangkap oleh penculik itu. DOR!!! Suara tembakan itu terdengar jelas. "ABANG, JANGAN TINGGALKAN DHEA, BANG!" teriak Dhea berbalik memeluk suaminya dengan tubuh gemetar dan air mata yang menetes deras. "Abang, Abang ...." "Dhea, Abang tidak apa-apa." Bram merasakan betapa istrinya ini sangat ketakutan, wanita ini memeluk tubuhnya erat dan meraba punggungnya dengan gerakan acak dan gemetar. "Abang nggak apa-apa," bisik Bram memenangkan istrinya. "Terdengar suara tembakan, punggung Abang tertembak." "Tidak, punggung Abang tidak tertembak." "Aku melihatnya sendiri orang itu menembak punggung Abang! Abang, Abang
"Akh!" Bram memekik tertahan mana kala kakinya kesandung akar pohon membuatnya terjatuh, Dhea yang memegang tangannya otomatis juga ikut terjatuh. "Bang, Abang nggak apa-apa? ada yang terluka? sakit?" tanya wanita itu dengan kuatir. Ponsel yang dipegang Dhea dipakai sebagai senter terjatuh. wanita itu segera bangkit dan mengambil ponselnya dan mengarahkan senter pada suaminya yang tengah berusaha bangkit. "Nggak apa-apa. Hanya tersandung saja," lelaki itu berjalan meraba-raba. Dhea segera meraih tangan suaminya, lelaki itu hanya bisa mempercayai Dhea pada saat seperti ini. "Pegang tangan Dhea erat-erat, Bang. Dhea akan menjadi mata Abang. Jalan yang Dhea tempuh ini sedikit sulit karena masih semak belukar. Kalau kita melewati jalan setapak, para penjahat itu pasti bisa dengan mudah menyusul kita." "Iya, Dhea tidak perlu mengkuatirkan Abang. Sekarang ayo cepat kita jalan." Walaupun langkah mereka terseok-seok, tetapi mereka berusaha berjalan dengan cepat, untuk berlari tentu s
Dhea dan Bram makan malam di villa itu, Dhea tidak menyangka masakan hari ini dibuat oleh pemuda dua puluhan bernama Soleh ini. Dengan sayang Dhea menyuapi suaminya, hal ini mengingatkan mereka saat Bram pertama datang di kediaman Lia di rumah tepi pantai. Saat itu lelaki ini hanya bisa melamun dan tidak memiliki gairah hidup, akhirnya Kamelia lah yang terus membujuknya makan dan menyuapinya. "Sudah, Abang sudah kenyang," ujar Bram menolak suapan yang sudah berapa kalinya dari tangan Dhea. "Kalau Abang ke Jerman, Dhea tetap di jakarta, ya? menghandle semua bisnis di sini." "Bagimana bisa suami sedang berobat aku malah sibuk mengurusi bisnis." "Ini demi kebaikan kita, Sayang. Kita baru saja memimpin perusahaan, rasanya tidak bertanggung jawab kalau kita tinggalkan." "Bang, bagiku Abang lebih penting dari perusahaan ini. Bagaimana kalau aku resign saja, biar saja perusahaan ini dikelola oleh orang lain. Kita juga tidak kekurangan uang." "Nenek sudah berpesan agar kita yang m
"Adi__" Suara Bram tercekat, lelaki itu menyadari jika seseorang yang datang bukanlah Adi. Adi baru saja datang menyapanya sekitar lima menit yang lalu, karena dia banyak melamun tidak terlalu menanggapi. Lagipula setelah tiga hari ini dia kehilangan penglihatan, pendengaran dan penciumannya jauh lebih sensitif, setiap gerakan dan aroma seseorang akan dikenali dengan mudah. Orang yang berjalan ke arahnya dengan perlahan ini bukan Adi. Dhea yang melihat lelaki itu tampak bingung hanya bisa menahan napas dan perasaannya, tetapi tetap saja air mata lolos ke pipinya, pertahannya juga jebol, Isak tangisnya tidak bisa dia tahan lagi. Mendnegar isakan itu membuat Bram terkejut, mata lelaki itu melebar terbelalak. Otaknya memutar, memindai suara isakan kecil itu, tanpa berpikir lama dia sudah bisa mengenali suara itu. "Dhea ...," panggil lelaki itu lirih. Mendnegar panggilan itu, jebol sudah pertahan Dhea, wanita itu menangis histeris melihat keadaan suaminya seperti ini. Bram y
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga