Part 26"Fikri! Kenapa kau ke sini? Bukankah aku sudah menyuruhmu mengantar istriku ke bandara?" Bram yang baru keluar dari ruang rapat sangat terkejut mendapatkan sekretaris nya datang menemuinya. "Pak, maafkan saya! Dari tadi saya telpon bapak tidak mengangkat panggilan saya," keluh Fikri. Bram mengernyitkan dahi, dia baru ingat jika ponselnya tertinggal di mobil karena dia harus buru-buru menemui Mr. Xiang Lee. Seorang investor dari China yang akan melakukan kerja sama pembangunan sebuah gedung olah raga di Singapura, perusahaan Bram berperan sebagai desain arsitektur dan bahan bangunan, berupa pasir dan koral. Mereka melakukan rapat di salah satu hotel bintang lima tempat Mr. Xiang menginap di luar Jakarta. "Maaf, HP-ku ketinggalan di mobil. Apa kau bisa mengambilkannya? Ini kunci mobilnya!" perintah Bram melemparkan kunci ke arah Fikri.Sebelum Fikri beranjak, Bram kembali mencecar pertanyaan kepadanya."Jadi, istriku siapa yang mengantar ke bandara?""Tadi sewaktu saya sampai
Part 27"Oh ya? Terima kasih ... Saya senang sekali mendengarnya," sudut bibir Affandi melengkung, ternyata lebih tampan aslinya dari di Vidio YouTube.Mereka bertiga asyik berbincang-bincang. Kepribadian Sania yang ceria dan ceriwis mampu mencairkan suasana, hingga tiba-tiba saja beberapa orang laki-laki berpakaian serba hitam mendatangi mereka.Kemunculan mereka yang tiba-tiba tentu saja mengejutkan mereka semua, terhitung mereka ada enam orang."Bawa anak laki-laki itu!" Suara berat terdengar di belakang mereka.Dua orang diantara mereka menggeser kan tubuh sehingga terlihat seseorang di belakang mereka, seorang lelaki berpakaian serba putih kontras dengan keenam lelaki yang bersamanya. Dhea cukup terkejut melihat lelaki yang berdiri dengan tatapan tajam tersebut, lelaki itu kan, orang yang dilihatnya tempo hari di lift kantornya? Ketika dia kan terjatuh, lelaki itu yang menahannya, lelaki itu bahkan memeluk pinggangnya dengan kuat."Lingga! Apa yang kau lakukan!" Sania yang sudah
Part 28"Pak, ini sudah penerbangan terakhir. Tetapi saya tidak melihat Bu Dhea, haruskah saya masih menunggu?" Adi kembali menelpon Bram.Bram hanya mendesah mendengar asistennya itu menelpon, sebenarnya istrinya ini ke mana?"Sebaiknya kau pergi saja dari sana, coba kau intai rumah kontrakan Dhea, dia sudah sampai rumahnya belum?" jawab Bram."Baik, Pak. Jadi, Bu Dhea tidak jadi ditempatkan di rumah baru Bapak?""Besok setelah dia pulang kerja jemput dia untuk menempati rumah yang baru kubeli itu."Bram mengakhiri percakapannya di telepon itu, kepalanya tiba-tiba berdenyut, dari pagi dia belum sempat istirahat, ini sudah jam sembilan lewat, sepertinya tidak sempat untuk pulang ke rumahnya yang berada di kawasan Bintaro, sementara dia kini posisinya berada di Jatinangor, Sumedang. Terpaksa beberapa malam ini dia harus menginap di Scarlett Skyland hotel.Sementara itu, Dhea yang tengah berada di dalam taksi kembali memikirkan kejadian dua hari berada di Jakarta, sungguh dia tidak habi
Part 29Dhea keluar kantor dengan langkah gontai, hari sudah setengah enam sore, semua rekan kerjanya sudah pulang duluan dari jam empat tadi. Dia terpaksa membereskan pekerjaannya dulu, karena seperti biasanya, dia juga disuruh mengerjakan pekerjaan yang sebenarnya tugas Gracia ataupun Hendro.Rasa penat tak urung dirasakan gadis itu, apalagi seharian dia dicerca oleh rekan kerjanya tentang suaminya."Memangnya kampung kamu di mana, Dhea?" tanya Nilam waktu mereka makan siang tadi."Di pinggiran kota Metro, Lampung.""Oh, pantasan jauh. Tapi kamu gak papa ketemu suamimu cuma sebentar?""Ya, gak papa, sih?""Kamu sudah belah duren, belum?" Itu pertanyaan Hendro, yang memang suka ceplas-ceplos."Apaan sih, Pak? Aku gak mau jawab," ujar Dhea dengan perasaan tak suka."Palingan juga belum, secara siapa yang selera jika suaminya sudah bau tanah," ujar Gracia sambil tertawa.Dhea hanya tersenyum masam, mereka tidak tahu saja, yang dibilang Gracia bau tanah itu lelaki tampan, walaupun umurny
Part 30 Sesampainya Dhea dirumahnya, ternyata ada sebuah mobil MPV hitam telah terparkir di halaman rumahnya, setelah mendekat, seorang lelaki turun dari mobil itu, Dhea mengerem motor maticnya dengan kuat."Bu Dhea, kenapa baru pulang?" tanya lelaki itu dengan wajah yang datar seperti biasanya."Pak Adi? Sudah lama di sini, Pak?" "Sudah dari jam empat tadi," jawab Adi."Maaf, Pak. Tadi ada sedikit kerjaan yang harus dilembur. Mari, Pak. Masuk dulu!" Dhea segera membuka kunci rumahnya, Adi membuntutinya dari belakang."Pak Adi mau minum apa? Teh apa kopi?""Tidak perlu repot-repot, Bu. Kedatangan saya ke sini, mau menjemput ibu agar tinggal di rumah yang sudah Pak Bram persiapkan untuk rumah tinggal kalian berdua," ujar Adi dengan tatapan serius."Jadi, saya harus pindah ke sana, Pak?" "Iya, sebaiknya begitu. Kalian kan sudah suami istri, Pak Bram tentu saja harus menyiapkan tempat tinggal untuk kalian berdua.""Apakah harus malam ini, Pak? Bisa tidak kalau akhir pekan saja? Sa
Part 31Tengah malam, entah kenapa Dhea merasa sangat haus, dia juga kebelet ingin buang air kecil, matanya yang masih mengangtuk akhirnya terbuka dengan malas, ketika dia akan duduk, tubuhnya tertahan sesuatu, dan sesuatu itu sebuah tangan yang mengerat di pinggangnya, mengingat dia tengah berada di rumah sendirian, tentu saja hal itu sangat mengejutkannya dan membuatnya sangat ketakutan. Tak ayal diapun berteriak."ARRGGGHHHH!!!"Kamar yang hanya memasang lampu tidur tampak temaram, sehingga tidak jelas sosok yang tengah tidur di sampingnya. Akibat keterkejutan dan ketakutannya, Dhea secara refleks berdiri dan mengambil sapu lantai yang tadi sore dipakainya untuk menyapu lantai kamarnya.Suara jeritan seorang perempuan yang cukup keras itu membangunkan sosok lelaki yang tengah tidur terlelap tersebut, refleks lelaki itu juga berjingkat duduk untuk menyadari situasi yang sebenarnya, belum sadar sepenuhnya, lelaki itu merasakan kepalanya sangat kesakitan akibat pukulan benda tumpul."
Part 32Suara panggilan telepon menggema di dalam kamar yang sepi, membuat Bram yang masih terlelap terganggu dalam tidurnya, setelah beberapa saat akhirnya suara itu terhenti, membuat lelaki itu kembali memejamkan matanya, namun baru saja beberapa detik, bunyi itu kembali terdengar dengan nyaring. Dengan kesal Bram menyambar ponsel yang ada di atas kabinet tempat tidur."Halo!" kata Bram dengan kesal."Pak, anda masih tidur? Ini sudah jam sembilan pagi, Pak. Anda ada temu janji dengan pemilik Griya Arsitektur. Mereka sudah menunggu di kantor." Suara Fikri terdengar cemas di seberang sana.Fikri hapal betul suara khas Bram yang baru bangun tidur, suaranya tampak serak-serak basah."Iya, tunggu sejam lagi!" Bram segera bangkit setelah mematikan telepon, dia menyibak jendela yang langsung tampak terang benderang, matahari sudah terlihat tinggi. Ketika dia akan melangkah ke kamar mandi, di kaca rias dia menemukan catatan yang ditinggalkan istrinya.(Bang, Dhea pergi kerja dulu, ya? Di
Part 33"Kamu belanja di pasar saja, gak usah ikut ke mall! Aku bersyukur, kamu sudah nikah, Dhea! Kalau nggak, nanti semua Bos baru atau stafnya naksir kamu lagi." Gracia berkata sinis sambil berlenggok dan berlalu mengabaikan Dhea, Nilam yang merasa tidak enak hanya bisa meminta maaf pada temannya itu. Mendapatkan kado yang cukup besar dan berat membuat Dhea tentu akan kesulitan membawanya, wanita itu jadi mengurungkan rencananya untuk membeli bahan pangan di mall.Ketika Dhea tengah menunggu lift, ternyata ponselnya berdering, ternyata Intan yang menghubungi, Dhea sampai lupa sejak dia pulang dari Jakarta, wanita itu belum pernah menghubungi sepupunya itu."Assalamu'alaikum, Tan?" "Walaikumsalam, Dhea! Ke mana aja sih, kamu? Gak pernah menghubungi aku lagi!" "Maaf, aku lagi sibuk. Apalagi ini di kantor akan ada bos baru, semuanya sibuk melakukan persiapan," ujar Dhea memberi alasan yang kebetulan memang tepat."Ya sudah. Pokoknya aku gak mau tahu, kamu harus datang ke rumahku. K
Jangan takut, Bu Dhea ada lembur malam ini, mungkin akan pulang sedikit malam, karena ada pekerjaan penting yang tidak bisa ditunda. Jadi, mari kita makan dulu, ini juga ada kopi gingseng yang dipesan dari cafe, sangat cocok untuk bapak-bapak yang berkerja sebagai pengawal biar tidak ngantuk," bujuk Anita. Secara diam-diam Anita mengirim pesan kalau para pengawal sudah berada di meja kopi dekat pantai, Dhea bisa bebas menyelinap. Dengan sedikit berlari, Dhea menuju lift, untuk lift belum penuh karena baru setengah jam lagi waktunya pulang kerja.. Sampai parkiran, Dhea menekan kunci mobil untuk menemukan di mana mobil Anita. Dengan cepat Dhea memasuki mobil Anita, dia mengamati pintu keluar dari tempat parkir. Setelah jam empat sore, bnyak orang yang sudah keluar dari kantor sehingga mencari keberadaan Adi sedikit banyaknya ada gangguan. "Ah, itu dia? kenapa dia berjalan dengan terburu-buru?!" seru Dhea bicara sendiri. Dhea segera menghidupkan mesin, melihat Adi memasuki mobil
Anita langsung menjalankan perintah Dhea. Dia sudah bersiap menuju ruang staf dan disambut oleh seseorang yang memperhatikannya. Dia adalah seorang lelaki yang selama dua hari ini selalu mengajaknya bicara dan selalu mencari kesempatan untuk bertemu. "Dek Anita? Kenapa ke sini?" "Eh, Mas Heru. Apa ini lantai ruangan pak Malik, ya? maklum saya baru di sini jadi belum hapal semua ruangan." "Oh, bukan. Ini lantai ruangan direktur utama, lantai ruangan pak Malik ada di lantai tiga. Pak Malik direktur pemasaran, kan?" "Iya. Maaf kalau begitu, saya akan mencari ke lantai tiga." "Ini sudah masuk jam makan siang, kenapa tidak makan siang dulu? bagimana kalau kita ke kantin dulu, makanan di kantin juga enak-enak, kok." "Oh, baik kalau begitu." Memang itu yang dimau Anita. Dia tidak mungkin mengawasi Adi sendirian, dia harus memanfaatkan sumberdaya, apalagi dilihat dari gelagatnya Heru purwanto, staf ahli direktur utama ini tertarik padanya dari pandangan pertama. "Dek Anita ken
Pekerjaan Dhea sangat terbantu dengan keberadaan Anita di sampingnya. Adi yang baru datang dari Palembang juga hanya sesekali menemui Dhea untuk melihat dan membimbing pekerjaannya. Setiap ada kesempatan Dhea langsung melakukan video call dengan Naima. Sepertinya Bram juga meminta Ibrahim untuk mengirim Bik Siti dan Mang Khaidir membantu Naima mengasuh Angga membuat Dhea sedikit lega. Ini sudah hari ketiga suaminya ke luar kota, Bram hanya menghubunginya ketika malam tiba, alasannya karena kesibukan jadi tidak sempat untuk menghubungi. Dhea sebenarnya juga melakukan video call, tetapi Bram selalu menolak, dia bilang sedang bersama rekan kerja dari luar kota sehingga tidak enak jika melakukan panggilan video. Awalnya Dhea percaya saja, hingga di hari ketiga dia tidak sengaja melihat Fikri yang buru-buru keluar dari kantor dan memasuki mobil kijang Innova pada jam kantor, mobil yang tidak pernah dikendarainya sehingga tidak membuat siapapun akan menduga kalau itu adalah Fikri, tanga
Di vidio terlihat Angga yang sedang tertidur dipangkuan Naima, sementara Azka tidur di bangku belakang. "Dia sudah tidur?" ujar Dhea sambil tersenyum mengamati putranya yang tertidur dengan lelap. "Iya, Bu. Baby Angga pinter banget, diperjalanan dia langsung tertidur. Ibu jangan kuatir, baby Angga akan saya rawat dengan baik. Ibu fokus dengan pekerjaan ibu, kalau di perusahaan sudah stabil, baru saya bawa kembali baby Angga ke jakarta, Bu. Kalau ibu kangen ibu bisa video call, ibu juga bisa berkunjung ke Palembang." Suster Naima tidak tega melihat Dhea yang sudah meleleh air matanya, bagaimana bisa tahan dipisahkan dengan anaknya yang masih bayi, apalagi Angga juga masih menyusui. "Baiklah, jaga baik-baik anak saya ya, Suster. Saya akan memerah ASI saya di sini, dan saya akan membayar orang untuk mengantar ke Palembang. Saya tidak ingin anak saya tidak diberi ASI saya, walaupun kini saya jauh, saya tidak bisa membiarkan dia tidak mendapatkan kasih sayang ibunya." Dhea mengak
Dhea datang membawa segelas jus mangga yang masih penuh, belum diminum sama sekali, rencananya setelah dia duduk baru dia akan menikmati jus tersebut. "Minuman ini belum kamu minum kan, Sayang?" tanya Bram. "Belum." "Ayo, kita pulang!" "Ha? kok cepat nian, aku belum makan, belum minum." Dhea terkejut mendengar ajakan suaminya yang tampak terburu-buru, melihat jus mangga yang baru saja dia bawa membuatnya sangat sayang jika tidak diminum. "Jangan meminum jus itu, kita beli di luar saja!" Tanpa menghiraukan tatapan protes istrinya, Bram langsung mengamit tangan istrinya dan beranjak untuk pergi dari lokasi pesta. Dia tidak lupa berpamitan pada semua orang, terutama direksi yang menjadi panitia penyelenggara. "Saya pamit dulu, putra saya sedang kurang sehat dan terpaksa kami tinggal. Istri saya juga harus menyusuinya." Semua orang mengangguk dengan maklum keputusan Bram yang pergi terlebih dahulu meninggalkan lokasi pesta, semntara mendengar alasan suaminya Dhea juga m
Akhirnya di sinilah Dhea, memakai gaun hitam panjang dengan hiasan sulam benang emas, jilbab berwarna emas dan sepatu high heel hitam, pakaian yang dipesan khusus oleh Bram pada disainer busana muslimah terkenal tanah air. Gaun berharga puluhan juta itu rasanya sangat sayang uangnya, tapi demi menghormati suaminya, dia terpaksa memakainya. Memang ada harga, ada rupa, memakai gaun itu, Dhea benar-benar terlihat seperti seorang ratu dengan penampilan elegan, berwibawa dan benar-benar menjadi bintang yang bersinar malam ini. Pesta yang diadakan di sebuah hotel mewah di jakarta ini, tentunya juga menghabiskan budget yang tidak sedikit, untungnya hotel ini salah satu usaha milik Aditama grup. "Halo, Bu Dhea? selamat atas diangkatnya menjadi komisaris utama HG Aditama grup, Semoga perusahaan ini semakin maju dan semakin banyak menyumbang pajak untuk kontribusi terhadap pembangunan bangsa," sapa seorang gubernur DKI dengan senyum yang cerah menyambut kedatangan Dhea. "Wah, terima k
Bram dan Dhea tentu terkejut mendengar perkataan Sayuti yang bernada menghina itu, Bram begitu geram mendengarnya, tadi waktu rapat tidak ada bersuara setelah rapat baru berani berkoar-koar. "Apa ini rencana kalian? suami istri menguasai hampir semua saham, apa perusahan juga tidak akan kenapa-napa dipimpin oleh bocah ingusan seperti ini, mana dia perempuan pula. bisa apa perempuan muda seperti dia?" serang Sayuti dengan nada tidak senang. "Ini juga bukan keinginan kami, Om! ini keinginan nenek. kalau aku boleh memilih lebih baik istriku tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga dan merawat anak kami," balas Bram tak kalah kesal pula. "Halah, munafik kamu! sejak kamu menikahinya, dia sudah kamu beri kedudukan sebagai direktur di anak cabang perusahan padahal pendidikan dan kemampuannya tidak kualified." Bram ingin membalas kembali perkataan pamannya ini, tetapi Dhea sudah mencekal lengannya dan dengan gelengan dia mengisyaratkan agar suaminya ini menghentikan perdebatan. "
"Tidak bisa! apa tidak ada kandidat yang lain? masih banyak orang yang kompeten selain wanita yang masih muda itu. Lagipula, dia juga punya riwayat pernah di penjara, dia juga sudah sangat lama absen dan telah mengundurkan diri dari perusahaan." "Pak Sayuti, jaga bicara anda!" Bram yang sudah membuka mulut, ternyata kalah cepat dengan ucapan Samsudin, pengacara itu menatap Sayuti dengan tajam seperti malaikat pencabut nyawa yang diutus di ruangan itu, segala apa yang dikatakan Samsudin berlindung dari hukum, ada juga petugas pengadilan dan kejaksaan yang menyaksikan jalannya rapat. "Pak sekretaris, putar lagi vidionya!" perintah Samsudin. "Demikianlah pesan dan wasiatku, saya ingatkan buat semuanya, patuhilah semua yang saya katakan ini, jika ada salah satu pihak menentang ataupun tidak patuh dan tidak menuruti semua yang saya katakan, saya sudah mengajukan perkara hukum dengan pengacara saya, dan menuntut untuk hukuman yang tidak main-main." "Ha!" Beberapa orang mendeng
"Sebelum Nyonya Hartina wafat, beliau meminta saya menjadi pengacaranya, untuk mengurus semua harta benda yang dia tinggalkan dan meninggalkan surat wasiat untuk dibacakan di depan semua anggota direksi perusahaan HG Aditama grup." Semua orang memusatkan perhatian pada Samsudin, lelaki itu memang pandai berbicara hingga membius semua orang, pantasan saja menjadi pengacara top dalam waktu enam tahun. "Saudara sekalian lihat? ini adalah surat yang ditulis tangan sendiri oleh Nyonya Hartina, ada tanda tangan beliau dan cap tiga jari di sini. Tetapi selain itu, beliau juga membuat rekaman vidio, karena jika dengan surat menurut beliau tidak kuat, jadi setelah bangun dari koma, beliau langsung menghubungi saya dan meminta rekaman vidio, coba tolong putar vidionya," pinta pengacara itu pada Fikri yang sudah siap di depan laptop. Di hadapan mereka sudah terpajang layar monitor dengan sorot ini infokus yang mulai memutarkan sebuah tayangan vidio, kemudian sosok nenek Hartina yang tenga